Author's Posts

Sri Wahyuni Meraih Perak – Atlet angkat besi putri Indonesia Sri Wahyuni Agustiani saat mengikuti nomor 48 kilogram putri cabang angkat besi pada Asian Games 2018 di Jakarta International Expo (JIEXPO), Jakarta, Senin (20/8/2018). Sri Wahyuni medali perak dalam nomor ini. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Meliput kompetisi angkat besi pada Asian Games 2018 itu susah-susah gampang. Jika hanya terpaku pada penampilan lifter di atas panggung, cerita yang tersaji tak akan jauh berbeda, yakni seputar usaha atlet mengangkat beban dan jumlah angkatan yang dilakukan.

Padahal, ada beragam kisah menarik dari perjuangan atlet dan pelatih untuk meraih medali angkat besi. Kisah dan ”rahasia-rahasia” yang sebenarnya justru tersembunyi di balik kemegahan panggung kejuaraan.

Senin (20/8/2018) merupakan hari pertama kompetisi angkat besi berlangsung di Hall A2, Kemayoran, Jakarta Pusat. Hari itu, ada dua nomor lomba yang dimainkan pada kategori putra dan putri.

Indonesia mengirimkan lifter putri Sri Wahyuni Agustiani dan Yolanda Putri pada kategori 48 kg, sedangkan lifter putra Surahmat bermain pada kategori 56 kg. Perlombaan untuk kelas putri berlangsung pukul 14.00, kemudian kelas putra pukul 17.00.

Lifter Sri Wahyuni Agustiani merupakan andalan Indonesia untuk meraih medali emas.

Saya membayangkan, apabila Sri Wahyuni mendapatkan medali emas, akan banyak wartawan yang mewawancarainya. Berdasarkan pengalaman liputan pada desk olahraga, informasi saat jumpa pers sangat terbatas.

Apalagi, Sri Wahyuni termasuk atlet pendiam.

Apalagi, Sri Wahyuni termasuk atlet pendiam. Saat dimintai komentar, pasti jawabannya pendek-pendek. Karena itu, saya bertekad datang lebih awal agar  mendapatkan kisah yang lebih utuh di balik penampilan atlet.

Saya tiba di JIExpo pukul 10.00, atau empat jam lebih awal dari kompetisi yang bergulir pukul 14.00. Selama satu jam, saya berusaha mendekati orang-orang yang bekerja di balik layar panggung angkat besi. Di antaranya manajer dan tim pelatih serta panitia pelaksana perlombaan.

Kepada manajer sekaligus pelatih kepala tim angkat besi Indonesia, Dirdja Wihardja, saya menanyakan keberadaan lifter Sri Wahyuni dan Yolanda Putri.

Pelatih yang sudah menangani tim Indonesia sejak Asian Games 2006 itu kemudian mengajak saya masuk ke ruang istirahat atlet. Itulah untuk pertama kali saya mengintip suasana di balik panggung angkat besi. Ada perasaan canggung awalnya karena setahu saya ruangan atlet tertutup untuk media.

Namun, Pak Dirdja tidak keberatan dengan kehadiran saya. ”Sudah, masuk saja ke ruang atlet, tidak apa-apa,” katanya.

Saya kemudian memberanikan diri masuk ke ruang atlet. Saya melihat ada sekitar enam lifter sedang tiduran di atas matras berwarna hitam. Beberapa atlet menutupi tubuh dengan selimut. Mereka menunggu waktu timbang berat badan sambil tiduran atau bermain telepon pintar.

Di antara para atlet terlihat Sri Wahyuni dan Yolanda Putri. Keduanya memakai jaket berwarna merah dengan tulisan ”Indonesia” di bagian punggungnya.

Kesempatan bertemu lifter sebelum perlombaan dimulai, saya manfaatkan untuk mewawancarai mereka. Agar atlet merasa nyaman, saya sengaja tidak mencatat hasil wawancara pada buku catatan.

Agar mereka tidak merasa sedang diwawancarai, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan hal-hal ringan. Saya juga tidak ingin membuat lifter merasa tertekan sehingga malah akan memengaruhi penampilan mereka di panggung.

Saya juga tidak ingin membuat lifter merasa tertekan.

Di luar dugaan, Sri Wahyuni yang biasanya pendiam kali ini lebih mudah untuk diajak bicara. Dia menjawab pertanyaan saya dengan ramah. Bahkan, Sri Wahyuni tidak menolak diajak foto bareng.

Sri Wahyuni bercerita, dirinya bangun sebelum jam beker berdering. Setelah itu, Sri Wahyuni menjalani shalat Subuh. Dia kemudian hanya membasahi bibir dengan setetes air putih agar tidak kering.

Pagi itu, Sri Wahyuni sengaja tidak sarapan agar berat badannya sesuai kategori lomba. ”Tadi malam saya tidur nyenyak. Pagi ini saya juga bangun dengan segar. Saya sudah siap berkompetisi,” kata Sri Wahyuni, percaya diri.

Kepada Kompas, Sri Wahyuni juga memperlihatkan tasbih yang selalu digenggamnya sejak bangun tidur. Tasbih itu merupakan pemberian ibunya dari Tanah Suci. Tasbih yang sama dibawa Sri Wahyuni ketika tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.

”Tasbih ini berjasa mengantar saya meraih medali perak di Rio. Saya percaya, dalam setiap kejuaraan, ada doa ibu yang mengiringi. Jadi, tasbih ini sudah jalan-jalan, menemani saya ke banyak kejuaraan dunia,” ujarnya.

Adapun Yolanda Putri mengatakan, dirinya tidak menyangka mempunyai kesempatan untuk pertama kali tampil di Asian Games. Apalagi, Yolanda akan bermain pada kategori 48 kg, sama seperti Sri Wahyuni yang selama ini menjadi idolanya.

”Setiap kali latihan, saya selalu memandang poster wajah Sri Wahyuni. Tidak sangka rasanya, saya akan bermain pada kelas yang sama. Saat ini, jumlah angkatan saya memang masih di bawah Sri Wahyuni, tetapi suatu hari saya akan menembus angkatan itu,” tutur lifter berusia 18 tahun itu.

Di ruang istirahat atlet itu pula, saya bertemu dengan mantan lifter nasional Maman Suryaman yang berpengalaman menjadi pelatih Sri Wahyuni ketika lifter putri itu masih duduk di bangku kelas V SD.

Sebelum kompetisi angkat besi dimulai, Maman dan istrinya, Lucky Nurmala, mencium kening Sri Wahyuni untuk memberi doa restu. Mata saya berkaca-kaca melihat momen tersebut.

Mata saya berkaca-kaca melihat momen tersebut.

Maman mengatakan, pertama kali bertemu Sri Wahyuni, badan bocah itu sangat kurus. ”Penampilan Sri Wahyuni dulu culun, rambutnya panjang, badannya kecil. Untuk berlatih saja, dia tidak punya biaya karena ayahnya adalah pedagang bakso keliling. Sekarang Sri Wahyuni jadi lifter kuat. Saya tidak menyangka. Tetapi, saya percaya, kalau ini memang sudah jalan yang ditakdirkan,” ucapnya.

Pada pukul 12.00, Sri Wahyuni masuk ke ruang timbang badan. Sambil menunggu Sri Wahyuni, saya ngobrol-ngobrol dengan mereka yang bekerja sebagai panitia pelaksana perlombaan angkat besi, antara lain Manajer Kompetisi Alamsyah Wijaya, Manajer Arena Sony Kasiran, serta Komite Penelitian dan Pelatihan Federasi Angkat Besi Internasional Aveenash Pandoo.

Pandoo kemudian mengajak saya berkeliling arena kompetisi. Pandoo memperlihatkan tempat duduk jurnalis di dalam arena lomba, ruang kerja jurnalis (venue press centre), hingga ruang konferensi pers.

Ruang rahasia

”Ada satu lagi ruang yang ingin saya tunjukkan, ini ruang rahasia,” katanya. Saya pun sungguh-sungguh tertarik.

Selanjutnya, Pandoo mengajak saya ke luar arena kompetisi. Saya membuntuti Pandoo yang berjalan ke arah ruangan kecil di sebelah kanan pintu masuk Hall A.

Begitu pintu dibuka, ternyata ada sejumlah anggota panitia pelaksana yang sedang duduk bersantai sambil menikmati makanan dan minuman. Beberapa anggota panitia pelaksana malah menawari saya untuk minum kopi dan makan camilan.

”Ini namanya ruang VIP,” ucap Pandoo, sambil tertawa.

”Ah, ini lebih cocok disebut kantin,” kata saya, sambil menenggak segelas kopi yang ditawarkan.

Duduk bersama Pandoo

Sekitar pukul 13.00, saya dan Pandoo masuk ke ruang kejuaraan untuk bersiap melihat kompetisi. Saya mendapat keistimewaan duduk di sebelah kanan panggung yang sebenarnya dikhususkan untuk atlet, pelatih, dan tim ofisial.

Mungkin, karena saya duduk bersama Pandoo, tidak ada panitia pelaksana atau sukarelawan yang berani menegur. Saya cukup puas duduk di tempat itu karena lokasinya dekat dengan arena pemanasan di belakang panggung.

Begitu kompetisi dimulai, saya melihat Sri Wahyuni tampil memukau dengan mengumpulkan total angkatan 195 kg (snatch 88 kg, clean and jerk 107 kg). Ini merupakan angkatan terbaik Sri Wahyuni sepanjang menggeluti cabang angkat besi. Jumlah angkatan Sri Wahyuni itu melebihi rekornya di Olimpiade 2016 dengan total angkatan 192 kg (snatch 85 kg, clean and jerk 107 kg).

Sayangnya, jumlah angkatan itu belum cukup mengantar Sri Wahyuni meraih medali emas. Lifter Korea Utara, Ri Song Gum, berjaya dengan angkatan total 199 kg (snatch 87 kg, clean and jerk 112 kg).

Lifter putri Sri Wahyuni Agustiani tak kuasa menahan haru seusai dinobatkan sebagai perempuan terkuat dalam laga angkat besi SEA Games 2013 kelas 48 kg di Stadion Theinphyu, Yangon, Myanmar, Jumat (13/12/2013). Dengan total angkatan seberat 188 kg, Sri Wahyuni menjadi perempuan terkuat di kelas tersebut dan berhak dikalungi medali emas. (KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO)

Meski kalah, saya melihat Sri Wahyuni dan tim pelatih sudah berjuang maksimal dengan mengadu strategi dan kekuatan demi mengalahkan lifter Korut.

Ketika lifter Korut melakukan angkatan 112 kg, Dirdja Wihardja menunjukkan hitungan angkatan pada secarik kertas. ”Kami putuskan mengamankan medali perak dahulu. Pada angkatan kedua, jumlah angkatan Sri Wahyuni akan dinaikkan menjadi 112 kg. Kalau Yuni berhasil, lifter Korut pasti keteteran,” ujarnya di belakang panggung.

Jarang berlomba

Di luar dugaan, beban itu terjatuh sebelum Sri Wahyuni bisa berdiri sempurna. Pelatih putri Supeni mengakui lifter Korut lebih baik. Selama ini, Sri Wahyuni belum pernah melakukan simulasi angkatan pertama di atas 110 kg. Sementara lifter Korut berani memasang jumlah angkatan pertama clean and jerk 112 kg.

Kekuatan Korut memang di luar dugaan. Selama ini, Ri Song Gum jarang mengikuti kejuaraan. Setelah menempati peringkat keempat di Kejuaraan Dunia 2015, Ri Song Gum tidak muncul pada sejumlah kejuaraan internasional. Dia kembali tahun lalu saat menyabet emas Universiade 2017.

Selama ini, Ri Song Gum jarang mengikuti kejuaraan.

Pada kejuaraan yang sama, Sri Wahyuni meraih perunggu. ”Saya memohon maaf kepada masyarakat Indonesia, kali ini belum bisa menyumbang emas. Namun, saya yakin atlet telah melakukan yang terbaik,” ujar Supeni.

Atlet angkat besi Eko Yuli Irawan merayakan keberhasilannya meraih medali emas yang diperoleh dari nomor 62 kilogram putra cabang angkat besi dalam Asian Games 2018 di Jakarta International Expo (JIExpo), Jakarta, Selasa (21/8/2018). Eko Yuli meraih emas dengan nilai total angkatan 311 kilogram. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Eko meraih emas

Keseruan kisah di balik panggung angkat besi juga terjadi keesokan harinya. Selasa (21/8/2018), lifter senior Eko Yuli Irawan berhasil meraih medali emas pada kategori 62 kg.

