Author's Posts

Akhir pekan lalu, saya liputan pelatnas atlet menuju SEA Games 2017 di Soreang, Bandung. Di sana, saya ngobrol-ngobrol dengan pelatih angkat besi asal Afrika Selatan. Karena sudah akrab, wawancara diselingi ngobrol ngalor ngidul dan ketawa-ketiwi mengenai peristiwa sehari-hari.

“Denty, everytime I see your page, you always in the top of something,… such as the mount.  Tell me, are you in the process of finding yourself, proving your existence, and creating “the brand-new me”, or what?” kata dia, mengomentari tampilan foto-foto saya di media sosial, seperti Facebook dan Istagram. Saking seringnya dia melihat saya sedang ngetrip, pelatih itu mengira saya sudah tidak bekerja sebagai wartawan olahraga lagi 😀

“Sadly, the more I try to find my self, the more I lost it,” kata saya. Pelatih itu ketawa ngakak-ngakak.

Begitu selesai liputan, dalam perjalanan dari Bandung kembali ke Jakarta, saya kembali memikirkan pertanyaan dia. Sebenarnya, apa sih yang saya cari dalam perjalanan mendaki gunung, menyelam lautan, dan menjelajah ke sebanyak-banyaknya tempat di bumi ini? Apakah saya memang sedang mencari jati diri? Membuktikan eksistensi? Ataukah perjalanan ini sekedar kegiatan kurang kerjaan, buang-buang waktu dan biaya, untuk sekedar pamer foto pura-pura bahagia di sosial media?? Atau apaaa??? Apppaaaa?????

Dalam perjalanan menembus kepadatan arus lalu lintas di Tol Cipularang, saya teringat pernah adu argumen dengan ayah soal hobi naik gunung ini. Selama ini, orang tua saya tidak pernah suka anak perempuannya panas-panasan berkegiatan di luar ruang, juntrang-juntrung ke tempat-tempat aneh bersama teman-teman yang nggak kalah aneh (wkwkkwk). Orang tua saya lebih senang anak perempuannya jadi anak manis manja di rumah.

Suatu hari, saat saya siap-siap mendaki Gunung Gede, ayah saya bilang, “Ini terakhir kali, ya, kamu naik gunung!”

Mendengar ayah berkata demikian, hati saya terluka. Ego saya naik (dasar bocah sensitif! :D) Ketika itu saya berpikiran, saya sudah dewasa. Saya punya otoritas dan prioritas hidup. Saya merasa tidak pernah merepotkan orang tua dengan aktivitas saya. Mengapa mereka masih melarang saya melakukan kegiatan yang saya suka??

Kepada ayah, saya menjawab: “Maksudnya terakhir kali naik gunung gimana??!!” tanya saya, melawan.

Ujung mata saya basah dengan air mata. Saya menarik nafas panjang. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mendapat restu dari ayah. Hati kecil berbisik, tidak mungkin saya melangkah tanpa restu orang tua.

Setelah emosi mulai stabil, saya mencoba menjelaskan kepada ayah:

“Mendaki gunung adalah perjalan mengatasi rintangan dan persoalan. Meski sudah cukup sering naik gunung, setiap pendakian selalu memberikan kesan dan pengalaman berbeda. Naik gunung bisa menjernihkan pikiran, mengobati rasa kesal dan bosan. Saat mendaki gunung, saya belajar melangkah dan percaya pada diri sendiri. Belajar bertahan hidup. Dalam usaha bertahan hidup itu, ada suka-duka, dan saya memilih menyimpan kenangan indah. Di gunung, saya merasa menjadi diri sendiri. Mengambil keputusan dengan ketenangan pikiran dan perasaan. Menjalani hidup tanpa beban, selain menanggung beban di pundak.”

Ayah dan ibu kemudian melepas saya pergi. Tidak ada cara yang bisa dilakukan orang tua terhadap anaknya yang pembangkang ini selain melepaskan anak itu melakukan sesuatu yang dicintainya. “Jangan lupa berdoa agar perjalanan lancar,” kata ibu, sambil melambaikan tangan.

Kembali ke pertanyaan pelatih angkat besi yang saya temui di Soreang, apakah saya sedang mencari jati diri dengan mendaki gunung?

Bagi saya, mendaki gunung bukan usaha mencari jati diri. Mendaki gunung justru berarti berarti menjadi seutuh-utuhnya dan sebaik-baiknya diri sendiri. Karena setiap langkah begitu berarti. Setiap beban dipundak begitu bernilai. Setiap detil kehidupan, seperti embusan angin, sejuknya embun pagi, indahnya daun-daun yang berguguran, hangatnya matahari, begitu bermakna. Dan, setiap interaksi dengan teman-teman perjalanan memberi warna.

 

Selamat menjalani hari-hari.

Jakarta, 30 Juli 2017.

Denty Piawai Nastitie

Rambutkriwil.com

Read more

Sebagai jurnalis, tidak ada yang lebih membanggakan selain bertemu dengan tokoh idola. Selain bisa bertatap muka secara langsung, sangat senang bisa berbincang-bincang dengan tokoh tersebut. Tidak jarang, malah menjadi teman dekat untuk bertukar pikiran.

Maka, ketika suatu hari saya ditugaskan meliput kejuaraan tenis dunia dan bertemu Serena Williams, hati ini berbunga-bunga. Saya menyempatkan berswa-foto dengan Serena. Saking senangnya, foto yang ada di telepon genggam saya pamerkan ke orang tua, teman-teman, keluarga.

Tetapi, tiba-tiba, foto itu hilang! Saya sedih karena bukti pertemuan dengan Serena tidak tersisa. Lebih sedih lagi, ketika saya sadar pertemuan itu hanya mimpi! Begitu bangun, saya tersadar sedang berada di kamar tidur. Tidak ada Serena Williams. Tidak ada foto-foto. Kalau kata wartawan, amsyong!! 😛

Sepanjang hari saya berpikir, kenapa yaaa…. saya bisa bermimpi bertemu dengan Serena Williams. Mungkin karena sesaat sebelum tidur saya melihat foto Serena dan Venus Williams saat bermain di AS Terbuka 2016. Mungkin karena memang saya ngefans dengan Mbak Serena, sampai kebawa mimpi. Hehe.

Perkenalan saya dengan Serena Williams terjadi belasan tahun lalu. Saat itu, saya sering tidak percaya diri punya rambut keriting dan kulit sawo matang menuju kegelapan. Ada yang bilang, saya mirip kakak beradik Serena-Venus Williams. Dibilang seperti itu, saya merasa tidak cantik. Merasa kacau. Sepertinya apa yang saya lakukan sia-sia karena sesuatu kerap hanya dari tampilan fisik.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, dan seiring mengikuti perjalanan karir Serena-Venus Williams, saya sadar, ketika kita fokus terhadap apa yang menjadi kekuatan kita, maka tampil fisik bukan lagi menjadi masalah.

Ketika musuh berhadapan dengan Serena di lapangan, yang mereka hadapi adalah Serena dengan aksi tenisnya yang luar biasa. Bukan Serena dengan warna kulitnya yang berbeda kebanyakan petenis lain di era-nya. Lagian, toh, definisi kecantikan itu apa sihh??

Serena Williams memang jagoan di lapangan tenis. Main tenisnya energik! Servisnya kenceng! Selain karena permainan di lapangan, saya suka Serena karena komentar-komentar yang dia sampaikan menunjukkan women’s empowerment.

Bagi saya, melalui prestasinya, Serena telah mendefinisi ulang pandangan-pandangan umum masyarakat yang sexist dan racist.

Serena, misalnya, menolak disebut petenis perempuan terbaik. Karena baginya, tenis bisa dilakukan siapa saja, tidak peduli kamu perempuan atau laki-laki. (Kenapa yaa, kalau Roger Frederer atau Nadal nggak pernah disebut petenis laki-laki terbaik??).

Komentar ini disampaikan saat Serena meraih kemenangan ke-307 di turnamen Grand Slam AS Terbuka 2016, menyamai rekor Frederer. ”Saya perempuan, dan saya atlet. Namun, pertama-tama saya adalah atlet,” ujar Serena, yang menggunakan momen kemenangan untuk meyakinkan para penggemarnya bahwa gender tidak ada kaitannya dengan kejayaan seseorang.

Sebagai perempuan petenis berkulit hitam, banyak orang yang sering mengolok-olok fisik Serena. Sebagian para penyerangnya bahkan sesama perempuan.

Saya sempat kesel banget lihat video seorang petenis yang ngebully fisik dia di lapangan! Tindakan itu seakan membenarkan pernyataan: “women are their own worst enemies is no new revelation.” Rasanya pengen saya tempeleng kepala tuh cewek pakai raket tenis.

