Asia

Ketika pertama kali ditugaskan ke Alor Setar, Malaysia, saya bertanya di dalam hati: bagaimana dapat menikmati kota ini? Saya berusaha browsing melalui situs lonely planet, yang saya temukan tempat-tempat wisata yang tak lebih baik dari: museum, masjid, menara, dan istana raja. Jumlah tempat wisata pun tak lebih dari sepuluh! Jadi, bagaimana saya dapat menikmati Alor Setar di waktu senggang?

Setelah transit di Kuala Lumpur, dan mengalami keterlambatan penerbangan selama dua jam (terpujilah maskapai AA!), saya mendarat di Alor Setar, nyaris tengah malam. Langit sudah gelap, jalanan sepi. Oleh taksi bandara, saya diantar ke hotel bintang empat yang berada hanya 200 meter dari titik 0 KM kota ini.

Jangan bayangkan hotel bintang empat itu berupa tempat mewah seperti Grand Mercure atau Le Meridien, ya! Tempat tinggal saya selama sembilan hari adalah sebuah hotel tua dengan lampu redup, lift berdenyit ketika dipakai, closet duduk dengan flush rusak, dan kunci kamar bukan berupa cardlock magnetik, melainkan kunci manual dengan gantungan kayu, persis kunci rumah.

Receptionist yang bekerja di hotel hanya satu orang, seorang perempuan Melayu yang mengenakan kerudung berwarna coklat muda. Dia meminta saya membayar tourism tax sebesar 10 MYR per malam. “Bagaimana kalau kamu memberikan deposit 100 MYR untuk tourism tax dan keperluan lain selama kamu tinggal di sini?” ujarnya.

“Aduh, saya belum menukar uang,” kata saya. Saya hanya membawa 150 MYR ke Malaysia. Sebagian besar sudah saya pakai untuk makan laksa di bandara dan membayar taksi. “Apakah saya bisa membayar dengan menggunakan mata uang dollar, atau rupiah? Saya baru berencana menukar uang besok siang,” kata saya.

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Char Koey Tiaw, makanan paling populer di Alor Setar

Dia berpikir sejenak, kemudia menggeleng. “Tidak bisa. Kursnya sedang kurang baik. Kamu punya uang ringgit berapa? Sisanya bisa kamu lunasi hari lain,” kata dia. Saya pun terpaksa menyerahkan satu-satunya lembaran 50 MYR yang tersisa di dompet kepada petugas receptionist tersebut. “Sial, besok gue makan siang pakai duit apa?!!” umpat saya.

Saya bertanya kepada receptionist, apakah ada restaurant yang buka di sekitar hotel karena saya merasa kelaparan. Dia bilang, tidak ada. Hanya ada super market 7/11, sekitar 50 meter dari hotel. Saya pun ke 7/11 membeli cup noodles seharga 3 MYR, yang saya bayar dengan recehan. Setelah itu, saya ke kamar dan tidur lelap.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan di Alor Setar, Malaysia.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan tugas liputan, saya pergi ke Aman Central, pusat perbelanjaan terbesar di Alor Setar. Saya membeli persediaan logistik alias camilan, seperti pisang, roti, yoghurt, kripik, coklat, dan air mineral. Dari Aman Central, saya berencana kembali ke hotel dengan menggunakan Grab Car. Namun, setelah saya cek, lokasinya ternyata tidak lebih dari 3 kilometer. Sambil menenteng barang belanjaan, saya memutuskan untuk berjalan kaki ke hotel.

Sepanjang perjalanan, saya melewati deretan rumah, toko, dan restaurant, yang mencerminkan keberagaman komunitas masyarakat Alor Setar. Ada kedai kopi dengan tulisan-tulisan aksara China, ada rumah makan nasi kendar, nasi lemak, dan nasi ayam khas makanan Melayu, ada pula cafe-cafe sederhana yang menjual makanan khas Thailand, seperti Tom Yum, dan puding mangga. Melihat foto-foto makanan itu saya jadi ngiler!

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat Alor Setar.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan dengan komunitas masyarakat India.

