Author's Posts

It was my first time comin to Jakarta CFD. I thought its gonna be no-car-at-all, but it’s Jakarta man! People need to go somewhere even in sunday morning. So sometimes JCFD people need to stop in the crossroad allowing cars to pass the street.
It’s not bad to be here. As we know, run and walk is the cheapest healthy activity to be done, but since its difficult to find an open space in Jakarta, so JCFD is one of good ideas to provide Jakarta people’s need. 
While my mom and dad did their jogging activity, I grabbed my cam and did my photo shooting. 
Here the results are:
 

GUARDIAN

 
BUILDINGS
A KID
TWO WOMEN

CYCLING
DAD
CROSS ROAD

Read more

Sudah beberapa hari belakangan dusun Randusari, di kaki gunung Merapi, diguyur hujan deras. Hujan deras ini tentu meresahkan masyarakat. Trauma akan banjir lahar dingin akibat erupsi Merapi masih berbekas di ingatan. Hujan seperti ini, selain membuat volume air sungai bertambah, juga akan membuat aktifitas masyarakat di luar rumah menjadi terhalang.

Namun cuaca yang kurang bersahabat itu tidak menyurutkan niat 8 orang mahasiswa/i dari Universitas Sanata Dharma untuk melaksanakan agenda kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Selama 27 hari tinggal di dusun Randusari, sejak tanggal 4 hingga 31 Januari 2013, mahasiswa/i KKN USD angkatan XLV Kelompok 40 memiliki berbagai agenda kemasyarakatan, khususnya agenda di sektor perikanan.

Beberapa hari menjelang usainya tugas KKN, kami memiliki sebuah agenda yang cukup berbeda. Agenda ini melibatkan kerjasama dan kreatifitas anak-anak. Tentu saja, seluruh mahasiswa KKN berharap kondisi cuaca yang buruk tidak mematahkan semangat anak-anak untuk tetap berkarya. Agenda itu adalah “Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari”.

Jathilan, atau yang juga dikenal dengan nama Jaran Kepang, merupakan tarian yang mempertontonkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda. Dalam pertunjukan ini para penari menggunakan anyaman bambu sebagai jaran (kuda)-nya. “Pagelaran Jathilan Turonggo Muda Randusari” menjadi berbeda karena tarian ini dibawakan oleh anak-anak yang mayoritas masih duduk di bangku Sekolah Dasar.  Acara diadakan pada hari Sabtu, 27 Januari 2013, di halaman rumah Bu Tunik, orang tua salah seorang penari Jathilan.
Seperti biasa, langit pagi itu diliputi awan mendung. Anak-anak tidak peduli. Satu per-satu dari mereka datang ke Pondokan mahasiswa di Rumah Bapak Suharyono, Kepala Dukuh Randusari. Sambil berteriak, mereka memanggil nama anggota KKN. Kata mereka, “Ayo Mas, Mbak, kita jadi jathilan nggak?”
“Jadi dong,…” jawab Awang, KORMADUS (Koordinator Mahasiswa Dusun). “Jam 2 ya!” lanjutnya lagi. Anak-anak langsung terlihat antusias.
Setelah melaksanakan program pembuatan kolam ikan pada pagi harinya, anggota KKN lalu mulai membagi tugas untuk mempersiapkan Jathilan. Helen dan We menempelkan poster acara, Sesi dan Astin membeli makanan ringan dan berbagai kebutuhan untuk ‘sajen’, sedangkan Awang, Putri, dan penulis mempersiapkan berbagai kebutuhan di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Sayang, hari itu Rini, salah satu anggota KKN, sedang sakit sehingga tidak bisa ikut serta.
Sekitar pukul 11 siang, seluruh anggota KKN bersama anak-anak mulai mempersiapkan tempat Jathilan. Kami membabat pohon bambu, memotong-motongnya menjadi beberapa bagian, lalu mengikatnya di sekitar halaman rumah dengan menggunakan tali rafia. Di area inilah anak-anak akan mementaskan Jathilan-nya. Tak lupa kami memasang ‘sajen’ di beberapa sudut halaman pementasan. Sambil berdoa, kami berharap pementasan dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada anak-anak yang terluka.
Mendekati pukul 2 siang, persiapan area sudah hampir selesai. Sebagian anak kemudian meletakan anyaman bambu yang disebut Jaran Kepang di tengah area. Persiapan dilanjutkan dengan mengenakan kostum berupa celana hitam sebatas lutut, kain batik sebagai bawahan, gelang tangan dan kaki, selendang pinggang (sampur), dan kain ikat kepala (udheng). Anak-anak ini membagi karakter menjadi prajurit, dan sebagian lainnya menjadi tokoh Gondoruwo (setan) atau Barongan (singa). Khusus untuk dua tokoh terakhir, mereka menggunakan topeng sebagi tambahan kostumnya.
Sebelum pukul 2 siang, para penonton yang terdiri dari anak-anak dan dewasa mulai berdatangan untuk melihat Jathilan. Hujan ringan yang turun membasahi tanah tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan pertunjukan. Tepat pukul 2 siang, anak-anak memulai aksi. Anak-anak yang berjumlah sekitar 10 orang ini menari secara terus-menerus sambil berputar-putar hingga satu-per-satu dari mereka mulai mengalami trance atau semacam kesurupan. Para penari pun mulai mementaskan adegan-adegan yang kelihatan tidak masuk akal seperti mengupas buah kelapa dengan gigi. Karena ini adalah Jathilan Anak, tentu saja adegan-adegan tadi sudah direncanakan sebelumnya sehingga tidak berbahaya untuk dipentaskan.
Para penonton terhibur melihat tarian-tarian dan adegan-adegan selama pementasan. Sesekali mereka tertawa atau memberi tepuk tangan. Pukul 4 sore, pertunjukan selesai. Terlihat aura kepuasan dari wajah penonton dan penari yang baru saja pentas. Kerjakeras para penari terbayar lunas dengan suksesnya pertunjukan.
Anak-anak ini memang udah sejak lama berlatih tari Jathilan. Mereka berlatih dengan cara menonton CD pertunjukan dari kelompok-kelompok Jathilan yang sudah lebih dulu eksis. Mereka berlatih tanpa guru/pelatih khusus. Bahkan, anak-anak ini sendiri yang mengusulkan untuk membuat pagelaran Jathilan di dusun Randusari sebagai salah satu agenda KKN. Bu Tunik, ibu dari salah seorang penari, mengatakan, “Sebagi orang tua, saya sangat bangga pada semangat anak-anak…”
Bu Tunik lalu bercerita, kadang kala anak-anak ini mendapat job untuk pentas. “Uang hasil pementasan (yang tak seberapa), dipakai untuk membeli jarik (kain batik) atau alat-alat kebutuhan pentas lainnya.” Sebuah  usaha dan kerjakeras dari anak-anak yang perlu diapresiasi. “Sayang, perhatian dari orang dewasa dalam segi fasilitas untuk anak-anak masih terasa kurang,” lanjutnya menyampaikan keprihatinan.

