#SerbaserbiPilpres: Dukungan Pelawak
Cerita 3. Dukungan Pelawak
Selama meliput pemilu presiden, menghadiri acara deklarasi dukungan pelawak terhadap pasangan calon presiden calon wakil presiden nomor urut 2, Joko Widodo – Jusuf Kalla, adalah hal yang paling menyenangkan. Tidak ada ketegangam. Hanya tawa dan canda. Hampir lupa kalau saya sedang tugas meliput :p :p
Acara diadakan di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Minggu (1/6). Toto Muryadi alias Tarzan, sebagai juru bicara Paguyuban Seniman Pelawak dan Artis Jakarta mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mengatakan, Jokowi-JK mewakili suara rakyat dan bisa memperhatikan seni tradisional dan lawak di Tanah Air.
#SerbaserbiPilpres: Hatta Rajasa
Cerita 2. Hatta Rajasa.
Sebagai pendatang baru di dunia perpolitikan Tanah Air (halah!) Saya tidak terlalu mengenal Hatta Rajasa. Saya hanya tahu beberapa berita tentang dirinya, mayoritas adalah berita negatif (terutama setelah anaknya dinyatakan bersalah dalam kecelakaan yang menewaskan dua orang sekaligus awal tahun 2014 lalu).
Dalam acara debat pilpres, Hatta Rajasa menyebut penegakan hukum di Indonesia “tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah”. Menurut Hatta, para penegak hukum tidak boleh bersikap diskriminatif kepada warga negara. Ya, seperti yang kita tahu, banyak elit politik, tokoh masyarakat, tokoh tokoh partai, yang hanya dijerat hukuman ringan padahal melakukan kejahatan berat seperti korupsi. Sedangkan masyarakat biasa, mendapat hukuman berat hanya karena “maling ayam”.
Pernyataan Hatta Rajasa menuai kritik tajam. Banyak orang, melalui media sosial, membully dia. Mereka mengatakan, “Persis seperti apa yang terjadi pada anaknya. Dihukum ringan, padahal menewaskan orang tidak bersalah. Mentang-mentang anak tokoh politik,” begitu kata banyak orang.
Terlepas dari berita-berita negatif tentang Hatta Rajasa, siang itu saya melihat Hatta sebagai manusia utuh. Hatta menghadiri pengajian akbar dalam rangka Milad 15 Tahun Pesantren Daarut Tauhiid pimpinan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (29/6).
Dalam kesempatan itu, Hatta menyatakan siap bekerja keras membawa manfaat bagi sebanyak-banyaknya orang. ”Membawa manfaat bisa tercapai apabila kita memiliki kapasitas ilmu, selalu berzikir, tangguh, dan ikhtiar mencapai tujuan,” kata Hatta.
“Tetap siap bekerja untuk orang lain?” tanya Aa Gym.
“Siap,” jawab Hatta.
Pernyataan Hatta disambut tepuk tangan umat muslim yang hadir. Siang itu, saya merasa dunia politik tidak sepanas biasanya. Ada kesejukan yang hadir bila hati kita dipenuhi ketulusan dan kelegowoan.
Sayangnya, situasi itu berbeda dengan apa yang terjadi saat ini, terutama sesaat setelah Komisi Pemilihan Umum menyatakan siapa pasangan calon presiden yang mendapat suara terbanyak. Reaksi yang muncul di lapangan beragam….. banyak yang senang, tetapi ada juga yang tidak terima, marah, menyalahkan KPU, mengancam akan menculik Ketua KPU, memilih menarik diri dari pilpres, mengajukan protes,……. udara jadi terasa panas.
Sebaiknya kita ingat kata Hatta Rasaja, “… Tenang saja. Relaks saja.”
Selamat mencari kesejukan! 🙂
#SerbaserbiPilpres: Saat Mahasiswa Berbicara
Prolog: Selama kurun waktu sembilan minggu meliput pemilu presiden 2014 (dari 12 Mei – 14 Juli), saya melihat banyak orang sudah urun saran, urun rembug, urun tangan, dan beberapa urun kisruh untuk bangsa ini. Berbagai “urun” itu membuat sembilan minggu terasa singkat dan penuh warna.
Warna itu bisa kita lihat dari, misalnya, ribuan orang yang tidak saling mengenal berkumpul menjadi satu di Gelora Bung Karno untuk menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden tertentu. Mereka yang saling kenal justru memutuskan unfollow, unfriend, atau leave group karena membaca komentar-komentar yang terasa menyakitkan muncul di timeline media sosial.
Belum lagi warna yang muncul karena “tokoh ini mendukung itu, padahal biasanya begini atau biasanya begitu.”….. Sembilan minggu mungkin tidak berarti banyak bagi sebagian orang. Bagi saya, dalam sembilan minggi kita telah melewati satu proses demokrasi sebagai bangsa yang satu IndONEnesia…..
Melalui #SerbaserbiPilpres saya ingin membagikan hasil foto-foto dan kisah-kisah menarik yang saya jumpai selama meliput pilpres. Beberapa kisah sudah dimuat di harian Kompas. Beberapa mungkin belum, atau tidak sama sekali, karena selain keterbatasan ruang, mungkin juga karena kurang pas dimuat di sana.
Sebagian kisah ini tidak penting, bikin geleng-geleng kepala, atau tertawa kecil. Semua akan menjadi pengingat dan pewarna dalam langkah demokrasi ke depan.
Salam demokrasi! 🙂
##
Cerita 1. Saat Mahasiswa Berbicara.