Di depan Sentosa Plaza, saya melihat pedagang-pedagang kaki lima yang menjual makanan China. Mulai dari mi, nasi hainan, aneka gorengan, hingga nasi daging babi, dan babi panggang. Mereka menjual makanan di gerobak-gerobak sederhana di pinggir jalan. Waaah… kalau di Indonesia, bisa digrebek kali yaa jualan babi panggang di pinggir jalan begini, pikir saya. Walau makanan-makanan itu terlihat menggiurkan, sayangnya, saya gak makan babi, jadi tidak kurang tertarik mencoba.

Setelah melewati pedagang makanan, saya berjalan di pinggir Jalan Putra. Di ujung jalan itu, terdapat kuil Hindu (Sri Thandayuthapani Temple) yang berdiri megah dengan parkiran luas. Setelah melewati menara jam besar Alor Setar, saya melihat Masjid Zahir yang terlihat bergitu cantik dengan background warna matahari tenggelam.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir disebut juga sebagai Masjid Raja terletak di perkarangan Istana Pelamin.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pemandangan kota Alor Setar, Malaysia, dilihat dari dalam Masjid Zahir.

Saya sungguh terpukau dengan kecantikan masjid yang dibangun pada 1912 itu. Saya sampai berdiri di depan masjid selama sekitar lima menit untuk memandang kubah menyerupai bawang. Keunikan lain adalah tiang-tiang yang berdiri bukanlah tiang tunggal, tetapi dua atau empat tiang yang menyatu untuk menopang atap bangunan.

Pesona yang dimiliki Masjid Zahir menginspirasi Pemerintah Malaysia mengabadikannya sebagai gambar perangko. Namun, saat saya cari perangko dan kartu pos untuk kenang-kenangan dan kirim ke kampung halaman, masyarakat setempat menjawab: “Lebih mudah dan cepat komunikasi dengan Whatsapp, Makcik… Zaman sekarang sudah tidak ada kartu pos lagi….” Baeklaaah -___-”

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya berpikir bagaimana Alor Setar hidup dalam keberagaman. Hal itu tercermin dari keberadaan Masjid Zahir yang berdiri berdampingan dengan kuil Hindu. Letak masjid tidak terlalu jauh dengan komunitas Tionghoa. Fachri, supir grab saya, suatu hari bercerita, saat Imlek, orang-orang China biasanya mengadakan open house. Banyak orang Melayu dan India datang ke rumah orang-orang China untuk makan dan pesta bersama.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya menemukan jawaban bagaimana selama sembilan hari dapat menikmati kota ini. Cara terbaik menikmati Alor Setar adalah dengan merayakan keberagaman komunitas dan menikmati keindahan peninggalan bangunan bersejarah.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir dibangun pada 1912.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pengungjung menikmati keindahan Masjid Zahir.

Dalam kunjungan kedua saya ke Masjid Zahir, saya memberanikan diri masuk ke dalam masjid. Seorang perempuan asal Kuala Lumpur, yang sedang berkunjung ke rumah teman di Alor Setar, mempersilakan masuk untuk menikmati sudut-sudut masjid. “Enjoy your time, here…” katanya,

Di dalam masjid, saya bertemu dengan Zahir, seorang pria berusia sekitar 50 tahun. Zahir adalah mantan manajer di sebuah perusahaan produksi barang-barang kulit. Memasuki usia senja, Zahir memutuskan untuk mengabdikan hidup pada ibadah dan keluarga. Untuk mengisi waktu luang, dia bekerja sebagai supir Grab di Alor Setar. “Dengan menjadi supir, kapanpun saya punya waktu untuk istirahat dan pergi ke masjid untuk shalat,” kata Zahir. (Saya baru sadar, kenapa namanya sama dengan masjid yaa? Hmmm…)

Zahir bertanya dari mana asal saya, bagaimana saya bisa sampai di Alor Setar, dan untuk apa saya mengunjungi Masjid Zahir. Saya berterus terang, bahwa saya harus bekerja di Alor Setar selama sembilan hari, dan saya mengunjungi masjid karena saya terpukau dengan keindahan bangunan. Setelah ngobrol banyak hal, saya bertanya, bagaimana Alor Setar bisa hidup dalam keberagaman.