 

Seperti yang kita tahu, Jathilan merupakan tarian yang berusia paling tua di pulau Jawa. Anak-anak Randusari memiliki potensi besar dalam upaya mempertahankan kelestarian budaya Bangsa. Usaha anak-anak untuk mepertunjukan seni tradisi tidak hanya berkesan bagi para penonton, namun juga meninggalkan jejak kebanggaan di hati mahasiswa KKN. Semangat anak-anak ini mengajarkan kita untuk terus menghidupi peninggalan leluhur, tidak peduli dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki. Sebuah semangat luhur dari anak-anak Randusari, di kaki Gunung Merapi, yang patut ditiru bagi siapa saja yang menyaksikannya.
Penulis:
Denty Piawai Nastitie
Mahasiswi Universitas Sanata Dharma, program pendidikan Sastra Inggris
Phone: 08176303009 | Email: denty_nastitie@yahoo.com
Read more

Sendang Gile Water Fall

Still remember 3 things that I really wanted to do in Lombok?

The first one is climbing Mount Rinjani, the second one is coming to see Sendang Gile water falls, and the third one is snorkeling in Gili Islands. Yesterday I already post about my experience snorkeling in Gili Air

Today, I wanna share my experience coming to see Sendang Gile and Tiu Kelep water fall. It is located in the foot of Mount Rinjani. Exactly located in Bayan, the north of Lombok. It takes 3 hours driving from Mataram, the capital city of Lombok. Although it takes a long journey to reach here, but we will be served with a beautiful panorama such as Malimbu Hill and the coast of Senggigi beach along the trip.

To reach Sendang Gile water falls takes 20 minutes walks down five hundreds stairs from Senaru Village. Senaru is the main access to climb Mount Rinjani national park. Sendang Gile is not the only one of the water falls located in this area. There are two other water falls, called Tiu Kelep and Betara Lejang. The journey to reach those water falls is longer and more challenging. Tiu Kelep for example, it takes another hours walk upriver great trail and steps from Sendang Gile. Betara Lejang is located farther. It takes a day walking through Mount Rinjani. Since I hadn’t made enough preparation to reach Betara Lejang,  I decided coming to see Sendang Gile and Tiu Kelep in this journey. Surely as usual, I keep Betara Leja for another time 😀

Both Sendang Gile and Tiu Kelep are great water falls.

Tiu Kelep Water Fall

Sendang Gile has a height about 40 meters. This water fall emerges from the cliff and falls directly into the river below it. The water that comes straight from Mount Rinjani makes Sendang Gile becomes so clean and fresh. I took a moment standing under Sendang Gile water fall. It hurts lil bit, but feeling fresh after all.