Tetapi, menanggapi ejekan itu, Serena tidak down. Dia santai aja menanggapi dengan pernyataan: “My power is sexy.” Pernyataan itu melegitimasi kehebatan Serena di lapangan dan di luar lapangan. Dia tidak menanggapi penghinaan dengan kemarahan atau komentar pedas, tetapi menajadikannya kekuatan untuk semakin berprestasi.

Konflik sesama perempuan sebenarnya terjadi tidak hanya pada petenis terkenal macam Serena, pada orang-orang biasa juga kejadian. Misalnya perempuan single vs perempuan berkeluarga, perempuan bekerja vs ibu rumah tangga, perempuan menyusui vs perempuan yang anaknya nyusu pakai sufor (susu buat sapi kalau kata orang-orang). Please deeh, saatnya perempuan saling mendukung bukannya saling menjatuhkan!

Serangan untuk Serena juga datang dari para petenis-petenis uzur yang rasis. Komentar rasis muncul semakin gencar saat Serena menjalin hubungan dengan Alexis Ohanain, pendiri Reddit, pria berkulit putih. Serena menjawab komentar rasis dengan mengutip sajak Maya Angelou, “Does my sassiness upset you? Why are you beset with gloom?… You may shoot me with your words, … You may kill me with your hatefulness. But still, like air, I’ll rise.”

Serena sudah menembus banyak kendala, tetapi perjalanan menuju kesetaraan kesempatan masih panjang… Seperti kata Serena, apapun yang terjadi, jangan pernah berhenti menciptakan hal-hal positif!

Jakarta, 19 Juli 2017
Denty Piawai Nastitie
Rambutkriwil.com

Read more

Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!

Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.

Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.

Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:

1. Tentukan media incaran

Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!

Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.

Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.

Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.

2. Pahami karakteristik media

Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”

Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)

B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.

Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.

3. Kirim foto dan pahami selera editor

Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk

Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?

Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!

Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.

Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.

4. Jalin relasi dengan ruang redaksi

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!

Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.

Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!

5. Tulis, kirim, lalu move on!

Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.

Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.

Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.

Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂

Jakarta, 14 Juli 2017

Salam, Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.

Read more

Narastika dan saya sama-sama hobi bervakansi. Pada 2010, kami mendapatkan beasiswa pertukaran pemuda ke Luton, Inggris. Meski program itu melarang peserta traveling ke kota lain tanpa asistensi dari supervisor, kami nekat ngetrip ke London (sekitar 50 kilometer dari Luton).

Di London, kami menyusuri Sungai Thames, menikmati keindahan arsitektur Istana Buckingham yang megah dan mewah, menonton drama musikal Shakespeare di Globe Theather, meresapi kehidupan malam di sekitar London Eye, berfoto dengan mannequin, dan melakukan banyak hal lain.

Malam itu, dengan rasa haru dan gembira luar biasa, kami pulang ke Luton naik kereta cepat. Sepanjang perjalanan, Narastika dan saya menahan dingin karena tubuh kami hanya dibalut jaket tipis. Kami juga menahan lapar karena tidak sanggup membayar makanan paling murah di Chinese Food Restaurant di London. Meskipun kere, tetapi hore!

Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.

Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.

Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan. Namun, saya yakin, seperti jodoh (kayak ngerti ajaa hehe), cocok atau tidaknya dengan teman seperjalanan bisa dibangun. 🙂

Sejak delapan bulan sebelum perjalanan, Narastika dan saya sudah mempersiapkan jalan-jalan hemat di Negeri Sakura. Kami mengatur itinerary, mencari hotel, memesan tiket pesawat dan tiket kereta dan bus lokal, dan memasang target lulus kuliah! (FYI, demi bisa traveling setelah lulus kuliah saya mengerjakan skripsi dalam waktu tiga bulan! :D)

Dari mengatur itinerary, sebenarnya sudah terlihat bagaimana perbedaan sikap Narastika dan saya dalam memandang perjalanan ini. Narastika sungguh well-organized, dia mengatur itinerary perjalanan tidak hanya hari-per-hari, tetapi jam-per-jam! Dia juga mengatur rencana penginapan dan transportasi dengan sangat detail. Hal ini sungguh-sungguh berbeda dengan saya, yang super berantakan!

Kalau bepergian, saya hanya punya gambaran besar dan kasar mengenai kota yang ingin saya kunjungi dan berapa lama saya akan tinggal di sana. Saya sama sekali tidak memikirkan, seharian (dari jam-per-jam) mau ngapain aja, yang ada di benak saya: “Lihat nanti saja deh mau mengunjungi apa! Tergantung mood!” Tetapi, Narastika kekeuh jadwal harus fixed sebelum berangkat karena akan mempengaruhi budget. Baiklaah, saya menyerah. Dan kami pun menyusun itinerary secara rigid.

Dalam diskusi, saya memberi beberapa destinasi yang ingin saya kunjungi. Narastika yang akan memasukkannya dalam tabel-tabel itinerary disesuaikan dengan budget dan kondisi geografis.

Sesampainya di Jepang, perbedaan sikap kami semakin terasa. Narastika bergerak disiplin mengikuti jadwal, sedangkan saya lebih acak, dan mau menikmati slow-journey dengan, misalnya, berlama-lama menghayati sejarah Kota Hiroshima, berdialog dengan masyarakat setempat seperti para tukang becak Jepang, mencicipi makan makanan lokal, dsb. Saya sempat bete karena merasa hidup seperti diatur-atur dengan itinerary. Narastika juga pasti bete karena gerak saya super lambat dan mood mudah berubah-ubah. 🙁

Dari perjalanan ini, saya sadar, tantangan dalam perjalanan bukanlah keterbatasan bahasa atau uang atau waktu dan sebagainya, tantangan dalam perjalanan adalah membangun toleransi dan komunikasi dengan orang lain agar perjalanan menyenangkan! Sekalipun ada yang mengklaim sebagai solo traveler, bukankah kita tidak akan pernah betul-betul sendirian dalam perjalanan?

Lalu apakah langkah Narastika benar karena menyiapkan perjalanan dengan lebih detail sedangkan saya salah karena tergolong orang yang acak dan tidak terjadwal?

Beberapa orang mungkin suka gaya traveling teragenda, beberapa orang lain suka style travelling yang spontan. Dalam perjalanan tidak ada yang lebih benar atau lebih salah karena semua keputusan yang diambil tergantung situasi dan kondisi.

Persiapan sebelum trip memang penting, tetapi spontanitas dan fleksibilitas juga sangat dibutuhkan.Ketika dua kepala memiliki isi otak yang berbeda, akhirnya masalah yang timbul adalah keinginan pribadi tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Misalnya, saya sangat ingin naik Gunung Fuji. Sementara Narastika sama sekali tidak tertarik naik gunung. Untungnya, perbedaan ini tidak berujung pada percekcokan, adu mulut, jambak-jambakan, bete-betean, dan akhirnya malah jadi ngegosipin keburukan teman di kemudian hari.

Untuk mencegah peperangan (oke, ini lebay :D) kami mencoba sampaikan keinginan pribadi sejelas-jelasnya dan coba mendengarkan travel partner untuk mencari jalan tengah. Akhirnya kami mengambil jalan tengah: saya akan naik Gunung Fuji, sementara Narastika akan city tour di sekitar Tokyo. Ini merupakan jalan tengah yang sempurna, karena dengan berpisah kami bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dan berbagi pengalaman saat bertemu lagi.

Saya sangaaattt senang naik Gunung Fuji, tetapi lebih senang lagi ketika bertemu Narastika lagi di hostel!! Dia menyambut saya dan mengucapkan selamat karena saya sukses mengibarkan bendera merah putih di Puncak Fujisan! AAAAHH, Tikaaa!!! Saya gak mungkin mewujudkan cita-cita ini tanpa kamuuu!! *langsung meweeekkk*

Agar perjalanan menyenangkan, kami juga coba untuk saling mengalah demi memenuhi keinginan teman. Narastika menemani saya ke Shimokitazawa, distrik yang menjual barang-barang antik! Sementara saya menemanik Tika ke kota satellite Yokohama (di sini kami nonton sirkus gratisan! Hahahhaa).

Di Shimokitazawa, kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan…. yekss!! Dulu memang enggak doyan makan ikan, apalagi telur ikan T.T…. Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan….

Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa…. *mewek lagi untuk kesekian kali… hahahhaa)

Dengan berbagi kita tidak akan pernah merugi. Justru mendapatkan banyaaak pengalaman seru dan unik. Setiap kali saya bertemu Narastika, kami akan tertawa sampai perut sakit mengingat banyak hal bodoh yang kami lakukan. Di perjalanan, kami lebih mengenal diri sendiri, dan bisa saling menyesuaikan, atau bahkan terbawa kebiasaan teman.

Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, akhirnya jadi lebih gampang ngobrol dengan orang asing karena terpengaruh kebiasaan saya yang suka sotoy dan SKSD dengan orang lain. Hahahahhaa. Saya yang biasanya bangun siang jadi lebih pagi karena enggak mau ada jadwal perjalanan yang terlewatkan. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk.

Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul “Kepompong”: Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan…”

Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan. 🙂

For Narastika.

Best love, Denty.

Jakarta, 29 November 2016.

Rambutkriwil.com

 

Read more

“Lebih baik budaya itu “dirusak”, daripada tidak pernah tersentuh dan malah hilang dalam ingatan,” kata Sapto Rahardjo, seniman dan pemrakarsa Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), nyaris 10 tahun lalu.

Kata-kata Mbah Sapto, panggilan akrab Sapto Raharjo, terngiang-ngiang di kepala saat saya membuat mural di tembok kota lama Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Saat itu, jarum jam lewat pukul 00.00, belasan anak muda dari komunitas #Kesengsemlasem dan warga setempat bekumpul untuk menjadi saksi perubahan wajah tembok Lasem yang awalnya usang dan nyaris tak terawat menjadi lebih berwarna.

Sapto Rahardjo adalah seniman yang identik dengan gamelan. Tak hanya gamelan tradisi, dia juga mengekplorasi gamelan dengan menggunakan teknologi modern seperti komputer dan synthesizer. Perannya bagi perkembangan gamelan semakin jelas ketika dia membuat Yogyakarta Gamelan Festival (YGF). Festival musik berskala internasional itu sudah ada sejak 1995 dan masih eksis hingga kini, bahkan ketika Mbah Sapto tutup usia.

Di YGF, Mbah Sapto juga memperkenalkan konsep Gamelan Gaul. Melalui Gamelan Gaul, anak-anak muda yang tadinya hidup jauh dari kesenian dan tradisi dirangkul untuk memainkan gamelan dengan cara yang lebih fun. Kalau biasanya gamelan memainkan gending jawa, misalnya, melalui Gamelan Gaul anak-anak muda bebas memainkan lagu-lagu pop. Bunyi yang keluar dari gamelan juga dipadukan dengan alat-alat musik modern, seperti drum dan gitar.

Cara Sapto Rahardjo memperkenalkan gamelan kepada anak-anak muda sempat menuai kritik pedas dari banyak kalangan. Mbah Sapto, kakek berambut gondrong itu, dinilai sudah merusak gamelan. Tetapi, dia tidak gentar. Saat menjadi volunteer YGF 2007-2008, saya menyaksikan sendiri perjuangan Mbah Sapto bersama para relawannya menyukseskan berbagai event Gamelan Gaul. Dengan dana yang terbatas, Mbah Sapto bahkan pernah membuat Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara saat SBY berkuasa.

Hasilnya, dari sekedar coba-coba, banyak anak muda yang kemudian tertarik menggeluti gamelan. YGF juga selalu ramai dihadiri pecinta gamelan dari berbagai negara. Orang-orang asing dari berbagai penjuru dunia tidak hanya menonton, tetapi juga ikut bermain gamelan. Festival itu menjelma jadi ajang pelestarian budaya sekaligus tempat berkumpulnya warga dunia. Kerja keras Mbah Sapto adalah upaya mempertahankan gamelan sebagai warisan Indonesia. Jangan sampai, begitu negara tetangga mengakui gamelan sebagai peninggalan bangsanya, orang-orang Indonesia baru ribut-ribut!!!

Cerita tentang Mbah Sapto dan “perusakan” gamelan yang sistematis dan terstruktur itu kembali hadir dalam ingatan, ketika saya melakukan perusakan lainnya, yakni mewarnai tembok Lasem. Lasem yang terkenal dengan arsitektur peninggalan kebudayaan China, kini lebih bewarna dengan kehadiran gambar polkadot warna-warni, sayap, dan entah nanti apa lagi. Lasem yang dulunya terkenal sebagi kota dengan penghuni orang-orang tua, tiba-tiba digruduk anak muda yang hobi plesiran dan selfi-selfian di depan mural.

Sejumlah orang menilai, mewarnai Lasem adalah bentuk perusakan tembok yang usianya sudah puluhan (atau mukin ratusan) tahun. Kegiatan perusakan tembok ini bermula saat saya berkunjung ke Lasem bersama teman dari Yogyakarta, Narastika. Di Lasem, saya bertemu pendiri komunitas #Kesengsemlasem, Agni Malagina.

Begitu tiba di Lasem, Kak Agni mengajak saya berkeliling desa. Lasem itu sangat identik dengan lorong-lorong kampung yang di kiri kanannya terbentang rumah-rumah lawas. Rumah-rumah peninggalan keluarga Tionghoa itu dikelilingi tembok putih polos setinggi tiga meter. Sebagian tembok sudah retak dan pecah-pecah. Sebagian lainnya lembap dan berlumut sehingga suasananya sunyi dan agak menyeramkan saat gelap.

Sambil berkeliling naik sepeda motor, Kak Agni bertanya: “Apa pendapat kamu kalau tembok-tembok ini kita cat agar lebih berwarna? Mungkin bisa juga dengan gambar-gambar mural.”

“Hmm… menarik juga. Mungkin kalau tembok-tembok ini sudah diwarnai suasana Lasem jadi berbeda. Jadi lebih hidup,” jawab saya. Sebenarnya jawaban itu hanya untuk membuat Kak Agni lega. Jauh-jauh ke Lasem, saya ingin menikmati hidup ala pedesaan bukannya ingin berdebat apakah tembok-tembok ini layak diwarnai atau tidak.

“Naaaah! Pas bangeettt!! Mumpung lo ada di sini, lo yang gambar dan mewarnai ya!” seru Kak Agni kegirangan.

Saya yang sedang menyetir motor terpaksa ngerem mendadak karena kaget. “Maksudnya??? Gue yang bikin mural??? Lo yakin?? Kapan bikinnya??? Emang waktunya cukup??? Gue kan cuma tiga hari di sini!!” kata saya.

“Cukup! Waktunya pasti cukup. Nanti kita beli cat ya, terus kita mewarnai!”.

Matilah awak! Kata saya dalam hati. Biasanya Kalau Kak Agni punya keinginan, dia akan gigih berusaha mewujudkan keinginan itu. Maka, sepanjang hari saya berusaha mempengaruhi Kak Agni agar dia membatalkan niatnya. Saya katakan ke Kak Agni kalau mencat tembok itu butuh waktu tak sebentar, butuh orang banyak yang mengerjakan, dan butuh kreativitas. “Emangnya gue bisa gambar? Gue gak bakat gambar,” kata saya.

“Bisa! Pasti bisa! Kita buat Lasem lebih hidup!” kata Kak Agni yakin.

Karena rencana itu sudah bulat, maka tidak ada alasan untuk mundur. Kak Agni menghubungi sejumlah pemilik tembok. Begitu mendapat izin, kami segera ngebom! (istilah menggambar mural di tembok).

Seperti bomber profesional, ngebom tembok Lasem dilakukan malam hari. Dengan pencahayaan seadanya, Kak Agni, Narastika, dan saya pun bergelut dengan kaleng-kaleng cat warna-warni. Bomber dadakan ini bekerja sambil digigit nyamuk, dan menghisap debu-debu jalan raya. Kami juga menerjang gerimis dan menahan rasa kantuk.

Jujur saja, saya sempat merasa pesimis dengan aksi ini. Mana mungkin Trio Angles (Kak Agni, Narastika, dan saya) bisa menggambar tembok-tembok Lasem yang panjangnya mencapai puluhan meter itu?!!

Tetapi, rasa pesimis itu berganti jadi semangat saat melihat warga Lasem ikut terlibat. Warga Lasem yang berpartisipasi berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak pesantren, pengusaha batik, hingga orang-orang tua Tionghoa. Mereka terlibat dengan ikut mewarnai, atau sekedar memberi dukungan dengan membawakan kami makanan dan minuman agar tidak mati kelaparan dan kehausan. Ada pula warga yang datang menyumbangkan jendela-jendela usang untuk dipasang menjadi dekorasi di tembok. Bukankah suatu pembangunan kota dinyatakan berhasil bisa sudah sukses mengajak warga terlibat?

