Author's Posts

Saya sering menganggap dia sebagai Mak Lampir. Tawanya membahana, hingar-bingar hingga memekakan gendang telinga. Gerak-gerik-nya gesit, energinya besar, dan tak pernah kenal lelah. Dia sering mengajak saya gelut, membuat tulang belulang ini terasa ingin rontok.

“Rachael, shut up!” sering kali saya membentaknya. Tapi dia tak pernah gentar. Yang paling menyebalkan adalah ketika dia dan Jacob, adiknya, sudah mulai bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau diam.

Pernah suatu kali Rachael kesal. Dia tidak mau bermain UNO bersama Jacob. Saya katakan padanya, “Baiklah kalau kamu tidak mau bermain UNO bersama adikmu, maka saya tidak mau bermain UNO denganmu,” kata saya terus terang.

Rachael menatap saya dengan mata merah, “I hate you, tante!” katanya marah.

Entah benar atau salah, saya harus mengambil sikap. Saya memutuskan untuk tidak berpihak pada salah satu dari dua kubu ini, walaupun nyatanya sering kali saya berada pada sisi yang berat sebelah. Kadang membela Jacob, kadang mendukung Rachael. Saya mengerti, kedua bocah ini hanya ingin dekat dengan saya, tapi masalahnya mereka tidak ingin dekat satu dengan lainnya. Bagaimana mungkin saya bisa membelah diri demi memenuhi keinginan keduanya?

Walau sering membuat kewalahan, nyatanya Rachael adalah pelipur lara nomor satu di dunia. Seringkali dia menggedor-gedor kamar saya, memaksa masuk dan tidur bersama saya. “No, you can’t stay here,” kata saya mengusir dia keluar.

Please, tante… please…” katanya memelas  sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. “Saya janji tidak akan mengganggu tante…” suaranya lirih. Menggetarkan hati. Membuat iba.

I am not in good mood, jadi kalau kamu tidak bisa diatur, saya akan mengusir kamu keluar!”

Promise, tante…. promise….” jawabnya kegirangan, “Saya tidak akan mengganggu tante.”

Walau sudah diperingati, Rachael tidak pernah menepati. Secara maraton dia ngelitikin saya, menyembunyikan bantal dan sendal saya, memeluk saya hingga saya sulit bernapas…. “Oh Rachael, please…. I give up.” kata saya terengah-engah.

Dengan wajah tak bersahabat, saya merebahkan diri di balik selimut. “Terserah kamu mau ngapain,” kata saya menyerah. Rachael ikut-ikut-an merebahkan diri di sebelah saya. Saya diam, pura-pura tak mempedulikannya.

Bukan Rachael namanya kalau kehabisan akal. Dengan penuh penghayatan Rachael bercerita, katanya:

Alkisah ada seorang anak perempuan yang sering bermain ayunan. Ibu si anak memperingati agar dia tidak bermain ayunan. Katanya, ada banyak anak laki-laki yang akan jongkok di dekatmu demi melihat pakaian dalam-mu. Jadi berhentilah bermain ayunan!

Keesokan harinya, si anak tetap bermain ayunan. Ibu si anak memperingatinya lagi agar dia tidak bermain ayunan. Namun dengan lugunya si anak menjawab, today I don’t wear any underwear, jadi laki-laki itu tidak bisa mengintip pakaian dalam saya.

Cerita Rachael yang di luar dugaan membuat saya tertawa…. tertawa…. dan terus tertawa… “Saya yakin, anak perempuan itu adalah kamu! Hahahaaha….” kata saya dengan tawa membahana. Kami-pun tertawa bersama di atas ranjang. Melupakan segala kepenatan. Melepaskan segala ketegangan. Lalu tak sadar, kami telah terlelap bersisian.

Di sini, di rumah mungil di Wordsworth Street, perbatasan Luton dan Berdforshire-England, saya merasa menjadi bagian dari kakak beradik Annabelle-Rachael-dan-Jacob. Tiga bersaudara yang selalu memberi kebahagiaan.

Read more

“Sri, kamu kan perempuan. Untuk apa kamu maju ke medan perang?” tanya Antasena meragukan kemampuan Srikandi. Saat itu, Srikandi, yang dipanggilnya Sri, hendak mengajukan diri menjadi Senopati perang. Pada masa itu, telah banyak Senopati Pandawa yang gugur di tangan Bhisma(Kurawa). Sehingga Prabu Kresna memerintahkan Srikandi untuk menjadi Senopati, menghadapi Bhisma.
Perang menghadapi Bhisma bukanlah sebuah laga yang mudah. Namun, Srikandi tak gentar. Dia menjawab diplomatis, “Apa yang salah dengan perempuan maju ke medan perang?” Di belakang Srikandi sejumlah perempuan mendukung gerakannya. Dengan keberanian, kegigihan, dan penuh semangat, perempuan-perempuan ini berjuang dengan menembakkan panah untuk membantu Srikandi memenangkan peperangan.
Cerita di atas adalah sepenggal kisah Ketoprak Tari “Srikandi Senopati” yang dibawakan oleh kelompok Kartini Balai Budaya Minomartani (BBM) bekerja sama dengan Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta Universitas Gadjah Mada (UKJGS UGM). Acara ini diadakan dalam rangka memperingati hari Kartini di Balai Budaya Minomartani, di desa Minomartani, Condongcatur, Sleman, DI Yogyakarta pada 29 April 2013. 