Satisfied enjoying Sendang Gile, I walked to the next water fall, which is Tiu Kelep. As I said before, the journey to reach here is about an hour from Sendang Gile. Walking above the path of volcanic rocks decorated with the exotic wood, acrossing the river, and enjoying the view of wilderness scenery makes this journey becomes really amazing. All of this greatness becomes perfect when I already reached Tiu Kelep water fall. 

Tiu Kelep water fall is more powerful than Sendang Gile. From a distance our clothes had become wet because the splashes. In Sasak language, Tiu interpreted as vortex. Unlike Sendang Gile which only had a shallow pond, in Tiu Kelep the visitors can swim in the pool directly above the water fall. With a depth about 1 meter, this pool become safe to swim. I love swimming here so much!! The greatness become complete with the color of rainbow arises because the water bias.

If normally Lombok, as well as Bali, well known with its beautiful beaches and attractive clubs and cafes, coming to see water falls become a picturesque experience! Love it so muchh!! 🙂

Read more

There were three things that I really wanted to do in Lombok. The first one was climbing Mount Rinjani, the second one was coming to see Sendang Gile water falls, and the third one was snorkeling in Gili Islands. Even, I made the near-perfect itinerary long before my departure to Lombok. I just wanted to make sure that there is no destination I skip.

I planned to enjoy Lombok with one of my friends. Unfortunately,  she canceled her trip. It made me felt upset at the first time. Then I saw my father became excited to go Lombok. He said, “Let’s do it!” Then here I was….. going to Lombok with my family. Dad, Mom, Brother, and I. Perfect!

From three destinations that I really wish to go, only two of them that already accomplished: coming to see Sendang Gile, and snorkeling in Gili Islands. No worry, surely I will keep the first one, climbing Mount Rinjani, for another time 😀

In this post, I talk about snorkeling around Gili Air. It was a tiny island near Lombok, located in a group of island consis of Gili Air, Gili Trawangan, and Gili Meno. All of those islands well known as Gili Islands. I have chosen Gili Air for snorkeling simply because Gili Air was more quite and nearest to Lombok. So it gonna be the best way to enjoy other side of Lombok, either it didnt take too many times reaching the island. 

I reached Gili Air through Bangsal port. There were two options to reach here, we can ride a charter boat (IDR 200,000 fixed price, one way ticket), or joint with a regular boat run by local people (of course the price will be much much cheaper than the other one!). In this time, I got special price: round trip ticket + snorkeling trainer and equipment rental for IDR 500,000. It took 30-45 minutes to get here.

Gili Air was a really “wow” island. The circumstance was only two and a half hours walk around by foot. The population was about a thousand people. It was a good place for those who really want to escape from the hustle-bustle daily life. Gili Air had some places to hang out, such as club and cafe, but the number was not as many as in Gili Trawangan. It also had some good restaurants and various range of accommodation.

There were various activities that we can do in Gili Air (besides chill out in bungalow of course :D). We can did swimming, snorkeling, or scuba diving. Since I didn’t have diving license, so snorkeling was the perfect option to do! 🙂

Gili Air had really wonderful sea garden. I saw many fish, sea turtle, and colorful seaweed. After all, I had a really great time and it was one of the best experience in my life.

 
Read more

Have you planned your weekend? Exploring Pindul Cave Tubing can be used as your reference!

The meaning of cavetubing it self is go along the river, which is flowing inside the cave, using rubber boat or winder tire as its instrument. So the most interesting thing is not go along the cave, but you will go along the underground river inside the cave. Of course, this cool outdoor activity will be fun yet challenging experience! 🙂

Pindul cave tubing is located in Dusun Gelaran I, Bejiharjo, Karangmojo, Gunung Kidul, DIY. It takes around 90 minutes driving from Yogyakarta. Pindul is one of 7 cave series in around. Although the underground river that flowing inside Pindul Cave Tubing looks quite and calm, but actually the depth reaches 12 meters. So everyone should use life vest since the begining of the adventure.

If you have feelings like, “Oh no! I never get into the cave before,” or “I don’t have any skill of exploring the cave,” all I can tell you is: don’t worry! You don’t need any specific practices or skills to explore Pindul Cave Tubing. All of you need is: be careful, don’t say any rude words, and just have fun! Pindul Cave Tubing provides local experts that will guide you along the river. They will aslo explain the natural phenomena that occurs in the cave. So you will get not only the adventure experience, but also a new knowledge of nature. Great! 😀

Other than driving or riding your motorbike, you can reach Pindul Cave Tubing by bus Yogyakarta-Wonosari. I suggest you to contact the ticket box before the day, so they can pick you up when you’ve arrived at Wonosari square. It will be easier than looking the place by your self.

To explore Pindul Cave Tubing, you only need to spend Rp 25.000,00/adult. It opens Monday- Sunday (at 08 a.m. – 16 p.m.). Wirawisataas the organization that in charge in this pleasure thing also offers various different outdoor activities, such as rafting, cave tubing extreme experience, and hiking. I have experienced cave tubing and rafting, both are really fun!🙂 I swam a lots (using my life vest of course!).


