Author's Posts

Beberapa hari lalu, saya menjalani tes kepribadian. Hasilnya, ada perubahan kepribadian dengan hasil tes lima tahun lalu, yaitu dari extrovert menjadi introvert. Artinya, kalau dulu saya lebih menyukai lingkungan yang interaktif, senang bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara, kini saya lebih senang menyendiri. Kalau dulu saya suka kumpul-kumpul, saya – yang sekarang – merasa nyaman duduk sendirian dalam ruang yang ramai sambil minum kopi, membaca buku atau majalah.

Perubahan ini, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Saya mulai menyadari perubahan kepribadian ketika sedang traveling ke New Zealand, bersama sahabat saya, Narastika.

Seperti pengalaman-pengalaman traveling sebelumnya, Narastika dan saya lebih suka tinggal di hostel daripada di hotel karena tersedia lebih banyak kesempatan bertemu teman baru. Di hostel, setiap hari adalah kejutan, entah itu suasana kamarnya, atau pertemuan dengan orang-orang tidak terduga. Tidak jarang, pertemuan dengan teman baru di hostel berakhir dengan pengalaman seru menjelajah bersama di tempat-tempat yang menarik.

Dalam perjalaan ke New Zealand ini, beberapa bulan lalu, saya mulai menyadari bahwa saya mengalami perubahan kepribadian. Beberapa tahun lalu, ketika Narastika dan saya traveling ke Singapura, Jepang, Malaysia, dan Inggris, saya punya kepribadian antusias, mudah bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara. Saya sama sekali tidak takut tuh untuk menyapa orang baru, mengajak jalan-jalan orang baru (kebanyakan sih bule, hahahha).

Hudson, saya, Narastika, dan Thiago, 10 kilogram yang lalu

Contohnya di Malaysia, saya sempat jalan seharian penuh bersama orang yang baru saya kenal, yaitu Thiago, traveler bule asal Sao Paulo, Brazil. Ketika itu, Narastika dan saya sedang jalan-jalan di Georgetown, Malaysia. Tiba-tiba, Narastika sakit dan memutuskan kembali ke hostel. Saking cueknya, di hostel saya melihat ada cowok bule lagi pakai sepatu. Lalu, saya tanya: “Kamu mau ke mana?” Cowok itu bilang mau ke toko, cari sendal jepit.

Dia lalu tanya balik: “Kamu mau kemana?” Saya langsung memberi tahu dia, kalau saya mau membeli makan siang, tetapi teman saya sedang sakit. Lalu, dengan super cueknya, saya berkata: “Kamu mau gak makan siang dengan saya? Nanti saya temanin kamu beli sendal jepit!!” Wkakkakakak. Lalu, begitu saja Thiago dan saya jalan bersama seharian penuh.

Keesokan harinya, saat Narastika sudah sembuh dan kami mau jalan-jalan, Thiago malah minta ikut jalan bareng. Ketika itu, ada teman lain yang juga bergabung, dan teman itu benar-benar baru saya kenal, yaitu Hudson dari Singapura. Narastika heran kenapa saya bisa dengan mudah bergaul dengan orang baru, bahkan sampai bule-bule yang baru saya kenal itu kayak kecantol mau aja diajak jalan-jalan padahal baru kenal. Wakakkakakk.

Sikap saya yang mudah bergaul dengan orang lain, sebenarnya sangat bertolak belakang dengan sikap Narastika beberapa tahun lalu yang tidak semudah itu menyapa orang lain. Kata Narastika, dia takut berkenalan dengan orang asing, karena bisa jadi orang itu jahat atau punya hobi suka culik orang, wkwk. Pemikiran yang sama sekali tidak muncul di benak saya.

Anehnya, ketika perjalanan ke New Zealand, Mei lalu, Narastika dan saya seperti bertukar kepribadian. Narastika menjadi orang yang lebih mudah bergaul, lebih mudah menyapa orang lain, dan aktif ngajak orang lain ngobrol orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Misalnya, saat kami roadtrip bersama bule asal Perancis, Erika, dalam perjalanan Narastika bertanya ke Erika: “Kamu suka mendengarkan musik apa?”, “Kamu suka nonton drama series gak di Perancis?”

Narastika, saya, Ryan, dan Erika… tiga di antara empat orang ini introvert, tebak yang mana saja… 😀

Sikap mudah bergaul itu, sangat membantu kami menemukan teman perjalanan, dan menambah pengalaman perjalanan. Sementara saya jadi lebih suka mengamati orang lain, menghabiskan waktu sendiri, dan agak kesulitan memulai percakapan dengan orang baru. Ketika ngobrol dengan Narastika mengenai hal ini, saya menemukan beberapa hal yang mempengaruhi perubahan kepriabdian dan sikap seseorang. Hal paling mendasar adalah lingkungan, keseharian, dan pergaulan seseorang (meski bukan satu-satunya faktor perubahan).

Narastika mengatakan, kepribadiannya berkembang pesat ketika dua tahun lalu dia memutuskan pindah dari Indonesia ke Australia. “Teman-teman aku kebanyakan bule. Aku ‘kan orang baru, kalau aku tidak mengajak ngobrol mereka duluan, aku akan sulit punya teman. Mereka nggak akan mau ngajak aku nongkrong kalau aku enggak ngobrol dengan mereka duluan,” ujarnya.

Sejak Narastika mengambil keputusan besar tinggal di Australia, saya sangat salut dengan keberaniannya meninggalkan zona nyaman demi mewujudkan cita-cita tinggal di negara kangguru. Keputusan itu rupanya telah membentuk siapa Narastika sekarang. 🙂

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, rupanya juga mempengaruhi kepribadian saya sekarang. Lima tahun lalu, saat baru lulus kuliah, saya adalah tipe manusia yang sama sekali nggak punya rasa takut. Saya ingin mengecap sebanyak-banyaknya pengalaman hidup, berkenalan dengan sebanyak-banyaknya orang, dan mengunjungi sebanyak-banyaknya tempat. Jadi, apa pun saya lakukan agar saya bisa dapat pengalaman, termasuk berani untuk spik-spik dengan orang yang baru dikenal 😛

Setelah saya bekerja dan tinggal di Jakarta, kejamnya Ibu Kota membentuk kepribadian saya. Hampir setiap hari, saya bertemu orang baru, mostly sih untuk kepentingan pekerjaan. Saking seringnya ketemu orang, kadang-kadang di waktu libur saya nggak pengen ketemu siapa-siapa. Kalau ada teman yang ngajak nongkrong, saya selalu tanya: “Ada siapa aja yang ikutan?”

Biasanya, saya akan menolak ajakan nongkrong kalau ternyata yang datang kebanyakan adalah orang-orang baru. Pertemuan dengan orang baru itu membutuhkan energi untuk membuka diri dan kerelaan untuk memahami orang lain. Rasanya, kesibukan dan kepenatan dengan aktivitas sehari-hari sering membuat saya enggan berkenalan dengan orang baru. 🙁 🙁

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, di Jakarta, juga membentuk saya menjadi orang yang lebih pemikir, penuh pertimbangan, dan pendiam. Saya lebih suka mengamati, daripada terlibat dalam suatu aktivitas. Saya sadar, lingkungan, keseharian, dan pergaulan bukan satu-satunya faktor perubahan kepribadian seseorang. Perubahan dari extrovert ke introvert dapat disebabkan banyak hal lain, seperti tekanan hidup, pengalaman pahit, kesedihan mendalam, dan masih banyak lagi (hayoo tebak apa yang mempengaruhi perubahan kepribadian saya?? … kayaknya gabungan ini semua Ahahhaha).

Sebenarnya, saya merasa cukup menyesal dengan perubahan kepribadian ini. Kesempatan saya untuk mengenal orang lain menjadi tidak sebesar sebelumnya. Kesempatan saya untuk merasakan pengalaman-pengalaman luar biasa juga mungkin saja berkurang.

Dent, aku tuh masih introvert. Aku suka cape jiwa kalo abis ngobrol ama orang,” kata Narastika.

Benar juga yaa… bukankah tidak ada individu yang benar-benar memiliki satu tipe kepribadian saja, yang ada hanya dominasi, dan/atau kecenderungan satu atau kombinasi tipe kepribadian. Mungkin lima tahun lalu saat saya menjalani tes kepribadian sisi extrovert saya lebih kental. Lalu, dalam tes kedua ini justru kepribadian saya didominasi oleh sisi sebaliknya. Lagian, kepribadian extrovert atau introvert juga bukan tentang salah atau benar, atau sifat mana yang lebih baik, karena kedua kepribadian itu saling mengisi, saling melengkapi. 