Setelah dinyatakan meraih emas, Eko bersorak. Wajahnya basah dengan air mata bahagia. Dirdja, beserta pelatih Muljianto, Erwin Abdullah, Rusli, Zulkarnaen, dan Supeni, menghamburkan pelukan ke tubuh Eko. ”Akhirnya kita dapat emas,” kata Eko.

Keberhasilan Eko menjadi pemuas dahaga tim angkat besi yang rindu medali emas. Sepanjang keikutsertaan Indonesia sejak Asian Games, negeri ini baru mengoleksi 7 perak dan 15 perunggu.

Di tingkat Olimpiade, Indonesia juga selalu menyumbang medali sejak Sydney 2000. Namun, emas selalu lepas dari genggaman.

Setelah dinyatakan menang, Eko Yuli Irawan tidak larut dalam kegembiraan. Ia justru menghampiri dan menepuk pundak Trinh Van Vinh, rival terberatnya, yang duduk lesu karena kecewa. Di balik kemegahan panggung angkat besi, keduanya pun berpelukan.

Eko mengatakan, dirinya tidak menaruh perasaan dendam meski lawan pernah mengalahkannya di SEA Games 2017. ”Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami berteman,” ujar Eko.

Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami berteman.

Melalui tindakannya, sesungguhnya Eko menunjukkan diri sebagai juara sejati yang selalu menghargai siapa pun lawan yang dihadapi.

 

Selain cerita bahagia, di balik panggung angkat besi juga menyimpan kisah duka dan nestapa. Hal itu terjadi ketika lifter Triyatno bermain pada kategori lomba 69 kg.

Lifter senior ini sebenarnya punya peluang meraih medali. Namun, kesempatan itu hilang karena Triyatno terlambat naik ke atas panggung untuk melakukan angkatan pertama clean and jerk.

Namun, kesempatan itu hilang karena Triyatno terlambat naik ke atas panggung.

Berdasarkan aturan, begitu ada lifter yang selesai melakukan angkatan, lifter selanjutnya hanya punya waktu 60 detik untuk naik ke atas panggung. Pembawa acara sudah memanggil nama Triyatno beberapa kali. Namun, peraih perak Olimpiade London 2012 dan perunggu Beijing 2008 itu masih pemanasan di belakang panggung.

Triyatno mengatakan, ada komunikasi yang terlewat dengan tim pelatih. ”Ada miscommunication, tadi pelatih pergi ke toilet. Ketika saya berjalan (ke panggung), sudah terlambat,” ujar Triyatno.

Setelah kehilangan kesempatan melakukan angkatan pertama, Triyatno berusaha mendekati total angkatan lawan dengan mengangkat 182 kg pada kesempatan kedua. Pada usaha ketiga, Triyatno kehilangan konsentrasi sehingga gagal menaikkan angkatan menjadi 185 kg.

Kepada Kompas, Triyatno pernah mengatakan, dirinya sudah beberapa kali menelan kekecewaan pada PB PABBSI yang membina lifter elite.

Triyatno pernah melewatkan kesempatan tampil di SEA Games 2017 karena kelas andalannya diisi atlet lain. Situasi serupa pernah terjadi menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Berusaha tidak terpengaruh dengan situasi yang ada, kali ini Triyatno ingin membuktikan dirinya layak mengisi kelas 69 kg.

Namun, ternyata, nasib berkata lain. Kesempatan meraih medali Asian Games pun hilang dari genggaman.

”Saya yakin, Triyatno bisa mengangkat beban. Tetapi, itulah olahraga. Kadang kala, apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Manajer dan pelatih seharusnya bisa mengelola faktor nonteknis agar atlet bisa tampil maksimal,” tutur Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono.

Kepada Alamsyah Wijaya dan Aveenash Pandoo, saya mengatakan bahwa saya bersedih dengan nasib yang dialami Triyatno.

”Hati kami hancur lebih dalam. Triyatno sebenarnya punya kesempatan untuk setidaknya membawa pulang medali perak,” kata Pandoo.

Terakhir kali Kompas mengunjungi ruang pemanasan di balik panggung angkat besi, Kamis (23/8/2018), tempat itu sudah ditutupi partisi setinggi sekitar 4 meter.

Di depan pintu ruang pemanasan, dua petugas jaga. Petugas hanya mengizinkan pelatih dengan tanda khusus untuk masuk ke ruang pemanasan.

Gerak saya di belakang panggung angkat besi pun jadi tidak sebebas biasanya. Tetapi, saya yakin, di balik panggung angkat besi masih banyak kisah suka dan duka yang tersimpan. Masih ada kisah-kisah ”rahasia” yang kelak akan kembali saya ungkap. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/24/rahasia-di-balik-panggung-angkat-besi/ (24 Agustus 2018)

Read more

Pertemuan saya dengan Winarni (42) terjadi tidak sengaja. Pada Jumat (27/7/2018) sore, saya datang ke pelatnas angkat besi di Mess Perwira AL Kwini, Jakarta Pusat, untuk melihat persiapan akhir tim angkat besi Indonesia menjelang Asian Games 2018.

Di sana, saya bertemu dengan trio atlet Olimpiade Sydney 2000 yang sedang memberi motivasi kepada atlet. Trio Olimpian itu adalah peraih medali perunggu angkat besi pada Olimpiade Sydney 2000, Sri Indriyani (kelas 48 kilogram) dan Winarni (53 kg), serta atlet tenis meja Ismu Harinto.

Kesempatan itu saya gunakan untuk mewancarai para Olimpian mengenai pengalaman mereka menghadapi kejuaraan besar dan bagaimana para atlet mengatasi tekanan mental.

Di sela-sela wawancara itu, sejumlah pelatih dan atlet menanyakan kabar anak Winarni, yang juga merupakan juara dunia angkat besi pertama Indonesia pada 1997. “Memang sakit apa Mbak anaknya?” tanya saya, kepada Winarni, yang juga meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney 2000.

Mulanya Winarni tidak mau menjawab. Untuk menghormati privasi narasumber, saya tidak terlalu mendesak dan menuntut jawaban.

Setelah latihan selesai, saya bersiap-siap meninggalkan tempat pelatnas. Ketika itulah, seseorang memberi tahu bahwa anak Winarni sakit parah dan membutuhkan biaya hingga ratusan juta untuk biaya pengobatan. “Winarni berniat jual rumah untuk kesembuhan anaknya,” ujarnya.

Hah, serius? Separah itu sakitnya?” tanya saya, tidak percaya.

Saya kemudian kembali mendekati Winarni untuk menanyakan kondisi anaknya. Ketika ditanya, Winarni langsung menangis. “Saya tidak mau bercerita tentang anak saya. Kalau ditanya (tentang anak), saya pasti menangis. Lagian kalau saya sudah cerita, memang ada yang mau membantu?” kata Winarni, sambil berurai air mata.

Kata-kata Winarni menyayat hati saya. Sebagai jurnalis, sejujurnya saya sempat merasa sanksi apakah tulisan saya akan berdampak untuk narasumber. Namun, sesegera mungkin saya tepis pikiran tersebut. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa untaian kata mempunyai kekuatan untuk menggerakkan hati manusia.

Saya selalu percaya bahwa karya jurnalistik mempunyai nasibnya sendiri, entah itu bernasib buruk, misalnya, dengan tidak dimuatnya sebuah tulisan, atau bisa juga bernasib baik dengan dimuatnya tulisan dan membawa manfaat bagi banyak orang. “Mudah-mudahan kali ini memberi manfaat,” kata saya dalam hati.

Kepada Winarni, saya sampaikan bahwa saya tidak berjanji karya jurnalistik yang akan saya buat bisa menolongnya. “Mungkin saja (tulisan) menjadi jalan, mungkin juga bukan jalan. Tetapi, kenapa tidak kita coba? Bukankah kita tidak boleh putus harapan, dan mencoba segala hal untuk menolong kesembuhan putra Ibu?”

Peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 Winarni (kanan) mengamati lifter Syarah Anggraini yang sedang berlatih untuk Asian Games 2018 di pelatnas angkat besi, Jakarta, Sabtu (28/7/2018. Tampil tenang dan percaya diri diharapkan jadi kunci kesuksesan atlet.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA)

Sesaat, Winarni terdiam. Dia menarik nafas panjang, kemudian mulai menceritakan nasib putra bungsunya, Achmad Fariz Taufik (2,5), yang terlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus atau kondisi tidak berkembangnya usus pada janin. Kondisi itu membuat Fariz tidak bisa menelan makanan dan minuman. Ia hanya bisa menjilat makanan, tetapi tidak boleh memasukkan makanan ke mulut. Selain kelainan itu, Fariz juga menderita gangguan jantung dan paru-paru.

Ketika masih berusia kurang dari 30 hari, Fariz sudah menjalani dua kali operasi, yaitu operasi untuk melubangi tenggorokannya sebagai jalan keluar air liur, serta operasi untuk membuat jalan makan di perut. Melalui jalan makan itu, susu disuntikkan setiap 1,5 jam tiap hari.

Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam.

Pernah suatu ketika Fariz meminta makan karena melihat kakak-kakanya menyantap makan siang. Akhirnya, Winarni mengizinkan Fariz menjilat makanan. “Jangan ditelan ya, Nak,” kata Winarni.

Winarni menuturkan, kalau sampai ada makanan atau cairan yang masuk ke tenggorokan anaknya, efek yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya karena benda itu bisa masuk ke organ tubuh lainnya.

Fariz pernah dirawat di RSCM selama tiga bulan. Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam. “Ketika itu, perawat tidak ada yang mau mengambil risiko karena kalau memompa jantung terlalu kencang bisa mengakibatkan jantungnya pecah. Kalau terlalu lambat, paru-paru pecah. Akhirnya saya sebagai ibu memompa jantung anak saya dengan tangan saya sendiri,” ujarnya.

Berita di Kompas saat Winarni juara dunia angkat besi pada 1997, terbit pada edisi 8 Desember 1997, halaman 16.

Keterbatasan biaya membuat Winarni kesulitan mengobati anaknya. Ketika Fariz menjalani operasi, Winarni dan suaminya harus tidur di emperan rumah sakit selama tiga bulan karena tak mampu menyewa kamar untuk bermalam. Setiap hari Winarni kepanasan dan kehujanan demi menantikan kesembuhan anaknya.

Winarni menceritakan kisah itu sambil terus terus-terusan menangis. Saya sampai harus mematikan perekam suara beberapa kali untuk menenangkan dia. Kata Winarni, dia tidak pernah menceritakan kondisi anaknya secara detail kepada orang lain, apalagi sampai diwawancarai seorang jurnalis. “Tetapi, beban ini tidak bisa saya tanggung sendirian,” kata Winarni.

Ketika mewawancarai narasumber, sebenarnya saya mudah tersentuh. Namun, kedalaman kesedihan Winarni membuat saya hanya bisa berdiam diri. Saya teringat keponakan saya yang berusia delapan bulan. Tidak tega rasanya membayangkan seorang bocah harus melalui perjuangan hidup yang begitu berat. Cerita Winarni juga membuat saya berkaca pada diri sendiri. Ketika setiap hari saya bisa menikmati kelezatan makan dan minum, ada anak yang tak bisa menelan setetes pun ASI.

Winarni mengatakan, ketika dirinya masih menjadi atlet, ibunya selalu berdoa siang dan malam agar dirinya menjadi juara dunia. “Sekarang saya sudah menjadi juara. Sekarang saatnya saya berdoa siang dan malam dan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Fariz,” kata dia.

Keesokan harinya, saya kembali ke pelatnas angkat besi. Saya masih melihat Winarni menangis dan saya kembali berusaha menenangkannya. Saya sampaikan bahwa saya memerlukan data-data pendukung. Namun, karena ini berkaitan dengan istilah medis, saya perlu Winarni menjelaskan secara rinci. “Saya mohon Ibu Winarni jangan menangis dulu, yaa. Penjelasan Ibu sangat penting untuk tulisan ini,” kata saya.

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, saya baru berani menulis kisah Winarni dengan judul: “Mantan Atlet Angkat Besi: Juara Dunia Berjuang demi Kesembuhan Anak”. Tulisan itu dimuat di Kompas, Minggu (29/7/2018).

Siapa sangka, setelah dimuat, tulisan tersebut ramai dibicarakan warganet. Melalui Twitter, foto kliping tulisan itu dibagikan oleh penulis dan konsultan kreatif Maman Suherman. Dalam cuitannya, Maman menuliskan pada kolom komentar, ”Pak Presiden @jokowi, Pak Menpora @KEMENPORA_RI, bisakah mantan juara dunia dan peraih perunggu Olimpiade Sydney 2000 ini dibantu? Terimakasih. @hariankompas”. Cuitan tersebut telah dibagikan ulang hingga lebih dari 2.000 kali, disukai lebih dari 1.000 orang, serta mendapat komentar dari ratusan warganet.