The most lovely thing is there were water falls in the river when we di rafting! Love it so much!! Below are the pictures of exploring Pindul Cave Tubing, enjoy and have a great weekend! 🙂

Ps: If you interested to come, don’t forget to bring your extra clothes because you’ll get wet.
Morning is the best time to come. Crowded during the day, especially in weekend and holiday.

Read more

Ternyata Eyang Kung-Kung-ku pernah belajar foto. “Kapan, yang?” tanyaku enggak percaya sehabis sungkeman di hari lebaran kemarin.

“Ya jaman dulu. Pas Eyang masih jadi pegawai negri. Walau tidak berprestasi, gini-gini eyang pengalamannya banyak lohh..” jawabnya sambil nyengir sehingga gigi ompongnya kelihatan.

Iya dehh.. percaya!! Tapi kok yo aku sampe gak ngerti gitu loh!!

Menurut eyang, jaman susah dulu, dikantornya ada satu kamera. Apa mereknya, eyang kung-kung lupa. Eyang punya teman yang bisa motret, nah temennya eyang ini yang pertama kali mengenalkan dan mengajari eyang cara memotret.

“Kalo motret benda diam, mudah! Kalo bergerak, seperti kuda yang lewat, itu baru susah!”

Beberapa kali, eyang kung-kung pernah mengundang temannya main ke rumah. Undangan ini bersifat permohonan tolong untuk mendokumentasikan keluarga eyang. Lucunya, yang didokumentasikan bukan hanya keluarga kecil (istri dan anak-anak), tapi juga keluarga besar (tetangga sekampung!)

Sambil membuka-buka album foto hitam-putih miliknya, eyang menjelaskan siapa saja yang ada di gambar. Eyang kungkungku ternyata ganteng loh:D dan eyang utiku, ternyata cantik juga:D mereka pasangan serasi dehh..

Lucunya, pas bagian foto sekampung, kita bisa lihat perbedaan status alias pengkastaan dari alas kaki. Dari pakaian juga sih, tpai dari alas kaki yang paling kelihatan. Mereka yang termasuk orang berada mengenakan sepatu, yang lainnya cekeran. Eyangku termasuk manusia-manusia bersepatu. Hahhaha. Di kampung, Eyangku merupakan satu-satunya orang yang menjadi pegawai negri. Hebat euy..

“Kalau teman eyang datang untuk memotret, orang-orang pasti berdatangan ke rumah. Mereka berpakaian rapih, lalu berdiri berjejeran minta difoto.”

Dari pakaian, kita juga bisa lihat status seseorang. Makanya eyang utiku dn teman-teman perempuanya memilih pake kebaya. Alasannya sih biar kelihatan luwes dn njawani. Dalam kesehariannya, eyang uti tidak selalu berkebaya. Biasanya berpakaian baju terusan dengan lengan dan rok menggelembung. Hanya saat berpergian dan acara khusus saja eyang memakai kebaya. Kesimpulannya, kebaya adalah pakaian paling ‘pantas’ atau sopan untuk perempuan saat itu. Makanya, di hampir semua fotonya, eyang terlihat berkebaya.

Kata eyang uti, sebelum foto, eyang selalu mancak (berdandan!) juga. Bahkan enggak lupa pake parfum. Hhahahaa. Padahal, mana kecium pake parfum apa enggak?!! Namanya juga wong ndeso..he he.

Dengan berdandan dan berpakaian pantas, eyangku sedang membuat sebuah image (pencitraan diri). Semua fotonya terlihat ‘niat’. Anak-anak eyangku, yang berjumlah 6 orang (mamaku, bude, pakde, tante, dan om) semuanya memakai baju seragam -hasil jahitan eyang utiku sendiri- eyang kung-kung pake baju dinas pegawai negrinya dan sepatu hitam, dan eyang utiku tentu saja pake kebaya dengan rambut disanggul dan sampir (selendang kecil) menghiasi bahunya. Kalau diamati, tempat fotonya padahal enggak spesial-spesial amat loh. Hanya di depan pintu, di dekat sumur, di halaman rumah, di teras, atau di lapangan kampung. Tapi kelihatan banget kalau mereka ‘berniat’ foto.

Niatnya memang mendokumentasikan -merekam peristiwa-. Tapi dibalik itu sebetulnya ada niat lain, yaitu untuk menciptakan sebuah image, sebuah profile, akan keberadaan keluarga ini (keluarga yang dipimpin oleh seorang pegawai negri dengan isteri njawani dan anak-anak penurut dengan pakaian kompaknya itu).

Read more

Dadang, vokalis Dialog Dini hari, memberi kesempatan penonton untuk ikut bernyanyi

Perkenalan saya dengan Dialog Dini Hari sudah sekitar 2 tahun lalu. Dalam sebuah pertunjukan di Jakarta, saya melihat tiga orang musisi naik ke atas pentas: seorang vokalis sekaligus gitaris dengan rambut gimbal berwajah lumayan ‘matang’, seorang basis yang (ehemm) tampan, dan seorang drummer gondrong yang sekilas nampak garang. Sempat berpikir bahwa ini adalah band rock. Lalu, begitu sang vokalis memulai pertunjukan dengan petikan gitarnya ditimpali suaranya yang serak dan rendah, semua perkiraan tadi langsung luruh.