Sekarang, saya sadar bahwa kepribadian setiap manusia bisa berubah. Hasil studi ini membuat saya kembali merenungkan makna keberadaan saya dan bagaimana saya bersikap selanjutnya. Kalau dulu saya bisa mudah berbagaul dengan orang lain, kenapa sekarang sulit? Menjadi seorang pemikir, pendiam, dan penuh pertimbangan, juga tidak buruk, karena mungkin ini bermanfaat agar saya bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Hal terpenting, saya sadar, rupanya saya harus terus belajar, untuk tidak puas dengan diri sendiri, saya harus belajar terus untuk mengenal diri sendiri dan mengenal orang lain dengan lebih baik.  

Terima kasih New Zealand atas pelajaran yang berharga, terima kasih Narastika untuk pengalaman-pengalaman yang berkesan!! *mewek* 🙂

 

Salam, Denty Piawai Nastitie

(Foto 1, 5, dan 6, diambil di Milford Sound, cerita menyusul yaa… Stay tuned!)

Cerita sebelumnya: Welcome to Auckland!

[instagram-feed]

Read more

Malam pertama di Auckland, saya bermimpi sebuah kisah yang membuat resah: m e n i k a h !

Saya melihat diri saya mengenakan gaun panjang berwarna putih, berdiri di tengah altar gereja. Di hadapan saya ada pastur yang hendak memberkati pernikahan, di sebelah saya ada calon suami, dan di belakang saya ada orang tua dan calon mertua. Dalam mimpi itu, saya banyak tersenyum menyambut moment indah dalam hidup. 

Kemudian, saya melihat pastur mulai memberikan berkat pernikahan kepada calon suami dan saya. Di situ, saya mulai panik. Raut wajah mulai nggak tenang, khawatir. Pastur yang menyadari perubahan wajah saya, bertanya: “Loh, kamu kenapa? Kamu yakin ‘kan mau menikah? Kamu yakin ‘kan dengan calon suami kamu?”

Saya gelagapan. Celinguk kiri dan kanan. Orang tua dan calon suami mulai’ nggak tenang. Setelah menarik nafas panjang, saya memutuskan akan menyampaikan hal jujur kepada diri sendiri, calon suami, dan keluarga.

Di hadapan orang-orang dekat, saya curhat. Saya sampaikan bahwa saya mencintai calon suami saya.

“Dia orang yang sangat baik, penyayang, dan perhatian,” kata saya.

“Lalu, kenapa kamu kelihatan tidak yakin begitu?” pastur bertanya.

“Hmm… saya masih ragu, bagaimana kalau tiba-tiba dia beruhah,” kata saya. “Pernikahan akan mengikat saya seumur hidup. Apakah setelah saya menikah, saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya suka sama seperti sebelumnya? Apakah setelah saya menikah, saya masih mempunyai kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan diri? Saya yakin prioritas hidup saya akan berubah seiring waktu, tetapi apakah dengan prioritas hidup baru ini saya akan bahagia? Apakah suami saya tetap akan menjadi sosok yang baik, penyayang, dan perhatian, seperti ketika pacaran… Apakah pernikahan ini akan membuat saya bahagia?”

Pastur kebingungan. Kalau nggak yakin nikah, ngapain nikah nih orang! Mungkin ia berpikir demikan. Lalu, pastur menawarkan agar suami dan saya membuat janji pranikah sebagai jalan tengah.

Dalam janji pranikah itu saya menuliskan beberapa hal, seperti:

— suami dan istri saling mendukung untuk bebas berekspresi dan berpendapat

— suami memberi keleluasaan kepada istri, begitu juga sebaliknya, untuk berkembang sesuai minat, karakter, dan kepribadian

— pernikahan harus mendukung kesetaraan jender dan pembagian peran yang didasarkan kesepakatan bersama

— suami dan istri harus menjaga kesetiaan dan komitmen pernikahan, serta tidak ada kekerasan dalam pernikahan

Calon suami menunduk, membaca janji pranikah itu. Dia lalu menatap mata saya. Dia menyatakan bahwa menolak menandatangi janji itu. Katanya, “Saya tidak akan melarang kamu berkembang. Saya tidak akan membatasi diri kamu untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, saya tidak mau menandatangi surat ini. Saya merasa kamu tidak mengenal dan mempercayai saya,” ujarnya.

Kata-kata calon suami saya, membuat saya sedih, kecewa,… dan patah hati. Ada ruang kosong di hati …

Saya merasa, calon suami dan saya memang ternyata belum saling mengenal. Saya merasa memang sebenarnya belum terlalu yakin… kepada diri sendiri, kepada calon suami, juga kepada pernikahan. Saya cukup sedih mengapa calon suami menolak menandatangani janji pranikah ini… sesuatu, yang mungkin bagi saya menjadi bukti keseriusannya.

 

Keringat dingin mulai membanjiri kening… saya gelisah.

 

Lalu,

terbangun.

 

Saya mulai menyadari bahwa sedang tidak berada di altar gereja. Bukannya mengenakan gaun nikah, saya sedang memakai piyama. Saya sedang berbaring di bunk-bed, dan di sebelah saya tidak ada calon suami. Saya terbangun, merasakan ruang tempat saya menginap, di sebuah hostel di Auckland, cukup senyap… lampu kamar padam, di balik jendela kamar saya melihat kendaraan melintas dengan lampu depan menyala.

Saya melirik ponsel, terlihat waktu menunjukkan pukul 03.30 waktu Auckland. Saya punya waktu beberapa jam untuk istirahat, sebelum pagi ini mulai melakukan penjelajahan pertama ke Hobbiton dan Glowworm Cave.

Saya menghela nafas panjang, menenangkan diri. Terbayang wajah seseorang yang sedang dekat dengan saya, apa yang sedang dia lakukan di Jakarta? Apa yang dia rasakan? Bagaimana kalau dia tahu, dia muncul dalam mimpi saya (mimpi yang tidak terlalu indah, sebenarnya…)?

Saya mulai merenungkan, perjalanan ke Selandia Baru, ini tidak sekedar menikmati alam atau melakukan aktivitas-aktivitas seru dan menantang. Perjalan ini juga tentang bagaimana merenungkan kembali beberapa aspek kehidupan, seperti pekerjaan, dan juga pernikahan. Rupanya, cukup banyak hal yang mengganjal pikiran.

Saat sedang memikirkan hal ini, notifikasi telepon genggam memberikan signal pesan di DM Instagram. Seorang kawan menuliskan, “Bagaimana Auckland? Semoga perjalanan lo menyenangkan!”

Ahh… benar juga… jauh-jauh ke Auckland, saya ini ingin jalan-jalan, tetapi kenapa saya malah merasa rumit dengan banyak beban di pikiran. Bukankah seharusnya saya menikmati perjalan ini semaksimal mungkin! Saya kemudian memejamkan mata… kembali merehatkan diri untuk menyambut perjalanan di tanah the Lord of the Rings.

 

Auckland, 7 Mei 2019

Denty Piawai Nastitie

Ps: Foto bersama sahabat saya Narastika saat jalan-jalan di Auckland. Saya yakin, mimpi ini muncul karena sesaat sebelum tidur saya membicarakan banyak hal dengan Narastika, termasuk membicarakan pernikahan! Hahahhaha! Sialan, Tik, sampai kebawa mimpi!! LOL

Read more

Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan pada hari kedua kunjungan di Danau Tekapo, Selandia Baru. Cuaca buruk membuat rencana Narastika dan saya untuk mendaki gunung Mt John berantakan. Selain karena jalur trekking menuju Mt John ditutup demi keselamatan, shuttle bus yang seharusnya mengantar pengunjung dari penginapan ke gerbang pendakian juga tidak beroperasi.

“Kita bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga. Ada halangan ganda yang menimpa sekaligus,” kata Narastika, kecewa.

Prakiraan cuaca memamng sudah memperingatkan bahwa sepanjang hari ini akan hujan deras. Sejak bangun tidur, tanda-tanda cuaca buruk sudah terasa. Warna langit yang sehari sebelumnya cerah, berubah menjadi abu-abu. Warna langit yang kelabu, membuat hati ini juga ikut kelabu. Padahal, sepanjang malam saya sudah membayangkan asyiknya menyusuri Mt John sambil menghirup udara segar, menikmati pemandangan Danau Tekapo, Pegunungan Alpen Selatan, dan dataran Mackenzie Basin.