Ketika mewarnai Lasem, saya sadar Lasem adalah kota yang bernyawa dengan akulturasi budaya. Tidak ada sekat-sekat yang memisahkan orang China dan bukan China, orang Jawa dan bukan Jawa, orang Kristen dan bukan Kristen, Islam dan bukan Islam. Semua orang membaur, saling mendukung. Anak-anak pesantren misalnya, dengan mengenakan baju koko, sarung, dan peci, asik-asik aja tuh mewarnai tembok-tembok rumah milik pengusaha Tionghoa sehingga terlihat lebih indah.

“Di daerah lain punya kekayaan pantai atau gunung, sementara di Lasem kekayaan kita adalah tembok-tembok tua,” kata Umi, istri Gus Zaim, pemilik Pesantren Kauman Lasem.

Kak Agni mengatakan, anak-anak muda malas datang ke Lasem karena tempat itu dinilai kurang menarik. Mereka lebih senang datang ke tempat-tempat wisata yang lebih ngehits. “Kalau kita mau melestarikan budaya, kita harus melibatkan anak-anak muda. Mereka harus diajak datang ke Lasem. Mungkin, awalnya mereka hanya mau swa-foto di depan mural yang kita buat, pelan-pelan kita juga mengedukasi tentang betapa bernilainya Lasem,” kata Kak Agni.

Mewarnai tembok Lasem sebenarnya bukan hal baru. Beberapa rumah di Lasem sengaja di cat pemiliknya untuk memberi ciri khas. Tiongkok Kecil Herritage milik Rudy Hartono, yang menjadi salah satu ciri khas Lasem, misalnya, malah lebih sering disebut Rumah Merah karena temboknya berwarna merah.

Di negara-negara lain, mural juga sudah menjadi bagian dari peradaban kota. Di George Town, Malaysia, misalnya, sangat identik dengan mural dan dekorasi-dekorasi tembok, seperti sepeda dan jendela gantung, yang menyatu dengan arsitektur lawas. Kesadaran warga untuk merawat budaya dan sejarah, sekaligus menciptakan unsur kekinian, menjadikan George Town dan Melaka, mendapat predikat UNESCO World Herritage Site. Saat ini, Lasem Kota Pusaka juga sedang diusulkan ke UNESCO sehingga perlu ada gerakan massal untuk mendukungnya.

Saat mewarnai tembok Lasem, saya mendengar sejumlah orang sanksi pada gerakan ini. “Memang boleh tembok-tembok Lasem dirusak?”. Saya hanya tersenyum. Dalam hati ingin menjawab, “Lebih baik tembok-tembok ini dirusak daripada Lasem tidak pernah tersentuh dan malah hilang dalam ingatan.” Belum sempat saya menjawab demikian, beberapa warga Lasem sudah berseru, “Waah… temboknya jadi bagus! Lebih berwarna! Nanti rumah saya dikasih gambar juga yaa!!” Saya pura-pura gak dengar karena takut berniat alih profesi jadi tukang cat! >.<

 

Jakarta, 1 Syawal 1438 H

Selamat Idul Fitri bagi teman-teman yang merayakan, mohon maaf lahir dan batin.

Salam, Denty Piawai Nastitie

Rambutkriwil.com

Read more

“Kapan kawin?”

Siapa sih, yang enggak pernah menerima pertanyaan: “Kapan kawin?!!”

Menjelang hari lebaran begini, siap-siap ya halal-bihalal dengan sanak saudara, teman-teman lama, para tetangga, dan disambut pertanyaan serupa berulang-ulang! Kyaaakkk! Kyakkk!

Bro, sist, sama kok! Saya juga sering menerima pertanyaan “kapan kawin?”. Dua tahun lalu pernah ngobrol dengan nenek asal Amerika Serikat, dia bertanya, “Berapa usia kamu?”. Saya jawab: “25 tahun!” Lalu dia dengan entengnya bilang: “You are just a baby.” Lalu, saya bengong dong: “Di Indonesia, orang-orang mengganggap saya berusia 200 tahun!” Si nenek pirang tertawa.

Begitulaaah, seiring usia bertambah makin banyak pula pertanyaan “kapan kewong?”. Beberapa orang bertanya sambil lalu, sepertinya hanya karena iseng gak punya topik pembicaraan. Beberapa lainnya memang peduli. Banyak juga yang bertanya untuk membandingkan kebahagiaan (kalau gak mau disebut penderitaan).

Menanggapi pertanyaan itu, sering kali saya tersenyum. Sering juga tertawa (baik karena memang ingin menertawakan diri sendiri atau tertawa garing untuk basa-basi). Kadang-kadang saya bawa santai saja pertanyaan demikian karena dilontarkan seseorang yang tidak terlalu penting (so buat apa gue pusing????)

Sering juga jengkel (karena pertanyaan dilontarkan di saat kurang tepat). Kadang saya sedih. Bukan karena status saya, tetapi sedih karena kok bisa ya saya mengenal manusia berpikiran begitu dangkal yang menganggap orang lain harus menjalani kehidupan sama seperti dengannya. Perasaan-perasaan itu muncul tergantung musim (musim rambutan atau durian hahhaa #yakali), kondisi (siapa yang tanya, lokasi, aktivitas, dll), juga suasana hati.

Kalau saya lagi pengen bercanda paling saya jawab, “Kalau enggak Sabtu ya Minggu.” Bisa juga dijawab: “Emang kalau gue nikah lo mau nyumbang berapa?” atau “Tergantung kapan gedungnya kosong.” Sambil diiringi derai tawa. Kalau lagi sok bijak, saya akan mengatakan, “Never marry because time is going, marry because you are ready.”

Kalau lagi sok bijak semisensi, saya akan mengatakan, “Never marry because A DULL MAN asking you when you are going to marry, marry because you are ready.” >> biasanya setelah disemprot begitu tuh orang langsung mingkem.

Once, saya bilang ke nyokap, kenapa sih orang-orang kepo banget tanya-tanya kapan saya nikah. Kalau yang bertanya semacam orang-orang yang saya hormati seperti bude, pakde, atau bos di kantor kan saya jadi bingung harus jawab apa. Sesekali, sih, bisa saya jawab bercanda, tetapi kalau keseringan dan saya lagi males nanggepinnya bisa2 saya jawab ketus dan malah panjang urusan.

Untungnya, my mom mengerti kegundahan hati anaknya. Dia bilang sebagai manusia, saya harus bersikap baik dan ramah ke orang lain. “Beberapa orang memang seperti kurang kerjaan (kalau menurut saya kurang ajar!) tanya-tanya status, beberapa lainnya betul-betul peduli. Dia ingin mendoakan yang terbaik bagi kamu. Jadi, respons kamu ya harus baik juga,” kata my mom.

So mendengarkan masukan nyokap, saya siap tersenyum dan menjawab ramah kepada mereka yang saya hormati. Kalau ada kesempatan saya ngobrol heart to heart ke teman dekat, tentu saya akan menjawab dengan jawaban paling jujur dari dalam hati. Biasanya jawabannya panjang ha ha.

Well, pada dasarnya banyak alasan kenapa seseorang belum menikah.

1. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang

Teman saya ada yang belum menikah karena trauma. Beberapa hari sebelum pernikahan, tiba-tiba calon suaminya ketahuan selingkuh (baca tidur dengan cewek lain) di depan matanya sendiri. Ada juga yang di hari pernikahan tiba-tiba calon suaminya enggak nongol. “Hidup gue seperti runtuh. Dua tahun gue sama sekali gak keluar rumah. Gue sedih, hancur, malu,” kata teman saya.

Ada yang batal menikah karena calonnya lebih dulu dipanggil Tuhan. Sebagian orang pernah menjalin hubungan dengan pasangan posesif, pernah mengalami relationship abuse. Boleh dong kalau akhirnya lebih selektif memilih calon suami dan berpikir: “You’re better off alone than with someone who’s all wrong for you.”

Jangan anggap semua orang sama dengan Anda. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang. Lo gak pernah tahu masa lalu gue. Stop asking, stop judging, if you are thinking everybody should live the life in your own way.

2. Punya cita-cita lain

Kapan itu ada teman yang tanya, “Lo galau ya makanya solo travel terus?”. Saya ngakak. Saya baru sadar, “Ada ya orang yang mikir gua traveling karena galau?”. Saya mah galau setiap waktu dan tidak mungkin spending money untuk traveling hanya karena galau. Travel expenses saya mahal booo bisa tekor sayaaa kalau setiap galau traveling :p :p

Sebagian orang suka buang-buang uang untuk belanja, investasi, mabok-mabokan. Dan saya suka spending money untuk traveling. Sesederhana itu.