Zahir mengatakan, karena Alor Setar berada di dekat perbatasan Malaysia-Thailand, maka memang banyak orang Thailand masuk ke Alor Setar. Beberapa orang Thailand membuka rumah makan, sehingga makanan di Alor Setar memang banyak terpengaruh rasa makanan khas Thailand. Orang-orang Malaysia dan Thailand hidup rukun. Begitu juga dengan masyarakat India, China, dan Arab.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Portrait umat Islam di Masjid Zahir.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat menikmati hiasan khas Imlek di Aman Central.

“Selama ini, tak ada masalah dengan keberagaman. Masyarakat hidup rukun dalam kultur dan kepercayaan masing-masing. Tetapi, politik telah menghancurkan segalanya,” kata Zahir. “Setiap kali ada pemimpin dari suatu kelompok masyarakat menang pemilu, kelompok lain pasti menjelek-jelekkan asal-usul pemimpin itu. Kalau yang menang dari kelompok satunya, kelompok lain melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya,” lanjutnya lagi.

Wahhh… Kalau begini sama aja kayak negara gue dongg… -__-”

“Bagaimana dengan di Indonesia?” tanya Zahir. “Saya lihat, masyarakat Indonesia hidup rukun yaaa… Saya pernah ke Indonesia, dan melihat masyarakat di sana hidup rukun,” kata Zahir.

Saya bingung mau jawab apa,… selain mau bilang: “Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau, Pak… Kenyataannya, yaaagituuu deeehhh…..”

Belum sempat saya menjawab pertanyaan Zahir, adzan berkumandang. Zahir meminta izin untuk shalat maghrib. Saya mempersilakan dia menunaikkan ibadah. Sementara saya, kembali melanjutkan perjalanan.

Jakarta, 20 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com)[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

Narastika dan saya sama-sama hobi bervakansi. Pada 2010, kami mendapatkan beasiswa pertukaran pemuda ke Luton, Inggris. Meski program itu melarang peserta traveling ke kota lain tanpa asistensi dari supervisor, kami nekat ngetrip ke London (sekitar 50 kilometer dari Luton).

Di London, kami menyusuri Sungai Thames, menikmati keindahan arsitektur Istana Buckingham yang megah dan mewah, menonton drama musikal Shakespeare di Globe Theather, meresapi kehidupan malam di sekitar London Eye, berfoto dengan mannequin, dan melakukan banyak hal lain.

Malam itu, dengan rasa haru dan gembira luar biasa, kami pulang ke Luton naik kereta cepat. Sepanjang perjalanan, Narastika dan saya menahan dingin karena tubuh kami hanya dibalut jaket tipis. Kami juga menahan lapar karena tidak sanggup membayar makanan paling murah di Chinese Food Restaurant di London. Meskipun kere, tetapi hore!

Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.

Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.

Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan. Namun, saya yakin, seperti jodoh (kayak ngerti ajaa hehe), cocok atau tidaknya dengan teman seperjalanan bisa dibangun. 🙂

Sejak delapan bulan sebelum perjalanan, Narastika dan saya sudah mempersiapkan jalan-jalan hemat di Negeri Sakura. Kami mengatur itinerary, mencari hotel, memesan tiket pesawat dan tiket kereta dan bus lokal, dan memasang target lulus kuliah! (FYI, demi bisa traveling setelah lulus kuliah saya mengerjakan skripsi dalam waktu tiga bulan! :D)

Dari mengatur itinerary, sebenarnya sudah terlihat bagaimana perbedaan sikap Narastika dan saya dalam memandang perjalanan ini. Narastika sungguh well-organized, dia mengatur itinerary perjalanan tidak hanya hari-per-hari, tetapi jam-per-jam! Dia juga mengatur rencana penginapan dan transportasi dengan sangat detail. Hal ini sungguh-sungguh berbeda dengan saya, yang super berantakan!