Namanya manusia, selalu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Saya memang merasa kecewa batal naik gunung, tetapi di sisi lain saya juga merasa beruntung karena tidak membawa perlengkapan mendaki yang cukup memadai. Terbayang bagaimana repotnya di tengah jalan apabila hujan deras tiba-tiba menerjang. Tidak hanya repot karena harus melangkah dengan tubuh basah, keselamatan juga bisa terancam! Mungkin inilah cara alam mengingatkan manusia bahwa tak semua perjalanan perlu dipaksakan.

Untuk mengobati kecewa, Narastika dan saya jalan-jalan di sekitar danau. Kalau tiba-tiba ada badai, kami bisa sewaktu-waktu kembali ke penginapan. Narastika dan saya juga berencana kembali ke Gereja Gembala Baik (the Church of the Good Shepherd).

Gereja Gembala Baik (the Church of the Good Shepherd) merupakan satu-satunya gereja di Danau Tekapo dan menjadi tempat ibadah bagi penduduk setempat. Gereja yang dibuka pada 1935 ini dirancang oleh arsitek R.S.D. Harman, berdasarkan sketsa oleh seniman lokal, Esther Hope.

Gereja ini terletak di tepi Danau Tekapo dan di antara pegunungan Alpen Selatan. Gereja yang dibangun sebagai peringatan bagi perintis di wilayah Mackenzie ini sangat unik karena terbuat dari fasad batu di pesisir Danau Tekapo. Semak-semak matagouri juga dibiarkan tumbuh di halaman gereja, memberikan kesan perjalanan ke masa lalu.

Papan informasi di depan bangunan gereja menuliskan bahwa Gereja Gembala Baik dibangun dengan menonjolkan ciri kekuatan dan kesederhanaan. Gereja ini bisa digunakan siapa saja dari berbagai bangsa dan agama, untuk bermeditasi, berdoa, atau sekedar duduk hening.

Saya berkeliling mengamati bangunan-bangunan gereja. Karena pintu gereja tertutup rapat, pengunjung tidak bisa masuk ke dalam. Penasaran, saya sempat mengintip melalui lubang kunci dan melihat suasana di dalam gereja, seperti kursi-kursi usang dan salib di tengah altar.

Selanjutnya, saya berjalan ke belakang gereja. Pada sebuah batu besar, saya duduk memandang hamparan Danau Tekapo. Cuaca mendung sepertinya membuat suasana hati juga ikut mendung. Apalagi, siang itu tidak banyak penjunjung di Gereja Gembala Baik. Suasana gereja itu terasa sepi, perasaan yang sering membuat manusia merasa tidak nyaman. 

Setelah duduk sekitar 30 menit, Narastika dan saya berniat meninggalkan gereja. Saat melangkah ke luar gerbang gereja, saya melihat seorang perempuan datang. Dia berjalan tergopoh-gopoh ke depan gereja. Dia menggengam kunci berwarna kuning keemasan. Rupanya, dia adalah petugas gereja. “Mau masuk?” ujarnya, sambil membuka pintu gereja.

Saya mengangguk.

Setelah pintu terbuka, saya segera masuk ke dalam gereja. Pandangan mata saya langsung tertuju ke arah jendela kaca bening di altar yang membingkai indah danau dan pegunungan. Melalui kaca terlihat pemandangan Pulau Motuariki yang dikelilingi pohon pinus. Hamparan pegunungan, danau, hutan, dan jalur setapak yang berkelok-kelok terlihat dari kaca gereja. Pemandangan itu bersanding dengan altar dan kayu salib sederhana. 

Suasana di dalam Gereja Gembala Baik ini seolah ingin menggambarkan bahwa Pemilik Alam Semesta senantiasa mengiringi perjalanan manusia… Saya meluangkan waktu duduk di dalam gereja yang damai, memandang altar dan mengenang berbagai perjalan yang sudah dilalui… perjalanan panjang, yang kadang terasa melelahkan. 

Dalam keheningan, saya merasakan betapa baiknya alam terhadap hidup ini. Tentu saja, ada kalanya saya merasa sendiri, ada kalanya saya merasa tak pasti. Tetapi, di gereja ini saya merasakan kekuatan yang menggerakkan hati dan pikiran untuk terus melangkah… melanjutkan perjalanan, menghadapi setiap jalan bergelombang, bercabang, naik, dan turun… 

“Jangan takut melangkah… bersama Dia, Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan,” suara berbisik, di relung hati. 

Tiba-tiba saja bulu kuduk terasa merinding, air mata menetes. Terharu. Lega. Bersyukur. Musik gregorian mengalun pelan, menambah suasana magis. 

Bagi saya, Gereja Gembala Baik merupakan tempat ibadah dengan pemandangan paling spektakuler yang pernah saya kunjungi. Di dalam gereja saya sadar mengapa tempat ini layak dijadikan rumah bagi para peziarah dan pelancong dari berbagai daerah. 

 

 

Foto-foto oleh: Longina Narastika

Baca kisah lainnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

Baca kisah lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo

[instagram-feed]

Read more

Sejak berabad-abad lalu, langit, beserta benda-benda langit, dan pergerakan benda-benda langit, mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan memahami langit, manusia mencoba mengerti fenomena-fenomena alam, mempelajari perkembangan semesta, dan berujung pada pemahaman terhadap diri sendiri. Maka, saat seseorang sedang memandang langit, kemungkinan besar dia tidak sekedar menikmati keindahannya, tetapi juga berusaha menangkap makna keberadaannya di dunia.

Saking pentingnya langit, di Danau Tekapo, Selandia Baru, sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, penghuni pertama Suku Maori, telah mengembangkan sistem penerangan khusus untuk melestarikan kejernihan langit malam. Sistem penerangan yang dikembangkan di daerah Cekungan Mackenzie itu berhasil meminimalisir polusi cahaya dan mempertahankan kejernihan langit.

Berada di daerah dataran tinggi dan di antara pegunungan, juga memaksa awan rendah terbang jauh sehingga langit menjadi lebih cerah. Secara turun temurun, daerah yang termasuk dalam Cagar Langit Gelap Internasional Aoraki Mackenzie (Aoraki Mackenzie International Dark Sky Reserve) ini pun menjelma menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengamati gugusan bintang di langit.

Keunikan itulah yang membuat Narastika dan saya tertarik untuk mengamati langit dan berburu gugus bintang (stargazing) di Danau Tekapo. Di sini, ada banyak pilihan paket wisata yang menawarkan kegiatan pengamatan gugus bintang. Beberapa wisata stargazing juga dikemas sekaligus dengan paket makan malam, mandi air hangat, dan workshop memotret gugus bintang. Harga paket wisata ini bervariasi. Salah satunya menawarkan paket stargazing selama dua jam seharga 186 NZD (sekitar Rp 1.860.000).

Setelah dipikir-pikir, banyak artikel di internet yang menjelaskan tentang gugus bintang dan bagaimana memotret gugus bintang.  Selain itu, ada banyak pilihan aplikasi di telepon genggam yang dapat menunjukkan nama-nama rasi bintang yang terhampar di langit. Jadi, untuk memahami langit dan segala isinya (baca: berhemat), Narastika dan saya memutuskan tidak ikut paket wisata.

Hari itu, langit Tekapo sedang cerah. Sebelum mulai stargazing, Narastika dan saya berencana menyusuri Danau Tekapo yang airnya berwarna biru kehijauan. “Siap-siap bawa pakaian hangat yaa… Sepertinya kita akan pulang larut malam,” kata Narastika. 

Selanjutnya, saya memasukkan lima lapis pakaian ke dalam ransel. Saya juga membawa kamera, tripod, dan batere kamera cadangan. Langit sedang cerah, tak sabar rasanya bisa melihat Bima Sakti! Setelah semua siap, petualangan dimulai!

Narastika dan saya berjalan menyusuri pinggir Danau Tekapo. Dari kejauhan terlihat pegunungan Soutern Alps berpuncak salju. Terlihat juga deretan hutan cemara. Burung-burung terbang bebas. Angin berhembus sejuk. 

Menjelang matahari tenggelam, saya mengunjungi gereja ikonik, the Church of the Good Shepherd. Gereja ini sangat unik karena terbuat dari tumpukan batu. Gereja yang dibangun pada 1935 ini dirancang untuk memberikan kesan kekuatan dan kesederhanaan.