Front Mahasiswa Indonesia Raya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (12/6). Mereka minta AS tidak intervensi pemilu presiden 2014. |
Untuk pertama kali saya meliput unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Rabu (12/6). Berdasarkan surat undangan yang saya terima melalui sms, unjuk rasa akan dihadiri ratusan mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah AS tidak intervensi pemilu presiden kita.
Oke, saya membayangkan ratusan mahasiswa itu benar-benar hadir. Terbayang akan ada tulisan ficer menarik bagaimana mahasiswa-mahasiswa itu mempersiapkan materi unjuk rasa. Saya pun datang satu jam lebih awal, pukul 09.00, dari jam acara yang seharusnya dimulai pukul 10.00.
Sesampainya di depan kedubes AS, loh kok sepi…. mana mahasiswanya? hmmm….. Jalan ke Monas, tidak ada tanda-tanda ratusan mahasiswa datang. Tanya ke petugas jaga kedubes, mereka malah tanya balik, “emang mau ada unjuk rasa Mbak?” lah kok…….
Setelah 15 menit berkeliling…. saya lihat puluhan mahasiswa, eh apa belasan ya, sedang menulis materi unjuk rasa di atas kertas poster tidak jauh dari kantor kedubes. Yaela bro, dikit amat jumlah mahasiswa yang ikut unjuk rasa? kata saya dalam hati.
Saya berpikir positif, mungkin ratusan mahasiswa yang lain belum datang. Maklum, mahasiswa, biasa ngaret. Saya pun meninggalkan mahasiswa itu untuk makan soto. Hehehe. Daripada nanti unjuk rasa sudah mulai dan saya kelaperan. :p :p
Saya tinggal untuk makan soto di dekat monas sekitar 20 menit. Kembali ke depan kantor kedubes, tetap saja sepi…… hmmmfhhh. allright, fine. Tidak penting kuantitasnya, yang penting kualitasnya.
Saya lihat mahasiswa itu berorasi (foto pertama). Jumlah mereka sekitar 20-30 orang. Sekitar 10 menit saya memotret (saat itu unjuk rasa baru saja mulai), kemudian saya mewawancarai koordinator unjuk rasa.
Saya: Kalian mahasiswa dari mana saja?
Mahasiswa: Macem-macem. berbeda-beda.
Saya: Apa tujuan unjuk rasa ini?
Mahasiswa: Kami ingin AS tidak intervensi pemilu presiden.
Saya: Apakah ada indikasi AS mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lalu kenapa meminta tidak ada intervensi?
Mahasiswa: Hmmm…. Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik.
Saya: Lalu?
Mahasiswa: Pengetahuan kami masih terbatas, yang kami tahu intervensi itu akan merusak demokrasi.
Saya: *ziingg* Lalu menurut kalian dalam bentuk apa AS akan mengintervensi?
Mahasiswa: Kami tidak tahu.
Saya: Lah kok, tidak tahu bagaimana bisa mengawasi?
Mahasiswa: Hmmm…. Kami masih mahasiswa, Mbak. Tidak tahu banyak soal politik. Yang jelas jangan sampai deh AS intervensi.
Saya: *ziiing* …
5 menit kemudian, demo selesai.
Mahasiswa dan polisi saling bersalaman. Beberapa mahasiswa mencium tangan pak polisi. Beberapa polisi merangkul pundak mahasiswa.
Personally, saya mendukung gerakan mahasiswa. Tentu kita masih ingat perjuangan-perjuangan aktivis 98 yang berhasil menggulirkan semangat reformasi ke negera ini. Saya juga salut dengan kreatifitas mahasiswa UI yang membuat kontrak politik dengan capres-cawapres untuk mengawasi jalannya pemerintahan ke depan.
Tetapi, mbok yao….. untuk mahasiswa-mahasiswa masa kini lainnya, sebaiknya disiapkan dulu materinya sebelum berunjuk rasa…. Tidak bisa dengan alasan “kami kan masih mahasiswa” lalu melupakan daya pikir kritis.
Salam mahasiswa!
Pelanggaran HAM: Dimana Ayah, Paman dan Kakekku Berada?
Fitri Nganthi Wani, anak Wiji Thukul, saat membaca puisi pada Kamisan (26/6). |
Pelatnas Cipayung
Jalan-Jalan Hemat di Negri Sakura
Siapa bilang Jepang super mahal? Asal kita bisa menginap di hostel yang harganya terjangkau, tahu cara mengatur rencana perjalanan termasuk sistem transportasinya, hingga pandai-pandai memilih makanan yang sesuai dengan budget, dijamin image Jepang sebagai negara tak terjangkau akan berangsur-angsur hilang.
Beberapa bulan lalu, ketika saya merencanakan perjalanan ke Jepang, banyak teman bertanya: “Kenapa harus ke Jepang?” Saat itu saya menjawab, saya kagum pada Jepang yang begitu modern dengan kecanggihan teknologinya, namun di satu sisi mampu mempertahankan kekhasan budayanya yang berusia ratusan tahun. Keberadaan kuil-kuil traditional, profesi geisha, dan banyaknya jumlah becak Jepang adalah contoh bagaimana Negri Sakura ini terus berupaya mempertahankan budaya mereka.
Selain itu, sama seperti Indonesia, Jepang adalah Negara multikultur dengan jumlah penduduk yang banyak, dikelilingi lautan dengan ribuan pulau, serta memiliki catatan sejarah bangsa yang panjang. Berbicara soal sejarah tentu kita masih ingat akan penjajahan Jepang yang terjadi di Negri kita puluhan tahun silam? Maka mengunjungi Negri yang sering disebut sebagai the land of the rising sun ini adalah sekaligus untuk belajar membangun dan lebih menghargai bangsa kita sendiri.