Dalang pementasan, Ki Sukisno, berhasil menggabungkan kisah pewayangan yang dinamis melalui teater, tari, gamelan dan wayang kulit. Ramuan pementasan itu membuat penonton menikmati suasana pertunjukan yang sering kali diselingi humor-humor jenaka.

 

Peran Perempuan

Mayoritas lakon, penari, dan pengrawit dalam “Srikandi Senopati” diperankan oleh perempuan. Acara yang rutin digelar sebagai peringatan hari Kartini ini bertujuan untuk menghayati peran Kartini yang selama ini telah memberikan banyak kontribusi positif bagi rakyat Indonesia. Selain itu, acara ini sekaligus untuk nguri-uri budaya jawi.

“Kalau biasanya kami mengadakan pementasan wayang kulit, kali ini kami membawakan Ketoprak Tari agar penonton yang mayoritas anak muda tidak jenuh,” kata Bu Unay yang berperan sebagai Antasena dalam lakon Srikandi Senopati ini.

Pementasan Srikandi Senopati adalah perwujudan Kartini-kartini masa kini yang dengan segala daya upaya tetap giat melestarikan budaya agar tetap bisa dinikmati segala kalangan. Bravo! (DPN, 2013)
 

 

Read more

Berbicara dengan orang asing menjadi hal yang paling ditakuti. Safina, Jordan, Gulam, dan V, teman-teman UK, mengatakan, “Ini bukan Indonesia. Kalian tidak perlu beramah-tamah dengan orang asing. Lagipula, itu berbahaya.” Kata ‘berbahaya’ diulang hingga tiga kali. Menancap tepat dikepala. Kemanapun melangkah, dimanapun berada, jangan pernah coba-coba berbicara dengan orang asing.

Sebagai pendatang baru di Luton Town, saya harus waspada. Banyak imigran datang ke Luton dengan beragam budaya. Sebut saja Pakistan, Bangladesh, Karibia, Afrika, dan masih banyak orang dari negara antah berantah lainnya. Bersama warga kulit putih British dan Irish, mereka membentuk nadi kehidupan Luton.

Keberagaman Luton menjadi hal yang patut dirayakan sekaligus diwaspadai. Loyalitas komunitas membuat mereka sering berkonflik satu dengan lainnya. Belum lagi keisengan anak muda: mencoret-coret tembok, menendang tempat sampah, merusak pagar, parkir di tempat tak semestinya, dsb. Itulah mengapa, hampir setiap sudut kota dipasangi kamera pengintai. Gerak-gerik warga diawasi. Siapa melanggar, surat tilang langsung melayang. Denda ratusan pounds langsung menanti. Sebuah sistem yang patut diacungi jempol sekaligus membawa trauma tersendiri, salah-salah saya korban berikutnya yang ditilang karena dianggap melanggar aturan. Hmfh.

Pada pagi hari, seperti biasa, jalan-jalan di Luton masih sepi. Toko-toko baru sebagian yang sudah buka. Orang-orang berpakaian rapi melintas dengan berjalan kaki atau bersepeda. Bersama Tika, kami menyusuri area pusat kota. Di ujung sana, ada Caribbean Food paling enak sedunia, kata saya. Tentu paling enak, karena saya tidak pernah mencicipi makanan seperti itu di tempat lainnya. Tika tertarik, sudah rindu makan nasi katanya. Lalu Tika membeli satu paket Caribbean Food terdiri dari nasi-sayur-dan-lauk untuk disantap. Sementara Tika menikmati menu sarapannya, saya duduk di memandang Luton yang masih sepi.

Tidak lama kemudian seorang bapak paruh baya duduk di sebelah saya. “Sulit sekali mencari pekerjaan…” katanya tiba-tiba dalam bahasa Inggris, mencurahkan isi hatinya. “Sudah tiga hari saya berkeliling, namun tidak ada hasilnya…” lanjutnya lagi.

Teringat akan kata-kata teman-teman saya untuk tidak berbicara dengan orang asing, saya hanya diam. Terbayang sudah gambar-gambar menyeramkan di kepala. Jangan-jangan laki-laki ini ingin menawari narkoba. Jangan-jangan dia ingin merampok saya. Jangan-jangan dia….. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah saya, “Dari mana asalmu?”

“Indonesia,” jawab saya singkat.

“Suka dengan Luton?”

Saya berkelana memandang sekeliling. Saya hanya menemukan wajah Luton yang pucat. Orang-orang tidak saling menyapa. Tidak ada canda tawa. Tidak ada gembira. Ah, sayang sekali…. Pada titik ini, saya merasa tanah air jauh-jauh lebih baik. Namun, tidak layak saya membandingkan Negri asal saya dengan suasana di tempat ini. Ada sesuatu yang belum terungkap. Dan tugas saya adalah, menemukannya.