Baru saja hendak menikmati keindahan bangunan gereja, petugas meminta semua pengunjung keluar dari halaman karena waktu berkunjung sudah habis. Setiap hari, halaman gereja memang hanya dibuka pada pukul 08.00 – 17.00. 

Sebenarnya, saya sempat kecewa karena hanya sebentar berada di gereja. Tetapi, mau bilang apa. Saya hanya pengunjung di tempat ini, tentu saja, saya harus mematuhi aturan setempat.

Setelah menutup dan menggembok pagar gereja, petugas itu menghampiri saya. Mulanya, saya pikir saya akan dimarahi karena terlalu lama berada di halaman gereja. Tetapi, prasangka itu buyar setelah petugas tersenyum ramah. “Nanti malam, kamu ke belakang gereja. Kamu bisa lihat Milkyway dari sana,” katanya.

Narastika dan saya saling memandang, terkejut sekaligus senang. Wah, baik sekali petugas itu memberi tahu lokasi terbaik melihat gugusan bintang!! Mungkin dia kasihan melihat kami berdua yang belum puas berada di halaman gereja. Alhamdulilove… 🙂 

Sekitar pukul 7 malam, proses memotret gugus bintang dimulai. Narastika dan saya berjalan ke arah belakang gereja. Beberapa kali saya tersandung kerikil karena tidak bisa melihat jalur perjalanan yang gelap gulita. Narastika dan saya mengandalkan cahaya dari telepon genggam untuk menerangi jalur.

Begitu mendapatkan spot yang asik, Narastika dan saya mulai memotret.

Malam itu, langit gelap tak berawan. Terlihat rasi bintang berkilauan di atas sana. Saya berusaha mengabadikan keindahan langit malam dengan menggunakan kamera mirorlessUntuk mendapatkan hasil maksimal, saya mengubah pengaturan kamera menjadi manual. Saya mengatur bukaan diafragma, kecepatan rana, juga ISO. 

Setelah beberapa kali memotret, foto yang dihasilkan terlalu terlalu gelap!

Setelah dicoba lagi, hasilnya terlalu terang!

Selanjutnya, saya mendapatkan racikan pengaturan kamera sesuai, tiba-tiba ada seseorang melintas sambil membawa lampu sehingga menciptakan garis gelombang berwarna di foto. “Ah, siaul!” kata saya.

“Ayo, coba lagi!” kata Nararstika, memberi semangat.

Saya kemudian mencoba mengubah pengaturan kamera, dan meminta bantuan Narastika untuk menambahkan cahaya ke arah gereja dengan menggunakan cahaya telepon genggam. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya, pengaturan cahaya yang lumayan pas mulai ditemukan!

Cahaya itu berasal dari headlamp yang diarahkan ke beberapa bagian gereja sehingga ada terang yang merata. Di samping itu, taburan bintang yang membentuk Bima Sakti juga terlihat. Ada samar tipis yang menunjukkan semburat warna ungu, biru, kuning, dan merah di langit. Yeaay!! Berhasil!!” Narastika dan saya bersorak gembira.

Selain memotret gugus bintang, saya juga berusaha memahami susunan bintang dengan menggunakan aplikasi di telepon genggam. Sayangnya, tak sampai 10 menit digunakan, tiba-tiba saja telepon genggam itu mati. Saya berusaha menyalakan kembali, tetapi sia-sia. Rupanya, telepon genggam saya tidak suka dingin. Telepon genggam itu langsung menggigil di antara suhu tiga derajat selsius. Saking dinginnya, telepon genggam pun padam!

Semakin malam, udara dingin juga semakin menusuk tulang, dan membuat kaku jari-jari tangan dan kaki. Tiba-tiba saja, saya merasa takut mati! Ditambah lagi, badan saya terasa sulit digerakkan karena kedingian. Bahkan, untuk memencet shutter count kamera jari-jari ini diajak sulit berkompromi. Untuk berbicara juga sulitnya setengah mati karena bibir terasa beku. Akhirnya, sekitar pukul 11 malam, Narastika dan saya menyerah! Kami memutuskan kembali ke penginapan karena sudah tidak tahan dingin!  

Bagi saya, memotret gugus bintang di Danau Tekapo memberi banyak pelajaran berarti. Pertama, saat hendak memotret tentukan lokasi terbaik untuk mengambil gambar. Caranya, bisa dengan riset atau bertanya kepada penduduk lokal. Saya beruntung karena kebetulan dapat informasi dari penjaga gereja, kalau tidak entah sudah memotret random di mana. Kedua, siapkan peralatan memotret agar siap digunakan. Jangan sampai batere kamera atau telepon genggam yang hendak digunakan tiba-tiba rusak seperti milik saya. Ketiga, siapkan pakaian dingin yang cukup. Tidak mau kan kalau jadi headline berita di koran lokal: “Viral! Wisatawan asal Indonesia Ini Tewas Kedinginan saat Memotret Bintang di Danau Tekapo” atau “Inilah Akhir Mengenaskan Wisatawan asal Indonesia usai Memotret Bintang” 😀 😀 Wahahhaha… *bercandaan receh sama Tika niihh*

 

Begitu sampai kamar, saya menutupi seluruh bagian tubuh dengan berlapis-lapis selimut tebal.

Saya berusaha memejamkan mata. Di balik kelopak mata yang tertutup, tak terasa gelap pun jatuh….


Diujung malam…
menuju pagi yang dingin…

 

 

Terima kasih Danau Tekapo, untuk langit yang cerah 🙂

Baca lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo

[instagram-feed]

Read more

Bagi pecinta alam, Tekapo adalah tanah impian. Selain langit bertabur bintang, tempat ini juga menyajikan pemandangan indah berupa jajaran pegunungan Alpen Selatan yang berpuncak salju, hamparan danau berwarna biru-kehijauan, juga bangunan Gereja Gembala Baik ( the Church of the Good Shepherd) yang ikonik.

Danau Tekapo terletak di daerah Cekungan Mackenzie, atau cekungan antarbintang elips yang terletak di Distrik Mackenzie dan Waitaki, di dekat pusat Pulau Selatan Selandia Baru. Di daerah ini ada tiga danau besar, yaitu adalah Tekapo, Pukaki, dan Ohau. Warna Danau Tekapo yang unik terbentuk dari erosi batuan sedimen glasial dari Alpen Selatan dan Gunung Aoraki (Mt Cook). Berasal dari es yang mencair membuat air Danau Tekapo dingin  banget, sekitar 8-10 derajat selsius.

Ada dua cara untuk menuju Tekapo, yaitu dari kota Queenstown (berjarak sekitar 256 km) dan Christchurch (227 km). Saya menempuh perjalanan dari Queenstown ke Tekapo selama sekitar empat jam perjalanan menggunakan Intercity Bus. Berdasarkan jadwal, bus berangkat pukul 08.00. 

“Kita cari penginapan yang dekat dengan halte, yuk! Biar tidak terlambat,” kata Narastika, teman saya, beberapa hari sebelum berangkat ke Tekapo.

Setuju! Kalau perlu, ‘nggak usah mandi. Begitu bangun tidur, kita langsung tancap gas,” kata saya.

Saya ingat, suatu hari, dalam perjalanan dari Auckland ke Hobbiton, ada dua penumpang bus yang ditinggal di tengah jalan karena terlambat. Kendaraan antar kota di Selandia Baru memang terkenal tepat waktu. Dalam perjalanan antar kota, bus berhenti selama 10 menit di sejumlah titik istirahat seperti pertokoan atau toilet umum. Tetapi, hingga waktu ditentukan, dua penumpang tadi tidak juga menampakkan diri. Akhirnya, supir meninggalkan mereka begitu saja di tengah jalan.

Belajar dari pengalaman tersebut, selama di Selandia Baru, saya berusaha selalu tepat waktu. Tidak terima rasanya kalau harus ketinggalan bus, padahal sudah bayar puluhan dollar sejak jauh-jauh hari!

 

Bus Intercity membawa penumpang dari Queenstown ke Danau Tekapo. (c) Denty Piawai Nastitie

Sekitar pukul 07.30, Narastika dan saya berjalan ke halte bus. Begitu sampai di sana, beberapa penumpang sudah menunggu. Penumpang mengenakan baju dan jaket berlapis untuk menghalau dingin. Saat itu, udara sekitar 4-6 derajat selsius. Tubuh menggigil. Ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang rela bangun lebih awal demi naik bus tepat waktu.