Setelah mendarat di Jepang dan memulai petualangan, saya semakin sadar Jepang adalah Negri paradoks dimana sisir kecil berbahan dasar kayu bisa dijual seharga ¥10.000 (Rp 1.000.000) dan buku terkenal karya Haruki Murakami dijual hanya ¥ 100 (Rp 10.000). Di negara dengan jumlah penduduk lebih dari 30 juta orang ini kita bisa dengan mudah menemui dewa-dewa penolong saat sedang dibingungkan dengan rute subway yang begitu kompleks. Walaupun terkesan sibuk dan dingin, orang-orang Jepang ternyata sangat suka menolong! Segala sesuatunya terasa tarik-menarik, namun inilah yang membuat Jepang begitu menarik untuk dikunjungi.
Wisata dan Berbagai Festival Gratis
Untuk menikmati keindahan Jepang, banyak tempat wisata murah meriah yang ditawarkan, beberapa diantaranya bahkan gratis! Wisata gratis ini meliputi taman (seperti Ueno Park dan Yoyogi Park), kuil dan pura (seperti Meiji-Jingu/Meiji Shrine dan Sensoji Temple), pasar (Tsukiji Fish Market), hingga area pertokoan yang sangat populer (seperti Shibuya, Shinjuku, Harajuku dan Akihabara). Kita juga bisa berfoto di depan Tokyo Tower (tiket naik ke lantai atas ¥ 1.200/Rp 120.000), ataupun menikmati sunset dari Observatori lantai 45 di Tokyo Metropolitan Government (TMG) Building. Semuanya gratis!!
Tokyo merupakan ibu kota sekaligus kota yang sangat terkenal di Jepang. Kota ini terkenal dengan sebagai kota industri yang sangat modern. Namun, bila kita ingin mengunjungi daerah dengan atmosfir kota Tokyo di masa lalu, kita bisa mengunjungi area Asakusa. Sejak jaman dulu, area ini terkenal sebagai pusat hiburan dan wisata. Area Asakusa sempat rusak karena perang dunia ke-2, namun bukan Jepang namanya bila tidak segera bangkit dan menata diri.
Area Asakusa terkenal dengan Dempoin temple, kuil Buddha yang dibangun pada abad ke-7, Kaminarimon (Kaminari Gate), Sensoji Temple, dan Asakusa Shrine. Di area ini terdapat pusat perbelanjaan bernama Nakamise yang menjual berbagai makanan khas tradisional Jepang serta berbagi souvenir menarik.
Mengelilingi area Asakusa cukup dilakukan dengan berjalan kaki. Namun, bila ingin mencoba pengalaman berbeda, kita bisa naik becak dengan membayar ¥ 8.000 (Rp 800.000) untuk 30 menit perjalanan. Wah mahal ya?! Yap! Namun harga ini sudah termasuk penjelasan dari tukang becak terlatih yang sekaligus berperan sebagai pemandu wisata.
Selain mengunjungi berbagai tempat wisata, jangan lupa menghadiri festival dan pertunjukan yang diadakan di pusat-pusat kota. Terutama saat musim panas, banyak festival-festival menarik yang diadakan, misalnya saja Obon Matsuri (festival arwah) yang diadakan pada pertengahan bulan Agustus setiap tahunnya. Festival ini cukup menarik karena dihadiri oleh ratusan orang Jepang yang mengenakan yukata (kimono sederhana). Saat semua orang sudah berkumpul, mereka akan membentuk lingkaran dan menari bersama diiringi musik traditional Jepang. Festival ini diadakan sebagai wujud persembahan bagi arwah para leluhur. Orang Jepang percaya arwah-arwah akan hadir dan ikut menari bersama mereka sebagai tanda sukacita.
Festival lainnya adalah festival kembang api dan festival lampion yang diadakan pada malam hari saat musim panas. Kemeriahan festival-festival ini seperti menyambut tahun baru yang penuh kegembiraan. Selain menghadiri festival, kita juga bisa menyaksikan beragam pertunjukan traditional Jepang. Pertunjukan itu diantaranya tarian Maiko/Geisha di Gion, Kyoto (IDR ¥ 2.500/Rp 250.000), pertandingan sumo (IDR ¥ 2.100-14.300/ Rp 210.000 – Rp 1.430.000), hingga kabuki di Kabukiza Theater (IDR ¥ 3.000/ Rp 300.000).
Subway?? Kereta??? Monorail??? Aaaaa!!!
Selain Tokyo, sebetulnya banyak daerah lain di Jepang yang sangat menarik untuk dikunjungi. Daerah-daerah itu diantaranya Hiroshima, Kyoto, dan Osaka. Karena letaknya yang agak jauh di luar kota Tokyo, kita memang perlu menganggarkan biaya khusus untuk transportasi. Selain naik pesawat atau menumpang bullet train seperti shinkansen, bus malam seperti Willer Express bisa dijadikan pilihan! Biasanya Willer Express memiliki harga khusus untuk reservasi turis asing. Selain irit karena harganya terjangkau, dengan menumpang bis malam kita bisa sekalian menghemat biaya penginapan karena tidur di dalam bis. Bis ini memiliki kursi berbentuk couch yang memang dirancang cukup nyaman untuk beristirahat.