Pada Minggu siang, Media Relation dari platform penggalangan dana digital Kitabisa.com, Alvi Anugerah, menghubungi saya. Alvi menyampaikan bahwa Maman Suherman berencana membuat penggalangan dana untuk Winarni dan anaknya Fariz. Hal itu dilakukan karena banyak warganet yang tertarik untuk membantu, salah satunya dari mantan Wakil Menteri Perdagangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II Bayu Krisnamurthi.

Pada hari yang sama, halaman penggalangan dana pun diluncurkan. Kurang dari dua hari, penggalangan dana sudah menembus Rp 100.000.000 dari target Rp 300.000.000. Dalam satu pekan, atau pada Rabu (8/8/2018) pukul 12.00, donasi terkumpul melalui http://kitabisa.com/atletangkatbesi mencapai Rp 267.537.523 dari 1.388 donatur.

Masyarakat urunan membantu, mulai dari yang nilainya puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Masyarakat juga membantu dengan menyebarkan link donasi sehingga aksi penggalangan dana semakin tersebar. Di antara masyarakat yang menolong ada juga penyanyi Raisa.

Donasi untuk Winarni yang terkumpul pada https://kitabisa.com/atletangkatbesi itu belum termasuk bantuan dari PT Toyota Astra Motor yang menyumbang Rp 80 juta dengan cara membeli foto ”Ajang Pacu Jawi” karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, saat lelang foto pada pembukaan Festival Fotografi Kompas (FFK) di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (31/7/2018) malam. Dato Sri Tahir dari Mayapada Group juga menyumbang Rp 50 juta. Winarni juga mendapat bantuan Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta, serta dari pengunjung festival Rp 4,27 juta dan 100 dollar AS.

Di luar bantuan donasi, beberapa warganet berencana mengunjungi Fariz saat bocah itu dioperasi. Ada juga masyarakat yang menghubungi untuk mengajak Winarni masuk dalam supporting group WhatsApp, yang berisikan 21 orang tua dengan anak yangterlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus. “Melalui grup ini, kami saling mendukung untuk memberikan kekuatan mental kepada orang tua dengan anak-anak hebat,” kata salah satu anggota grup.

Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria.

Mendapat berbagai uluran bantuan dari masyarakat, Winarni merasa sangat bahagia. “Beberapa hari lalu saya bingung bagaimana membeli susu untuk Fariz, tetapi sekarang masyarakat banyak membantu. Dulu, saya juga merasa sendirian, tetapi sekarang banyak teman-teman yang datang memberi dukungan,” katanya.

Pada Selasa (7/8/2018) kemarin, Fariz dibawa dengan menggunakan kapal laut dari Lampung ke Jakarta untuk konsultasi dengan dokter anak, dokter nutrisi, dan dokter bedah di RSCM dan RSPI. Rencananya, apabila kondisi Fariz stabil, bocah itu akan segera dioperasi untuk menarik usus besar dari ke tenggorokan sebagai jalur makan.

Winarni mengatakan, bantuan masyarakat membuat Fariz lebih ceria. “Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria. Setiap hari dia berlarian dan mudah tertawa. Sepertinya Fariz tahu sebagian beban orang tuanya sudah terangkat sehingga hal itu mempengaruhi mood Fariz,” kata Winarni.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi bediri di samping foto karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, yang dilelang untuk membantu Winarni, Selasa (31/7/2018). (KOMPAS/FRANSISKUS WISNU W DANY)

Maman Suherman mengatakan, bantuan yang mengalir untuk Winarni tidak lepas dari kekuatan pena yang telah menggerakkan hati manusia. “Terimakasih, dirimu sudah menjadi pembuka jalan. Kekuatan pena….” tulis Maman Suherman melalui pesan WhatsApp, pekan lalu.

Maman mengatakan, ini merupakan pertama kali dirinya menjadi inisiator penggalangan dana. “Saya terdorong oleh berita di Kompas,” katanya. Duta Literasi Iluni UI dan Sahabat Literasi Kemendikbud ini mengatakan, Indonesia berutang budi dan rasa terhadap Winarni. “Berkat perjuangan Winarni dulu kita merasa bangga mempunyai juara dunia pertama untuk Indonesia. Sekarang, biarkan kita berjuang untuk Winarni,” kata Maman.

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, penggalangan dana untuk Winarni dilakukan sebagai respons terhadap pemberitaan Kompas pada Minggu (29/7/2018). Setelah berita mengenai perjuangan Winarni dan anaknya dimuat, masyarakat tergerak untuk berdonasi. ”Jurnalisme tidak hanya bertugas membagikan informasi, tetapi juga harus mampu menggerakkan hati orang lain. Membangkitkan empati dan solidaritas,” ujar Budiman, Selasa malam, dalam pembukaan Festival Fotografi Kompas.

Sebagai jurnalis yang memberitakan kisah ini, muncul perasaan bahagia. Saya tersentuh karena sebuah tulisan ternyata bisa menjadi jalan dan menggerakkan hati manusia. Saya juga sadar, sebuah kebaikan bisa menular pada kebaikan-kebaikan selanjutnya.

Saya teringat Winarni sudah hampir putus harapan. Tetapi, masyarakat datang memberi pertolongan. Uluran tangan masyarakat telah menumbuhkan kembali harapan bagi Winarni dan keluarga.

(Tulisan ini dimuat di https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/09/ketika-kekuatan-pena-menggerakkan-hati-manusia/ tanggal 9 Agustus 2018)

 

Keterangan cover:

Winarni, lifter juara dunia angkat besi 1997 dan peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 (kiri) menerima bantuan dari hasil lelang foto dari Executive General Manager PT Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto senilai Rp 80 juta disaksikan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot S Dewabroto (kanan) pada penutupan acara Festival Fotografi Kompas Sportscapes di Bentara Budaya Jakarta, Minggu (5/8/2018) malam. Selain itu, Winarni juga menerima bantuan untuk pengobatan putranya Achmad Fariz Taufik dari filantropis Datuk Sri Tahir senilai Rp 50 juta, Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta serta sumbangan dari pengunjung festival senilai Rp 4,2 juta dan 100 dollar AS. (KOMPAS/Priyombodo)

Read more

Matahari bersinar terik ketika perahu dengan muatan sekitar 200 orang mengarungi Sungai Chao Phraya yang membelah kota Bangkok dan menjadi urat nadi transportasi orang Thailand pada masa silam. Pelayaran dengan perahu membawa penumpang melihat rumah-rumah sederhana yang berdiri kokoh diapit situs-situs bersejarah dan bangunan-bangunan mewah. Sebuah petualangan unik untuk menikmati kota metropolitan Bangkok, selain dengan berbelanja!

Selama hampir dua pekan, pada pertengahan Mei lalu, saya bertugas meliput kejuaraan bulu tangkis beregu Piala Thomas dan Uber di Bangkok, Thailand. Menjelang berakhirnya penugasan, seorang rekan jurnalis mengajak saya menghabiskan waktu luang dengan berbelanja di Mah Boon Khrong Center (lebih dikenal dengan MBK Center).

MBK Center merupakan pusat perbelanjaan yang terkenal di Bangkok, yang terhubung dengan pusat perbelanjaan lainnya, yaitu Siam Discovery dan Siam Paragon. Dengan ketinggian delapan tingkat, pusat perbelanjaan ini berisi sekitar 2.000 toko dan restaurant. Beragam benda dan pernak-pernik dijual di sana, mulai dari pakaian, alas kaki, make-up, hingga sarung bantal dan bed-cover.

Duh, ngapain yaa ke MBK Center?” tanya saya.

Belanja, dong… Di sana barangnya murah-murah,” jawab teman saya.

Begitu sampai di MBK Center, sesungguhnya saya kurang terkesan karena suasananya mirip dengan pusat grosir yang banyak bertebaran di Jakarta. Dalam hati muncul pertanyaan: “Masa jauh-jauh ke Bangkok, jalan-jalannya ke ITC juga… Apakah Bangkok memang hanya terkenal untuk berbelanja, atau sebenarnya ada tempat wisata lain yang menyenangkan?”

Berbekal panduan situs-situs perjalanan di internet, seperti TripAdvisor, rome2rio.com, dan getyourguide.com, bersama wartawan The Jakarta Post, Ramadani Saputra, saya menjelajahi sisi lain Bangkok! Tujuannya adalah mengunjungi kuil yang menjadi ikon kota Bangkok, yaitu Wat Arun dan Wat Pho, di mana pengunjung bisa melihat patung Buddha dengan posisi sedang tertidur, atau biasa disebut dengan patung Sleeping Buddha.

Kedua kuil tersebut terletak tidak terlalu jauh dari MBK Center, hanya sekitar 7,7 kilometer dan dapat ditempuh dengan berbagai moda transportasi darat, seperti taksi, bus, ataupun tuk-tuk (becak khas Thailand). Di depan MBK Center, beberapa pengemudi tuk-tuk menawari Dani dan saya perjalanan dengan tarif 150 THB (sekitar Rp 70.000). Saya berusaha menawar, tetapi tidak ada pengemudi yang bersedia menurunkan harga.

Kemudian muncul ide untuk naik kereta melayang BTS Skytrain. Dengar-dengar, BTS Skytrain merupakan sistem transportasi paling nyaman dan cepat di Bangkok. Dengan naik kereta layang, wisatawan tidak perlu tertahan berjam-jam di antara kemacetan jalan raya Bangkok.

Gimana, setuju gak naik BTS Skytrain?” tanya saya. Dani menganggukkan kepala.

Saat berada di stasiun Stasiun Museum Nasional, yang berada di dekat MBK Center, saya sempat bingung karena tak ada petugas yang berbicara dalam bahasa Inggris. Selain itu, kebanyakan petunjuk arah tertulis dalam huruf Thailand.

Sekali lagi, beruntunglah sejumlah situs perjalanan menjelaskan rute perjalanan dengan rinci. Selama berada di Thailand, sesungguhnya saya merasa seperti tokoh animasi televisi anak-anak, Dora The Explorer. Kalau Dora bertanya pada peta yang muncul dari tas merahnya, saya harus berkali-kali mengecek situs perjalanan melalui telepon genggam untuk mendapatkan petunjuk jalan.

Oleh situs perjalanan TripAdvisor, saya diarahkan naik BTS Skytrain dari Stasiun Museum Nasional ke Stasiun Saphan Taksin. Kemudian, saya berjalan kaki ke pelabuhan Sathorn Pier. Dari sana, saya naik perahu ke Tha Thien, kemudian tinggal berjalan kaki ke Wat Arun.

Biaya perjalanan dengan menggunakan BTS Skytrain dan perahu sebesar 90 THB (sekitar Rp 41.000) per orang. Meskipun lebih mahal dari pada naik tuk-tuk, ada pengalaman berharga yang didapatkan, yaitu mencicipi perjalanan dengan menggunakan kereta layang dan perahu.

Dari perjalanan ini, saya memahami bahwa kualitas pelayanan transportasi publik di Bangkok seperti kereta layang dan MRT terkelola dengan baik. Buktinya, kedatangan dan kepergiaan kereta tak pernah meleset dari jadwal, kondisi stasiun dan kereta sangat modern dan bersih, halte dan stasiun juga saling terhubung sehingga memudahkan penumpang yang ingin berganti moda transportasi.

Hal yang juga mengesankan adalah perilaku para penumpang tertib! Tak peduli sepadat apapun kondisi stasiun, penumpang selalu mengantre ketika masuk atau keluar kereta. Para penumpang juga tidak pernah menyerobot menguasai kursi prioritas. Ah, kondisi seperti ini membuat saya mau-tak-mau membandingkan dengan kondisi di Jakarta, tempat saya melewatkan banyak hari-hari!

Di Sungai Chao Phraya saya melihat rumah-rumah sederhana dapat berdiri berdampingan dengan perkantoran dan apartemen mewah, perkampungan China yang unik dan legendaris, serta berbagai kuil. Di antara pepohonan, saya juga melihat atap Istana Raja yang megah.

Saya jadi ingat, seorang pengamat tata kota pernah mengatakan, diperlukan kepedulian untuk membangun kota sekaligus merawat situs-situs bersejarah sebagai identitas dan ciri khas kota itu.

Sebuah kota, selayaknya manusia yang senantiasa hidup bersama jalinan pengalaman masa lalu. Terlepas dari kenangan yang dapat dimaknai baik atau buruk, pengalaman-pengalaman itu yang membawa kita ke mana kita sekarang.

Setelah puas berkunjung ke Wat Arun dan Wat Pho, Dani dan saya naik taksi menuju penginapan di Muang Thong Thani. Pengemudi taksi yang membawa kami bertanya: “Kenapa kalian naik perahu ke Wat Arun? Kenapa tidak naik bus atau taksi dari MBK Center, yang lebih cepat dan murah?”