“Apa yang paling kamu suka dari Luton?” lelaki itu mendesak saya.

Well…” saya menarik napas panjang, menghirup kesejukan kota Luton. “Sejauh ini, mungkin udaranya…” kata saya melanjutkan.

Pria itu tersenyum. “Udara!… Hahaha. I am sure, your country much more better than England.”

Kemudian dia berdiri. “Maaf sudah mengganggumu…” katanya sambil berlalu pergi.

Detik itu juga saya merasa tidak seharusnya saya bersikap acuh-tak-acuh pada orang asing atau memandang Luton sebelah mata. Apa yang terlihat di permukaan bukanlah sebuah kenyataan. Kebenarannya adalah, Luton memiliki keramahan-tamahan yang ditawarkan. Ada persaudaraan yang ingin dibangun. Tinggal bagaimana kita dapat menangkapnya. Luton membutuhkan canda tawa. Luton membutuhkan orang-orang yang saling menyapa. Namun siapa yang bisa memulai kalau bukan diri sendiri?

Read more

“Endonesya? MasyaAllah…… You come from Endonesya? Come! Come!” cerocos seorang wanita dengan kerudung berwarna biru yang menutupi kepalanya.

Dia lalu masuk ke dalam toko kainnya, memanggil kawan-kawan wanita-nya yang lain, yang juga berkerudung warna-warni. Mereka berbicara sebentar dalam bahasa Pakistan, lalu wanita-wanita itu menatap saya. “Endonesya? Endonesya? MasyaAllah… MasyaAllah…” kata mereka berulang-ulang. Mereka lalu memegang kepala saya. Merangkul saya. Memeluk saya, seolah sudah lama tak berjumpa.

Wanita-wanita itu terus-terusan mengerubuti saya dan tak henti-hentinya menyebut kebesaran nama Tuhan di hadapan saya. Mereka memperlakukan saya seperti baru saja menemukan anaknya yang hilang di medan perang. Saya merasa senang sekaligus pengap berada di tengah-tengah tumpukan kain dan ditambah kumpulan wanita yang berdiri mengelilingi saya.

Saya menoleh ke arah Safina, teman saya. Dia yang mengajak saya ke toko ini. Katanya, dia hendak membeli beberapa potong kain. Safina hanya tersenyum memandang wajah saya yang kebingungan.

“Many of these come from Endonesya,” kata seorang wanita paruh baya menjawab kebingungan saya. “This is from Endonesya. This is from Endonesya. This is from Endonesya.” Wanita itu menunjukkan pada saya satu per satu gulungan kain dagangannya. Ada yang berwarna merah renda-renda, ada yang berwarna kuning kerlap-kerlip, ada yang berwarna hitam polos, ada yang berwarna putih polos.

Saya hanya bisa memandangi kain-kain itu tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Bertepuk tangan? Berbalik merangkul mereka? Nyatanya saya hanya mengusap keringat yang mengucur di dahi sambil mengipas-ngipaskan wajah dengan jari-jari tangan. Siapa sangka, di Luton, yang jauhnya ribuan kilometer dari negara kepulauan Indonesia, kita bisa menemukan kain-kain asli tanah air?

“You don’t believe me? This is from Endonesya… Tanah Abang! Yes, Tanah Abang! This is from Tanah Abang. We have lots from Tanah Abang!”

Oh, God! Rasanya mau pingsan. Wanita-wanita ini menyebutkan Tanah Abang dengan fasihnya. Saya langsung membayangkan pasar Tanah Abang di tengah kota Jakarta yang penuh sesak dengan lautan manusia, jorok, becek, bau, dengan kemacetan bajay-ojek-angkot yang tidak keruan. Dengan Satpol PP yang sering menendang plat nomor angkot, dengan abang-abang yang menjual tas kresek atau tas kertas bermerek, dengan ibu-ibu yang memborong tas-tas KW. Semua gambar itu berputar-putar di kepala saya.

“Endonesya has very good quality one,” cerocos wanita itu lagi. “I have been to Jakarta. I have been to Tanah Abang.”

Saya meringis kepada mereka. Mereka terus-terus-an merangkul dan memeluk saya. Mereka kemudian menawari saya kain-kain Tanah Abang itu. “I will give you more discount!” Dengan mantap saya menggeleng. Ini adalah hari terakhir saya di Inggris, namun apa kata dunia, jauh-jauh ke England membawa oleh-oleh dari Tanah Abang??

Walaupun saya menolak tawaran potongan harga mereka, mereka tetap memperlakukan saya seperti saudara. Mengajak saya berputar-putar toko untuk melihat kain-kain dan pakaian jadi. “Do you like it? Do you want it?” Terus-terusan saya menggeleng sambil tersenyum. Wanita-wanita tadi akhirnya menyerah untuk menawari saya ini dan itu.