Bagaimana kalau saat naik bis kita lapar? Apa ada tukang jualan makanan di dalam bis? Jangan khawatir, bis malam di Jepang memiliki peraturan yang mengharuskan mereka berhenti beberapa kali di tempat peristirahatan saat sedang dalam perjalanan panjang. Tempat-tempat peristirahatannya dilengkapi dengan toilet yang sangat bersih dan convenience store yang besar. Jadi saat bis berhenti kita bisa membeli makanan atau minuman. Perut kenyang, hati senang, tidur tenang! 🙂
Bagaimana dengan sistem transportasi di dalam kota, seperti Tokyo? Tokyo memiliki jalur subway dan kereta dengan banyak pilihan. Walaupun jalur-jalur ini dekelola oleh beberapa perusahan berbeda, namun jalur transportasinya saling terintegrasi. Untuk memudahkan transportasi, kita bisa membeli prepaid travelcards, seperti SUICA dan PASMO yang dijual di stasiun-stasiun besar.
Menggunakan travelcards ini memiliki banyak keuntungan, misalnya saja kartu ini bisa digunakan untuk menumpang berbagai transportasi yang terintegrasi seperti subway, JR train, monorail, hingga express train. Selain itu kartu ini bisa digunakan untuk berbelanja di convenience store dan untuk membeli minuman/makanan di vending machine. Karena model pembayarannya yang berupa deposit, kita bisa mengisi kartu ini dengan sejumlah uang yang akan berkurang sesuai pemakaian. Bila saat perjalanan usai ternyata di kartu itu masih ada depositnya, maka kita bisa menukarnya kembali untuk mendapatkan cash back.
Setiap kota memiliki model transportasi berbeda. Misalnya saja transportasi utama di Kyoto adalah bis, sedangkan transportasi di Hiroshima adalah term (kereta di tengah kota). Walaupun berbeda-beda, seluruh kota di Jepang memiliki sistem trasportasi yang terintegrasi sehingga memudahkan penumpang dalam dalam memilih transportasi yang terbaik untuknya. Namun ingat, prepaid travelcards di tiap kota berbeda sehingga kita harus memastikan dulu ya kartu yang digunakan sebelum melakukan perjalanan!
Mendaki Gunung Fuji
Mengunjungi Jepang tidak lengkap rasanya bila tidak mendaki Gunung Fuji. Fujisan (Gunung Fuji) merupakan gunung tertinggi di Jepang (3.776 m) yang terletak di perbatasan perfektur Shizuoka dan Yamanashi, di sebelah barat Tokyo. Walau terkenal dengan track yang berat dan panjang, namun Gunung ini bisa didaki oleh seorang pemula sekalipun.
Untuk mencapai puncak Fujisan, ada 5 rute yang dapat kita pilih: Ochudo trail, Yoshida trail, Subashiri trail, Fujinomiya trail, dan Gotemba trail. Yoshida trail paling banyak dipilih karena aksesnya paling mudah dari Tokyo. Cukup dengan menumpang Keio Bus dari Shinjuku Station https://www.highwaybus.com/ selama 2,5 jam maka kita akan mencapai 5th station, gerbang pendakian Fujisan. Untuk menghindari cuaca dingin yang ekstrim, rute pendakian Yoshida trail hanya dibuka pada waktu summer, yakni bulan Juli-Agustus setiap tahunnya. Pada musim panas inilah ribuan orang Jepang dan turis asing dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong mendaki puncak Fujisan.
Bagi orang Jepang, mendaki gunung adalah persembahan dan doa kepada para dewa. Sebagaimana lari marathon atau bermain golf, mereka juga menganggap naik gunung sebagai sarana olah raga. Maka mendaki Fujisan bersama ribuan orang dalam waktu bersamaan adalah pengalaman yang tak bisa dilewatkan begitu saja! Tidak ada biaya yang harus dibayarkan untuk mendaki Fujisan, alias free!
Food… Food… Food…
Jepang adalah surga makanan! Banyak makanan murah dan enak yang dijual di Jepang. Makanan-makanan itu mulai dari bento, ramen, sushi, udon, onigiri, dll.
Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan Takoyaki? Yup, camilan Jepang berbentuk bulat seperti bola pingpong, berbahan baku tepung terigu dengan isian gurita dan taburan katsuobushi (serutan ikan kering) memang banyak dijual di negara kita. Di Jepang, takoyaki terasa lebih gurih dengan potongan gurita yang lebih besar. Yummie! Kedai-kedai takoyaki bisa ditemui hampir di semua daerah, di banyak tempat-tempat umum, seperti stasiun dan lokasi wisata. Harga satu porsi takoyaki ¥ 300-600 (Rp 30.000 – 60.000).
Sebelum meninggalkan Jepang, ada baiknya juga kita mencoba okonomiyaki. Makanan ini sangat terkenal di Hiroshima dan di Osaka. Okonomiyaki merupakan adonan tepung yang ditambahkan irisan kol, tauge, telur, dan tambahan isi seperti daging daging sapi, cumi-cumi, ataupun udang. Biasanya okonomiyaki juga ditambahkan udon/mie Jepang sehinga mengenyangkan perut. Rahasia kelezatan okonomiyaki terletak pada saus okonomiyaki yang dioleskan di atas campuran adonan tadi. Rasanya sungguh nikmat! Harga satu piring okonomiyaki sekitar ¥ 750-1.000 (Rp 75.000 -100.000).
Where to stay?
