Selamat siang Bu Denty,
Saya kebetulan adalah mahasiswa komunikasi peminatan jurnalistik yang sebenarnya sangat tertarik untuk memulai menulis tentang perjalanan, akan tetapi bingung untuk memulai darimana. Jika ibu tidak keberatan, apakah ada saran atau tips dalam menulis sebuah perjalanan? Terutama yang ingin saya kembangkan adalah penulisan perjalanan yang tetap dapat mengangkat isu sosial dan lingkungan.
— Putu
Undergraduate student of Communication Studies
Faculty of Social and Political Sciences
Universitas Indonesia
*
Dear Putu yang baik,
Pertama-tama, terimakasih atas pertanyaannya. Senang sekali bisa berkomunikasi langsung dengan pembaca. Kedua, jangan panggil saya ibu yaa…. muka saya emang boross tapi saya belum jadi ibu-ibu kok…. huaa huaaaa T.T *nangis bombaaayyyy*
Seperti yang saya jelaskan dalam email sebelumnya, saya bukanlah seorang jurnalis ketika pertama kali menulis catatan perjalanan dan mengirimkan tulisan itu ke media cetak.
Saya lahir dan besar di Jakarta. Begitu tamat SMP, saya pindah ke Yogyakarta. Pertama kali saya menulis catatan perjalanan adalah ketika saya sekolah di Yogyakarta. Ketika itu, saya memang hobi jalan-jalan. Tempat jalan-jalannya tidak jauh, sebutlah menyusuri Taman Sari dan Keraton Yogyakarta. Kalau mau agak jauh sedikit, paling-paling saya pergi ke Sungai Bengawan Solo yang bisa ditempuh dengan naik kereta api Pramex atau motoran selama dua jam dari Yogayakarta. Kalau mau lebih jauh lagi, saya naik bus umum pergi ke Wonosobo dan Dieng.
Saya bukan orang kaya. Jadi, ya bisa ditebak… jalan-jalannya di tempat-tempat yang biasa-biasa saja dan dekat-dekat saja. Jalan-jalan di Yogyakarta dan sekitarnya, bagi saya, adalah bagian dari pencarian jati diri. Saya yang biasanya hidup di gemerlapnya Ibu Kota, hobi ngemol dan nonton film, harus menjalani hidup yang sunyi di Yogyakarta. Hehehhe. Jalan-jalan, adalah cara saya untuk mengenal dan mencintai tempat tinggal saya yang baru.
Dulu, foto-foto hasil jalan-jalan saya posting di blog gratisan bernama Multiply (situs ini pernah eksis banget sebelum Facebook muncul :D). Karena memposting foto tanpa tulisan itu bagai sayur tanpa garam, jadi mulailah saya menulis catatan perjalanan. Saya menghindari menulis sesuatu yang sudah pernah ditulis orang lain, seperti “Bagaimana cara ke Dieng dari Yogyakarta?” atau “10 hal seru yang bisa dilakukan di Yogyakarta” atau “Tempat-tempat Indah di Kota Solo” dan seterusnya..
Kenapa saya menghindari menulis instruksi “how to get here and there… and bla bla”? Alasannya simple, tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat-tempat biasa-biasa saja yang sudah dikunjungi jutaan manusia lainnya. Saya tidak mau tulisan saya sama dengan orang lain. Kalau tulisan saya sama dengan orang lain, siapa yang akan membaca tulisan saya?
Lagian, bagi saya.. perjalanan bukanlah soal destinasi, perjalanan adalah soal perjalanan itu sendiri… daripada mendeksripsikan destinasi (yang sudah banyak dibuat orang lain), menuliskan cerita selama perjalanan, itulah yang menarik. Karena itu, dalam tulisan, saya lebih condong mengeksplorasi pengalaman ketika datang ke tempat-tempat yang “biasa-biasa saja itu”.