Dialog Dini Hari bukan band beraliran musik keras grewo-grewo. Musik-musiknya sangat nge-soul dengan nada-nada blues dan folk dipadu lirik-lirik yang puitis. Wajah mereka yang sangar sempat mengecoh saya. Setelah mendengarkan lagu-lagu mereka  yang kebanyakan bertema perjalanan, cinta, dan manusia, sejak saat itu, saya langsung jatuh hati pada Dialog Dini Hari. Saya berharap bisa kembali menyaksikan penampilan memukau Dadang SH Pranoti [fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][gitar & vocal], Bronzio Orah [bass], dan Deny Surya [drum]; lengkap dengan koor panjang penonton, persis seperti apa yang pernah saya alami sebelumnya.

Aksi Panggung Zio

Cita-cita saya untuk menyaksikan Dialog Dini Hari terwujud melalui sebuah konser musik bertajuk “Suara Tujuh Nada”. Acara ini merupakan sebuah tur musik 3 hari berturut-turut (6, 7, dan 8 Maret 2013), di tiga kota berbeda (Bandung, Yogyakarta, dan Bali), menampilkan tiga kelompok musik: Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari, dan White Shoes and The Couples Company. Senang sekali, Yogyakarta menjadi salah satu kota yang dituju konser ini. Di Yogyakarta, “Suara Tujuh Nada” diadakan di Teater Garasi, sebuah ruang alternatif yang biasa digunakan untuk pertunjukan teater kontemporer.

Sejak pukul setengah 7 penonton sudah memadati pintu masuk venue Teater Garasi. Acaranya sendiri dimulai pukul 8 malam dengan kelompok musik “Stars and Rabbit” sebagai pembuka pertunjukan ini. Penonton langsung bersemangat menyambut duo vokalis dan gitaris Elda Suryani dan Adi Widodo.

Saya sudah pernah menyaksikan Stars and Rabbit sebelumnya sehingga bisa menebak kemana arah penampilan mereka. Sesuai dugaan, mereka tampil dengan nada-nada yang enak didengar. Lagu-lagu mereka kebanyakan bernada folk yang easy-listening. Permainan gitar Adi ditambah suara Elda yang sangat unik membawakan lagu-lagu berbahasa Inggris membuat mereka tampil ‘berkelas’. Elda juga sangat pintar untuk berbicara dengan penonton, sehingga pertunjukan menjadi terasa akrab dan intim.

Kelompok musik kedua yang tampil adalah Dialog Dini Hari (tentu saja kelompok ini yang paling saya tunggu-tunggu!). Dadang, si vokalis ‘matang’, membuka penampilan Dialog Dini Hari secara solo dengan single terbarunya (maaf saya nggak tahu judulnya). Penonton masih merasa asing dengan lagu ini, namun karena permainan gitar Dadang yang diatas rata-rata, penonton pun larut dalam alunan musik Dialog Dini Hari.

Selanjutnya dua personil Dialog Dini Hari naik ke pentas, mereka adalah: Zio, si basis tampan :p, dan Denny Surya, si drummer gondrong. Mereka bertiga lalu membawakan lagu-lagu yang mayoritas diambil dari album pertama, seperti: seperti Rehab Sekejap, Satu Cinta, Renovasi Otak, Beranda Taman Hati, Pagi, dll. Koor panjang penonton mengiringi penampilan mereka.

Para penonton ini awalnya masih malu-malu untuk ikut menyanyi, setelah Dadang mengecilkan volume suaranya dan menyuruh penonton mengeluarkan suara dengan lebih keras, penonton pun menjadi percaya diri untuk ikut menyanyikan lagu-lagu Dialog Dini Hari. Dadang mengatakan, “Penonton Jogja ternyata seru yaaa…. tahu gitu dari tahun lalu kita pentas di sini.” Kata-kata Dadang disambut tepuk tangan penonton. “Sayang, sebelumnya nggak ada sponsor,” gurau Dadang yang membuat penonton tertawa.

Setelah membawakan sekitar 10 lagu pada konser “Swara Tujuh Nada”, Dialog Dini Hari harus menyudahi penampilannya. “Harus dibagi-bagi ya waktunya, supaya semua band bisa tampil,” kata Dadang seolah menjawab kekecewaan penonton yang masih ingin menikmati penampilan mereka. Oksigen pun menutup penampilan Dialog Dini Hari.

WSATCC

Kelompok musik yang ketiga dan tentu saja sebagai pamungkas adalah “White Shoes and The Couples Company”. Direktur Ruangrupa yang ikut serta dalam konser ini mengatakan, “WSATCC adalah kelompok musik yang berhasil mengkomersialisasikan style ala 60’s dan 70’s.” Kemudia dia memanggil WSATCC untuk naik ke atas panggung.