Selama di Jepang kita bisa menyewa dormitory budget hostel seharga ¥ 2.000-2.500 (Rp 200.000-250.000) /orang/malam. Kamar dormitory biasanya dihuni oleh 6-8 orang dengan bentuk tempat tidur berupa bunk bed (kasur susun). Kamar dormitory dibedakan menjadi 2, female only dan mixed room. Kita bisa memilih kamar sesuai dengan keinginan kita! Salah satu budget hostel yang lumayan laris di Jepang adalah Khaosan Tokyo dan J-Hoppers.
Fasilitas yang ditawarkan biasanya berupa kamar mandi dengan water heater, akses komputer dan internet gratis (termasuk layanan wifi gratis), printer, TV, mesin cuci, serta berbagi perlengkapan dapur (teko, oven, kompor, kulkas, dll) yang bisa digunakan secara sharing dengan penghuni lainnya.
Banyak pengalaman menyenangkan selama tinggal di dormitory yang tidak bisa kita dapatkan saat menyewa private room di hotel berbintang. Pengalaman-pengalaman itu diantaranya bisa mengenal teman-teman baru dari berbagai belahan dunia, mempraktekan kemampuan bahasa asing kita, mengadakan acara-acara seru bersama seperti membuat pesta atau perayaan tertentu, serta belajar untuk sharing dan bertanggung jawab atas fasilitas yang kita gunakan. Karena sifatnya yang self-service, setiap tamu yang tinggal di hostel harus memperhatikan kenyamanan bersama, misalnya dengan mencuci piring dan gelas sehabis pakai, membereskan meja, merapikan tempat tidur, dll. Dengan cara seperti ini, kita akan merasa nyaman tinggal di dormitory seperti tinggal di rumah sendiri.
So, ingin berwisata ke Jepang? Tunggu apa lagi, ayo kita rencanakan perjalanan ke Negri Sakura! 🙂
(DPN, 2013)
Ziarah Leluhur Dan Makna Sebuah Kehidupan
Saya kemudian bangun, membuka jendela… dan mengucapkan, “Selamat pagi Sindangbarang!”
Sindangbarang merupakan sebuah desa yang terletak di Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Di tempat ini, setiap tahunnya diadakan acara adat Serentaun, pesta panen raya masyarakat Sunda Ladang. Acara ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang mereka peroleh.
Serentaun sudah berlangsung sejak jaman kerajaan Pajajaran. Acara yang juga dimaksudkan sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda ini sempat berhenti selama 36 tahun, sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh masyarakat Sindangbarang dan dijadikan sebagai agenda tahunan.
Setiap tahunnya, pada bulan Muharam, selama 7 hari berturut-turut, berbagai ritual dan penampilan kesenian traditional diselenggarakan dalam acara Serentaun. Acara yang dimaksudkan untuk ngauri-uri budaya leluhur itu diantaranya adalah nandur (menanam padi), angklung gubrag (penampilan kelompok angklung yang dimainkan oleh wanita setempat), ngalalauk (lomba menangkap ikan di sungai), dan tentu saja ziarah leluhur.
Pagi itu, warga berkumpul di depan rumah ketua adat dengan membawa berbagai persembahan. Sambil menabuh alat musik traditional, warga kemudian berjalan menyusuri ladang dan area persawahan menuju ke makam leluhur yang letaknya tak jauh dari desa. Warga berpindah dari satu pemakaman menuju pemakaman lainnya dalam iring-iringan kelompok, nyaris seperti karnaval namun dalam keheningan yang berbeda.
Agak siang, warga membagi diri menjadi dua kelompok untuk berziarah ke makam yang letaknya lebih jauh. Saya memilih bergabung dengan kelompok pertama, karena menurut warga, letak makam ini lebih dekat dibandingkan makam yang dituju oleh kelompok kedua.
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut kepada warga, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Glek, saya menelan ludah, lalu mengeringkan keringat di pelipis mata. Hutan tropis dan jalan setapak seakan mengucapkan salam pada saya, “Selamat datang di Gunung Salak!”
Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan berarti tak berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
Bersama warga, kami bersujud. Di hadapan kami terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon-pohon yang tinggi menjulang. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang.
Di antara derai hujan yang turun membasahi tanah, saya merasakan kehadiran leluhur seperti ingin menyapa kami, anak-cucu-nya yang berjuang mendaki gunung demi bertemu dengannya.
Saya langsung menyesali keluhan-keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, betapa kita, manusia, seringkali alfa dalam mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar makna sebuah kehidupan. Kehidupan sejatinya adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada akhir yang dinanti.
(DPN, 2013)
Ps: Tulisan ini pernah dimuat dalam http://www.greensands.info/ dalam versi yang lebih pendek untuk keperluan lomba.
14 Jam Menuju Hiroshima
Willer Bus yang saya tumpangi dari Tokyo sudah ramai dengan penumpang. Arloji menunjukan pukul 11 malam waktu Shinjuku. Saya mendapat kursi bernomorkan 6D, tepat di dekat jendela.
Karena tubuh masih pegal akibat pendakian Fujisan tempo hari, saya langsung merebahkan diri di atas couch yang tersedia. Istirahat dan tidur nyenyak, hanya itu yang saya inginkan!! Tapi yang terbayang di depan mata justru perjalanan menuju Hiroshima dalam sebuah bis malam yang akan terasa panjang dan melelahkan.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda datang, lalu duduk di sebelah saya.
Wanita itu berusia sekitar dua puluh tahun, berkacamata, berambut panjang sebahu dengan poni menutupi sebagian keningnya. Dia terlihat manis dengan jepit rambut berwarna pastel. Wanita itu tidak banyak bicara.