Saya berencana solo travel naik Transsiberian menuju Rusia. Saya berencana ke Nepal, menyusuri jalur Santiago de Compostela, keliling Asia, terutama India, Pakistan, Uzbekistan, dan negara-negara tan lainnya (kebetulan skripsi S1 saya tentang kehidupan perempuan-perempuan Pakistan, jadi ingin mengunjungi tempat itu suatu hari nanti).

Selama ini saya membayangkan betapa gagahnya trip around the world seorang diri. Selain pengen traveling, saya juga pengen kuliah S2, pengen belajar Bahasa Jepang, pengen kerja sosial tanpa dibayar di beberapa daerah di Tanah Air dan di luar negeri.

Balik lagi ke pertanyaan, “Kapan lo kawin?” Adakah seseorang di luar sana yang akan bertanya: “Kapan kamu pensiun dini untuk solo travel keliling dunia?” Hahahahhahaa! Langsung cium tangaaannn kalau ada orang tanya seperti itu! 🙂

3. Hidup itu pelik

Most of my friends are men. Mereka santai aja nunjukin foto selingkuhan. Ada beberapa teman yang setelah beberapa tahun menikah baru sadar memilih orang yang kurang tepat. Lalu tersiksa dalam hubungan pernikahan.

Beberapa teman sadar mempunya anak untuk mengisi kekosongan. Lalu pusing karena gaji gak seberapa kebutuhan untuk anak tinggi, lalu mulai korupsi sana-sini. Atau punya anak, gaji tinggi, lalu menitipkan anak ke pembantu dan hanya ketemu anak dua jam per hari sampai-sampai anaknya mulai gak kenal orang tua.

Hidup single memang pelik brohh, tapi situ hidup dalam pernikahan juga pelik kan yaaa… banyak masalah juga kan yaaa…. Daripada ngurusin saya, mending urus kehidupan Anda! 🙂

4. Belum siap

Banyak yang bilang, “Kalau menikah ditunggu kapan siapnya, ya gak akan pernah siap.”

Kesiapan pernikahan itu menyangkut emosi, sosial, finansial, intelektual, dan lain-lain. Kesiapan pasangan juga penting. Gak mau kan hidup berakhir seperti almarhum Catharina, korban pembunuhan oleh calon suaminya. Baca-baca di berita online, calon suami korban tidak siap memenuhi kebutuhan pernikahan lalu membunuh pasangannya.

Sedih deh kalau ada yang berpikiran menikah itu tidak harus menunggu siap. Kenapa? Karena pernikahan itu tidak hanya soal selebrasi hari-h, konsep pernikahan setelahnya juga penting. Pernikahan tanpa kesiapan itu terlalu riskan. Mereka yang menikah muda rentan mengalami KDRT karena emosi pasangannya masih labil. Teman-teman saya yang menikah muda pun mengalami hal serupa. Beberapa teman kerepotan dengan biaya hidup yang meningkat. Sebagian teman lain merasa mimpi-mimpi mudanya terkubur karena harus menjalani peran sebagai suami/istri. So, bagi saya kesiapan itu penting bingitsss… sekali memutuskan menikah, ya jangan menyesali keputusan.

Saya tidak anti pernikahan, balik lagi kalau ada yang bertanya: “Kapan kawin?” Maka jawabannya adalah: “Ehh… tanya apa barusan? Apaaa? Apaaaa?” *pura-pura gak dengar sambil ngeloyor pergi…. Wkwkwkwkwkkk

 

Jakarta, 20 Juni 2017

Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Read more

Kakak! Kakak!” seru Yazid, dari komunitas Insan Pariwisata Muna, sambil menyenggol bahu saya saya. “Kakak, tidak apa-apa? Kakak masih kuat berjalan?” tanyanya, lagi.

Samar-samar saya mendengar suara Yazid. Saya menyeka keringat di dahi. Kemudian berjongkok pada sebuah batu besar. Kepala menengadah, melihat sang surya membakar langit. Matahari terasa seperti ada tiga!! Sinarnya memanggang kulit, menghanguskan kerongkongan. Membuat mata terasa berkunang-kunang. “Saya sepertinya tidak sanggup, Yazid. Saya berhenti di sini saja, toh air minum kita juga sudah habis… ” kata saya, kepayahan. 

Eeee!!! Tidak bisa kakak!! Berhenti di sini sama saja, bisa mati dehidrasi juga!” kata Yazid. 

Dia lalu menyodorkan satu botol air mineral. Botol terakhir. Isinya kurang dari separuh. Belasan botol lain sudah habis di perjalanan. “Minum sedikit, yang penting tenggorokan tidak kering,” kata dia.

Masih jauhkah perjalanan ini?” tanya saya.

Yazid mengangkat bahu. “Saya tidak tahu, kakak. Saya juga baru pertama kali datang ke sini,” jawabnya. “Jarak kita dengan rombongan di depan terlalu jauh. Sementara dua orang lain di belakang kita sudah menyerah sejak tadi. Kita harus terus berjalan agar tidak tersesat.”

Saya bersumpah serapah di dalam hati. Menyesal ikut dalam ekspedisi ini. Seandainya saya tahu perjalanan akan sulit dengan sinar matahari yang menyiksa kulit, lebih baik saya tidak ikut. Sinar matahari terik menjilat-jilati tubuh ini. Nafas pendek. Keringat dingin membanjiri leher dan telapak tangan. “Ayo kakak! Kita harus bergerak,” kata Yazid membuyarkan lamunan. 

Dengan sisa-sisa energi, saya bangkit. Kembali melangkah. Melewati batang-batang semak belukar setinggi lima meter yang sudah merobek-robek kulit paha dan betis. Semoga saya tidak ambruk sebelum sampai di goa misterius itu!

Perjalanan ini bermula dari situs peninggalan purbakala Liang Kobori dan Metanduno di Kabupaten Muna. Goa alam ini terkenal karena di dindingnya terdapat lukisan yang dibuat manusia purba. Liang Kobori dan Metanduno termasuk situs purbakala yang dilindungi pemerintah. Goa juga menjadi tempat pariwisata dan penelitian purbakala.

Tidak jauh dari Liang Kobori, terdapat Goa Sugi Patani, yang populer dengan lukisan manusia menerbangkan layang-layang. Meski jaraknya relatif dekat, perjalan cukup menantang karena goa berada di puncak bukit cadas. 

Untuk menuju goa yang dimaksud, saya harus melalui bibir tebing karst yang terjal dan berkelok. Di akhir perjalanan, saya memanjat tumpukan batang pohon rapuh yang dibentuk menyerupai tangga. Berkali-kali juru kunci, La Samada, mengingatkan agar saya tidak salah memilih pijakan. Begitu salah pijak, tubuh ini bisa meluncur jatuh dari atas bukit. Nyawa taruhannya!

Begitu sampai di puncak bukit, ceruk Goa Sugi Patani mengundang masuk. Di dinding goa terdapat coretan-coretan gambar menyerupai manusia. Ada dua tipe gambar manusia, yaitu yang memakai kain sebatas lutut dan manusia berupa garis sederhana membentuk kaki, tangan, dan kepala. Tentu saja, gambar yang paling menarik adalah wujud seseorang menerbangkan layang-layang.

Menurut peneliti, gambar layang-layang ini dibuat pada zaman pra-sejarah yang diperkirakan berasal dari tahun 9000 – 5000 Sebelum Masehi (SM). Gambar ini memperkuat bukti layang-layang tertua di dunia berasal dari Kabupaten Muna. Layang-layang Muna, berusia lebih tua dari layang-layang di Tiongkok,” ujar La Samada.

Penjelasan juru kunci itu berasal dari penelitian Wolfgang Bieck (Jerman), yang dilakukan pada 1997. Pada saat itu, Bieck tertarik dengan layang-layang yang terbuat dari daun kolope (kagathi kolope) yang ada di Kabupaten Muna. Dia kemudian terbang ke Muna untuk melakukan penelitian.

Dalam kunjungannya di Muna, Bieck diajak melihat peninggalan sejarah di Goa Sugi Patani. Berdasarkan temuan gambar layang-layang di goa itu diperkuat dengan berbagai hasil penelitian lainnya, menurut Bieck, klaim yang menyebutkan layang-layang tertua di dunia berasal dari Tiongkok terpatahkan. Alasannya, usia lukisan prasejarah di Goa Sugi Patani jauh lebih tua daripada layang-layang di Tiongkok yang diperkirakan berusia 2.400 tahun.

Sayang, gambarnya sudah mulai pudar. Lukisan manusia menerbangkan layang-layang tidak jelas terlihat,” kata saya.