Dani dan saya tertawa. Kami baru sadar bahwa perjalanan menyusuri Sungai Chao Phraya hanyalah “gimmick” belaka untuk menghidupkan atraksi wisata di Bangkok. Ada perasaan ganjil sebenarnya, untuk apa susah-susah membelah sungai kalau ada perjalanan darat yang lebih mudah?

Sejujurnya, kontur Sungai Chao Phraya yang panjang dan berkelok-kelok tak berbeda jauh dengan belasan sungai yang membelah kota Jakarta. Perbedaannya mungkin terletak pada sungai mana yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menjadi magnet wisata. Sepanjang jalan menuju penginapan saya bertanya-tanya, seandainya saja Kali Angke bisa dijadikan atraksi wisata, apakah pelayanan kepada penumpang bisa profesional seperti yang ada di Bangkok?

Ngomong-ngomong, kalau saya mau naik bus ke penginapan apa bisa?” saya bertanya kepada pengemudi bus.

Tentu bisa. Tetapi, saya tidak tahu kamu harus naik bus nomor berapa, atau jam berapa. Sepertinya, hanya sopir bus dan Tuhan yang tahu kapan bus beroperasi,” jawab sopir taksi.

Sekali lagi, Dani dan saya tertawa. Ah, ternyata terkait bus umum, Bangkok dan Jakarta sama saja!

Hanya membutuhkan waktu sekitar enam jam untuk menjelajahi kota Bangkok dan melihat-lihat keunikan Wat Arun dan Wat Pho. Kelestarian kuil bersejarah di tengah kota canggih Bangkok menyadarkan bahwa masa lalu dan masa depan seperti garis perjalanan yang saling bersinggungan dan tak pernah saling meninggalkan.

Selama mengunjungi di situs-situ sejarah yang kaya nilai budaya itu, saya berinteraksi dengan masyarakat lokal, berfoto-foto, dan juga berbelanja oleh-oleh di pedagang eceran yang berada di sekitar pusat wisata. Harga empat gantungan kunci di sebuah toko kelontong di Wat Pho hanya 100 THB (Rp 46.000). Harga yang sama untuk sebuah gantungan kunci di MBK Center (dalam hati menjerit: tuhhkaannn, semurah apa pun berbelanja di ruang ber-AC ternyata lebih murah berbelanja langsung di UMKM).

Dari pengalaman ini saya semakin yakin bahwa atraksi wisata di Bangkok memang tidak hanya berbelanja!

Seorang teman dari Perancis mengatakan, dirinya menikmati banyak kegiatan seru (selain berbelanja) selama berada di Thailand, seperti belajar makan dengan sumpit, mencoba mengemudikantuk-tuk, dan menikmati segelar bir dingin di rooftop hotel. Pengalaman perjalanan itu memang unik, beragam, dan tak terbatas, tinggal bagaimana seorang pejalan dapat memetik suatu peristiwa dan mengukirnya dalam ruang bernama kenangan. (Denty Piawai Nastitie)

Read more

Chiang Mai, atau Chieng Mai, adalah kota kedua terbesar di Thailand, setelah Bangkok. Sekilas, suasana di Chiang Mai mengingatkan saya pada Kota Magelang, di Jawa Tengah.

Karena berada di daerah pegunungan, udara di kedua kota ini terasa sama-sama sejuk dan segar, juga relatif jauh dari kebisingan kota. Selain itu, penduduk di Chiang Mai dan Magelang sama-sama ramah, dan kedua kota ini mempunyai situs-situs religius yang membuat pengunjung seperti menyusuri lorong waktu dan menikmati wisata batiniah (cocok banget daah buat yang sering galau dan pengen cari tempat untuk menenangkan jiwa :p).

Perjalanan saya di Chiang Mai, yang hanya dua hari, memang tak dapat menggambarkan kota ini secara keseluruhan. Tetapi, dalam dua hari itu, saya merasa diperkaya dengan berbagai pengalaman perjalanan. Belum puas memang, namanya juga manusia kapan sih pernah puas! 

Maka, pada hari terakhir di Chiang Mai, sebenarnya tidak banyak hal yang saya lakukan. Saya hanya ingin menikmati pusat kota ini, agar bisa menyerap detil-detil kota sebelum esok hari berpindah ke tempat lain.

Setelah pada pagi-siang hari menjelajahi candi Doi Suthep, siang-sore saya hanya leyeh-leyeh di hostel, malam harinya saya ke Chiang Mai Night Bazaar. Di tempat itu, saya berbelanja oleh-oleh dan menikmati makan malam berupa mi rebus dan potongan daging seafood. Menjelang pukul sembilan malam, saya membeli segelas bir lokal seharga 80 bath, kemudian duduk di sudut pasar sambil menikmati pertunjukan musik.

Saat bersiap meninggalkan Night Bazaar, saya melihat seseorang (perempuan?) terlihat nyentrik dengan rambut berwarna merah menyala, mini dress putih dengan sepatu booth dengan high heels, dan tak lupa, make-up tebal! Weew! Ladyboy!

Jujur saja, saya memang penasaran ingin berjumpa ladyboy yang kata orang-orang sangat cantik dan mudah dijumpai di Thailand. Saking banyaknya ladyboy di Thailand, sering kali teman-teman saya bergurau: “Jangan-jangan itu ladyboy!” saat berpapasan dengan perempuan cantik ala kutilang alias kurus, tinggi, dan langsing di ruang publik.

Tetapi yahh, kita ‘kan nggak pernah tahu masa lalu seseorang… we can’t never never really know someone’s past life (kalaupun tahu orang itu ladyboy atau bukan, buat apaaa hahaha). 

Di Chiang Mai, saya berjumpa dengan ladyboy entertainers… mereka berdandan super heboh memang karena ingin tampil pada sebuah pertunjukan.

Semula, saya pikir ladyboy entertainers banyak berada di Bangkok, atau daerah wisata pesisir seperti Phuket dan Pattaya. Perjumpaan dengan ladyboy entertainers di Chiang Mai yang merupakan daerah pedesaan, sesungguhnya di luar ekspektasi saya.

Saya segera berjalan menghampiri seseorang dengan rambut merah menyala itu, ingin melihat ladyboy dari dekat. Di Thailand, ladyboy sering disebut dengan istilah kathoey. Begitu tahu saya datang, kathoey itu menunjukkan brosur bertuliskan Cabaret Show.

Jam berapa Cabaret Show mulai?” saya bertanya. “15 menit lagi,” jawabnya.

Sesaat, saya mempertimbangkan untuk menyaksikan penampilan cabaret show seharga 350 THB (sekitar Rp 170.000). Worthy kaah? Hmmm… Tetapi, bukankah kesempatan tak datang dua kali. Mungkin, menyaksikan ladyboy adalah cara yang tepat untuk mengakhiri perjalanan di Chiang Mai. Nanti dapat minum gratis!” kata ladyboy itu, menarik perhatian saya. Saya sepakat!

Menjelang pukul 21.30, orang-orang asing mulai berdatangan. Bar yang dipakai untuk Cabaret Show, yang mulanya hanya berisi kursi-kursi kosong, mendadak penuh dengan para wisatawan. Mereka datang berpasangan, atau berkelompok. Sepertinya hanya saya yang solo traveler.

Linly, manajer operasional Cabaret Show, mengarahkan saya duduk di bagian tengah bar. Sebuah tempat yang oke untuk motret pertunjukan, sebenarnya. Tetapi, saat saya menoleh, ada seorang pria berusia 40 tahun-an, yang duduk seorang diri. “Ah sial, duduk dekat om-om, malas banget!!” kata saya, dalam hati.

Saya segera berdiri, untuk mencari tempat lain. Sempat agak bingung karena bar sudah hampir penuh. Sebagian lampu sudah mulai dipadamkan sehingga suasana jadi remang-remang. Saya benar-benar kayak anak ilang karena bingung mau duduk di mana.

Saat itulah, Gaby, seorang perempuan Amerika Serikat (yang duduk bersama pasangannya Jeff) menawarkan tempat duduk kosong di sebelahnya untuk saya. “Di sini saja!” kata dia. Ahh, baik sekali pasangan ini!

Selama sekitar satu setengah jam menyaksikan ladyboy, saya merasa benar-benar terhibur. Sebelum pertunjukan dimulai, saya sudah ketawa-ketawa sendiri melihat aksi para kathoey itu menyambut pengunjung-pengunjung cowok datang.

Kathoey dengan pakaian sexy dan make up tebal (dan tentu saja warna lipstik merah menyala) menyambut kedatangan cowok dengan mencium pipi mereka! Beberapa cowok terlihat jijik dan malu-malu, sebagian lainnya malah senang dan minta dicium lagi! HAHAHAHA. 

Sempat kecewa sih, kenapa yang dicium hanya cowok-cowok yaaa… kalau ini cara mereka menyambut tamu datang, seharusnya ‘kan semua pengunjung diperlakukan sama dong. Kenapa ladyboy-nya pilih-pilih! Huhu… Lagi mikir seperti ini, Linly menghampiri saya, segera saja saya ajak foto selfie! Lumayaan laah… gak dapat sun pipi, dapat foto selfie 😀

Menyaksikan pertunjukan ladyboy ini sangat seru! Mereka pakai baju yang super heboh berwarna mencolok dan juga rumbai-rumbai di tangan dan kaki. Dengan pakaian seperti itu, kathoey menari, menyanyi, dengan tingkah yang sangat lucu. Kecuali kebiasaan ladyboy meminta uang ke pengunjung (buat foto atau alasan2 lain), secara keseluruhan saya menikmati pertunjukan.

Di atas panggung, ladyboy bernyanyi lipsync lagu-lagu pop seperti Love You Like A Love Song Baby-nya Selena Gomez. Seiring musik yang kian menghentak, ladyboy melepas sebagian pakaian atau atributnya sehingga tampil sexy di atas panggung. Tentu saja aksi ini bikin penonton heboh tertawa-tawa dan bertepuk tangan!

Ada juga ladyboy yang jago meliuk-liukkan tubuh di tiang. Dengan badan yang kurus, kulit putih, rambut panjang, sekilas memang penampilan mereka seperti seseorang yang secara biologis lahir sebagai perempuan (ladyboy aja laur biasa cantik yaaakkk… apa kabar lemak-lemak di badan gue nih! wkwkwk). 

Bagi saya, yang paling seru adalah ketika Linly mengajak lima hingga enam penonton cowok untuk naik ke atas panggung. Mereka kemudian didandani selayaknya perempuan, dengan rok mini dan sepatu tinggi. Juga memakai wig berwarna-warni. Tanpa jaim, cowok-cowok itu beraksi di atas panggung. Aksi mereka membuat bar banjir dengan gelak tawa.

Gaby, mengatakan, di Amerika Serikat banyak lokasi untuk menyaksikan Cabaret Show. Biasanya, entertainers-nya adalah para pria yang berdandan seperti perempuan. “Berbeda dengan di Thailand, di mana mereka adalah ladyboy sungguhan,” katanya.

Pertunjukan Cabaret Show yang ada di Chiang Mai, menurut Gaby, adalah salah satu yang terbaik di Thailand. Fakta ini menurut saya cukup menarik karena Chiang Mai dikenal dengan situs-situs relijiusnya. Pada waktu bersamaan, Chiang Mai menawarkan gemerlap kehidupan ladyboy, yang di negara-negara lain keberadaannya selalu menimbulkan pro-kontra.

Keesokan harinya, kepada teman asal Perancis, saya menceritakan pengalaman menyaksikan ladyboy di Chiang Mai. Dari ekspresinya, dia kelihatan tidak nyaman dengan kehadiran para ladyboy. Saya sadar, ladyboy selama ini sering dianggap sebelah mata. Banyak teman-teman (terutama cowok) di sekitar saya, merasa kurang suka dengan kehadiran mereka.

Teman saya asal Perancis itu bertanya: “Kenapa di Thailand banyak ladyboy?”

Sejenak saya berpikir, dan menimbang-nimbang jawaban. “Saya sih nggak tahu persis yaa gimana sejarahnya,… setahu saya di Thailand, ladyboy memang dianggap bukan sebagai penyimpangan. Di dalam budaya Thailand, kathoey dianggap sebagai karma dari kehidupan sebelumnya. Keberadaan mereka bukan sesuatu yang harus dihindari atau dicemooh, justru harus dirangkul….”