Setelah bis mulai bergerak meninggalkan Shinjuku Station, saya memberanikan diri menyapa wanita itu. “Are you living in Hiroshima?”
“Once again??” tanyanya, sambil mendekatkan kupingnya pada wajah saya.
Aha! Sebuah respon yang baik! Tidak banyak orang Jepang berbicara dalam bahasa Inggris, dan usaha perempuan ini untuk memahami pertanyaan saya bisa dikatakan mengesankan. Maka saya ulangi lagi pertanyaan saya. Lebih pelan, lebih jelas. Kali ini dengan jeda yang panjang. “Arrrre youuu….. livinggg…… in Hiroshimaaa…. ?”
“Aaaa…. Yes! Yes!” serunya kemudian. Tergesa-gesa dia melempar balik pertanyaan pada saya, “Are you a tourist?”
Awalnya saya agak terkejut dengan istilah ‘turis’ yang digunakannya. Apakah saya turis? Selo banget jadi turis… hahaha. Kemudian saya menjawab, “Yes!” dengan nada tinggi seperti dirinya.
“Aaaaa…. Tourist!! Tourist!!” dari ekspresi wajahnya, wanita yang akhirnya saya tahu bernama Yoshiko itu kelihatan senang. Dia mengaku tak pandai bahasa Inggris, namun itu tidak masalah. Kebaikan hati dan keramahannya sungguh luar biasa.
Saya dan Yoshiko berbicara mengenai banyak hal: mengenai univesitas tempat dia berkuliah, mengenai the best Oknonomiyaki dan Takoyaki in town, mengenai Shakespare dan roman Romeo and Juliet-nya, mengenai pendakian Fuji yang beberapa hari lalu saya lakukan, hingga kisah persahabatan dan penghianatan yang dirasakan Oda Nobunaga, seorang pemimpin Jepang pada masa lalu.
“Oda Nobunaga very strong, very charismatic,” kata Yoshiko mengawali kisahnya tentang pemimpin Jepang pada abad pertengahan itu. Kata Yoshiko, Oda Nobunaga memimpin ratusan ribu pasukan untuk memenangkan pertarungan. Di tengah perjuangannya, salah seorang kepercayaannya, Mitsuhide, berkhianat. Penghianatan Mitsuhide meninggalkan luka dan kesedihan yang begitu mendalam. “Then, there is Hideyoshi who killed Mitsuhide. Hideyoshi is the Taiko.”
Banyak literatur sejarah yang menceritakan tentang kisah hidup Hideyoshi. Dari buku berjudul “Taiko” saya mengenal Toyotomi Hideyoshi, atau sang Taiko, sebagai tokoh pemersatu Jepang.
Hideyoshi, atau yang sering dipanggil dengan sebutan “si monyet”, lahir dari sebuah keluarga petani miskin. Dia kemudian menjadi pekerja kelas rendah untuk Oda Nobunaga. Pekerjaannya antara lain sebagai pembawa sendal, tukang kayu, dan kepala bagian dapur. Namun karena kecerdasan, keuletan, kerja keras, dan keberaniannya, Hideyoshi menjadi terkenal di kalangan pengikut Nobunaga.
Berbagai tugas dan tanggung jawab dikerjakan Hideyoshi penuh pengabdian dan tanpa mengeluh. Hal ini membuat Oda Nobunaga memberinya kepercayaan untuk memimpin pasukan. Dengan pasukan yang dimilikinya, Hideyoshi berhasil menghentikan perang yang telah berkecamuk sejak lama. Hideyoshi adalah tokoh pemersatu Jepang.
Sebelum meninggal, Hideyoshi membangun Osaka Castle (Istana Osaka) di bekas kuil Ishiyama Honganji. Osaka Castle dibangun sebagai istana sekaligus benteng pertahanan. Seorang penguasa dari Kyushu memuji kemegahan dan kemewahan Osaka Castle sebagai “tiada dua-nya di Jepang”.
*
Cerita Yoshiko membawa saya kembali pada abad ketika kisah-kisah heroik samurai menjadi buah bibir para petani di pinggir kota kecil, ketika banyak ninja bertugas dalam kesenyapan menyusupi benteng musuh, dan ketika seluruh lapisan masyarkat bahu membahu membangun benteng-benteng pertahanan. Itulah sejarah yang membentuk nadi kehidupan Jepang masa kini.
“Is the samurai still exist until today?” tanya saya, polos.
“Maybe…. Hahahahaa.” Yoshiko tertawa. Dia kemudian mengambil sebuah notes kecil, menuliskan beberapa nama samurai terkenal di Hiroshima. “These samurais very famous, maybe you will meet one of them.” katanya, masih dengan tawa. Tawanya membuat saya tidur lelap, kemudian.
“What makes you come to Hiroshima?” tanya Yoshiko sebelum memejamkan mata.
“To know… how to release from the past life pain,” jawab saya singkat.
Yoshiko mengangguk singkat. Gambaran tentang peledakan bom atom yang menewaskan 140.000 jiwa mungkin terbayang di kepalanya. Kami tahu, sejarah sebuah bangsa tidak lepas dari cerita akan persahabatan dan penghianatan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Sebuah bangsa yang besar akan belajar dari sejarahnya untuk menyambut masa depan.
Malam semakin pekat. 14 jam menuju Hiroshima tidak lagi terasa mengerikan.