Keesokan harinya, Safina memberikan tas kertas kepada saya. Isinya beberapa potong kain dengan corak macan tutul dan beberapa potong kain berwarna biru.

“Now you can make very good salwar kameez. One for you, one for your mother.” kata Safina.

“Did you get it from the shop?”

“Yes! They gave me very good discount,” kata Safina girang mengingatkan saya pada wanita-wanita di pasar Burry Park tempo hari. “I told them that I wanna buy some for you, so they gave me very good discount. They gave me the best quality for your salwar kameez.”

Rasanya saya ingin melayang. Kembali ke toko kain itu. Merangkul mereka. Memeluk dan mencium mereka. Safina memeluk saya, “Have a safe flight back to Indonesia.” Terimakasih, Safina! Mengenang Luton dan Burry Park, adalah mengenang toko kain Tanah Abang.

Read more

Pagi-pagi benar saya sudah dibangunkan warga. “Ayo teh, ikut ziarah leluhur.”
Angin dingin berhembus dari sela-sela jendela. Dingin yang membekukan tulang gemulang hingga ulu hati. Saya merapatkan selimut, bergulung sesaat di atas matras tipis yang saya bawa dari Jakarta. Jari tangan dan kaki seperti kaku-kaku. Dari balik bilik kamar bambu ini saya mendengar hujan rintik-tintik jatuh membasahi tanah. Tes… tes… suaranya mendamaikan jiwa.
Perlu waktu beberapa saat sebelum saya betul-betul membuka mata dan melemaskan pergelangan kaki dan tangan. “Jauh nggak?” tanya saya.
“Ada dua tempat, yang jauh dan dekat. Boleh pilih yang mana.”
Sambil menguap saya menjawab, “Ah, saya yang dekat saja!” Bukankah jauh atau dekat keduanya akan berakhir pada satu destinasi yang sama, satu akhir yang sama. Sebuah makam. Saya lalu bangun, membuka jendela…  Selamat pagi Sindangbarang!
Namun saya lupa menanyakan satu hal. Bukan soal jarak atau waktu yang akan saya lewati! Bukan, bukan itu! Yang saya lupa tanyakan adalah soal medan yang akan saya tempuh. Bagaimana medannya?
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan jalan setapak. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas. Glek, saya menelan ludah dan mengeringkan keringat di pelipis mata. Selamat datang Gunung Salak!
*
 
Sudah hampir dua jam saya mendaki. Rasanya ingin menangis. Dimana akhir yang dinanti? Sementara kaus semakin basah berkat hujan yang semakin deras dan peluh yang menjadi satu.
Saya menoleh ke belakang. Warga tersenyum. Mereka tahu penderitaan saya. Mereka tahu mungkin saja saya tak sanggup berjalan lagi dan mencapai akhir yang dinanti. Tapi warga setia menemani. Dari pancaran matanya, mereka percaya kami akan sampai bersama-sama.
“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau medannya curam begini?” keluh saya. Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan tak mungkin berarti berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
“Kalau dikasih tau, nanti teteh malah nggak sampai sini.” Jawab warga sambil terkekeh.
Tubuh saya semakin kesakitan. Beberapa kali saya terpeleset. Kaus putih saya pun sudah berubah warna menjadi kecoklatan, serupa dengan lumpur yang membalut luka dan lecet di tangan dan kaki.
Setelah jalan, terpeleset, jatuh, bangkit, jalan lagi, terpleset lagi, berpegangan pada akar dan rerumputan, akhirnya saya sampai pada sebuah akhir. Makam leluhur!
Bersama warga, saya bersujud. Di hadapan saya terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon jati yang tinggi menjulang ke angkasa. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang berada.
Doa-doa dilagukan. Alam sungguh agung, Tuhan maha besar. Di hadapan alam ini, saya melihat keindahan maharencana. Keindahan tak terbandingkan. Hujan dan kabut turun memberi kesan mistis, seolah leluhur sungguh hadir. Menyapa setiap anak dan cucunya yang berjuang mendaki gunung demi menemuinya.
Saya langsung menyesali keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, mengapa seringkali kita manusia tak mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar sebuah makna kehidupan. Kehidupan adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada sebuah akhir (DPN, 2013).
Read more

“Hi darling, what’s your name?” tanya saya pada bocah laki-laki berusia sekitar 5 tahun itu. Bukannya menjawab, dia malah asik melipat-lipat kertas. Sekali lagi saya bertanya padanya, “Hi darling, what’s your name?” Bocah itu tetap tidak menjawab.

Saya lalu menghampirinya dan menyentuh bahunya, “Hi darling, do you hear me? What’s your name?” Dia melihat saya sekilas, lalu kembali menunduk, sibuk dengan kertas lipatnya yang berwarna-warni.

Dalam hati saya mengumpat, sial nih anak…. kagak bisa denger apa yak?

Tarik napas, pasang senyum lebar, menyentuh bahunya lagi, berusaha sabar… berusaha sabar… lalu bertanya, “Hi darling, do you hear me?” Dan dia tetap tidak menjawab. Saya mengumpat sekali lagi, bener-bener deh ni bocah!!! Kagak punya kuping kali yaaa!!!