Selain itu, ajaran agama Buddha, yang dianut sebagian besar masyarakat Thailand, menekankan pentingnya membangun perdamaian dan toleransi terhadap berbagai hal yang sering dianggap tabu di negara lain…”

“Well yeah, di negara Asia lain seperti Indonesia, agama yang dianut masyarakat juga sebenarnya mengajarkan perdamaian dan toleransi… tetapi tau sendirilaah bagaimana ada kelompok-kelompok tertentu yang selalu menarik-narik segala sesuatu pada dua sudut yang saling bertolak belakang, dan sering juga menebar teror dengan berbagai tindakan anarkis… ditambah lagi penegak hukum yang sering kali bersikap tidak melindungi seluruh lapisan masyarakat… jadinya keberadaan ladyboy di negara-negara lain – seperti di Indonesia, di mana ladyboy, atau transgender, atau waria – bagaikan ada dan tiada…”

Kepada si teman Perancis, saya juga menyampaikan, setahu saya, identitas gender tidak cuma perempuan dan laki-laki, ada yang disebut gender nonconformity, di mana ekspresi gender yang disampaikan seseorang tersebut dinilai nggak pas dengan norma gender “maskulin” dan “feminim”. Keberadaan ladyboy itulah contohnya…

Teman saya mengangguk-angguk,… mungkin dia mengantuk dengar saya ngomong. 

Setelah ada jeda beberapa saat, dia bilang: “Saya tetap nggak mau nonton pertunjukan ladyboy”.

Buat saya, menyaksikan atau tidak menyaksikan pertunjukan ladyboy itu pilihan individu. Tetapi, sebuah sikap kalau sudah berunjung pada tindakan pelecehan dan kekerasan kepada orang lain, itu yang harus diperangi bersama. 

 

Jakarta, 5 Juni 2018

Denty Piawai Nastitie

Read more

Teman saya, Wahyu, sudah lebih dari 30 kali naik Gunung Pangrango. Kadang-kadang bersama teman, sering juga dia berjalan sendirian. “Kenapa sih lo suka banget naik Pangrango?” saya bertanya.

“Di Mandalawangi sepi… enak untuk berdiam diri. Merenung. Rasanya tenang. Coba deh, sekali-kali naik Pangrango sendirian,” katanya.

Nanti ya Kak, kalau gue lagi galau akut dan butuh merenung, gue naik Pangrango sendirian,” jawab saya.

Saat itu, kami sedang menyusuri jalan setapak menuju puncak Pangrango. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang membuat Pangrango memiliki daya tarik sampai membuat banyak orang jatuh hati, tertutama pada Mandalawangi.

Bagi saya, ini bukan pertama kali naik Gunung Pangrango. Pada percobaan pendakian yang pertama, Oktober 2017, saya gagal mencapai puncak karena ada badai besar. Ketika itu, langkah saya dan kawan-kawan, terhenti di pusat perkemahan Kandang Badak. Kegagalan, tidak membuat saya patah arang. Saya justru termotivasi, untuk kembali…

Pada pendakian yang kedua ini, saya berangkat bersama kawan-kawan: Wahyu, Rico, Inang, Agnes, dan Rakhmat. Kami berjalan mulai pukul 06.00 melalui Jalur Cibodas dengan optimisme tinggi dan semangat berkobar-kobar. Saya selalu yakin, gunung boleh sama, tetapi kawan dan cerita perjalanan selalu berbeda.

Sepanjang perjalanan, saya merasa seperti kembali ke masa lalu…. melalui segala sesuatu yang pernah dilewati: jalur tanah setapak, Jembatan Jurassic Park, Telaga Biru, air terjun, pohon-pohon besar, tumbuhan liar dan bebatuan, semua terasa sama dengan sejak terakhir kali saya mendaki Gunung Pangrango. (Ohyaa, ada yang berbeda yaitu bunga-bunga liar yang mulai bermekaran!)

Perjalanan dari Basecamp Cibodas hingga Kadang Badak memakan waktu sekitar enam jam. Perjalanan melewati beberapa pos peristirahatan, yaitu Rawa Panyangcangan, Rawa Denok 1 dan 2, Batu Kukus 1, 2, dan 3, Kandang Batu, dan terakhir Kandang Badak. Di sini, jalur terbagi dua, ke kiri ke puncak Gunung Gede, sementara ke kanan ke puncak Gunung Pangrango.

Sepanjang perjalanan, saya tidak menemukan kesulitan berarti kecuali rasa kantuk sering mengacaukan fokus dan konsentrasi. Beberapa kali, saya berjalan oleng karena mengantuk. Untung aja nggak sampai terperosok ke jurang! Rasa kantuk juga membuat kepala pusing dan nafsu makan bertambah (hahaha ini mah gak usah ngantuk juga bawaannya laper terus :p).

Di Kandang Badak, teman-teman dan saya beristirahat sambil menikmati makan siang. Setelah makan, Wahyu menyodorkan secangkir teh panas manis. Wahyu ini sering banget bikin teh panas manis. Kata dia, ngeteh di gunung itu wajib karena memberi energi, ketenangan, dan kehangatan. Iyee… iyee… dehh terserah looo…” kata saya dalam hati. 😛 *saya gak boleh ngeyel sama kuncen gunung yang sudah 30 kali naik Pangrango… *langsung ditoyor

Kelak saya baru tahu, melalui secangkir teh, ada pesan tersirat yang ingin disampaikan mengenai medan perjalanan yang akan kami hadapi selanjutnya. Sebuah perjalanan panjang yang menguras emosi, tenaga, jiwa, melatih kesabaran, menguji mental, dan tentu saja tak akan terlupakan. Di bawah rimbunnya pepohonan, secangkir teh panas manis menjelma menjadi sumber kekuatan dan obat penenang, sebelum kekalutan datang. *anjaayyy omongan gue hahaha

Pukul 13.30, Wahyu, Rico, dan saya, berjalan menembus tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menggapai Puncak Pangrango. Adapun Rakhmat, Agnes, dan Inang menjadi rombongan kedua yang berjalan di belakang.

Mat, tenaga gue udah mulai terkuras nih,” kata saya ke Rakhmat sebelum melangkahkan kaki.

Tenang, jalurnya tanah kok. Lebih empuk. Lo pasti bisa sampai puncak,” kata Rakhmat.

Mungkin Rakhmat lupa menyebutkan bahwa jalurnya berupa tanah… DAN TEMAN-TEMANNYA, yaitu akar-akar tanaman besar, batang pohon tumbang, bebatuan besar, gundukan tanah, jurang, lembah, lumpur, jalur air, dan semak belukar.

Menurut saya, perjalanan ke Gunung Pangrango ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum Kandang Badak dan setelah Kandang Badak. Kalau dari basecamp hingga Kandang Badak perjalanan ini menguras fisik, dari Kandang Badak ke puncak lebih menguras mental dan emosional. Perjalanan ke puncak melewati jalur yang menantang tanpa pos peristirahatan. Sepanjang jalan juga hampir tidak ada bonus (sebutan para pendaki untuk jalan datar). Di jalur inilah, ketabahanmu sebagai manusia diuji!

Pada 20 menit pertama, jalur perjalanan terasa menantang dan menyenangkan,… selanjutnya,… waktu bergerak 30 menit, 40 menit, kemudian 50 menit, 60 menit… dan perjalanan semakin terasa menyengsarakan!

Kata Wahyu, perjalanan masih panjang. Tantangan sebenarnya masih berada di depan. Alamak!!! Rico dan saya, yang baru pertama kali mendaki ke puncak Gunung Pangrango hanya bisa pasrah menjalani tantangan dalam perjalanan.

Infonya, perjalanan dari Kandang Badak ke Puncak Pangrango memakan waktu 3-4 jam. Dengan pace perjalanan yang bisa dibilang cukup cepat dan hampir tanpa istirahat, mulanya saya yakin bisa sampai puncak dalam waktu tiga jam. Tetapi, ketika tiga jam berlalu bergitu saja, dan puncak yang dinanti terasa masih sangat-sangat jauh, pada titik itulah, tekad ini mulai mengendur. Kenyataan yang berjalan tak sesuai ekspektasi pelan-pelan membunuh semangat dan daya juang.

Masih jauh gak?” tanya saya kepada Wahyu, yang berjalan di depan.

Sedikit lagi… Itu puncaknya sudah kelihatan,” jawab Wahyu. Lebih dari sepuluh kali dia bilang “Sedikit lagi… ”. Tetapi, bukannya semakin dekat, puncak Gunung Pangrango justru terasa semakin jauh… dan abstrak (seperti masa depan hahaha). 

Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango, saya sadar… keberadaan akar dan batang pohon tumbang adalah rintangan, sekaligus sumber pertolongan. Beberapa kali saya kesulitan melewati jalur, bahkan hampir terperosok ke jurang, namun akar-akar pohon justru menyelamatkan nyawa saya! Ketika hampir terjerumus dalam bahaya, saya berpegangan pada akar-akar pohon atau mencoba bertahan dengan memegang batang pohon tumbang… Perjalanan ini mengingatkan saya bahwa tak selamanya rintangan dalam kehidupan itu buruk… dengan adanya rintangan justru membawa kita ke tempat yang lebih tinggi, dan lebih berarti.

Dalam perjalanan ini, saya juga melihat tanaman anggrek hutan yang memberi warna pada jalur pendakian. Bukankah dalam kesulitan sekalipun, selalu ada hal-hal sederhana yang memberi warna? 🙂

Pukul 17.30 warna langit mulai berubah menjadi kuning kemerahan, tanda senja mulai datang. Sesaat, Wahyu, Rico, dan saya menatap matahari yang tenggelam. Pupus sudah harapan melihat sunset di Lembah Mandalawangi. Langit yang mulai gelap menghadirkan tantangan selanjutnya, yaitu perjalanan malam menembus hutan belantara.

Perjalanan malam itu nggak enak, karena membuat manusia jadi tak punya kuasa untuk mengontrol sesuatu di luar dirinya. Jarak pandang mata kian terbatas. Energi semakin terkuras. Dingin semakin menusuk tulang. Harapan pelan-pelan tenggelam. Perjalanan tambah terasa panjang. Sempat muncul keinginan menyerah, tetapi berbalik arah sama sulitnya dengan melanjutkan perjalanan.

Ayo, Mandalawangi menunggu!!” kata Wahyu, saat melihat saya kepayahan.

Kata-kata itu  sedikit menghibur. Selama bertahun-tahun saya menantikan perjumpaan dengan Mandalawangi, yang berada di dekat puncak Gunung Pangrango. Mengetahui Mandalawangi sedang menunggu (kehadiran saya), membuat hati ini berseri-seri.

Penantian ini, semoga tidak bertepuk sebelah tangan.

Pukul 19.30, di antara kabut tipis yang menuruni lembah dan di antara remah-remah harapan yang bentuknya sudah tidak keruan, saya melihat tugu triangulasi Pangrango. “Welcome to Puncak Pangrango… Maaf ya, jalurnya berat,” kata Wahyu.

Rico dan saya tertawa. “Hahaha! Maaf juga sudah hampir menyerah…” kata saya.

Bertiga kami lalu berjalan di tanah setapak yang agak menurun, menembus semak belukar. Samar-samar, pandangan mata saya melihat ke arah kelopak bunga putih di tengah tanah lapang,… gumpalan bunga edelweis terlihat seperti awan putih di langit hitam… “Mandalawangi…” saya berbisik di antara embusan angin malam. Spontan, air mata menetes. Ada rasa haru dan syukur yang menjadi satu. Perjalanan selama 14 jam yang menantang dan menyengsarakan, terbayar dengan keheningan malam Mandalawangi.

Keesokan harinya, begitu keluar dari tenda, saya melihat Mandalawangi dengan lebih jelas. Sebuah daerah dataran tinggi kesayangan Soe Hok Gie yang dihiasi dengan bunga-bunga edelweis dan cantigi. Matahari pagi perlahan muncul, memberi cahaya kuning kemerahan pada tanaman yang tumbuh liar dan abadi.

Sambil membaringkan tubuh di atas rerumputan, saya memandang awan yang berarak di langit. Mendengarkan suara aliran air di sungai kecil. Merasakan angin pegunungan yang bertiup sejuk. Di Lembah Kasih Mandalawangi, saya menikmati waktu yang bergerak lambat,… mengurai semua rasa yang akhir-akhir ini mengganjal hati. Di Lembah Kasih Mandalawangi, manusia, rasa, dan semesta terasa menjadi satu. Saya menikmati kesepian dan kesunyian tanpa harus takut kehilangan.

Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi, saya terkenang kata-kata Gie:

Mandalawangi-Pangrango”

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie

Gimana, asyik ‘kan ada di sini?” kata Wahyu, sambil bikin sarapan mewah ala anak gunung: homemade spaghetti sauce bolognaise plus chicken nuggets kebanggaan! 😛

Iyaa Kak, pengen balik lagi! Tapi next time, kalau gue ke sini lagi, gue bawa “ransel kosong” yaa… jalurnya berat banget… kalau bawaan minim kan jadi lebih enak jalannya,” kata saya.