Sebenarnya ada gambar lain yang lebih jelas. Gambar kerangka layang-layang di Goa Kagofigofine. Tetapi, karena baru saja ditemukan, belum ada penelitian yang membuktikan usia gambar itu,” jawab La Samada.

Di mana itu Goa Kagofigofine?” tanya saya.

Tidak jauh, tetapi jalannya sulit. Goa Kagofigofine masih sangat alami. Belum banyak orang yang datang ke sana karena letaknya tersembunyi,” kata juru kunci.

Saya menoleh ke Agni dan Ellen, teman perjalanan. Biasanya, Agni dan Ellen yang memutuskan destinasi perjalanan selanjutnya. Ada jeda beberapa saat, sebelum Agni bersuara: “Gimana kalau kita ke sana? Untuk membuat dokumentasi lukisan layang-layang,” ujarnya. “Semoga saja dokumentasi itu menarik minat peneliti untuk menyusuri jejak purba masyarakat Kabupaten Muna,” kata Agni, yang selalu punya energi blusukan kemana-mana.

Saya hanya bisa pasrah saat rombongan memutuskan menembus hutan belantara Kagofigofine. Rombongan terdiri dari perwakilan pemerintah Kabupaten Muna, komunitas pariwisata Kabupaten Muna, dan warga lokal. Perjalanan selama sekitar empat jam menembus kebun warga, semak belukar, dan padang ilalang. 

Sepanjang jalan, juru kunci membabat semak belukar. Beberapa kali perjalanan buntu di perbatasan kebun-kebun warga yang sudah ditandai dengan tumpukan batu. Bersama teman-teman, saya harus menyingkirkan tumpukan batu agar bisa melanjutkan perjalanan. Dengan sang surya yang bersinar terik, perjalan terasa tidak berkesudahan.

Lewat tengah hari, rombongan sampai di Goa Kagofigofine. Ukuran goa ini lebih besar dari Goa Sugipatani. Di Goa Kagofigofine, ada puluhan gambar yang dibuat manusia prasejarah, seperti gambar perahu, jangkar, manusia, dan hewan-hewan. Puluhan gambar itu menjalar di dinding goa. Gambar yang paling menarik perhatian sudah pasti lukisan kerangka layang-layang. Ada empat garis yang membentuk sayap layang-layang. Di tengahnya ada coretan garis yang membentu kerangka kagathi (layang-layang).

Dengan penerangan seadanya, saya memperhatikan gambar layang-layang yang ada di dinding goa. Kalau gambar kagathi yang ada di Goa Sugipatani sudah mulai pudar karena faktor alamiah, seperti terpaan sinar matahari yang terus-menerus, gambar di Goa Kagofigofine jauh lebih jelas. Warna kagathi coklat kemerahan. Mungkin karena letaknya yang tersembunyi di dalam goa jadi keberadaannya jauh lebih terlindungi.

Gambar layang-layang itu melemparkan kesadaran saya ke masa silam. Gambar di situs goa prasejarah menyimpan beragam tafsir, mulai dari karya seni, spiritual, aktivitas sosial, hingga ekspresi identitas diri. Ketika manusia belum memegang gadget seperti orang-orang masa kini, eksistensi dinyatakan dengan menggambar goa, tempat mereka bersembunyi, berlindung. Di Goa Kagofigofine saya sadar, perilaku manusia dari zaman ke zaman tidaklah berubah.

La Samada menjelaskan, Goa Kagofigofine berarti kelelawar karena di goa itu memang menjadi tempat bersembunyi kelelawar. Selama puluhan tahun goa ini “dikuasai” penduduk lokal. Tidak ada yang berani masuk karena kedatangan orang asing dipercaya dapat menghancurkan kedamaian masyarakat di Kabupaten Muna. 

Suatu hari, “penguasa” Goa Kagofigofine meninggal. Anaknya kemudian mengizinkan saya masuk ke dalam goa agar apa yang ada di dalamnya bisa disampaikan ke orang lain, dan harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak, entah di bidang pengetahuan, pendidikan, atau lainnya” kata dia.

Harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak,” kalimat juru kunci terngiang-ngiang di kepala. Matahari tenggelam. Ingatan akan masa lalu mengantar perjalanan kembali ke Kota Raha.

 

Ditulis di Lasem, 13 Juni 2017

Denty Piawai Nastitie (Rambutkriwil.com)

keterangan foto cover:

Picture by. Andra Ramadhan di Liang Kobori (posting atas izin pemilik hak cipta)

Read more

Blogging requires passion and authority. Which leaves out most people.”

Meski blog rambutkriwil.com baru dirilis awal tahun ini, cikal bakal blog ini sebenarnya sudah ada sejak sepuluh tahun lalu.

Pertama kali saya ngeblog sekitar 2007, ketika Multiply masih berjaya. Memakai nama samaran Rambutkriwil, saya memposting tulisan dan foto-foto perjalanan di antara kesibukan sekolah. Hasilnya, saya mendapat teman-teman baru sesama blogger, berkenalan dengan fotografer dan penulis profesional yang banyak mempengaruhi karya saya, dan tentu saja peluang pekerjaan.

Sedang gigih-gigihnya menulis di Multiply, platform blog di situs itu gulung tikar pada 2012 dan berubah menjadi e-comerce. Rambutkriwil berusaha bertahan dengan migrasi ke blogspot.com.

Seperti kehidupan yang penuh pasang surut, tekad dalam ngeblog juga timbul tenggelam. Lama kelamaan blog rambutkriwil.blogspot.com berubah bagaikan rumah tak bertuan. Bangunannya ada, tetapi suwung. Kosong. Kekosongan itu disebabkan beberapa hal, seringnya sih, alasan klise: SIBUK. GAK SEMPET NULIS.

Pada 2013, selepas kuliah, saya mulai magang sebagai jurnalis harian KOMPAS. Setahun kemudian, saya diangkat menjadi jurnalis tetap. Di antara rutinitas bekerja sebagai jurnalis, keinginan untuk kembali ngeblog kembali muncul. Anehnya keingan itu kian kuat saat saya sedang SIBUK-SIBUK-NYA BEKERJA, alasan yang dulu saya pakai untuk absen ngeblog.

Tak jarang keinginan blogging muncul pada saat deadline sedang menjerat. Suatu keadaan yang memaksa jurnalis bekerja cepat selesai, tidak berlarut-larut pada suatu tulisan tertentu. Jangankan makan dan minum, pada saat deadline, untuk nafas aja kadang susah… eh ini malah mikirin blog!

Setelah membulatkan tujuan, sejak awal 2017 saya kembali membangun blog, yang selama ini sering terbengkalai dengan nama: Rambutkriwil.com. Saya menganggap blog ini sebagai rumah yang terbuka bagi siapa saja. Silakan datang berkunjung, bercakap-cakap, atau sekedar melihat-lihat. Kalau suka boleh menginap dan meninggalkan pesan, kalau tidak suka boleh pergi begritu saja. Ingin jadi silent readers juga monggo.

Di luar negeri, jurnalis sekaligus blogger sudah banyak. Jurnalis-jurnalis handal yang bekerja di The Guardian, Washington Post, atau BBC, biasanya juga mengelola blog. Tetapi, di antara rekan-rekan seprofesi di Indonesia, sepertinya jurnalis yang juga blogger bisa dihitung pakai jari.

Meski jumlahnya tidak banyak, saya yakin, saya tidak sendirian. Kenapa? Karena blog sekarang sudah menjadi bagian dari media mainstream untuk membangun jaringan, membagikan pemikiran, menuliskan berita, gosip, atau hal-hal remeh temeh berkaitan dengan hobi dan minat di bidang tertentu. Bagi sebagian orang, blogging membuat mereka bisa mendapatkan uang tambahan di luar pekerjaan utama, tiket untuk mengunjungi banyak tempat-tempat keren di berbagai belahan dunia, dan segudang keuntungan lainnya. Untuk saya sendiri, blog memang tidak belum menghasilkan hal-hal materi semacam itu. Namun, saya tetap yakin, penting bagi seorang jurnalis (setidaknya bagi saya sendiri) untuk ngeblog tentang sesuatu, karena…