Tidak lama kemudian seorang wanita datang mendekat. Wanita berambut keriting yang mengenakan dress warna hitam itu lalu berbicara pada si bocah dalam bahasa yang tidak saya pahami. Si bocah mengangguk-angguk, lalu wanita itu menatap saya sambil berkata, “Sorry, he doesn’t speak English.” Saya melotot. Wh@t thE f#$%^&@! Saya mengumpat dalam hati.

“His name is Anton. He speaks russkiy.” Wanita itu memberitahu saya sebuah informasi paling penting abad ini. “I leave him here, I’ll be around here and I’ll be back soon.” katanya, lalu berlalu pergi. Bagoosss!

Kids Zone at BSF

Ini adalah hari kedua saya bertugas sebagai volunteer di arena Kids Zone dalam acara Bali Spirit Festival. Bali Spirit Festival sendiri merupakan festival perayaan yoga-dance-music yang diadakan sejak tanggal 20-24 Maret 2013 di Ubud, Bali. Acara ini dihadiri oleh sekitar 1500 orang setiap harinya yang mayoritas adalah orang berkewarganegaraan asing.

Ada 2 venue acara, lokasi pertama merupakan tempat pameran, workshop, dan yoga class yang terletak di Purnati Center for The Arts, Batuan, dan lokasi kedua untuk music concert terletak di Arma Museum and Resort. Walaupun di kedua lokasi itu ada Kids Zone, namun saya dan teman saya, Novi, bertugas di lokasi kedua.

Tugas kami sebenarnya sederhana, yakni bertanggung jawab pada arena Kids Zone. Dalam artian, kami harus bertanggung jawab akan keamanan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan anak-anak yang berada di arena ini. Untuk itulah, sejak pagi hari kami sudah mempersiapkan berbagai permainan dan aktifitas untuk anak-anak, seperti mewarnai, melipat kertas, hingga face painting. Kami berharap anak-anak yang datang akan menikmati waktunya bersama kami.

Hari pertama, anak-anak yang datang tidak terlalu banyak. Usia mereka-pun sudah tergolong anak-anak besar, biasanya sekitar usia 8-10 tahun. Keadaan ini memudahkan saya dan Novi dalam mengatur mereka. Walaupun music concert pada hari pertama dihadiri ribuan manusia, namun singkat cerita, hari pertama arena Kids Zone berlangsur lancar dan aman.

Keadaan aman-tentram pada hari pertama sungguh berbeda ketika hari kedua datang. Pada hari kedua, yakni tanggal 22 Maret 2013, Kids Zone didatangi lebih dari 10 orang anak dengan variasi usia 3 hingga 10 tahun. Jumlah ini belum termasuk dengan anak-anak yang datang-dan-pergi tanpa permisi (Kids Zone mempersilakan anak-anak yang datang bersama orang tua untuk sign in, mereka diharuskan membayar tiket masuk, dan biasanya para orang tua sengaja menitipi anaknya untuk diasuh sementara oleh panitia. Namun anak-anak yang tidak sign-in bebas keluar-masuk arena Kids Zone, dan panita tidak bertanggung jawab pada keamanan mereka).

F*cking great karena di arena Kids Zone ini, hanya ada 2 orang yang bertugas, yakni saya dan Novi. Music Concert pada Bali Spirit Festival selalu dihadiri ribuan manusia setiap malamnya, sehingga yang paling menakutkan bagi saya dan Novi  adalah bagaimana anak-anak ini bisa aman berada di Kids Zone. Kami tidak bisa bayangkan bagaimana kalau suatu waktu anak ini hilang diantara ribuan manusia, OH BIG NO NO!

Dan hebatnya hari ini, selain hanya ada saya dan Novi yang bertugas dengan lebih dari 10 orang anak yang sign-in, kami memiliki Anton, si bocah Rusia tidak bisa bahasa Inggris itu! Sungguh sesuatu!

Sejak pukul 6 sore, saya dan Novi berusaha keras membuat anak-anak ini betah di arena. Kami mengajari mereka menggambar, do some face paintings, melipat kertas, dll. Dua jam kemudian, anak-anak mulai tidak bisa diam. Anak-anak besar pillow fighting, anak-anak kecil mulai mencari ibu mereka… saya dan Novi sungguh-sungguh kewalahan. Novi memaksa saya berpikir, “Ayo kita main games….. Ayo Dent, main apa?” tanya Novi setengah menjerit menghadapi tingkah laku anak-anak ini.

Patah semangat, saya berkata pada anak-anak, “Let’s play an Indonesian: DOMIKADO!” Dalam hati saya tertawa ngakak, bisa-bisa-nya saya kepikiran permainan ini. Hahaha. Dan ajaib, permainan ini bisa membuat anak-anak ini menjadi tenang untuk sesaat, horeee! :p

Anton, “Mama… Mama…”

Dari antara kami yang senang dan menikmati permainan DOMIKADO, mungkin Anton satu-satu-nya anak yang tidak bisa mengerti permainan ini. Daritadi dia coba bicara, namun kami tak mengerti. Daritadi saya coba bicara padanya, dia pun tidak mengerti.