Pengalaman itu, misalnya soal interaksi dengan penduduk lokal. Saya pernah menulis tentang seorang ibu di Indramayu yang memetik sayur kangkung liar. Si ibu ini adalah single mother yang hidup dalam keterbatasan ekonomi sehingga terpaksa memetik sayur kangkung liar untuk makan anak-anaknya. Coba bayangkan kalau saya menulis kisah dengan judul: “Jalan-jalan seru di Indramayu,” atau “Yuk, Piknik ke Indramayu!” Hehehee… Tulisan dengan judul seperti itu pasti sudah tersebar di jagat dunia maya. Kalau tidak percaya, coba saja browsing!
Interaksi dengan penduduk lokal, siapapun orangnya, adalah materi tulisan yang sangat kaya, segar, dan baru. Selain itu, dengan menulis topik berisi interaksi dengan penduduk lokal, kita bisa sekalian merefleksikan kehidupan kita. Bukankah perjalanan akan memberi kita pandangan hidup yang berbeda? 🙂 Tentu saja, interaksi dengan penduduk lokal hanyalah salah satu contoh topik. Masih banyak topik lainnya, seperti soal kesulitan yang dihadapi saat naik angkutan umum, perasaan bodoh saat mencari minuman untuk pria dewasa Purwaceng saat berada di Wonosobo (hahahha kirain Purwaceng itu minuman seperti Wedang Ronde :p), pengalaman dikira jadi selundupan TKW Indonesia saat berada di perbatasan Malaysia-Singapura. Suerr semua ini bener kejadian!
Tulisan-tulisan di blog membuat saya terhubung dengan teman-teman yang punya hobi sama, yaitu jalan-jalan. Kadang-kadang saya kopdar (kopi darat alias ketemu tatap muka) dengan orang-orang yang juga hobi ngeblog dan kami merencanakan perjalanan bersama ke tempat-tempat lain.
Beberapa blogger itu adalah fotografer dan penulis profesional. Mereka menyarankan agar saya mengirim tulisan ke media cetak, seperti National Geographic dan Kompas. Ketika usia saya 17 tahun, tulisan saya pertama kali dimuat di Kompas. Rasanya sungguh banggaaa lihat nama saya tercetak di media nasional. Apalagi dapat uang jajan yang dikirim lewat wesel! 😀
Jadi, balik lagi ke pertanyaan kamu: bagaimana cara mulai menulis kisah perjalanan?
Jawaban saya adalah:
1. Mulailah dengan menulis pengalaman kamu sendiri! Untuk menulis catatan perjalanan, sudah pasti harus suka jalan-jalan! Gimana mau nulis catatan perjalanan kalau kita hanya fesbukan aja di dalam kamar…. Hihihi. Kemana jalan-jalannya? Sesuaikan saja dengan kantong kamu. Kalau anak-anak jaman sekarang banyak yang backpacker-an jauh-jauh sampai ke luar negeri…. kalau kamu suka, kamu bisa melakukan hal yang sama. Kalau kamu tidak punya banyak waktu dan budget (seperti saya ahhaha) bisa jalan-jalan di kota kamu sendiri. Eksplorasi tempat-tempat di kota tempat tinggalmu, dengan kaca mata seorang pejalan. Kalau ke Jepang kita bisa terpukau dengan pasar ikan Tsukiji Market, kenapa kita enggak pernah mengekplorasi pasan ikan Penjaringan di Jakarta Utara, misalnya? Pengalaman sebagai mahasiswi Kampus Depok juga sangat menarik ditulis…. Teman saya pernah menulis pengalaman mencoba puluhan kuliner di UI…. bikin ngiler!
2. Enggak ada cara lain melatih kesabaran selain dengan bersabar. Begitu juga dengan menulis. Bagaimana cara menulis? Ya, jawabannya harus menulis! Setelah jalan-jalan, tentukan dulu mau menulis apa. Biasanya sih saya memilih topik sesuatu yang betul-betul saya pahami, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan berbekas di hati saya, entah itu membuat hati saya terenyuh, terpukau, tersentuh, atau drama-drama perjalanan yang lucu, gokil, menyeramkan, aneh, yang sepertinya tidak akan saya lupakan.