Ini pertama kalinya saya melihat WSATCC perform. Saya terkesima dengan bagaimana mereka beraksi yang sungguh di atas bayangan saya. Mereka tampil sangat energik, penuh percaya diri, dan terlihat betapa hebatnya mereka menguasai panggung. Sari, si vokalis dengan wardrobe ala 60’s beraksi membawa kita ke pertunjukan ala jaman baheula yang sangat meriah.

Yang menarik dari penampilan WSATCC pada pertunjukan ini adalah mereka membuat arrangement yang berbeda dari beberapa lagu yang ada.  Ketidakhadiran Mela, sang keyboardist, tidak melemahkan penampilan mereka. Justru mereka semakin kreatif dengan mengubah ulang arrangement lagu yang sudah ada. Selain itu, mereka juga membawakan lagu-lagu traditional seperti Lembe-lembe dan Te O Rendang. Sari, vokalis WSATCC mengatakan, “kita punya hak yang sama untuk menikmati lagu traditional.” Suatu tindakan yang perlu diapresiasi penikmat musik Indonesia.

Akhir kata, konser “Suara Tujuh Nada” di Teater Garasi tadi malam berhasil menyatukan musisi dan penonton dalam sebuah ruang yang menyatu dan menyenangkan. Mungkin saya tidak pernah merasa sesenang ini menyaksikan sebuah konser pertunjukan. Dalam release-nya mereka mengatakan bahwa tur musik ini penting untuk menyebarkan karya dan “membangun serta memperkuat fan base di setiap kota yang dikunjungi”. Terimakasih “Suara Tujuh Nada” (terutama terimakasih karena sudah menghadirkan Dialog Dini Hari :p) 😉

Bravo!

Penulis bersama Zio dan Dadang, personil Dialog Dini Hari

Klik  http://www.piawai-nastitie.com/2013/03/wsatcc-at-teater-garasi.html untuk melihat lebih banyak foto WSATCC

Klik http://www.piawai-nastitie.com/2013/03/dialog-dini-hari-at-teater-garasi.html untuk melihat lebih banyak foto Dialog Dini Hari[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

Adalah suatu ketika, seorang anak bernama Sandy Tattoo lahir ke dunia. Di sebut demikian karena di sekujur tubuhnya banyak tatto berupa bercak-bercak kehitaman bekas pemadaman sulut rokok. Di paha, di pipi, di dada-nya yang kelak akan bertumbuh bidang dan mungkin berbulu, bahkan di dekat penisnya pun ada. Tattoo, dia adalah musuh semua orang. Dibenci semua orang: teman-teman sekampung, tetangga, tukang bakso, tukang gado-gado, hingga ibu-nya sendiri menaruh amuk amurka padanya. Kalau bisa dia mati saja, saat ini.

Kebetulan ibu-nya seorang pelacur. Umurnya sudah hampir setengah abad. Tubuhnya sudah bergelambir dan kulit wajahnya sudah kempot dengan kerut. Teteknya-pun tak sesemok dulu.

Adalah suatu ketika, sang ibu terlanjur hamil. Entah lelaki mana yang menghamilinya. Terlalu banyak nama dan jabatan yang singgah. Semuanya bau keringat. Dia tidak peduli, yang penting dibayar. Beres. Dia terlanjur hamil. Dan dia membiarkan janin itu tumbuh. Bermanja-manja dalam rahim yang sudah puluhan bahkan mungkin belasan kali coba digerusnya. Ada makhluk mampu hidup di sana, adalah perkara lain. Rahimnya sudah seperti neraka, toh mampu pula menghidupi.

Sudah saatnya saya pensiun, begitu pikir si ibu. Maka melahirkan adalah pilihan bijak. Akan dibuat sang anak terlibat hutang-piutang dengannya. Lalu, pikir si ibu, sang anak harus membayar mahal tumpangan-nya selama di rahim dengan hidupnya. Tapi, tentu saja, dia tak akan membuat hidup anaknya mulus bak permadani. Toh kehidupan tak ada yang mulus. Sebuah masalah usai adalah pertanda datangnya masalah lain yang lebih berat.

Bermain-main dengan rokok yg dibakar di sekujur tubuh, juga botol Bir yang dipecahkan di kepala merupakan hal lumrah. Sejak si Tatto lahir, kekejaman dunia sudah dirasakan. Dia terlahir dengan bola mata dunia yang bercahaya, berkilat-kilatan.

Brengsek! Sang ibu mengumpat. Di hadapannya bukan anak manusia. Hewan-pun terasa lebih baik. Asal jangan malaikat. Asal jangan malaikat. Malaikat bejat.