Menjelang pukul 08.00, bus jurusan Queenstown-Danau Tekapo-Christchurch tiba. Belasan penumpang segera membentuk antrean dan secara tertib masuk ke dalam bus. Kendaraan ini sepertinya memang dirancang untuk para pelancong. Bus Intercity dibuat dengan jendela-jendela lebar untuk memudahkan penumpang menikmati panorama alam.

Dengan menggunakan microfon, pengemudi bus, merangkap sebagai pemandu wisata, menjelaskan nama-nama gunung dan danau yang dilewati. Supir bus juga menjelaskan kebudayaan, keberagaman masyarakat, keanekaragaman flora dan fauna, serta makanan-makanan khas yang ada di Selandia Baru.

Berdasarkan penjelasan pengemudi, dari 4,4 juta penduduk Selandia baru, sekitar 70 persen merupakan keturunan Eropa, 15 persen adalah suku asli Maori, sisanya orang-orang Asia dan kepulauan Pasifik, non-Maori. Sebagian besar penduduk tinggal di kota besar seperti Auckland dan Queenstown. Tak banyak orang yang tinggal di daerah pegunungan. Kalau pun ada, biasanya mereka adalah peternak. Di desa-desa yang dilewati, terlihat sekali sangat minim penduduk. Desanya sepi. Tidak banyak orang berlalu-lalang, atau kendaraan melintas. Bahkan saya sempat foto-foto di tengah jalan desa saking minimnya kendaan yang lewat.

Maka banyak orang mengatakan, Selandia Baru lebih banyak dihuni domba dan sapi dari pada manusia. 😀 😀

Perjalanan melewati jalur bergelombang dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan, penumpang disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan berpuncak salju dan hamparan danau berwarna biru-kehijauan yang menawan. Sungguh, tak henti-hentinya saya terpukau memandang indahnya pemandangan alam yang tersaji di depan mata. Pemandangan sepanjang perjalanan ini membuat rasa kantuk lenyap.

Saat melintasi Danau Pukaki, bus berhenti. Pengemudi memberi kesempatan penumpang untuk berfoto dan menikmati pemandangan danau yang sangat menarik dengan air berwarna biru. Saya melihat warna danau ini seperti kolam renang. Tetapi, saat diliat dari dekat, ternyata airnya jernih. Batu-batuan dan kerikil yang ada di sekitar danau dengan mudah terlihat.

“Denty, ayo!” teriak Narastika.  Dari kejauhan, supir bus memencet klakson. Rupanya, saya menjadi satu-satunya penumpang yang belum naik ke bus. Sesegera mungkin, saya mengeluarkan kamera dan memotret pemandangan di Danau Pukaki. Klik! 

Danau Pukaki, Selandia Baru. (c) Denty Piawai Nastitie

Makan siang sambil menikmati pemandangan alam. (c) Denty Piawai Nastitie

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak terasa akhirnya sampai juga di Danau Tekapo. Begitu sampai, Narastika dan saya menyantap makan siang di restaurant Jepang. Restaurant ini menyajikan makanan khas Negeri Matahari Terbit, seperti sushi, ramen, dan paket nasi bento. Saya memesan paket makan siang berupa nasi dengan potongan ayam goreng terayaki, telur, salad, asinan, dan sup miso. Acara makan siang bertambah nikmat karena dilakukan sambil menikmati pemandangan alam.

Setelah makan siang dan menaruh barang-barang bawaan di penginapan, Narastika dan saya memulai petualangan di Tekapo. “Sebaiknya, kita bawa barang-barang yang dibutuhkan hingga larut malam. Langit sedang bagus, kita bisa stargazing malam ini,” ujar Narastika. [Bersambung…]

Baca selanjutnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

[instagram-feed]

Read more

dari Brussels, Belgia

Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga, seperti Olimpiade, juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.

Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban, di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa (UE) menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara di luar UE.

Ada tiga rencana kerja UE terkait olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE mem-
bentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.

Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.

Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun 2017-2020. Program yang dibuat, misalnya, pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.

Esteban mengakui, jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Namun, ini masih dalam proses,” katanya.

Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.

Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.

Asian Games

 

Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.

Berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagai informasi, anggaran Kemenpora sebesar Rp 1,951 triliun, jauh dari total belanja negara mencapai Rp 2.439,7 triliun di dalam RAPBN 2019. Adapun anggaran yang dipakai untuk peningkatan prestasi olahraga hanya Rp 986,284 miliar.

Bukan hanya terkait besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, untuk memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.

Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus kepada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.

”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” ucapnya.

Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.

”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima semua lapisan masyarakat,” tuturnya. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 24 April, 2019

Read more

Setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, 17 April lalu, giliran Uni Eropa mengadakan pemilu parlemen Eropa pada 23 Mei 2019. Sebelum seluruh mata dunia tertuju pada pemilu Eropa, Kompas berkesempatan mengintip ruang kerja politikus dan jurnalis di markas UE di Brussels, Belgia.

Ada empat tempat utama yang dikunjungi atas undangan delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam itu, yaitu Kantor Parlemen Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, dan Layanan Tindakan Eksternal Eropa (European External Action Service/EEAS). Hampir semua kantor institusi UE berada di kawasan yang berdekatan di Schuman Roundabout. Dari satu kantor ke kantor lain cukup ditempuh dengan jalan kaki, seperti berada di kawasan Asia Afrika, Jakarta Pusat.

Kantor-kantor itu tidak hanya menjadi tempat kerja pemimpin negara dan politikus dalam menyuarakan kepentingan negaranya, tetapi juga ruang jurnalis berjibaku meliput, mewawancarai narasumber, dan mengabarkan informasi lintas sektor ke seluruh dunia. Untuk membantu kerja jurnalis, Komisi Eropa rutin menggelar konferensi pers. Senin (8/4/2019) itu, konferensi pers membahas kebijakan perlindungan petani sebagai dampak Brexit, kecerdasan buatan, dan potensi gangguan keamanan siber jelang pemilu Eropa.

Hari itu, udara Brussels dingin dengan suhu 4 derajat celsius. Namun, materi konferensi pers yang serius dan melibatkan banyak kepentingan membuat suhu hangat.

Saat konferensi pers, rombongan jurnalis Indonesia ditempatkan di kursi barisan paling belakang bersama jurnalis dari Polandia yang juga sedang melakukan kunjungan kerja. Kami memakai tanda pengenal bertuliskan ”observer”. Di mimbar, staf Uni Eropa mengumumkan kunjungan jurnalis. ”Mari kita sambut kedatangan jurnalis Indonesia,” katanya.

Dengan malu-malu, jurnalis Indonesia berdiri dan melambaikan tangan kepada rekan-rekan jurnalis asing. Siapa saja bisa mengikuti konferensi pers, tetapi hanya jurnalis terakreditasi yang diperkenankan mengajukan pertanyaan.

Untuk meliput kegiatan di Parlemen Eropa, jurnalis juga perlu mengurus akreditasi. Saat ini, terdapat 1.000 jurnalis terakreditasi di lembaga itu. Jumlah ini hampir sama dengan jurnalis peliput kegiatan Pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih, Washington DC, AS. Bedanya, kebanyakan jurnalis di Washington DC berasal dari negara-negara di luar AS, sedangkan di Brussels mayoritas dari negara-negara UE.

Parlemen Eropa mempunyai tim khusus untuk membantu kerja jurnalis. Tim ini bertugas mendampingi jurnalis dan menyediakan informasi berdasarkan fakta. Setiap petugas mempunyai spesialisasi di bidang khusus, seperti hubungan internasional, kesetaraan jender, dan antidiskriminasi. Mereka juga menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris.

Jurnalis yang sudah terakreditasi di Parlemen Eropa berhak meliput, menghadiri konferensi pers, mewawancarai narasumber, dan menggunakan fasilitas kerja yang tersedia. Fasilitas di Parlemen Eropa sangat lengkap dan dapat digunakan oleh reporter, jurnalis televisi, dan jurnalis radio. Fasilitas yang disediakan mulai dari rekaman multimedia, infografis, suara, galeri foto, radio, dan studio televisi. Layanan audiovisual juga menyediakan transmisi langsung ke rapat komite dan pleno. Semuanya ini bisa diakses secara gratis.

Parlemen Uni Eropa juga rutin mengadakan konferensi pers yang terbagi menjadi tiga, yaitu menjelang, di antara, dan setelah sidang. Konferensi pers menjelang sidang dilakukan untuk memberikan latar belakang informasi kepada wartawan mengenai materi yang akan diliput. Konferensi di antara sidang untuk memberikan informasi terkini jalannya persidangan. Konferensi pers setelah sidang menginformasikan kesepakatan negara-negara UE.