[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][Hiroshima, DNP 2013
Belajar menjadi manusia yang berjiwa besar.][/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]
Merah Putih di Puncak Fujisan
Mata anak itu merah dan basah. Kepalanya menunduk ke arah lututnya yang dilipat. Jaket tebal yang dikenakannya kelihatan tidak cukup melindungi dia dari dingin yang menerjang. Beberapa orang dewasa di sekitarnya membelai lembut kepala anak itu, beberapa mengusap-usap pundaknya.
“Ganbatte ne! Akiramenna!!” kata salah seorang wanita di telinga anak itu. Artinya: semangat, jangan menyerah!
Anak itu kemudian mengangguk, memantapkan dirinya untuk kembali melangkah. Di hadapannya terbentang jalanan panjang yang berbatu, berkerikil, berpasir, gelap, dan menanjak. Anak itu mengerahkan segenap kemampuannya. Satu langkah, berarti satu tingkat lebih tinggi.
Gerakan anak itu di sambut tepuk tangan oleh orang-orang di sekelilingnya. Mereka merangkul anak itu. “Yatta!! Sugee!!” seru mereka.
Anak itu adalah satu dari sejumlah anak yang saya temui ketika mendaki gunung Fuji, 3776 m di atas permukaan laut. Walau masih kecil, berusia sekitar 5-8 tahun, namun anak-anak itu tidak gentar untuk terus melangkah. Tubuh yang mungil dengan beban berat di pundak, jalanan yang gelap dan menantang, serta dingin yang membekukan tulang belulang membuat mereka tidak selalu terlihat kuat. Namun dukungan dari orang tua serta paman dan bibi-nya, membuat anak-anak ini bertahan.
Bagi orang Jepang, mendaki gunung adalah persembahan dan doa kepada para dewa. Sebagaimana lari marathon atau bermain golf, mereka juga menganggap naik gunung sebagai sarana olah raga. Setiap tahunnya, ribuan orang Jepang mendaki gunung untuk mengukur kesehatan mereka. Itulah alasan mengapa sejak kecil anak-anak sudah diajak mendaki gunung. Mereka akan tetap mendaki hingga lanjut usia.
Memikirkan hal ini membuat saya merasa bersalah karena lebih sering bermalas-malasan ketimbang lebih mengenal dan mencintai alam. Efeknya adalah langkah kaki saya lebih lambat dari orang kebanyakan, tubuh yang mudah lelah, pikiran yang sulit untuk fokus, dan kemampuan adaptasi yang lemah.
“Denty.. Denty.. ” kata Felicia membuyarkan lamunan saya. Felicia adalah salah seorang teman asal Singapore yang saya temui berkat kemudahan jaringan sosial Couch Surfing. Bersama Hanh Hiu, asal Vietnam, kami bertekad untuk mencapai puncak Fujisan.
Saya menatap Felicia. “I am freezing. I can’t stand for this cold.” sahut saya dengan nafas terengah-engah. 5 jam lebih sudah berlalu, namun puncak yang dituju terasa masih sangattt jauh. Saya melirik arloji, pukul 23.30. Dingin angin malam semakin keras berhembus, menyapu wajah dan telapak tangan hingga terasa beku.
“Keep moving. Take long rests make you feel freezing.” seru Felicia. Felicia berjalan di belakang saya, namun hampir tidak pernah beristirahat bila bukan saya yang meminta. Walaupun tubuhnya mungil, namun prima tubuhnya patut diacungi jempol.
Saya mengangkat kepala, melihat tikungan-tikungan tajam berbatu yang menanti di hadapan. Mungkinkah saya mencapai puncak Fujisan?
“We almost there.” kata Felicia membesarkan hati saya.
Yang dimaksud Felicia dengan “almost there” adalah melewati belasan lagi tikungan menanjak dengan batu-batu besar yang menantang. Batu-batu besar ini membuat para pendaki harus mengerahkan tangan dan kaki untuk memanjat. Gelap, dingin, kering, dan tubuh yang kelelahan membuat konsentrasi terpecah. Berhenti atau beristirahat justru memberi kesempatan pada tubuh untuk merasakan dingin yang semakin menyiksa.
Sama seperti anak tadi, saya kemudian memantapkan diri. Satu langkah, berarti satu tingkat lebih tinggi. Saya pun mulai merambat naik.
Jalan Panjang Itu Bernama Yoshida Trail
Untuk mencapai puncak Fujisan, ada 5 rute yang dapat kita pilih: Ochudo trail, Yoshida trail, Subashiri trail, Fujinomiya trail, dan Gotemba trail. Untuk menghindari cuaca dingin yang ekstrim, rute pendakian ini hanya dibuka pada waktu summer, yakni bulan Juli-Agustus setiap tahunnya. Pada musim inilah ribuan orang Jepang dan turis asing dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong mendaki puncak Fujisan.
Saya memilih mendaki melalui Yoshida trail karena akses-nya yang mudah dari stasiun keberangkatan, Shinjuku Station, Tokyo. Perlu waktu 150 menit dengan menumpang Keio Bus untuk mencapai Kawaguchiko 5th Station, pos pertama pendakian. Setelah melakukan persiapan akhir, tepat pukul 5 sore, saya mulai mendaki puncak Fujisan.
Bila selama ini saya berpikir bahwa Fujisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan cantik, maka dalam pendakian ini Fujisan menampakkan wajah aslinya.
Dari jauh warna Fujisan didominasi biru muda dengan pucuk seputih salju yang hampir menyatu dengan warna awan. Dari gambar-gambar kartu pos yang sering saya lihat, banyak pohon maple atau momiji dengan daun berwarna pink berbingkai kekuningan tumbuh di sekitar Fujisan. Pesona Fujisan bertambah sempurna dengan Kawaguchiko Lake yang terkenal itu. Namun malam itu saya sadar, saya berada di gunung Fuji yang gersang dan kering, track yang panjang dan berbatu, debu-debu yang berterbangan seiring derap langkah kaki ribuan manusia, dan angin beku yang meniup sewaktu-waktu.