Tatto tak pernah menangis. Tatto selalu berbelas kasih. Tatto adalah malaikat. Malaikat bejat bagi mereka yang hidup di dekatnya. Musuh semua orang, semua gegap gempita. Demit, juga dewa. Dia selalu tanpa hadir noda. Kata-kata mutiara yang keluar dari bibirnya yang merah adalah mutiara, pembawa derita. Selalu bernada duka. Selalu mengundang hujat.

Padahal umurnya baru 5 tahun, masih muda bukan?

Tanyakan pada Pak Min, tukang sate, siapa Tatto.

“Bocah edan! Kampret! Dia memuntahkan bumbu kacang. Tidak enak, katanya. Kampret! Kampret! Bumbu kacang rasa eek, katanya! Kampret! Sialan! Daganganku jadi tidak laku.”

Tanyakan pada Nurjanah, teman bermainnya. Siapa Tatto?

Nurjanah akan menangis. “Aku tak perawan… Aku tak perawan… Huaa… Huaa… Tatto memegang bokongku… Huaaaaaaaaaaaaaa…” Nurjanah menjerit dengan isak tangis yang menjadi-jadi.
Lalu ibunya Nurjanah, Bu Pang, akan mengambil sapu. Mencari Tatto dan menggebukinya setiap kali si Nur menangis.

Sekarang, tanyakan pada Atmo, preman pasar Kewer dekat pemukiman sumpek. Siapa Tatto?

“Bajingan! Asu Buntung! Kutu Kupret! Dia berteriak ketika saya nyopet dompet di ketek seorang ibu tua. Lalu saya digebukin!! Asu!! Asu!!”

Di ujung gang sana, ada seniman bernama Pajaitun. Kurus, krempeng, jarang bicara. Hanya melukis. Melukis. Membuat sampah lukisan di tembok ujung gang. Setiap hari tembok berganti rupa. Itulah seniman. Aneh. Tanyakan kepadanya, siapa Tattoo.

Dia akan membanting semua cat warna-nya. Lalu jongkok di pojok sambil memasang rupa sedu sedan. “Edan. Edan. Wong edan. Saya wong edan. Saya wong edan. Mencorat-coret tanpa makna. Wong edan. Wong edan.” Begitu dia mencerca dengan tatap derita.

Pasti ulah Tatto. Pasti karena komentar busuknya. Pasti karena sikapnya yang mandiri, sesuai kodrat malaikat bejat yang tak merasa memiliki cela. Tampil tanpa citra diri, apa adanya. Tanpa tending aling-aling. Toh dia bukan manusia opportunities, pencari keuntungan belaka. dia usung kodrat malaikat bejat tanpa cela setinggi-tingginya. Maka, jadinya, dia dia menjadi musuh bersama.
Ahh… Tattoo, kasihan kau Nak. Dibenci semua orang.

Tapi lihatlah, mereka masih hidup berhadap-hadapan. Di gang sumpek penuh kebusukan. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, bahkan ibunya sendiri menganggapnya musuh. Musuh kaliber Asu. Malangnya, mereka hidup tetap berdampingan. Betapa indah dunia, bukan? Penuh kemunafikan.
Salahkah Tatto bila yang keluar dari bibir merahnya adalah apa yang dia pandang, apa yang dia rasa, dan apa yang dia pikirkan tentangnya? Tentu menusuk siapapun yang cuping kupinya masih menyala. Panci melayang ke kepala. Sendal menyabet pantat. Itulah Sandy Tatto. Derita di umur 5 tahun. Derita panjang hidupnya semoga tak sepanjang umurnya.

Tatto tak pernah menangis. Berbeda dengan ibunya yang pelacur. Puluhan tahun membiarkan ratusan penis keluar masuk vaginanya. Dia sakit. Tak ada pelacur yang tak sakit dan menderita. Tapi dia bertahan, walau dalam tangis.

“Pelacur cengeng!” begitu Tatto menghardik ibunya agar diam dari muram durja.

Sang ibu lalu mengambil setrika panas, mengelus-elus pundak Tatto seperti dia membelai daster sutra kesayangannya. Tatto meringis-ringis, tak menangis.

*) seluruh nama dan peristiwa adlh rekaan belaka

Read more

Seseorang menyapa saya, lalu kita berkenalan satu sama lain. Belakangan saya baru tahu, dia adalah Hengky, adik Alex, salah seorang teman saya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, saya rasa Hengky mengalami banyak perubahan. Kalu bukan karena Alex yang kembali mengingatkan, rasanya sulit untuk mengenalinya lagi (haha, how stupid I was). Hmm, mungkin lebih tepatnya Hengky is growing up, tumbuh menjadi berbeda. Dia pun mengatakan hal yang sama. Beberapa kali dia mengamati saya sambil berkata, “Kamu kelihatan beda.” Yes, of course I do, kata saya dalam hati.

Saya kenal Alex, kemudian Henky, sudah sejak beberapa tahun lalu. Selain Hengky, Alex juga memiliki seorang adik laki-laki bernama Robert, dan seorang kakak laki-laki bernama Hendri. Mereka adalah musisi jalanan yang suka “ngamen” di sekitar Alun-alun Kidul (Alkid).