Selama sidang berlangsung, anggota parlemen dari 28 negara anggota UE dapat berkomunikasi dengan memanfaatkan penerjemahan dalam 24 bahasa. Jurnalis juga bisa menyaksikan jalannya sidang di tempat yang disediakan serta dimanjakan siaran pers dan artikel dalam 24 bahasa.

Juru Bicara Parlemen Eropa Jaume Duch Guillot mengatakan, Uni Eropa menghadapi tantangan lebih serius dari sebelumnya sehingga membutuhkan media independent dan kuat untuk membantu masyarakat memahami isu dan tetap terhubung dengan perwakilan terpilih. “Oleh karena itu, Parlemen Eropa mengutamakan keterbukaan dan kekuatan interaksi dengan masyarakat dengan menyediakan fasilitas dan layanan untuk media,” kata dia. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 21 April 2019

Read more

Sebagai jurnalis olahraga, saya suka heran dengan komentar-komentar nyinyir terkait prestasi perempuan atlet. Beberapa komentar itu, misalnya, “Ih, tuh atlet hormonnya pasti laki-laki, makanya kuat banget larinya,” atau “Busyet, tenaga cowok! Muka dan fisiknya juga cowok banget!! Nggak kelihatan feminim! Pantesan juara!” atau ada juga yang sibuk ngurusin orientasi seksual si atlet, “Gayanya matcho, pasti dia suka cewek. Pasti dia lesbian.” –__–“

Tambah heran karena komentar-komentar itu sering keluar dari sesama perempuan. Saya pikir kejamnya budaya dan pemikiran patriarki sudah mendarah daging hingga anggapan bahwa laki-laki selalu lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, diamini hampir semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan.

Itulah sebabnya, ketika ada perempuan atlet berprestasi, dianggapnya apa yang ada pada tubuhnya, seperti hormon, tenaga, dan pikiran, adalah milik laki-laki. Nggak pernah tuu (ato jarang) saya mendengar komentar mengenai laki-laki atlet, yang sukses dalam olahraga yang mengutamakan kelenturan tubuh, seperti senam atau wushu, dinyinyiri bahwa dia mewakili hormon perempuan.

Anggapan bahwa laki-laki lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, dari perempuan, membuat masyarakat tidak menghargai perjuangan perempuan atlet sebagai mana mestinya. Bukankah di balik prestasi seorang atlet, ada kerja keras, usaha, disiplin, perjuangan, pengorbanan, tidak hanya ketika latihan, tetapi juga ketika melawan budaya dan pemikiran NGEHE yang biasanya lebih menempatkan perempuan berada di ruang domestik, daripada di ruang publik.

Termasuk ketika ada perempuan atlet yang menikah, hamil, dan melahirkan, mostly prestasinya akan terhambat atau bahkan berhenti sama sekali karena si atlet selanjutnya memutuskan untuk stay di rumah, membesarkan anak, dan merawat suami. Itu memang pilihan si atlet, I know, tetapi bukankah budaya dan pemikiran patriarki, sekali lagi sudah menyusup di sendi-sendi otak sebagian besar masyarakat, termasuk si atlet itu sendiri, sehingga secara sadar-gak-sadar dia akhirnya “mengorbankan” prestasinya demi memenuhi tuntutan peran gender berada di ruang domestik.

((Awal Januari lalu, saya menulis artikel tentang mendesaknya regenerasi atlet dayung mengingat sejumlah pedayung Indonesia, terutama pedayung putri, banyak yang mengundurkan diri dari pelatnas karena menikah. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/11/pedayung-yunior-dipanggil-ke-pelatnas/Tuntutan regenerasi juga mendesak di tim angkat besi karena salah satu lifter putri andalan Indonesia untuk Olimpiade Tokyo 2020 menikah dan selanjutnya cuti dari pelatnas karena tengah mengandung. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/07/tuntutan-regenerasi-atlet-mendesak/))

Sekarang bandingkan dengan laki-laki atlet, berapa banyak yang mengundurkan diri dari pemusatan latihan karena menikah?? Banyak laki-laki, malah beranggapan dengan berkeluarga mereka lebih fokus untuk mengembangkan diri. Artinya adalah, selain kemauan keras dari si atlet untuk berprestasi, serta dukungan fasilitas latihan dari federasi olahraga dan pemerintah, dibutuhkan lingkungan yang menunjang untuk membuat seorang atlet mencapai puncak penampilannya.

Atlet yang saya suka, yang sudah mendobrak pemikiran-pemikiran patriarki, salah satunya Serena Williams. Saat dia mengandung, Serena tetap bermain tenis bahkan menjadi juara di Australia Terbuka. Setelah melahirkan sekali pun, dia tetap berlaga. Masih inget ‘kan dengan foto Serena bertanding, sementara suami dan anaknya duduk di pinggir lapangan memberi dukungan? 🙂

Serena mengatakan, my power is sexy!! But once again, lagi-lagi sering dibilangnya: Serena mah cowok, hormon cowok, muka juga cowok. Duhh plis, kenapa kita nggak pernah menghargai perjuangan perempuan sebagaimana adanya?? (Garuk-garuk tembok!)

Sebagai jurnalis olahraga, — selain heran dengan pemikiran-pemikiran lawas yang meremehkan peran perempuan — saya bersyukur karena baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa karena tulisan saya “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” dinilai telah menunjukkan keterampilan jurnalistik yang sangat baik, dibuat dengan penelitian mendalam, dan menceritakan kisah-kisah menawan. Tulisan saya bersama empat jurnalis lainnya dianggap relevan dalam usaha meningkatkan kesadaran publik di Indonesia tentang universalitas hak asasi manusia dan mempunyai relevansi dengan nilai-nilainya, yaitu non-diskriminasi, kesetaraan gender, toleransi dan keragaman.

Artikel saya juga dinilai punya peran penting dalam meningkatkan kesadaran bagi warga negara dan pemerintah untuk mengambil langkah yang berarti untuk memerangi diskriminasi dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia untuk semua warga. Pengumuman pengharagaan: https://eu4wartawan.id Beberapa artikel terkait penghargaan:https://kompas.id/baca/utama/2019/02/08/suarakan-kesetaraan-bagi-difabel-wartawati-kompas-raih-penghargaan/ada juga di web kampushttps://www.usd.ac.id/berita.php?id=3904&fbclid=IwAR2Jfp4x8LZkEyJlBbuwHzXbrmXhxJn_q7JWkGDIH73zJd0ERHUhrFvsmjQ

Ini adalah pengharagaan saya pertama setelah MH Thamrin (2016) dan pengharagaan sebagai penulis travel terbaik dari Kementerian Pariwisata (2015). Tentu saja, saya merasa senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka dengan pengharagaan ini. Penghargaan ini penting untuk “faktor pendukung” di sekeliling saya yang sudah memberikan ruang saya untuk berkarya, mulai dari tempat saya bekerja di harian KOMPAS, juga keluarga yang akhirnya nyerah dan mengizinkan saya pergi-pagi-pulang-pagi atas nama cinta kerjaan. Hahahha. Karya dan penghargaan ini saya dedikasian untuk KALEAN!! Juga untuk countless narsum yang sudah rela saya kontak gak kenal waktu demi lahirnya karya ini.

Minggu lalu, saya bertemu teman yang bertanya, gimana sih caranya bisa pengharagaan?? “Gue suka malas ikut-ikut lomba, tapi akhirnya suka bete sendiri kalau lihat ada teman yang bisa menang lomba karya atau dapat penghargaan,” kata dia.

Kalau gitu jawabannya jelas! Pertama, jangan malas, termasuk jangan malas ikutan lomba jurnalistik. Karya sebagus apa pun gak akan menang lomba kalau dewan juri gak lihat atau baca karya itu. (Kecuali ada kasus lain, seperti punya gebetan super baik hati yang mengirimkan karya kita ke suatu lomba secara diam-diam, trus kita bisa TERKEJYUT MANTJA karena tiba-tiba saja menang lomba… atau mungkin emang ada dewan juri yang mau ngulik-ngulik media massa untuk mencari penulis yang layak diberi pengharagaan – saya pernah sekali mengalami hal itu, nggak ikutan lomba tau-tau dapat hadiah hehehe). Kedua, jangan malas berkarya! Kalau suka menulis, maka menulislah. Kalau suka memotret, maka memotetlah! Kalu suka sama seseorang, uangkapkanlah! (*Ehhh… gimanaa… hahhaa) Lebih baik punya ide sederhana tapi berwujud karya, dari pada ide briliant tapi masih di angan-angan. Demikian random thought malam ini.