Boleh! Tapi, malam tidur di luar tenda yaaa…. Ya gak, Co??” kata Wahyu.

“Iyaa… setuju gue bang, biarin aja dia tidur di luar tenda… pakai bivak sekalian,” sahut Rico.

Sial! Tega bener!!” %£$^$£*&%^^%* wkwkkk

 

 

Di Mandalawangi, satu cerita tersimpan untuk dikenang kemudian…..

Jakarta, sepekan seusai pendakian ke Gunung Pangrango.

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com/)

 

Pictures by: Denty Piawai Nastitie; Wahyu Adityo Prodjo (foto cover, foto denty lagi ngeteh); foto team by tripod, and a stranger we met in Mandalawangi.

PS: Ket. foto terakhir: Ini ceritanya… rombongan kloter 1 sudah sampai puncak, sudah bikin tenda, sudah tidur, sudah bangun, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, sudah sarapan, sudah foto-foto, baru rombongan kloter 2 (Rakhmat, Inang, Agnes) datang… wkwkwkkk dagdigdugduer sempat khawatir dengan kabar teman-teman kloter 2, akhirnya senanggg karena semua bisa kumpul di Mandalawangi 🙂

Read more

Berita mengenai dua wartawan kantor berita Reuters didakwa melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Negara saat meliput krisis Rakhine membuat saya berandai-andai menjadi orang tua atau keluarga yang menghadapi kenyataan mempunyai anak seorang jurnalis yang harus diadili.

Hati saya pasti akan hancur ketika melihat orang terkasih digelandang memasuki mobil tahanan seusai sidang, dan dibawa kembali ke penjara.

Peristiwa yang terjadi di Yangon, Myanmar, itu membuat saya sadar, konsekuensi atau tantangan berprofesi menjadi jurnalis tak hanya dirasakan sang jurnalis, tetapi juga berdampak kepada orang-orang terdekat, seperti orang tua, suami, istri, dan anak-anak.

Saya masih ingat, ketika menulis berita sensitif tetang tentara yang mencoba mengarahkan preferensi warga dalam pemilu, berhari-hari ayah tidak bisa tidur sebelum memastikan saya pulang ke rumah dengan selamat. Mengingat efek berita itu cukup besar, yaitu sejumlah tentara dimutasi, ada pula yang turun pangkat, ayah khawatir dengan keselamatan saya.

Ayah takut, orang yang merasa dirugikan dengan berita tersebut nekat melakukan hal-hal yang mengancam keselamatan saya. Fakta bahwa saya lahir dari keluarga militer, rupanya tidak membuat orang tua merasa anaknya akan baik-baik saja menjalankan profesi ini.

Kembali ke berita mengenai wartawan yang didakwa, salah satu jurnalis, Wa Lone, mengatakan, “Mereka menangkap dan menindak kami karena berusaha mengungkap kebenaran.”

Saya jadi ingat kata-katanya George Orwell, “Journalism is printing what someone else does not wanted printed: everything else is public relation.”

Tugas utama jurnalis adalah mengungkap kebenaran. Tetapi, kebenaran itu (bagi penguasa) seringnya menyakitkan sehingga mereka akan melakukan berbagai cara untuk membungkam wartawan. Fuh!

Pernah suatu hari, salah seorang narasumber mengancam akan melapor ke pihak berwajib kalau saya tetap menulis tentang topik yang dianggapnya merugikan dia. Fakta yang saya tulis, yang saat itu saya ungkap dengan niat baik, yaitu memperjuangkan kepentingan masyarakat, rupanya menyakitkan bagi pemangku kebijakan.

Ancaman si Bapak bikin saya kesal. Ego saya melawan, tidak terima diperlakukan kasar demikan. “Silakan saja Bapak melapor. Pekerjaan saya dilindungi Undang-undang,” kata saya, sambil menahan keinginan ngejambak orang.

Ketika menonton The Post, saya kembali diingatkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Hal sesuai dengan sembilan elemen jurnalisme yang pernah dituturkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku The Elements of Journalism (2001).

Dalam The Post, sikap mematuhi kewajiban pada kebenaran ditunjukkan Pemimpin Redaksi The Washington Post Ben Bradlee (Tom Hanks) dengan berkeras menerbitkan tulisan tentang Pentagon Papers, meski taruhannya sangat besar. Dasar penulisan adalah dari salinan dokumen yang didapatkan seorang wartawannya. “Kita tidak bisa membiarkan pemerintah mendikte liputan hanya karena mereka tidak suka dengan apa yang kita tulis tentang mereka,” katanya.

Sooo… buat HEY KAMO PARA NARSUM YANG SUKA RESEK, MARAH2, KARENA MALU AIBNYA DIBONGKAR, CUMA ADA SATU KATA BUAT KAMO… BHAAYY!

Film The Post juga mengingatkan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Meski pemilik surat kabar The Washington Post, Katherine ”Kay” Graham (Merryl Streep), dekat dengan para penguasa, tetapi keberpihakannya kepada “wong cilik” tak perlu diragukan lagi.

Keberpihakan itu mengandung konsekuensi perusahaan media yang dirintisnya akan bangkrut, karena bisa jadi para pemilik saham itu menarik investasi yang sudah ditanamkan. Menurut saya, situasi tersebut menjadi tantangan sesungguhnya di industri media zaman now, ketika banyak situasi yang menghadap-hadapkan idealisme vs realita, idealisme vs pragmatisme, idealisme vs… *silakan isi sendiri!

Saya terharu, ketika ada seorang perempuan asing mengucapkan terima kasih kepada Graham karena berita mengenai Pentagon Papers telah memberikan harapan untuk keluarganya. Ciyusaaan dehh gaiiissss, you know you did something right, when a stranger in nowhere say thank you for what you have done! Padahal, perusahaannya nyaris bangkrut looohh… tapi pemiliknya tetap memilih untuk melayani warga! *tepuk tangaaaaaaaannn!!!

Sebagai jurnalis, rasa bangga dan haru paling besar memang ketika perjuangan wawancara narsum, ngublek-ngublek data, nulis panjang lebar, berbuah tulisan dimuat dan mendapat respons positif dari pembaca. But, bekerja sebagai jurnalis, sebenarnya tidak selalu se-gagah itu… Hahahahaa…

Ada kalanya, saya justru merasa apa yang saya kerjakan ini sia-sia. Kesia-siaan itu tercipta karena beragam alasan, mulai dari tulisan ditolak di ruang redaksi, merasa ide kurang diakomodir, atau ketika tulisan mendapat banyak kritik, atau sedang kurang puas dengan hasil tulisan, entah karena ada data yang kurang, atau kurang akurat, taapiiii kaaaannn kalau pas baper, ada aja perasaan ingin gebuk2 aspal! 🙁

Lagi-lagi, menjelang berakhirknya film, The Post menjawab kegalauan saya, dengan kalimat: “Kita memang tidak selalu melakukannya dengan benar. Kita tidak selalu sempurna,… tetapi ku pikir, kita bisa adil. Bukankah memang itu tugasnya (jurnalis)…”

 

Cikole, 27 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie

Read more

Ketika pertama kali ditugaskan ke Alor Setar, Malaysia, saya bertanya di dalam hati: bagaimana dapat menikmati kota ini? Saya berusaha browsing melalui situs lonely planet, yang saya temukan tempat-tempat wisata yang tak lebih baik dari: museum, masjid, menara, dan istana raja. Jumlah tempat wisata pun tak lebih dari sepuluh! Jadi, bagaimana saya dapat menikmati Alor Setar di waktu senggang?

Setelah transit di Kuala Lumpur, dan mengalami keterlambatan penerbangan selama dua jam (terpujilah maskapai AA!), saya mendarat di Alor Setar, nyaris tengah malam. Langit sudah gelap, jalanan sepi. Oleh taksi bandara, saya diantar ke hotel bintang empat yang berada hanya 200 meter dari titik 0 KM kota ini.

Jangan bayangkan hotel bintang empat itu berupa tempat mewah seperti Grand Mercure atau Le Meridien, ya! Tempat tinggal saya selama sembilan hari adalah sebuah hotel tua dengan lampu redup, lift berdenyit ketika dipakai, closet duduk dengan flush rusak, dan kunci kamar bukan berupa cardlock magnetik, melainkan kunci manual dengan gantungan kayu, persis kunci rumah.

Receptionist yang bekerja di hotel hanya satu orang, seorang perempuan Melayu yang mengenakan kerudung berwarna coklat muda. Dia meminta saya membayar tourism tax sebesar 10 MYR per malam. “Bagaimana kalau kamu memberikan deposit 100 MYR untuk tourism tax dan keperluan lain selama kamu tinggal di sini?” ujarnya.

“Aduh, saya belum menukar uang,” kata saya. Saya hanya membawa 150 MYR ke Malaysia. Sebagian besar sudah saya pakai untuk makan laksa di bandara dan membayar taksi. “Apakah saya bisa membayar dengan menggunakan mata uang dollar, atau rupiah? Saya baru berencana menukar uang besok siang,” kata saya.

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Char Koey Tiaw, makanan paling populer di Alor Setar

Dia berpikir sejenak, kemudia menggeleng. “Tidak bisa. Kursnya sedang kurang baik. Kamu punya uang ringgit berapa? Sisanya bisa kamu lunasi hari lain,” kata dia. Saya pun terpaksa menyerahkan satu-satunya lembaran 50 MYR yang tersisa di dompet kepada petugas receptionist tersebut. “Sial, besok gue makan siang pakai duit apa?!!” umpat saya.

Saya bertanya kepada receptionist, apakah ada restaurant yang buka di sekitar hotel karena saya merasa kelaparan. Dia bilang, tidak ada. Hanya ada super market 7/11, sekitar 50 meter dari hotel. Saya pun ke 7/11 membeli cup noodles seharga 3 MYR, yang saya bayar dengan recehan. Setelah itu, saya ke kamar dan tidur lelap.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan di Alor Setar, Malaysia.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan tugas liputan, saya pergi ke Aman Central, pusat perbelanjaan terbesar di Alor Setar. Saya membeli persediaan logistik alias camilan, seperti pisang, roti, yoghurt, kripik, coklat, dan air mineral. Dari Aman Central, saya berencana kembali ke hotel dengan menggunakan Grab Car. Namun, setelah saya cek, lokasinya ternyata tidak lebih dari 3 kilometer. Sambil menenteng barang belanjaan, saya memutuskan untuk berjalan kaki ke hotel.

Sepanjang perjalanan, saya melewati deretan rumah, toko, dan restaurant, yang mencerminkan keberagaman komunitas masyarakat Alor Setar. Ada kedai kopi dengan tulisan-tulisan aksara China, ada rumah makan nasi kendar, nasi lemak, dan nasi ayam khas makanan Melayu, ada pula cafe-cafe sederhana yang menjual makanan khas Thailand, seperti Tom Yum, dan puding mangga. Melihat foto-foto makanan itu saya jadi ngiler!

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat Alor Setar.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan dengan komunitas masyarakat India.

Di depan Sentosa Plaza, saya melihat pedagang-pedagang kaki lima yang menjual makanan China. Mulai dari mi, nasi hainan, aneka gorengan, hingga nasi daging babi, dan babi panggang. Mereka menjual makanan di gerobak-gerobak sederhana di pinggir jalan. Waaah… kalau di Indonesia, bisa digrebek kali yaa jualan babi panggang di pinggir jalan begini, pikir saya. Walau makanan-makanan itu terlihat menggiurkan, sayangnya, saya gak makan babi, jadi tidak kurang tertarik mencoba.

Setelah melewati pedagang makanan, saya berjalan di pinggir Jalan Putra. Di ujung jalan itu, terdapat kuil Hindu (Sri Thandayuthapani Temple) yang berdiri megah dengan parkiran luas. Setelah melewati menara jam besar Alor Setar, saya melihat Masjid Zahir yang terlihat bergitu cantik dengan background warna matahari tenggelam.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir disebut juga sebagai Masjid Raja terletak di perkarangan Istana Pelamin.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pemandangan kota Alor Setar, Malaysia, dilihat dari dalam Masjid Zahir.

Saya sungguh terpukau dengan kecantikan masjid yang dibangun pada 1912 itu. Saya sampai berdiri di depan masjid selama sekitar lima menit untuk memandang kubah menyerupai bawang. Keunikan lain adalah tiang-tiang yang berdiri bukanlah tiang tunggal, tetapi dua atau empat tiang yang menyatu untuk menopang atap bangunan.