Penasaran, saya bertanya pada Alex: “Kamu nggak ke Alkid lagi, Lex?” Alex menjawab, “Udah jarang, Alkid rame banget sekarang. Pusing lihatnya.” Alex kemudian bercerita tentang bisnis yang sekarang sedang dia jalani. “Bisnis play-station dan sepeda tandem,” katanya. Saya selalu kagum setiap bertemu Alex. Saya pun merasa nyaman berada di antara saudara-saudaranya yang lain. Walaupun hingga saat ini musisi dan anak jalanan masih sering dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang Indonesia, namun nyatanya, bukan hal itu yang saya rasakan ketika bersama Alex dan saudara-saudaranya. Mereka, sama seperti kita, punya cita-cita dan terus berusaha. Keberadaan Alkid Musicmen, band yang terdiri dari Alex, Hengky, Robert, dan salah seorang temannya, adalah bukti keberadaan dan kerjakeras mereka.

Alkid Musicmen, (Alex yang pake topi :D)

Temu Budaya

Sehari sebelumnya, saya dihubungi oleh Mas Gama, salah seorang teman yang bekerja di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) DIY, sebuah LSM yang banyak bekerja bersama orang-orang yang dimarjinalkan, seperti anak dan remaja jalanan, LGBT, Pekerja Seksual, dll. Mas Gama memberitahu saya bahwa akan ada pentas komunitas jalanan di halaman gedung DPRD Yogyakarta. Pentas bertajuk “Temu Budaya, Dari Jalanan Untuk Keistimewaan” diadakan pada hari Minggu, 24 Februari, 2013. Acara ini bertujuan untuk menampilkan potensi besar di balik anggapan “penyakit masyarakat” yang menempel pada mereka.

Sambil membawa kamera, saya berangkat ke sana. Sempat bertanya, apakah saya akan bertemu dengan Alex? Sudah lama sekali saya tidak tahu kabarnya, mungkin 2 atau 3 tahun belakangan ini saya tak pernah bertemu dengannya. Sempat pesimis juga karena saya tahu Alex adalah orang yang lumayan sibuk (Alex sering kerja di luar daerah). Tapi toh ternyata, tanpa disangka-sangka langkah kaki ini membawa saya berjuma dengan Alex. Bersama Alkid Musicmen, Alex dkk turut memeriahkan acara. Mereka tampil membawakan 6 lagu, diantaranya: “Jogjakarta”, “Darah Juang”, “Bongkar (Iwan Fals)”, “Hey Cantik (Shaggy Dog)”, “Bebas Merdeka”, dan satu lagu ciptaan mereka sendiri berjudul “Semua Belum Berakhir’.

Semangat Alex sebagai musisi jalanan, mungkin sama seperti semangat anggota komunitas jalanan lainnya yang hadir pada acara malam itu. Mereka menyuarakan untuk STOP terhadap diskriminasi dan stigma kepada komunitas jalanan. Sama seperti kita, masyarakat umum yang memiliki kesempatan untuk sekolah dan bekerja, yang mereka lakukan di jalanan juga untuk mempertahankan kehidupan.

Dalam sebuah sesi, Mas Agus, salah seorang yang hadir dari komunitas jalanan, menuturkan bahwa sebagai orang yang hidup di jalanan, dia dan kawan-kawang sering diperlakukan sewenang-wenang. Mereka sering ditangkap dan dipukul oleh Satpol PP. Kata Mas Agus dari kursi rodanya, tak ada orang yang terlahir ingin jadi pengamen atau pengemis, karena itulah seharusnya tidak ada lagi diskriminasi terhadap komunitas jalanan.

Malam itu, usai pemabacaan orasi, hujan deras mengguyur kota Yogyakarta. Saya pamit pulang duluan, berjalan di antara rintik hujan, melewati jalanan-jalanan yang basah dan berlubang. Di tengah dinginnya malam, tentu ada harapan agar perjuangan komunitas jalanan bisa membuahkan hasil. Sebuah perjuangan yang terasa masih panjang, namun bukan berarti tak mungkin dikabulkan.

Best, Denty.

Read more

  
 

Selama di Alor, saya berjumpa dengan banyak anak kecil. Khas anak pedalaman, mereka senang difoto. Saya juga senang memotret mereka. Hehe.

Ketika saya berada di desa adat Takpala (sekitar 30 menit perjalanan dengan motor dari bandara Alor ke atas bukit berbatu dan licin) saya juga berjumpa dengan anak-anak Alor. Mereka sedang bermain gundu dengan riang gembira. Kehadiran saya di tengah-tengah mereka, memotret dengan kamera berlensa pendek sepertinya tak berarti apa-apa. Yang bernilai bagi anak-anak adalah dunianya, kegembiraannya. Mereka tetap asik bermain, sama sekali tak canggung mendengar suara jeprat-jepret yang memburu gerak-gerik mereka satu persatu.


 

Read more