  1. Ngeblog membuat saya merasa sebagai manusia, bukan sekedar mesin perusahaan… Sejak dulu saya suka menulis. Bagi saya, menulis adalah kebutuhan, seperi makan dan mimum, dan bukan sekedar pekerjaan. Setiap hari meliput, mewawancarai narasumber, meriset data, menulis dengan deadline yang ketat, membuat tubuh dan pikiran kadang-kadang lelah. Lebih dari 50 persen kehidupan dihabiskan di lapangan dan di kantor. Saat orang-orang libur, saya bekerja. Saat orang-orang bekerja, saya malah libur (karena enggak pernah dapat libur weekend). Kesibukan membuat saya hampir tidak punya waktu kumpul keluarga atau reunian dengan teman-teman sekolah. Kehidupan seperti itu bukan tidak mungkin membuat saya merasa menjadi robot. Maka dengan ngeblog, saya bisa mengambil jarak dengan rutinitas jurnalistik.
  1. Saya ahli di bidang yang saya geluti… Kalau sedang kumpul-kumpul dengan teman, sering sekali ada yang bertanya: “Eh, pekerjaan jurnalis itu seperti apa sih?”, atau “Ceritakan dong kisah-kisah di balik tulisan yang dimuat di surat kabar!”Kadang-kadang saya suka heran, kenapa ya mereka bertanya seperti itu? Perasaan pekerjaan saya biasa-biasa saja. Kemudian saya sadar, jurnalis termasuk profesi yang membutuhkan keahlian khusus. Bagi sebagian orang, pekerjaan ini tidak mudah. Karena keunikannya, teman-teman menganggap saya ahli sehingga mereka tertarik mencari tahu cerita-cerita di balik profesi ini. Blogging membuat saya bisa menceritakan suka-duka menjadi jurnalis.
    Dengan alasan yang sama, ngeblog sangat penting bagi siapapun yang menggeluti bidang-bidang unik yang mungkin selama ini gak pernah ada di dunia, seperti pengiring pengantin profesional, penata gaya makanan, penonton Dahsyat, ahli pemberantas nyamuk, forensic linguistics, dan lain-lain… keahlian membuat seseorang dikenal dan dapat menghasilkan.
  1. Ada hal-hal yang tidak bisa ditulis di koran atau media tempat bekerja… Media mainstream, seperti koran, majalah, tabloid, memiliki keterbatasannya. Tidak semua tulisan yang dihasilkan seorang jurnalis bisa dimuat. Tulisan yang dimuat tentulah yang sudah memenuhi standar jurnalistik di media tersebut. Sekalipun sudah memenuhi standar-standar yang ditetapkan, tulisan bisa saja tidak dimuat karena ada keterbatasan halaman atau ada pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan sosial.Dengan menulis blog, saya bisa menulis topik apa saja – mulai dari curhatan sampai gosip artis – yang tidak akan pernah bisa dimuat di koran tempat saya bekerja. Selain itu, karena saya yang mendirikan blog ini, saya tidak peelu meminta atasan menilai karya saya. Saya bebas menentukan topik, gaya bahasa, waktu pemuatan, dan panjang tulisan.
  1. Terhubung langsung dengan pembaca… Menulis di koran terasa seperti dialog satu arah. Saya memaparkan fakta, orang lain hanya bisa menerima apa pun yang saya tuliskan. Di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat, model pemberitaan satu arah seperti itu sudah semakin ditinggalkan pembaca. Setiap orang kini bisa berbagi informasi dan berperan menyebarkan berita. Blog menjadi jembatan hubungan media mainstream yang kaku dengan para pembaca yang cair. Blog tidak hanya menyediakan interaksi di antara para penggunanya, tetapi juga menciptakan komunitas baru.
  2. Melatih kesabaran dan konsistensi.. Saya memanfaatkan hari libur, biasanya setiap Selasa atau Sabtu untuk ngeblog. Dengan cara ini, saya belajar untuk sabar dan konsisten menjalani apapun yang sudah menjadi pilihan.
  1. Ruang Meditasi… Ngeblog itu sebenarnya sama dengan menulis buku harian (kecuali perbedaan blog bisa dibaca semua orang). Menulis blog menjadi ruang untuk menyepi, berdialog dengan diri sendiri. Di tengah banyak informasi yang meresahkan, orang-orang saling menyerang atas nama suku, agama, ras, dan golongan, ngeblog membuat hidup lebih terasa tenang karena bisa bermeditasi. Melalui blog, saya bisa menyortir hal-hal yang penting dan terpenting dalam hidup ini. Sehingga tidak mudah ngamuk, atau mencak-mencak, apabila sesuatu terjadi seperti yang tidak diinginkan.

Jakarta, 30 Mei 2017

Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Read more

Belakangan ini saya terpancing sering kepo tentang Marrisa Haque. Semua berawal dari rasa penasaran, kenapa dia bisa dibully habis-habisan oleh netizen, sampai suami dan anak-anaknya terbawa jadi sasaran komentar pedas penghuni dunia maya.

Saking kurang kerjaannya, saya mengamati hampir semua postingan Marrisa Haque di linimasa, seperti Twitter dan Instagram. Beberapa postingan emang super nggak penting (sebutlah postingan yang berkaitan dengan menantu mantanya Om Ikang Fauzi :p)… Ibaratnya nih, Marrisa Haque nyalain korek, netizen nyiram minyak. Jadilah dunia mayaaa panasss terbakar… Hehhee.

Tetapi, di postingan ini, saya gak akan bahas gosip. Biar itu jadi makanan Lambeturah! 😀 Ada hal lain yang menarik perhatian, yaitu cuitan hoax yang disebarkan Marrisa Haque di Twitter. Hoax yang disebarkan seolah berasal dari situs ternama, yaitu CNN Indonesia. Dalam tulisan tersebut, pemilik Lucky Florist kecewa karena karangan bunga yang dikirim pendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ke Balai Kota (terkait dengan Pilkada DKI) belum lunas.

Setelah cuitan tersebar, nitizen mencak-mencak! Apalagi beberapa waktu kemudian ada klarifikasi dari Lucky Florist dan situs resmi CNN Indonesia bahwa yang disebarkan Marrisa Haque kabar bohong alias HOAX.

“@HaqueMarissa Gelar doktor, hajjah Tapi dgn bangga nyebar berita hoax yg fitnah. Bukti kedengkian mengikis habis kecerdasan,” tulis @MurtadhaOne.

“@HaqueMarissa Bu saya aja yang baru kelar S1 tau itu cuma editan… ah ibu mah, malu atuh sama gelar :)) #AdaAqua,” kicau @gittung.

Baca postingan Marrisa Haque, komentar-komentar di sosial media, berita-berita follow up yang menjadi viral, membuat saya teringat ibu saya. Membayangkan Marrisa Haque sebagai ibu kandung, saya pasti kesel dan malu setengah mati. Ya, kesel karena punya ibu yang mudah termakan hoax, ya juga kesel dengan reaksi netizen yang mencaci-maki dengan cara blangsatan seperti itu.

Nggak usah jauh-jauh ke Marrisa Haque, kalau ibu saya share informasi menyesatkan via Whatssapp saja saya suka merasa: harus menarik nafas panjang sambil berkata: “Harap bersabar, ini ujian”. Hoax yang disebar beragam, mulai dari kriminalitas, ekonomi, hingga sentimen agama. Sering sekali saya mengingatkan ibu: “Sudah deh mam, itu kan hoax. Nggak usah disebar!”

“Iya, tapi kan mama gak tau itu fakta atau bohong.” jawab mama.

“Karena belum tahu kebenarannya, makanya dicek dulu. Minimal, tidak perlu di-share…”

Mama menggangguk. Lalu beberapa hari kemudian, melakukan hal yang sama. Huffhhh!! ZZZ.

Hoax juga disebar teman baik saya via Facebook. Dia menyebarkan link, yang isi tulisannya seolah-olah ada ulama yang dipukulin sampai berdarah-darah saat aksi 411 bergulir. Saya buka link itu, ternyata berita berasal dari media sapi-sapian (you know what laaa). Tanpa perlu baca judul atau isi tulisannya, saya sudah tahu bahwa artikel itu provokatif dan belum tentu benar.

Saya langsung tulis komentar: “Tulisan itu belum tentu benar. Kalau belum tentu benar, jangan disebarkan karena sangat berpotensi membuat masyarakat panik, khawatir, dan terpecah-belah.”

Kira-kira 10 menit kemudian, saya lihat di halaman FB teman saya, link itu sudah dihapus. Dia lalu menulis status baru, bahwa tulisan itu ternyata hoax, sekaligus minta maaf ke netizen karena sudah menyebarkan kabar bohong. Fuuhhh… Heran aja gitu, link itu disebarkan teman saya, lulusan kampus negeri top, pernah dapat beasiswa ke luar negeri, dan anaknya dosen.