Pesona yang dimiliki Masjid Zahir menginspirasi Pemerintah Malaysia mengabadikannya sebagai gambar perangko. Namun, saat saya cari perangko dan kartu pos untuk kenang-kenangan dan kirim ke kampung halaman, masyarakat setempat menjawab: “Lebih mudah dan cepat komunikasi dengan Whatsapp, Makcik… Zaman sekarang sudah tidak ada kartu pos lagi….” Baeklaaah -___-”

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya berpikir bagaimana Alor Setar hidup dalam keberagaman. Hal itu tercermin dari keberadaan Masjid Zahir yang berdiri berdampingan dengan kuil Hindu. Letak masjid tidak terlalu jauh dengan komunitas Tionghoa. Fachri, supir grab saya, suatu hari bercerita, saat Imlek, orang-orang China biasanya mengadakan open house. Banyak orang Melayu dan India datang ke rumah orang-orang China untuk makan dan pesta bersama.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya menemukan jawaban bagaimana selama sembilan hari dapat menikmati kota ini. Cara terbaik menikmati Alor Setar adalah dengan merayakan keberagaman komunitas dan menikmati keindahan peninggalan bangunan bersejarah.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir dibangun pada 1912.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pengungjung menikmati keindahan Masjid Zahir.

Dalam kunjungan kedua saya ke Masjid Zahir, saya memberanikan diri masuk ke dalam masjid. Seorang perempuan asal Kuala Lumpur, yang sedang berkunjung ke rumah teman di Alor Setar, mempersilakan masuk untuk menikmati sudut-sudut masjid. “Enjoy your time, here…” katanya,

Di dalam masjid, saya bertemu dengan Zahir, seorang pria berusia sekitar 50 tahun. Zahir adalah mantan manajer di sebuah perusahaan produksi barang-barang kulit. Memasuki usia senja, Zahir memutuskan untuk mengabdikan hidup pada ibadah dan keluarga. Untuk mengisi waktu luang, dia bekerja sebagai supir Grab di Alor Setar. “Dengan menjadi supir, kapanpun saya punya waktu untuk istirahat dan pergi ke masjid untuk shalat,” kata Zahir. (Saya baru sadar, kenapa namanya sama dengan masjid yaa? Hmmm…)

Zahir bertanya dari mana asal saya, bagaimana saya bisa sampai di Alor Setar, dan untuk apa saya mengunjungi Masjid Zahir. Saya berterus terang, bahwa saya harus bekerja di Alor Setar selama sembilan hari, dan saya mengunjungi masjid karena saya terpukau dengan keindahan bangunan. Setelah ngobrol banyak hal, saya bertanya, bagaimana Alor Setar bisa hidup dalam keberagaman.

Zahir mengatakan, karena Alor Setar berada di dekat perbatasan Malaysia-Thailand, maka memang banyak orang Thailand masuk ke Alor Setar. Beberapa orang Thailand membuka rumah makan, sehingga makanan di Alor Setar memang banyak terpengaruh rasa makanan khas Thailand. Orang-orang Malaysia dan Thailand hidup rukun. Begitu juga dengan masyarakat India, China, dan Arab.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Portrait umat Islam di Masjid Zahir.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat menikmati hiasan khas Imlek di Aman Central.

“Selama ini, tak ada masalah dengan keberagaman. Masyarakat hidup rukun dalam kultur dan kepercayaan masing-masing. Tetapi, politik telah menghancurkan segalanya,” kata Zahir. “Setiap kali ada pemimpin dari suatu kelompok masyarakat menang pemilu, kelompok lain pasti menjelek-jelekkan asal-usul pemimpin itu. Kalau yang menang dari kelompok satunya, kelompok lain melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya,” lanjutnya lagi.

Wahhh… Kalau begini sama aja kayak negara gue dongg… -__-”

“Bagaimana dengan di Indonesia?” tanya Zahir. “Saya lihat, masyarakat Indonesia hidup rukun yaaa… Saya pernah ke Indonesia, dan melihat masyarakat di sana hidup rukun,” kata Zahir.

Saya bingung mau jawab apa,… selain mau bilang: “Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau, Pak… Kenyataannya, yaaagituuu deeehhh…..”

Belum sempat saya menjawab pertanyaan Zahir, adzan berkumandang. Zahir meminta izin untuk shalat maghrib. Saya mempersilakan dia menunaikkan ibadah. Sementara saya, kembali melanjutkan perjalanan.

Jakarta, 20 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com)[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

Beberapa pekan lalu, saya menghadiri diskusi “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor.” Acara diadakan di Kantor Kementerian Agama RI, yang berada di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Saya datang dengan pakaian santai, yaitu blouse putih, dan celan jeans belel. Pakaian seperti ini tidak pernah saya kenakan ketika sedang bekerja. Meski tidak ada batasan cara berpakaian dalam profesi wartawan, saat bertugas tentu saja saya memakai pakaian “yang bukan celana belel”, karena narasumber yang saya temui beragam, bisa jadi masyarakat biasa atau orang penting! Nah, karena hari itu saya libur, saya cuek saja datang ke acara diskusi dengan jeans belel. Pikiran saya, toh ini diskusi soal keberagaman, boleh dong saya datang dengan style saya.

Begitu sampai di Kantor Kementerian Agama RI, seorang satpam segera menyegat saya di gerbang masuk. “Mau kemana ya, Mbak?!” tanya dia dengan nada membentak, sambil melihat gaya pakaian saya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah puas mengintrogasi, saya diarahkan ke lobi.

Baru saja mau masuk pintu lobi, seorang petugas kemanan kembali menghentikan langkah saya. “Ehh! Mau kemana ini? Mau kemana?!” tanyanya (juga sambil memandang saya dari kepala ke kaki, bolak balik bagai setrikaan). Saya kembali menjelaskan bahwa saya akan menghadiri acara diskusi. “Nanti, nanti, belum mulai!” jawab satpam itu, ketus.

“Loh, ini kan sudah jam 12.00, Pak. Saya mendapat undangan jam 12.00,” jawab saya.

“Ya, nanti! Ini belum mulai! Ngerti gak sih? Tunggu di luar sana!” katanya, sambil mengusir saya. Saya melihat ke keliling. Ada belasan orang menunggu di lobi masuk, kenapa saya disuruh menunggu di luar?Apa gegara celana belel saya? Grr..

Satu jam kemudian, saya berusaha masuk ke dalam aula. Oleh seorang satpam saya malah diarahkan naik ke lantai 5. “Mendaftar dulu di sana!” katanya. Oke, saya mengalah, dan naik ke lantai 5. Di sana, seorang satpam kembali mengusir saya dan menyuruh saya turun ke bawah.

Mendapat perlakuan seperti itu, saya merasa kesal. Ribet amat sih nih orang-orang!! Dari ratusan peserta diskusi, kenapa saya yang diombang-ambing bagai gebetan yang suka PHP! Karena sebal enggak ketolongan, saya membentak balik satpam itu, “Yang bener yang mana nih pak, registrasi di lantai atas atau di bawah? Kasih info yang jelas dong!” Ngelihat satpam itu cuek mengusir saya tanpa ada permintaan maaf membuat saya tambah kesal.

Begitu sudah masuk ke ruang diskusi, saya membaca spanduk bertuliskan: “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang.” Spanduk itu bikin saya bertanya-tanya, dapatkan kita mewujudkan perdamaian beragama ketika menghargai perbedaan berpakaian saja sulit.

Dari peristiwa ini saya memahami, gaya berpakaian saya yang ternyata tidak diterima di kantor agama. Saya sih sudah berusaha lihat-lihat ke papan pengumuman, adakah larangan memakai jeans belel di kantor megah ini? Kelihatannya, enggak ada tuh aturan seperti itu?

Saat memikirkan hal ini, seorang perempuan bercadar melintas di depan saya. Dalam hati kecil saya bertanya, ketika saya mengahrapkan orang lain menghargai gaya berpakaian saya, apakah saya dapat menghargai orang lain yang berpakaian dengan gaya berbeda dengan saya, seperti perempuan bercadar, laki-laki dengan celana katung, atau mereka yang kemana-mana berkalung rosario? Bisakah saya menilai orang lain tidak hanya dari apa yang tampak di luar, namun lebih menghargai mereka melalui karakter hidup sehari-hari?

_

Begitu selesai acara, saya menceritakan kejadian ini kepada teman saat kami kumpul-kumpul di daerah Sarinah. Seorang teman saya yang memakai kerudung mengatakan, dia pernah mengalami kejadian serupa saat kuliah di negara barat. Saat itu, ada dua orang yang memandang dan mengamatinya dari jauh karena dia memakai kerudung.

Teman saya sempat bertanya-tanya mengapa dua orang itu menghakiminya karena gaya berpakaian yang berbeda. Dua orang itu kemudian mendekati teman saya dan bertanya: “Apakah pakaian yang kamu kenakan terasa panas?” Teman saya menggeleng, dan membiarkan mereka memegang kerudungnya yang terbuat dari scraft berbahan tipis.

“Prasangka adalah cara alami manusia untuk membangun gerbang pertama perlindungan diri. Namun, untuk menciptakan perdamaian, yang penting adalah membuka gerbang itu atau membuka ruang untuk dialog. Dengan cara itu, prasangka buyar dan berubah menjadi pengertian. Sekarang ini, jangankan saling mengerti atau memahami, untuk membuka ruang dialog saja sulit,” ujarnya.

Saya jadi ingat, beberapa bulan lalu pernah mengisi acara workshop menulis di sebuah kampus Islam. Sebagai orang Katolik, ada perasaan mawas diri yang timbul. Di kepala saya muncul berbagai pertanyaan, seperti: “Bagaimana cara saya bersalaman dengan mereka? Bagaimana kalau mereka menolak untuk berjabatan tangan? Apa yang mereka pikirkan tentang saya? Apakah saya harus memakai baju lengan panjang dan menggunakan scraft sebagai penutup kepala? Bagaimana kalau kehadiran saya dianggap aneh? Bagaimana kalau mereka menolak kehadiran saya?”

Ketika saya sampai di kampus Islam tersebut, yang saya jumpai justru sebaliknya. Saya bertemu orang-orang yang menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menjabat tangan saya. Mereka bertanya tentang pekerjaan saya, dan beberapa hal menyenangkan lainnya. Ketika saya mengisi workshop menulis, tidak ada satu pun mahasiswa yang memandang saya aneh karena saya tampil tanpa kerudung. Mahasiswa justru antusias menyimak materi yang saya sampaikan.

Kenyataan itu membuat saya malu. Sebagai perempuan yang selama ini (saya mengira) telah menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat, ternyata pikiran saya masih terlalu sempit. Saya mendapati kenyataan, bahwa orang-orang yang memakai baju tertutup belum tentu pikirannya tertutup. Sama seperti orang-orang yang memakai baju terbuka, belum tentu punya pikiran cerdas dan terbuka. Bukankah kalau kita ingin menciptakan dunia yang inklusif, pertama-tama yang harus kita buka adalah gerbang pikiran kita sendiri. Semakin bijak seseorang, semakin dia tidak ingin mengubah dunia, karena yang paling penting adalah mengubah diri sendiri.

Kembali ke diskusi: “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor” adalah momen untuk melihat kenyataan bahwa perdamaian itu sesuatu yang tidak lahir begitu saja. Perdamaian adalah sesuatu yang harus diciptakan dan diupayakan terus menerus. Membuka ruang dialog, berdiskusi, saling mengerti, memahami, dan bertoleransi, adalah kunci menciptakan perdamaian! “Compassion and tolerance are not a sign of weakness, but a sign of strenght.” — Dalai Lama.

Selamat hari toleransi sedunia.

Wakatobi, 16 November 2017

 

Keterangan foto: Burung-burung camar terbang di atas Danau Galilea, Israel, Desember 2015. Saya sedang menyusun sesuatu tentang perjalanan ke Timur Tengah, stay tuned! dan doakan semua berjalan sesuai rencana, yaa… Salam.

Read more

Ketika saya berumur 10 tahun, seorang supir angkot meletakkan tangannya di atas paha saya. Di dalam angkot yang penuh sesak, melintas di jalanan yang padat merayap, dia mengatakan tubuh saya bagus. Saya tidak ingat menjawab apa. Yang saya ingat, sejak saat itu saya ogah duduk di bagian depan angkot. Saya trauma. Bagi saya, semua supir angkot sama busuknya dengan dia.

Ketika saya SMA, dalam perjalanan naik sepeda menuju ke gereja pagi, seorang pria meremas payudara saya. Dia mengendarai sepeda motor dan sengaja memepet sepeda saya untuk memegang payudara. Seketika saya berteriak: “BAJINGAN!” Saya berusaha mengejar dia, ingin rasanya menonjok mukanya. Tetapi, sepeda saya melaju lambat. Terlalu lambat untuk mengejar motor itu.