 

Jakarta, pas tanggal tua ditulis menggunakan hendpon jadul.

 

Denty Piawai Nastitie

(Foto2: Grandyos Zafna)

Read more

Beberapa waktu terakhir, saya mengalami kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Patah hati, begitu mereka menyebutnya.

Sebenarnya, saya sudah bisa memprediksi bakal patah hati. Hal itu ditunjukkan dengan berhari-hari tidak bisa tidur memikirkan sesuatu yang mengganjal. Sesuai perkiraan, hari itu tiba. Begitu kenyataan menghantam, rasa sakit dan perih yang tidak terbayangkan benar-benar terasa.

Apakah setelah itu saya pergi mabuk2an?? Boro-boro!! Ketemu orang aja saya sudah malas bangettt!! Apalagi patah hati melanda sebelum gajian, ku bisa apaaahh…. -__-”

Saya ingat, malam itu saya duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam rosario. Air mata mengalir. Rasa putus asa, marah, sedih, membaur jadi satu. Kacau, tak keru-keruan!

Ajaibnya adalah, setelah itu saya tidur sangat nyenyak! Sangat-sangat nyenyak sampai saya merasa sudah tidur seribu tahun. Selanjutnya, selama sepekan, saya merasakan lima tahapan duka (five stages of grief), mulai dari penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, hingga penerimaan diri. Saya tidak selalu mulus dalam melewati tiap tahapan itu, kadang-kadang ada tahapan yang bercampur, seperti saya merasa marah dan depresi sekaligus, atau saya berada di tahap tawar menawar, tetapi masih merasakan kemarahan.

Kalau kata orang, kemarahan itu seperti menggenggam bara api dan ingin membuat orang lain merasakan hal serupa. Itu benar! Saya sangat marah dn terluka, dn saya sangat ingin membuat orang lain merasakan hal yang sama. Hati saya seperti tersayat-sayat, dan saya ingin orang lain mengalami hal yang sama. Rasa marah itu membuat saya kelelahan, dan saya mulai melepaskan…

Uniknya, suatu hari tiba-tiba saja saya kepikiran banyak tugas-tugas yang belum terlaksana. Kesibukan mengurus hati yang terluka (halah!) membuat banyak pekerjaan tertunda. Saat itu juga saya merasa tercerahkan. Apabila di hadapan saya ada dua titik berwarna hitam dan putih, yang terjadi selama ini enegi saya habis untuk memandang titik hitam (persoalan hidup). Kenapa saya tidak menggeser pandangan saya ke titik putih (peluang hidup).

Seketika saya sadar, masalah saya sebenarnya bukanlah masalah. Masalah saya adalah bagaimana saya berperilaku terhadap masalah tersebut. Memang, saya akui ada masalah atau situasi yang membuat hidup saya kurang enak, tetapi itu tidak pagi menjadi masalah karena fokus saya bergeser untuk mengurusi hal-hal yang lebih berfaedah, hal yang lebih penting dan yang terpenting dalam hidup, seperti mendaftar beasiswa, mempromosikan buku “Pelangi di Timur Tengah”, menyelesaikan peer-peer tulisan dan beberapa karya yang belum terselesaikan.

Saat itu juga saya merasa punya energi besar untuk melakukan sesuatu. Mimpi dan cita-cita saya muncul lagi. Semangat bangkit lagi. Hidup kembali terasa lebih berwarna, lebih menyenangkan. Apakah saya masih merasa marah, sedih, terluka, dan kecewa? Tentu saja! Tetapi, kali ini saya tidak lagi menganggap rasa-rasa itu sebagai musuh. Saya justru merangkul rasa kecewa menjadi bagian hidup, untuk menemani saya melangkah.

Beberapa hari lalu, teman saya bertanya bagaimana keadaan saya. Saya terkejut, karena justru saya merasa punya energi penuh untuk berbuat sesuatu. Saya juga jadi ingat, sebenarnya patah hati tidak sekali ini terjadi. Hampir pada setiap tahapan kehidupan, saya pernah merasa patah hati. Saya tidak hanya bisa melaluinya, tetapi bisa mentramsformasi rasa sakit hati jadi karya.

Waktu kuliah, misalnya, saya sempat patah hati. Kebetulan, ketika itu saya ada perjalanan ke Singapura dan Malaysia. Sepanjang perjalanan, hidup saya berjalan sangat mellow, saya meratapi nasib ini. Kemudian, pengalaman patah hati itu saya tuangkan pada karya tulis dan fotografi yang kemudian dimuat di National Geographic! Ah coba kalau saya tidak patah hati, tidak mungkin artikel saya dimuat dan dibaca banyak orang.

Saya juga jadi ingat teman saya pernah patah hati. Dia lalu mentransformasi rasa kecewa menjadi karya fotografi dan membuat pameran tunggal. Beberapa seniman dan musisi juga mengubah rasa patah hati dan kehilang menjadi karya. Penyanyi Taylor Swift, misalnya, bisa menjadikan pengalaman patah hati putus dari John Mayer menjadi lagu berjudul “Dear, John.” Begitu juga Adele yang dapat Grammy justru setelah dia membuat lagu dari pengalaman patah hatinya.

Rasa kecewa, sedih, dan marah, sebenarnya membuat manusia jadi tidak lagi takut kehilangan. We’ve already lost everything baby, mau takut kehilangan apa lagi??

Onkar Kishan Khullar, di TED Talk berjudul “The Power of Breakup”, mengungkap resep patah hati. Pertama, tidak ada lagi rasa takut. Kedua, gunakan energi marah, sedih, kesal, untuk melakukan sesuatu. Ketiga, bebaskan pikiran!

Banyak orang mengira, patah hati selalu identik dengan putus pacaran atau mengalami perceraian. Patah hati juga bisa disebabkan situasi kurang menyenangkan di lingkungan kerja, pendidikan, tempat tinggal, atau adanya krisis pertemanan. Intinya, patah hati enggak melulu soal hubungan romantis (meskipun ini yang paling sering muncul wkwk). Kepergian orang tersayang juga bisa menjadi penyebab patah hati.

Kaisar Mughal Shah Jahan membangun Taj Mahal sebagai mausoleum untuk istri tercintanya, Mumtaz Mahal, yang meninggal dunia saat melahirkan. Berkat rasa kehilangan dan patah hati yang dialami Kaisar Mughal Shah Jahan, sekarang kita mengenal Taj Mahal yang indah dan megah.

Khullar mengatakan, dunia ini tidak digerakkan oleh ahli-ahli agama atau spiritualitas. “Dunia ini bergerak karena ada orang-orang yang merasa tidak puas dalam kehidupannya, dan kemudian mentransformasi pengalaman itu menjadi pusi, buku, fotografi, gerakan-gerakan sosial, bahkan makanan yang terasa sangat enak! Orang-orang itu bersahabat dengan luka, tidak malu mengakui, dan menunjukkan pengalamannya kepada dunia…”

Teruntuk kau yang dilanda patah hati, sekarang pertanyaannya apakah situasi yang kau alami bisa bertranformasi menjadi sesuatu yang lebih berarti?

 

Jakarta, 24 Oktober 2018

Denty Piawai Nastitie

*keterangan foto: Pulau Kelingking, Bali, 2018, difoto oleh Angel Indriani.

Read more

Asian Games 2018 baru saja berakhir. Kenangan akan penyelenggaraan pesta olahraga antarnegara se-Asia itu tidak hanya meninggalkan kesan bagi atlet, pelatih, relawan, dan penonton, tetapi juga membekas bagi jurnalis dan fotografer yang selama dua pekan penuh meliput kegiatan ini.

Bagi pewarta, mengabadikan peristiwa bersejarah Asian Games pada 18 Agustus-2 September 2018 menjadi kebanggaan serta menciptakan persahabatan antarrekan seprofesi yang tak mengenal batas geografis, bahasa, suku, agama, warna kulit, atau warna bendera negara sekalipun.

Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) mencatat, ada 11.000 orang dengan akreditasi penyiar (broadcaster), jurnalis, dan fotografer dari 47 negara datang ke Indonesia. Mereka bertugas menggaungkan semangat Asian Games ke seluruh dunia. Penyiar dan jurnalis berjibaku meliput kejuaraan yang tersebar di arena Jakarta, Palembang, Jawa Barat, dan Banten.