Berita hoax juga disebar beberapa teman kuliah via Facebook, Path, Twitter, grup Whatsapp, hingga beberapa kanal jaringan pribadi. Untuk mendamaikan hati dan pikiran, saya terpaksa keluar dari sejumlah grup Whatsapp yang isinya sangat partisan. Saya tidak ingin perselisihan terjadi di antara lingkungan sosial sehari-hari. Pengalaman serupa ternyata juga dialami beberapa teman saya. Mereka terpaksa keluar dari grup Whatsapp, unfollow dan unfriend beberapa kawan di media sosial yang sering menyebarkan kabar bohong untuk mencegah peperangan terjadi.

Singkatnya, apa yang dilakukan Marrisa Haque itu… JAHAP sebenarnya sering juga dilakukan orang lain, di sekitar kita…. seperti ibu, ayah, pakde, bude, teman, tetangga, gebetan, selingkuhan.. (eh!). Mereka kita kini memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk menjalin komunikasi dengan sesama pengguna, tetapi juga untuk menyebarkan informasi. Kenyataannya, tidak semua orang berbagi informasi yang benar berdasarkan fakta.

Kalau kata Isabella Fawzi, anaknya Marrisa Haque, “Saya tidak bisa memilih terlahir dari orang tua seperti apa, tetapi kami bisa memilih ingin jadi orang seperti apa.”

Kita memang tidak bisa memilih lahir di era prasejarah, zaman pencerahan, atau digital lyf, tetapi kita bisa memilih ingin menjadi generasi milenials ngehe seperti apa. Membaca artikel dengan nada meresahkan itu membuat mata, kuping, dan hati panas, dab! Karena jarimu adalah harimaumu, saring sebelum sharing ya, dan jangan lupa perbanyak piknik!

Jakarta, 17 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Di era teknologi dan banjir informasi, duduk di pagi hari sambil membaca koran atau sumber lain yang terpercaya adalah sebuah kemewahan. Foto diambil di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, Februari 2017. (@Denty Piawai Nastitie)

Read more

Kak, berapa sih gaji wartawan?

— Pelajar SMP di Cibubur

*

Adik pelajar yang baik,

Kalau kamu ingin hidup kaya raya dan bermewah-mewah, jangan pernah jadi wartawan. Saya menyarankan agar kamu menjadi pengusaha. Menjadi wartawan itu sulit, dik. Setiap hari lembur (bekerja lebih dari 8 jam) tanpa uang lembur. Gaji wartawan bisa dipastikan tidak akan pernah cukup dipakai untuk memenuhi semua hawa nafsu hidup hedonis di kota besar.

Kalau kamu ingin bisa keliling Indonesia gratis, bisa keliling dunia gratis (kayaknya sih… soalnya saya belum pernah, hehehe), bisa makan enak di restauran mewah gratis, bisa menginap di hotel berbintang gratis, bisa nonton konser musik gratis, bisa ketemu dan berfoto dengan orang-orang keren mulai dari artis, hingga presiden dan wakil presiden, bisa naik pesawat presiden serta dapat uang dinas kalau bertugas ke luar kota dan luar negeri, mungkin kamu bisa jadi wartawan.

Lebih dari itu, kalau kamu ingin hidup bermanfaat bagi orang lain, bisa mempelajari nilai-nilai kemanusiaan dengan lebih baik, bisa bekerja sekaligus mencari pengalaman hidup, bisa pamer menjadi anjing penjaga (watch dog) yang bertugas mengawasi kinerja lembaga sosial, politik, dan ekonomi, agar mereka tidak melakukan monopoli kekuasaan, bisa menjadi jembatan aspirasi masyarakat, bisa menulis kisah-kisah yang menginspirasi, bisa gaya-gayaan aja punya pekerjaan yang berbeda dengan orang kebanyakan, mungkin kamu cocok menjadi wartawan.

Berdasarkan penelitian Aliansi Jurnalis Independen, upah jurnalis di Indonesia masih jauh dari ideal. Dari sekian banyak media cetak, televisi, radio, dan online, hanya ada dua media yang jurnalisnya mendapat upah di atas upah layak AJI (2010), yaitu harian Bisnis Indonesia dan Kompas. Tentu saja, dua media tidak cukup untuk menampung semua lulusan jurnalistik atau peminat jurnalisme di Indonesia yang jumlahnya mencapai ribuan orang. 

Seingat saya, pada 2013, ada sekitar 400 orang dari daerah asal Yogyakarta yang mendaftar bekerja sebagai jurnalis di harian Kompas. Pada tahun yang sama, Kompas juga membuka lowongan jurnalis di Bandung, Jakarta, dan Surabaya, sehingga total pelamar mencapai lebih dari 1.000 orang. Setelah melalui tahap seleksi yang panjang dan ketat, 15 orang dinyatakan lolos jadi calon wartawan Kompas. Kini, yang bertahan menjadi wartawan sebanyak 11 orang. 

Menurut AJI (2016) angka ideal untuk reporter yang baru diangkat menjadi jurnalis tetap Rp 7,54 juta per bulan, tetapi kenyataannya upah layak itu baru diterima seorang jurnalis setelah bekerja lebih dari lima tahun. Kalau ditanya ke media bersangkutan, kenapa memberi upah di bawah layak, pasti jawabannya akan beragam, seperti bisnis media yang sulit (media harus memperhatikan oplah, rating, TV share, dll…)

Kenyataan upah jurnalis yang tidak layak ini menjadi kegelisahan banyak pihak, terutama tentu saja jurnalisnya sendiri. Jika upah layak diberikan kepada jurnalis, dipercaya mutu produk jurnalisme meningkat. Sebab, jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis. 

Kalau kata teman saya, F, seorang wartawan di media online, setiap orang punya pilihan hidup. “Kalau sudah memilih jadi wartawan, ya bekerjalah sebaik-baiknya wartawan. Kalau tidak siap dengan konsekuensinya, bisa cari pekerjaan lain… ” Hmmm… 

Bagaimana dengan media asing? Menurut payscale.com, gaji jurnalis di amerika Serikat, berdasarkan data 24 maret 2011, antara US$ 25,542 (Rp 217.183.626) sampai US$ 45,517 (Rp 387.031.051) per tahun atau antara Rp 18.098.635 sampai Rp 32.252.587 per bulan (masa kerja bervariasi, mulai dari 1-20 tahun). Biaya kehidupan di sana memang tinggi, tetapi jurnalis juga dapat fasilitas yang luar biasa dari tempat bekerja. Makanya gak heran, kalau di film-film, jurnalisnya keceehh gituuu… pakai baju keren, naik mobil keren, tinggal di apartemen keren…. Hahhahaa. 

Suatu hari, teman saya berkata, “Wil, gue diterima kerja. Gajinya lebih gede dari lo. Kerjaannya ringan, pula! Cuma di kantor aja, enggak banyak kerjaan lapangannya.”

Saya cuma tersenyum menanggapi. Gaji teman saya memang bisa lebih besar. Pekerjaannya, juga mungkin lebih ringan, “cuma di kantor aja”, yang artinya dia tidak perlu berpanas-panasan ngejar berita, bisa pakai baju keren, kulit dan rambut terawat karena setiap hari bekerja di ruang ber-AC.

Tetapi, berkaca pada diri sendiri, bukan jenis pekerjaan seperti itu yang saya inginkan. Dalam hati saya bangga dengan diri sendiri: gaji orang lain boleh lebih gede dari gue, tapi berapa banyak daerah di pelosok nusantara yang sudah dikunjungi? Hehehhee.

Suatu hari, teman saya yang lain berkata, “Gaji gue lumayan. Fasilitas dari kantor juga cukup lengkap. Tetapi, kalau mau cuti susah banget, gak bisa jalan-jalan lama deh sekarang….” Setelah beberapa tahun bekerja, dia memutuskan resign dan menjalani passionnya sebagai traveler.

Bagi saya, yang hobi jalan-jalan dengan kondisi kantong tipis, jadi wartawan itu adalah jalan tengah. Saya bisa mendapatkan uang hallal untuk memenuhi hidup sehari-hari dan sedikit menabung untuk masa depan, sekaligus sesekali dapat tugas dinas ke luar kota dari kantor.

Bagaimana dengan kamu? Ingin jadi wartawan?

Kalau kata bos gueh, Pak JO, menjadi wartawan itu, vocatio. Panggilan hidup. 

 

Jakarta, 16 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Dalam tugas mewawancarai Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Belawan, Sumatra Utara, Juni 2015. Baru sadar, perjalanan laut selama tiga hari dua malam membuat badan lengkettt dan bau amis cuyy!! Padahal cuma bawa baju sepotong atasan dan bawahan aja karena dipikirnya nggak mau ribet bawa barang banyak. Huhuhuuu. (Fotografer: Denny Irwanto/Metrotvnews.com)

Read more