Lalu tiba-tiba, Anton berlari keluar ruangan. Saya mengejarnya. Novi memberitahu saya agar membawa Anton masuk kembali ke dalam ruangan. “I tried! I tried!” kata saya dalam hati. Tapi berbicara pada Anton tidak semudah itu. Satu-satu-nya hal yang bisa saya lakukan adalah membiarkannya pergi dengan tetap mengawasinya dari belakang.

Anton menyelinap di antara ribuan manusia, saya mencoba tetap berada di belakangnya. Saya tahu, Anton sedang mencari ibu-nya. “Mama… Mama…” hanya itu yang saya pahami dari kalimatnya.

Saya memeluk Anton sambil berkata, “Anton, I’ll call your mom,” lalu saya menggandengnya menuju arena Kids Zone. Begitu Anton sadar bahwa saya membawanya kembali ke arena, Anton lalu melepaskan genggaman tangan saya dan berlari. “Oh my God, Anton!” kata saya sambil mengejarnya.

Anton mencoba menemukan ibunya. Beberapa kali dia memeluk wanita dari belakang yang disangka ibunya, padahal ternyata bukan. “Anton, I don’t know where’s your mom. Let’s come back to the Kids Zone. We’ll wait your mom there,” saya coba memberikan penjelasan pada Anton. Namun Anton tak mengerti. Hingga kemudian saya melihat kedua mata Anton merah dan berkaca-kaca. Saya tahu, Anton ingin menangis dalam ketidakberdayaan kami menemukan ibunya.

Saya tatap mata Anton iba, lalu saya berkata, “Anton, please trust me! I’ll help you finding your mom, but please don’t cry.” Saya tahu, ketika saya mengatakan ini mata saya-pun mulai berkaca-kaca.

Saya sangat ingin menemukan Ibu-nya Anton, tapi bagaimana mungkin saya bisa menemukan wanita dengan dress hitam itu diantara ribuan manusia yang hadir dalam music concert ini. Dalam kesedihan ini, sekali lagi saya mencoba bicara pada Anton si bocah Rusia, “Anton, I’ll help you finding your mom… but please don’t cry.”

Anton mengangguk, lalu berkata, “Okay,” dengan tatapan mata yang sedih dan tak berdaya. Sebuah kata yang membuat saya terkejut. He understands what I said!

Anton lalu menyerahkan dirinya untuk saya gendong. Saya memeluknya berusaha memberi kehangatan. Tidak lama kemudian, dari balik punggung Anton saya melihat seorang wanita berlari ke arah kami. Wanita berambut keriting dengan dress hitam itu. Dia bertanya pada saya, “What happened?”

“Anton tried to find you, but we don’t know where you are,” jawab saya sedih.

Wanita itu lalu memeluk Anton dan berbicara dalam bahasa yang tak saya pahami. Sempat saya merasa kehilangan karena tak mengerti bahasa mereka. Saat saya mulai bergerak meninggalkan ibu-anak ini, saya mendengar Anton berkata, “Thank you.”

Saya kembali ke arena Kids Zone. Sesaat kemudian, saya sudah merindukan Anton… hingga hari ini.

Untuk melihat beberapa foto kegiatan Bali Spirit Festival:

NAHKO Bear and Medicine for the People

Rupa and the April Fishes

Read more

 

Apa sih menariknya melihat monyet di tengah hutan?

Pikiran itu melintas dalam benak saya ketika Novi, mengajak mengunjungi Monkey Forest pada hari terakhir kami di Ubud (Senin, 25/3). Pengalaman menelusuri hutan menuju ke sebuah pura dan pemakaman tua dengan jalur setapak yang di kiri-kanan-nya terdapat banyak monyet sudah pernah saya alami beberapa tahun lalu. Karena sudah pernah mengalami, sebenarnya saya jadi kurang semangat untuk kembali ke sana.

Namun Novi terus membujuk saya. Novi adalah salah seorang teman saya yang bekerja part-time sebagai baby-sitter untuk dua orang anak dari Brooklyn New York bernama Leo dan Caleb. Leo berusia 7 tahun, sedangkan Caleb berusia 5 tahun.

Kebetulan mereka berserta kedua orang tuanya sedang berlibur di Bali. Waktu liburan yang bersamaan dengan keberadaan kami di Ubud membuat mereka mengatur pertemuan dengan kami. Monkey Forest menjadi tempat pertemuan itu. Setelah menimbang-nimbang, walaupun pernah ke sebuah tempat yang sama, bukankah pengalaman dan cerita bisa jadi berbeda? Maka akhirnya saya setuju untuk bertemu dengan Leo dan Caleb di Monkey Forest.

Pukul 09.45 kami sudah sampai di lokasi. 15 menit lebih awal dari jadwal pertemuan yang sudah disepakati. Sambil menunggu kedatangan mereka, kami duduk di depan gerbang masuk Monkey Forest menikmati pemandangan hutan monyet yang masih segar dan sepi di pagi hari. Saya lalu bercerita pada Novi bahwa beberapa tahun yang lalu saya pernah ke sini bersama keluarga.