Setelah menemukan topiknya, lakukanlah 3N, yaitu Niteni, Nirokke, Nambahi. Niteni (memperhatikan) karya penulis favaorit kamu, nirokke (mencontoh) cara menulis dia dengan menggunakan materi tulisan yang kamu miliki, dan nambahi (menambahkan) gaya penulisan yang membuat kamu nyaman. Dengan cara ini, lama-lama akan terbentuk style penulisan yang jadi ciri khas kita. Tulisan yang menarik biasanya yang penuh warna, ada drama, kreatif, informatif. Kalimat-kalimatnya nggak perlu kaku seperti nulis jurnal ilmiah. Menulislah seperti kamu bercerita lewat tutur kata. Yang nggak kalah penting adalah, keterampilan menulis judul dan lead. Judul yang baik biasanya enggak terlalu panjang, dan bisa membuat pembaca tersihir untuk membaca tulisan kamu. Sampai sekarang saya juga masih belajar menulis judul dan lead kok…. 🙂
3. Perkaya tulisan dengan sumber-sumber lain yang relevan. Seperti saya bilang sebelumnya, saya akan menulis sesuatu yang betul-betul saya pahami. Tentu saja, semakin banyak kita tahu sesuatu akan semakin banyak materi yang bisa dituliskan. Sumber-sumbernya dari mana? Ya dari baca buku, nonton film, dengerin musik, ngobrol sama penduduk lokal, wawancara para ahli, kepo instagram Lambeturah! (Eh!) Sumber-sumber itu bisa jadi inspirasi atau mungkin ada kalimat menarik yang bisa jadi kutipan.
4. Kirim tulisan ke media masa. Bukan semata-mata mencari eksistensi atau uang jajan tambahan, menulis di media masa membuat kita belajar menulis dengan lebih baik. Tulisan kita akan dibaca dan diedit oleh editor berpengalaman. Kalau tulisan dimuat, kita bisa belajar menulis yang lebih baik dengan cara membandingkan tulisan kita (asli) dengan tulisan yang sudah diedit dan dimuat. Pasti ada beberapa perbedaan, deh! Kalau tulisan tidak dimuat, kita bisa hubungi editornya, dan tanyakan kenapa tulisan tidak dimuat. Nah, bisa belajar juga kan dari situ. Bukankah kegagalan adalah awal dari keberhasilan? 🙂 Kalau punya teman penulis, kita juga bisa kirim ke dia dan minta tolong agar tulisan diedit atau minimal dikomentari. Sebelum saya kirim tulisan ke media masa, biasanya saya minta beberapa teman untuk baca tulisan saya sehingga bisa diedit sebelum dikirim ke redaksi.
5. Terakhir, soal pertanyaan kamu: bagaimana menulis kisah perjalanan yang tetap dapat mengangkat isu sosial dan lingkungan hidup. Hmm… gimana yaaa,… ya tulis saja fakta-fakta yang kamu temui selama perjalanan. Misalnya, banyak yang menulis keindahan Kepulauan Komodo, tetapi jarang sekali yang nulis bahwa di pulau-pulau itu banyak sampah berserakan. Isu sosial sangat mungkin ditulis kalau kita mau membuka diri dengan penduduk lokal. Beragam perbedaan latar belakang, budaya, agama, membuat hidup kita kaya dan memahami dunia dengan lebih baik. Tetapi, saran saya… di awal-awal seperti ini, nggak usah repot-repot membatasi diri terhadap isu tertentu… percayalah, lama-lama akan terbentuk sendiri kok apa yang menjadi kekhasan kita. Tulis saja apapun hal yang menarik!
Demikian balasan email saya yang ternyata sudah panjang yaaa, sepanjang jalan kenangan… Wkwkwkwk. Semoga jawaban saya dapat membantu! Saya tidak sabar membaca tulisan kamu. 🙂
Jakarta, 9 Mei 2017
Salam, Denty.
Rambutkriwil.com
Keterangan Foto: Soesilo Pram – adik penulis Pramoedya Ananta Toer -menulis di ruang kerjanya di Blora, Jawa Tengah. Kata Pramoedya: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Selamat menulis!