Sepanjang misa pagi itu, konsentrasi saya buyar. Yang ada di kepala hanya bayangan ciri-ciri fisik si bajingan. Kurus. Kecil. Memakai baju serba hitam. Memakai tas selempang. Saya berusaha mengingat-ingat fisiknya, saya berjanji dalam diri saya untuk menemukan dia dan menghajar dia sampai babak belur.

Saya marah luar biasa. Berkali-kali mengumpat: “Bajingan! bajingan!” Apa salah saya. Saya memakai baju tertutup, jaket tebal dengan kupluk. Tetapi masih menjadi korban pelecehan seksual. Saya trauma. Setiap kali ketemu orang yang mirip si bajingan, langsung saya samperin dan saya introgasi. Sampai-sampai saya mencurigai teman saya sendiri.

“Sumpaah gue gak lewat Jalan Godean pagi-pagi! Lo tahu rumah gue dimana, dan jam segitu gue belum bangun. Ngapain juga gue lewat Godean,” kata teman saya, ketika saya mengutarakan bahwa saya mencurigai dia sebagai pelaku kejahatan seksual semata-mata karena punya kemiripan ciri fisik.

Peristiwa pelecehan seksual ternyata terus berulang, sejak saya sekolah, kuliah, hingga sekarang bekerja. Saya bukan satu-satunya korban. Dari banyak curhatan teman, saya rangkum bahwa pelecehan seksual terjadi dengan berbagai modus, mulai dari lirikan mata, bersiul saat ada cewek dengan rok mini melintas, mengeluarkan kata-kata jorok, hingga melakukan sentuhan fisik.

Ini menimpa perempuan yang emang hobi pakai baju kekurangan bahan, sampai perempuan hijabers. Pelecehan menimpa korban, nggak peduli lo anak tentara, anak ustad, hobi clubbing, hobi manjat tebing, atau rajin menabung atau mengaji. Lokasinya mulai dari di rumah, sekolah, rumah sakit, pinggir jalan, kantor pemerintahan, warung, restaurant, hingga tempat bekerja. Tanpa disadari, eksploitasi tubuh perempuan dan pelecehan seksual juga kerap terjadi pada hubungan dekat, seperti pacaran atau rumah tangga.

Saya kesal, kenapa pelecehan seksual terjadi dan terus berulang. Pelecehan bahkan terjadi di ruang kerja yang isinya para profesional. Pelecehan seksual yang terjadi di ruang kerja, sangat membuat tidak nyaman karena sebagian besar kaum milenials menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja.

Saya baru sadar, pelecehan seksual yang terjadi berulang merupakan hasil dari pembiaran. Ya, PEMBIARAN. Saya membiarkan supir angkot memegang paha saya tanpa saya melapor ke orang tua. Saya membiarkan orang asing meremas payudara saya dan tidak melaporkan peristiwa itu ke pihak berwajib. Saya membiarkan orang-orang terdekat saya, seperti atasan, teman kuliah, teman sekolah, dan rekan kerja melontarkan komentar-komentar yang seksis. Menyampaikan jokes-jokes murahan yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Membiarkan meme atau gambar-gambar cewek berpayu dara besar, berbokong besar, tersebar melalui grup-grup chatting. Anggota grup tertawa. Sebagian merasa tidak nyaman, dan memilih bisa diam saja. Worst of the worst is, saya pernah membiarkan pacar saya menindas dengan kata-kata dan perbuatan. (Thanks god, saya sudah putus! Dn saya tidak mau perilaku abbusive terulang lagi).

Pembiaran itu terjadi karena banyak sebab, mulai dari malu, males atau repot lapor sana-sini, tidak terbiasa berkonfrontasi, ogah berdebat, atau pembiaran terjadi sederhana karena pmbiaran itu sendiri. Eksploitasi tubuh perempuan yang direproduksi secara terus-menerus, melalui obrolan antar tetangga atau group chatting, diskusi di sosial media hingga konten di media mainstream, membuat kita semua berpikir, bahwa eksploitasi tubuh perempuan sudah biasa dan sah-sah saja terjadi. Saya ingat bangets ketika kaum fesbukers banyak yang share soal Jilboobs alias cewek-cewek berpayudara besar yang memakai jilbab, dan mendiskreditkan perempuan, berapa banyak dari kita yang bereaksi terhadap kelakuan para netizen?? Kebanyakan dari kita ikut-ikutan menyalahkan si perempuan yang menurut saya punya otoritas atas tubuh dan penampilannya!!

Lama-lama kita mengamini, tubuh perempuan memang selayaknya jadi bahan tontonan, tertawaan. Kemudian peristiwa pelecehan seksual dianggap sebagai kewajaran, hal yang biasa-biasa terjadi. Kita pun lupa, bahwa perempuan punya hasrat, keinginan, passion, yang bisa menggerakkan dia melakukan apapun yang dia inginkan. Pergi kemanapun yang dia mau. Mencapai apapun yang dia inginkan! Bukannya malah menjadi objek birahi para lelaki!

Sadar nggak yaa… bapak-bapak atau om-om yang di kantor atau di mana pun mereka berada, saat mereka melontarkan jokes-jokes seksis kepada rekan kerja atau bawahan, bisa jadi anak perempuan mereka sedang berkutat dengan trauma karena pas berangkat sekolah ada cowok yang meremas bokong mereka di jalanan, atau ada cowok menempelkan penis ke bagian tubuh si anak perempuan saat sedang naik bus transjakarta. Atau mungkin juga si anak perempuan sedang berkutat dengan trauma katena pacar mereka memaksa berhubungan seksual.

Ketika saya menemani sahabat saya Caron Toshiko membaca karya cerpen di acara “Pekan Seni Melawan Kekerasan Seksual” di AOA Space, Yogyakarta, pembicara diskusi Angela mengatakan, kekerasan seksual terjadi karena eksploitasi tubuh perempuan secara simbolik direproduksi terus-menerus, melalui bacaan, tontonan televisi, dan sebagainya. “Untuk itu, perlawanan kekerasan seksual juga harus dilakukan secara simbolik,” katanya.

Memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual untuk anak-anak, membuka ruang-ruang diskusi, menyelenggarakan pameran lukisan atau pamerah foto tentang gerakan anti kekerasan seksusal, atau menulis blog di rambutkriwil.com (hehehe) adalah bentuk perlawanan terhadap kejahatan seksual.

Saya memang gak bisa setiap hari protes atau menegur teman atau orang-orang dekat saya yang sering mengeksploitasi tubuh perempuan, saya cuma bisa berharap para pelaku kejahatan seksual itu baca tulisan ini. Berharap juga, teman-teman yang pernah menjadi korban kejahatan seksual sadar: “You’ll never walk alone.”

Tulisan ini nggak jamin para pelaku kejahatan seksual itu tobat. Mau membaca tulisan ini atau berdiskusi soal kejahatan seksual saja sudah bagus. Karena saya ingat, salah seorang aktivis perempuan pernah berkata, orang-orang patriarki yang percaya laki-laki punya otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda, selalu gatel, resah, dan ogah membicarakan isu-isu perempuan dan kejahatan seksual. So, minimal para pelaku kejahatan seksual  itu sadar dulu deehhh, “yang lo lakukan itu JAHAT.”

 

Yogyakarta, 17 Oktober 2017

Denty Piawai Nastitie

 

Tentang foto: Anak-anak bermain ayunan di Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) Bahari, Jakarta Selatan, Selasa (23/6). Anak-anak adalah masa depan bangsa. Lindungi mereka agar tidak mengalami kejahatan seksual. (Betewe, dengar-dengan RPTRA mau dihapuskan era Anies-Sandi yaaa? Padahal anak punya hak untuk memiliki ruang bermain dan berinteraksi. T.T)

Read more

Suatu hari, seorang senior melihat saya makan sendirian di kantin kantor. “Sendirian saja?” katanya. Saya mengangguk, sambil meringis. Udah tahu sendiri, pakai tanya. Kata saya di dalam hati.

“Kamu berani yaa makan sendirian? Kalau saya tidak akan berani makan sendirian di tempat umum. Lebih baik membeli makanan untuk dibungkus dan dibawa pulang, daripada makan sendirian di ruang terbuka umum,” katanya.

Saya cuma bengong, sambil celingak-celinguk. Kayaknya gak ada yang salah deh. Belum sempat saya merespons, senior itu pergi ke meja sebelah, makan rame-rame dengan teman-temanya.

Saya nggak pernah masalah makan sendirian. Jalan sendirian. Nonton bioskop sendirian. Belanja sendirian. Ngebir sendirian. Berenang sendirian. Jogging sendirian. Tetapi, bagi sebagian orang, (ternyata) kesendirian merupakan sebuah persoalan.

Seperti dia, yang heran kenapa saya mau-maunya beraktivitas sendirian, saya juga (jadi) heran ketemu orang yang merasa kesendirian itu sebagai permasalahan. Saya jadi mikir, kenapa ada orang nggak berani atau nggak nyaman beraktivitas sendirian.

Mungkin dia takut merasa kesepian atau mengalami kebosanan. Mungkin dia merasa kikuk alias mati gaya karena enggak ada orang yang bisa diajak bicara. Mungkin dia merasa takut jadi pusat perhatian trus diomongin orang: “Ih kasian tuh orang sendirian”, which is belum tentu. Emang semua orang peduli sama lo?!? Helo?!!

Buat saya, sendirian atau ramean sama-sama bukan persoalan. Intinya sih gini, kalau semisal saya mau makan, ada teman yang bisa diajak makan bareng, tentu bagus. Kalaupun enggak ada, ketidakhadirannya tak akan membuat makanan saya berubah jadi nggak enak.

Contoh lain, ketika saya nonton film di bioskop, fokus perhatian saya tentu ke layar studio. Kalau ada teman di sebelah saya, mungkin asik karena setelah nonton bisa ngebahas film yang habis ditonton, kalaupun sebelah saya kursi kosong, film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! nggak akan mendadak jadi bagus. Toh tidak semua film itu asik jadi bahan obrolan.

Contoh lain lagi, semisal saya sudah janjian jalan-jalan dengan teman, seandainya teman saya batal, bukan berarti perjalanan saya berantakan. Kalau saya bener-bener pengen jalan, saya akan tetap jalan dengan atau tanpa dia. Fokus saya adalah perjalanannya. Kehadiran orang lain memberi warna dalam perjalanan. Tetapi, tanpa kehadiran orang tersebut, dunia bukan berarti tanpa warna. (Hitam putih toh juga warna juga kan?)

Seingat saya, selama saya sedang sendiri, saya jarang sekali merasa kesepian. Selalu ada hal yang membuat saya produktif, entah itu makan, nulis, atau karaokean. Rasa kesepian justru sering menyergap saat saya sedang bersama-sama dengan orang lain.

Makanya, saya sering menghindari pertemuan-pertemuan dalam kelompok ramai, seperti reunian, kawinan, atau apalah apalah namanya itu. Males bangetss gituuu ngobrol basa-basi lalu berarkhir selfie-selfie, njuk ngopooooo…. Saya lebih suka ngobrol tentang hal biasa-biasa aja, dengan teman dekat atau teman lama, sambil menyeruput secangkir kopi seharga Rp 10 ribuan di desa terpencil.

Masih soal kesendirian, ada teman yang menjalin skandal asmara karena takut sendirian. Ada pula yang menunda perpisahan, karena takut sendirian. Apakah kesendirian yang membuat hidup seseorang tidak bermakna? Atau rasa kesepian saat bersama orang lain yang lebih menyiksa?

Suatu hari, saya bilang ke ibu saya, betapa beruntungnya saya menjadi generasi single milenials di ibu kota. Gaji utuh dipakai untuk foya-foya diri sendiri. Waktu yang terbatas bisa dipakai untuk bersantai-santai, tanpa harus dipusingkan mengurus ini-itu. Lalu ibu bilang, “Masa selamanya sendirian? Emang kamu enggak takut sendirian dan kesepian?” Saya menjawab: rasa takut menjadi sendiri itu kadang kala lebih menyeramkan dari kesendirian itu sendiri.

Kalau kata Kunto Aji, sudah terlalu asyik sendiri. Kenapa sih sendiri sering dianggap jadi sumber kesedihan?!! Bukannya sedih itu kalau lo pengen nongkrong atau makan enak tapi enggak punya duit??!! Wkkkwkk.

 

 

Semarang, 20 September 2017

Ngumpulin mood nulis berita, malah jadinya ngeblogging. :p

Foto by. Longina Narastika, Lasem, 2017

 

Salam, Denty.

Read more