Novi bersama Leo, Caleb, dan Ziad

Salah seorang teman mengatakan bahwa monyet-monyet di tempat ini nakal. Mereka suka mengambil barang yang dibawa/dipakai turis yang datang. Kebetulan waktu itu ibu saya memakai kaca mata hitam. Ketika kunjungan sudah hampir usai, salah satu monyet berlari ke arah ibu saya, lalu dari arah belakang dia mengambil kaca-mata hitam yang dipakai ibu.

Ibu saya berteriak. Lalu petugas setempat pun memukul-mukulkan dahan pohon, menyuruh monyet tersebut mengembalikan kaca-mata milik ibu. Bukannya mengembalikan, monyet tersebut malah tertawa ngekek, memakai kaca-mata di kepalanya, lalu menghilang di balik hutan yang lebat. Sial. Sebuah pengalaman yang lucu namun menyebalkan bagi kami sekeluarga.

Digigit Monyet

Pukul 10 tepat, Leo dan Caleb datang bersama kedua orang tuanya, Caron dan Dave, serta sepupu mereka yang bernama Ziad, seorang paman yang bernama Dough, dan bibinya. Mereka adalah keluarga yang sangat baik dan ramah. Namun sayang hanya Leo, Caleb, Ziad, dan Daough, yang ikut masuk ke dalam monkey forest.

Sambil pamitan pergi, Dave berkata, “I had enough time with these two boys. Enough. Very enough, even too much. So, I leave them with Novi.” Tentu saja sebuah gurauan yang membuat saya tertawa.

Selama satu jam kami berjalan-jalan di Monkey Forest.

Belajar dari pengalaman, saya tidak ingin monyet itu mengambil barang-barang saya. Maka sudah sejak awal saya memasukkan semua benda-benda, seperti kaca-mata, tempat minum, kunci, dl,  dalam tas, lalu menyelempangkannya pada bahu saya.

Dalam perjalanan pulang, Leo dan Caleb bertengkar. Bukan pertengkarang serius. Ini hanya pertengkaran ala anak-anak, namun membuat saya berpikir, pantas saja Dave berkata: I had enough time with these two boys. LOL. Pertengkaran bocah-bocah ini pasti membuat orang tua mereka kewalahan. Hahaha.

Ketika sudah selesai berjalan-jalan, Dough membeli minuman mineral untuk Leo dan Caleb. Sambil menikmati air mineral, kami menunggu Dave datang menjemput. Saat Dave sudah datang dan anak-anak mulai masuk ke dalam mobil, saya melihat seekor monyet jalan perlahan ingin meraih air mineral milik Dough. Sejurus kemudian, saya mengulurkan tangan, mengambil botol minum tersebut. Saya ingin menyelamatkan botol minum itu karena saya tidak ingin Leo dan Caleb kehausan karena air minumnya dicuri monyet.

Monyet yang marah meloncat ke tangan saya, mencakar dan menggigitnya.

Novi yang melihat kejadian itu langsung memukul monyet dengan botol air mineral. Tindakannya membuat monyet itu terlepas dari tangan saya dan terjungkal ke belakang. Sukur! Novi, Dave, dan Dough panik melihat luka di tangan saya. Saya pastikan pada mereka kalau kondisi saya baik-baik saja karena lukanya tidak parah.

Ah, apa saya bilang!

Selalu ada cerita dalam setiap perjalanan. Digigit monyet bisa dibilang sebuah pengalaman sial untuk mengakhiri perjalanan di Ubud, Bali. Namun saya lebih suka memaknai-nya sebagai berkat dari tempat suci bernama:  Padangtegal Mandala Wisata Wanara Wana Sacred Monkey Forest Sanctuary.  Berkat dari monyet yang setia menjaga pura suci.

Read more

NAHKO Bear and Medicine for the People:
“We believe in the good things comin’, comin’, comin’….”
live performed at “Bali Spirit Festival”, Ubud, Bali, March 2013
Their lyric encourages faith in the face of discouragement:
“Don’t waste your hate/ rather gather and create/ be of service/ be a sensible person/ 
use your words and don’t be nervous/ you can do this/ you’ve got purpose/ 
find your medicine and use it.

Read more

Hore, Majalah TOS! sudah terbit 😉 *kudu tumpengan* :p

Setelah sempat mundur selama beberapa waktu, akhirnya majalah ini terbit juga. Senang! Bukan hanya karena (akhirnya) majalah ini terbit, tapi lebih karena mendapat feedback dari pembaca yang menyambut positif dan antusias majalah ini. Bahkan beberapa pembaca sudah ada yang mulai menawarkan diri menjadi koresponden, membuat optimis untuk berjalan pada langkah seanjutnya. *peluk satu-satu 😉

Jadi ceritanya… Majalah TOS! adalah project pertama Jurnal-Piawai. Jurnal-Piawai sendiri merupakan kolaborasi antara saya dan Rembrandt, seorang teman yang bisa dibilang masih satu keluarga (walau keluarga jauh, hehehe).