Untuk mengabarkan berbagai peristiwa dan seluk-beluk Asian Games, ribuan awak media ”berkantor” di Main Press Center (MPC) dan International Broadcast Center (IBC) yang berada di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan. Ruang kerja juga tersedia di setiap arena pertandingan.

Tribune media di Stadion Utama Gelora Bung Karno. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Di MPC, fasilitas yang tersedia antara lain kabel LAN, Wi-Fi, soket listrik, data, komputer, layar lebar untuk menyaksikan pertandingan, termasuk makanan. MPC terdiri atas dua lantai. Di bagian bawah ada lobi dengan sofa-sofa empuk, ruang kerja, dan ruang makan. Sementara lantai atas merupakan ruang konferensi pers, ruang pertemuan, dan beberapa ruang khusus kantor media asing.

Biasanya, setelah meliput pertandingan olahraga, jurnalis akan berdatangan dan berkumpul di MPC. Di tempat inilah, awak media menulis, mengirimkan foto-foto, mengedit berita, juga beristirahat, melepas penat, dan bercengkerama dengan teman-teman dari sejumlah media.

Di MPC, adakalanya jurnalis bekerja sangat serius untuk melaporkan berbagai peristiwa sesuai tenggat. Saat deadline, wajah-wajah para pewarta seperti ”senggol-bacok”. Apalagi, kalau pertandingan selesai larut malam, semua fokus pada tugas masing-masing. Begitu berita dan foto-foto sudah dikirimkan, lega rasanya. Inilah saatnya untuk bercengkerama dan melepas kepenatan.

Biasanya, begitu selesai mengirimkan berita, saya akan menikmati makanan dan minuman di ruang yang sudah disediakan. Di ruang makan inilah, kadang-kadang saya berkenalan dengan teman dari media lain.

Suatu hari, setelah meliput pembukaan Asian Games, saya berkenalan dengan Hirata Jun dan Sato Yuki dari kantor berita Kyodo, Jepang.

Saat itu, Jun (yang kemudian namanya dipelesetkan menjadi Junaedi) dan Sato mengomentari betapa lucunya maskot Asian Games. Saking sukanya pada maskot Asian Games, Jun dan Sato serta Ed Sha Restian (jurnalis Kyodo) berkali-kali foto bareng dengan boneka raksasa Bhin-bhin, Atung, dan Kaka, yang berada di depan MPC.

Tiga maskot Asian Games 2018 mengikuti defile saat upacara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8/2018). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Mereka lalu menunjukkan hasil foto dengan aneka pose, seperti memeluk dan bersandar pada boneka yang merepresentasikan tiga hewan khas Indonesia itu.

”Bukannya maskot Olimpiade Tokyo 2020 lebih keren, ya?” tanya saya, teringat pada maskot bernama Miraitowa dan Someity yang akan dipakai pada penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Jepang.

Dengan kompak, Jun dan Sato menggeleng. ”No! No!” kata mereka. ”Maskot Jepang itu karakter rekayasa, tidak lucu. Lebih bagus maskot Asian Games,” kata Jun. Dalam hati, saya berkata: rumput tetangga memang lebih indah. Ketika banyak orang Indonesia mengatakan maskot Olimpiade 2020 keren, orang-orang Jepang ini malah mengagumi maskot Indonesia! Aneh, he-he-he….

Melalui perkenalan dan interaksi dengan jurnalis-jurnalis asing, banyak hal yang dapat dipelajari. Saya mencermati, jurnalis dan fotografer dari media asal Jepang, Korea, dan China bekerja sangat maksimal. Setiap hari mereka selalu datang ke arena pertandingan lebih awal dari jadwal. Hal ini berbeda sekali dengan karakter warga negara Indonesia yang serba ngaret.

Ketika meliput babak semifinal bulu tangkis, hampir saya tidak dapat tempat duduk karena tribune media sudah penuh wartawan. Padahal, pertandingan pertama pukul 12.00 belum dimulai. Ternyata, sejumlah media asing datang 60-90 menit sebelum laga dimulai sehingga mereka bisa mendapatkan posisi strategis untuk menyaksikan pertandingan.

Selain disiplin soal waktu, jurnalis asing juga tertib menjaga kerapian dan kebersihan. Setiap selesai bekerja, jurnalis Jepang dan Korea akan membersihkan meja sehingga tidak ada sampah yang berserakan. Kursi yang sudah dipakai juga akan dirapikan sebelum mereka meninggalkan ruangan.

Selain itu, mereka sangat perhatian pada teman-temannya. Saat mengambil minuman dingin, misalnya, mereka akan mengambil dua botol, satu untuk diri sendiri dan satu lagi untuk teman yang duduk di sebelahnya.

”Sesungguhnya, melihat mereka bekerja memberi banyak pelajaran berharga. Kadang-kadang jadi malu dengan sikap kerja diri sendiri,” kata Nuris Andi Prastiyo, jurnalis Jawa Pos.

Untuk mengabadikan momen Asian Games, kantor berita Kyodo, Jepang, mengirimkan sekitar 60 awak media yang semuanya merupakan orang Jepang. Mereka terdiri dari reporter, fotografer, tim grafis, dan tata letak. Selama berada di Indonesia, orang-orang Jepang ini tinggal di hotel yang berada di kawasan Blok M. Mereka juga menyewa ruang kerja di MPC.

Sagisawa Iori, fotografer asal kantor berita Kyodo, mengatakan, dirinya mendapat banyak kesan manis selama liputan di Indonesia. ”Di sini panas dan banyak nyamuk. Tetapi orang-orang Indonesia sangat ramah, baik hati, dan mereka selalu tersenyum sepanjang hari,” katanya.

Selama berada di Indonesia, Iori bertugas memotret di Stadion Akuatik GBK. Ia mengabadikan antara lain perlombaan renang, polo air, loncat indah, serta renang artistik. Biasanya, setelah memotret, Iori akan kembali ke MPC untuk mengirimkan foto-foto.

Menurut Iori, udara di MPC sangat dingin, dia sering kali merasa beku di ruang kerja. Namun, makanan dan kopi yang tersedia sangat lezat. ”Secara keseluruhan, saya menikmati berada di Indonesia,” ujarnya.

Interaksi dengan jurnalis asing sebenarnya tidak selalu manis. Adakalanya jurnalis nasional harus tarik urat dengan rekan satu profesi dari negara lain.

Wartawan Kompas, Denty Piawai Nastitie, bersama wartawan foto Jepang, Sato Yuki. (KYODO NEWS/ TANAKA YUSUKE)

Ketika meliput upacara pembukaan Asian Games di Stadion Utama GBK, misalnya, beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan karena mereka menyerobot tempat duduk di bagian tribune media.

Beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan.

”Heran! Padahal sudah ada nomor kursi di tiket masuk. Masih aja nyerobot kursi orang lain,” kata seorang teman, meluapkan kekesalannya.

Saya pernah merasakan kekesalan serupa ketika bertugas pada upacara penutupan. Kursi yang seharusnya menjadi hak saya diisi wartawan lain. Untunglah, setelah saya menyatakan keberatan, jurnalis asing itu bersedia pindah. Namun, masalah lain muncul ketika fotografer Jepang dari Asahi Shimbun yang duduk di sebelah saya menaruh barang-barang berserakan di meja.

Pada satu sisi, saya memahami bahwa fotografer itu membutuhkan meja yang luas untuk menaruh empat kamera dengan lensa-lensa besar. Namun, pada sisi lain, saya juga membutuhkan meja untuk meletakkan komputer jinjing sehingga bisa bekerja dengan nyaman.

Kepada fotografer itu, saya meminta agar ia sedikit bergeser dan merapikan barang-barangnya. Dia lalu meminta maaf karena ketidaknyamanan itu dan segera menggeser barang-barangnya.

Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana.

Selesai meliput penutupan Asian Games di Stadion Utama GBK, saya kembali bertemu dengan Sato dan beberapa rekan jurnalis dari kantor berita Kyodo. Kami bahkan berfoto bareng untuk mengabadikan kenangan terlibat dalam momen bersejarah ini.

Dalam perjalanan kembali ke MPC, Sato bertanya, apakah saya akan meliput Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana,” ujarnya.

Sato kemudian memberikan pin sebagai kenang-kenangan dan tanda persahabatan antarbangsa. ”Arigato!” kata saya, mengucapkan terima kasih. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/09/09/menjalin-persahabatan-dengan-jurnalis-asing-di-sela-asian-games-2018/ tanggal 9 September 2018

 

Read more