Melihat Fujisan dari dekat membuat saya sadar: tidak ada pohon hijau yang tumbuh di sekitar puncaknya, tidak ada mata air yang menyegarkan, tidak ada bunga-bunga yang bermekaran. Yang ada hanyalah tanah kering pecah-pecah, pasir, batuan besar, kerikil, debu, dan ribuan orang yang mendaki dalam waktu bersamaan. Inilah gambar Fujisan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Rute pendakian Fujisan memang terkenal berat dan panjang. Saking beratnya, ada ungkapan yang menyatakan “a wise man climbs Fuji once, but only a fool does it twice.“
Untuk mencapai puncak tertinggi di Jepang ini tercatat ada sepuluh pos yang harus dilalui. Para pendaki dilarang untuk mendirikan tenda, namun bagi mereka yang ingin menginap, banyak pondok penginapan yang ditawarkan sepanjang jalur pendakian (terutama saat memasuki pos 8 hingga 10). Tarif-nya berkisar antara 5.000 – 7.000 yen (Rp 500.000-700.000). Karena banyak orang yang mendaki pada waktu bersamaan, dan tentu saja ingin menghangatkan diri dan menginap di sana, maka penginapan-penginapan ini sudah full-booked sejak jauh-jauh hari.
Saat sedang meluruskan kaki di depan salah satu pondok penginapan, seorang pria menyuruh saya dan para pendaki yang sedang beristirahat untuk terus berjalan. “More than two hundreds people are coming! You have to keep walking!” kata pria itu.
Saya dan rombongan pun kembali melangkah. Di depan kami, sudah ada ratusan orang pendaki. Di belakang kami, ada dua ratus orang segera menyusul. Semakin malam, jumlahnya semakin banyak. Kami mengukur, ada seribu orang yang mendaki puncak Fujisan malam itu. Headlamp yang kami gunakan membuat deretan manusia ini seperti bintang yang berpendar-pendar di atas langit.
Karena dingin yang menyiksa, saya sempat berpikir untuk menyerah. Namun saya ingat telah melipat rapi bendera merah putih di dalam ransel. Saya ingin mengantar bendera ini sampai puncak Fujisan. Merah putih harus berkibar tepat pada hari kemerdekaan NKRI, 17 Agustus 2013.
Namun mengantar merah-putih sampai pada tujuan tidak semudah yang dibayangkan. Bila rata-rata orang dewasa mencapai puncak dalam waktu 6-8 jam, memerlukan waktu 10 jam bagi saya hingga berhasil melewati Fujisan torri gate, gerbang masuk menuju puncak Fujisan.
17 Agustus 2013
Setelah hampir sepuluh jam melangkah, saya mulai melihat warna langit berubah. Dari gelap pekat, menuju warna yang lebih terang. Kelihatannya, saya tidak akan mencapat puncak Fujisan pada saat sunrise. “It doesn’t matter if we couldn’t reach sunrise at the top.” kata Felicia. Saya mengangguk, setuju.
Namun alam nampaknya sangat baik pada semangat kami hari itu. Tepat ketika saya melewati Fujisan torii gate, matahari berwarna emas perlahan-lahan muncul di angkasa. Warnanya yang kemerahan memberikan semburat keindahan di antara warna pagi yang masih sunyi. Semburat emas kemerahan yang menghiasi langit membuat pemandangan Kawaguchiko-lake samar-samar muncul di antara kabut pagi.
Saya langsung melempar ransel biru saya ke tanah. Mengangkat kepala saya ke angkasa, memandang keindahan langit Fujisan yang yang begitu indah. “Thanks God…. for the majestic!” kata saya dalam haru yang menjalarkan kehangatan pada seluruh tubuh.
Saya kemudian ingat pada merah-putih yang masih terlipat rapi di dalam ransel. Dengan tangan bergetar, saya mengikat bendera merah-putih pada tongkat pendakian Fujisan. “Merah-putih, berkibarlah engkau di puncak Fujisan…..” kata saya dalam hati. Di belakang saya, ribuan orang terheran-heran melihat saya, seorang diri, mengibarkan bendera merah putih.
Tidak lama kemudian, seorang pria mendekati saya. “Are you Indonesian?” tanyanya. “Yes, I am.” jawab saya mantap.
“Merah-putih!!!!” katanya lalu mengambil tongkat bendera saya dan mengibar-ngibarkannya ke udara. Orang-orang semakin heran melihat tingkah kami berdua.
“Today is our country’s independence day! Today is Indonesia independence day!” serunya menjawab keheranan orang-orang di sekitar kami. Orang-orang itu kemudian tersenyum, dan ikut mengabadikan keberadaan bendera merah putih melalui kamera mereka.
“Tunggu ya Mbak, sebentar lagi ada teman-teman Indonesia yang akan mencapai pucak Fujisan. Ayo kita kibarkan merah-putih bersama-sama!!” seru pria itu penuh haru.
Maka hari itu, 17 Agustus 2013, disaksikan ribuan orang dari berbagai belahan dunia……….. merah-putih berkibar di puncak Fujisan. Inilah merah putih yang bisa menyatukan anak bangsa. Happy Independence Day, INDONESIA!! Without you, I would never reached the top of Fujisan [fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][DPN, 2013].
[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]