Suatu hari kami sms-an pengen membuat sebuah project yang bisa dikerjakan berdua. Pikir sana pikir sini, akhirnya project membuat majalah terasa paling pas untuk dikerjakan berdua. Pertama, karena saya hobi nulis dan fotografi. Kedua, karena Rembrandt hobi gambar. Dua modal yang sudah ada pada diri kami ini menjadi kekuatan awal membangun Jurnal-Piawai.

Awalnya saya ingin mengangkat topik-topik sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Seperti diskriminasi pada remaja jalanan, kehidupan transgender, dll. Sempat bertemu dengan beberapa kawan, lalu kami bertemu satu-dua kali untuk braindstorm ide, mulai mendekati narasumber, dan akhirnya… progres majalah ini terasa lambat. 🙁

Sebenarnya sayang juga karena waktu itu idenya adalah kami ingin hadir menjadi media alternatif menghadapi gempuran media yang sekarang ini terasa so mainstream. Beritanya itu-itu aja, nggak dalem, nggak sensitive issue. Belum lagi kalau ada satu topik dibahas kroyokan, satu narsum diwawancara ramean. Huh! Tapi ya balik lagi, ide dasar yang kuat belum berarti apa-apa kalau dalam pelaksanaannya kurang maksimal.

Karena progress majalah ini terasa lambat, satu-dua-kawan sudah mulai tidak terdengar lagi suaranya, akhirnya saya dan Rembrandt mulai berpikir ulang untuk membangun apa yang sudah kami cita-cita-kan ini. Kalau saya pikir-pikir ulang mengapa progress majalah ini terasa lambat, bisa jadi karena menulis tema-tema sosial membutuhkan kekuatan analisis yang tinggi (yang sayangnya tidak semua orang bisa, kuat, dan berani!), waktu pengerjaan yang lumayan lama, dan pendalaman narasumber yang juga nggak bisa main-main.

Lalu, saya mengatur jadwal pertemuan lagi dengan Rembrandt. Mulai dari awal lagi. Braindstorm ide lagi. Berpikir lagi. Saya sempat patah semangat, tapi syukurlah saya memiliki partner yang kuat. Partner yang nggak pernah menyerah untuk terus mencoba. Kami mulai menelaah hal-hal yang paling dekat dengan kami, hal-hal yang paling kami sukai, hal-hal yang menjadi kekuatan kami, yang bila dikerjakan akan membuat kami senang.

Lalu, tercetuslah ide membuat majalah kompilasi sastra dan ilustrasi. Dunia sastra sangat dekat dengan hidup saya, begitu pun dunia ilustrasi yang sangat dekat dengan hidup Rembrandt. Kami putuskan untuk memberi nama majalah ini sebagai Majalah TOS!

TOS, simply karena itu merupakan simbol keakraban, simbol kerja sama, simbol pertemuan… kami ingin dunia sastra dan dunia ilustrasi bisa bertemu, akrab, bekerja sama, untuk menghasilkan karya yang bisa dinikmati oleh pembaca.

Lalu mulailah kami menentukan tema, bergerilya menghubungi teman-teman yang suka menulis dan menggambar, mengkurasi karya-karya yang masuk, memikirkan ide tampilan artistiknya, dan lain-lain… project ini sempat terhenti karena saya harus KKN, harus ke luar kota, dan banyak hal lainnya… proses kreatif majalah ini melalui chat di ym, email-email-an naskah, sms-an, dan kemudian pada suatu waktu, dreng deng deng deng… majalah ini selesai dikerjakan! 🙂

Untuk sementara, majalah ini kami buat dalam bentuk digital untuk menekan biaya produksi. Suatu hari pastinya kami ingin mencetak majalah ini… tapi fokus kami sekarang adalah bagaimana membuat majalah ini bisa berjalan terus untuk ke depannya. (Good newsnya adalah: tadi sudah bertemu seorang kawan dan dia mau bergabung untuk menjadi tim redaksi majalah TOS! horeee!! Senang bukan kepalang! Kami akan mencoba menghubungi beberapa kawan lainnya yang satu jiwa untuk bekerja sama dalam tim ini).

Sambil mempersiapkan majalah TOS! edisi selanjutnya, Jurnal-Piawai juga memiliki project untuk menerbitkan sebuah buku sastra dengan topik feminisme.

Akhirnya saya bisa menyimpulkan, bahwa untuk menyuarakan topik-topik sosial tidak melulu harus melalui investigasi mendalam bak jurnalis papan atas… dengan membuat karya-karya yang kita suka, seperti karya sastra dan ilustrasi toh kita tetap bisa menyuarakan keresahan kita pada kondisi yang terjadi di sekeliling. Betul tidak?

Ingin mengunduh majalah TOS??
Silakan klik link berikut: Majalah TOS!

Saya tunggu feedback-nya ya! 🙂

Best, Denty.

Read more