Kalau bepergian, saya hanya punya gambaran besar dan kasar mengenai kota yang ingin saya kunjungi dan berapa lama saya akan tinggal di sana. Saya sama sekali tidak memikirkan, seharian (dari jam-per-jam) mau ngapain aja, yang ada di benak saya: “Lihat nanti saja deh mau mengunjungi apa! Tergantung mood!” Tetapi, Narastika kekeuh jadwal harus fixed sebelum berangkat karena akan mempengaruhi budget. Baiklaah, saya menyerah. Dan kami pun menyusun itinerary secara rigid.

Dalam diskusi, saya memberi beberapa destinasi yang ingin saya kunjungi. Narastika yang akan memasukkannya dalam tabel-tabel itinerary disesuaikan dengan budget dan kondisi geografis.

Sesampainya di Jepang, perbedaan sikap kami semakin terasa. Narastika bergerak disiplin mengikuti jadwal, sedangkan saya lebih acak, dan mau menikmati slow-journey dengan, misalnya, berlama-lama menghayati sejarah Kota Hiroshima, berdialog dengan masyarakat setempat seperti para tukang becak Jepang, mencicipi makan makanan lokal, dsb. Saya sempat bete karena merasa hidup seperti diatur-atur dengan itinerary. Narastika juga pasti bete karena gerak saya super lambat dan mood mudah berubah-ubah. 🙁

Dari perjalanan ini, saya sadar, tantangan dalam perjalanan bukanlah keterbatasan bahasa atau uang atau waktu dan sebagainya, tantangan dalam perjalanan adalah membangun toleransi dan komunikasi dengan orang lain agar perjalanan menyenangkan! Sekalipun ada yang mengklaim sebagai solo traveler, bukankah kita tidak akan pernah betul-betul sendirian dalam perjalanan?

Lalu apakah langkah Narastika benar karena menyiapkan perjalanan dengan lebih detail sedangkan saya salah karena tergolong orang yang acak dan tidak terjadwal?

Beberapa orang mungkin suka gaya traveling teragenda, beberapa orang lain suka style travelling yang spontan. Dalam perjalanan tidak ada yang lebih benar atau lebih salah karena semua keputusan yang diambil tergantung situasi dan kondisi.

Persiapan sebelum trip memang penting, tetapi spontanitas dan fleksibilitas juga sangat dibutuhkan.Ketika dua kepala memiliki isi otak yang berbeda, akhirnya masalah yang timbul adalah keinginan pribadi tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Misalnya, saya sangat ingin naik Gunung Fuji. Sementara Narastika sama sekali tidak tertarik naik gunung. Untungnya, perbedaan ini tidak berujung pada percekcokan, adu mulut, jambak-jambakan, bete-betean, dan akhirnya malah jadi ngegosipin keburukan teman di kemudian hari.

Untuk mencegah peperangan (oke, ini lebay :D) kami mencoba sampaikan keinginan pribadi sejelas-jelasnya dan coba mendengarkan travel partner untuk mencari jalan tengah. Akhirnya kami mengambil jalan tengah: saya akan naik Gunung Fuji, sementara Narastika akan city tour di sekitar Tokyo. Ini merupakan jalan tengah yang sempurna, karena dengan berpisah kami bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dan berbagi pengalaman saat bertemu lagi.

Saya sangaaattt senang naik Gunung Fuji, tetapi lebih senang lagi ketika bertemu Narastika lagi di hostel!! Dia menyambut saya dan mengucapkan selamat karena saya sukses mengibarkan bendera merah putih di Puncak Fujisan! AAAAHH, Tikaaa!!! Saya gak mungkin mewujudkan cita-cita ini tanpa kamuuu!! *langsung meweeekkk*

Agar perjalanan menyenangkan, kami juga coba untuk saling mengalah demi memenuhi keinginan teman. Narastika menemani saya ke Shimokitazawa, distrik yang menjual barang-barang antik! Sementara saya menemanik Tika ke kota satellite Yokohama (di sini kami nonton sirkus gratisan! Hahahhaa).

Di Shimokitazawa, kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan…. yekss!! Dulu memang enggak doyan makan ikan, apalagi telur ikan T.T…. Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan….

Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa…. *mewek lagi untuk kesekian kali… hahahhaa)

Dengan berbagi kita tidak akan pernah merugi. Justru mendapatkan banyaaak pengalaman seru dan unik. Setiap kali saya bertemu Narastika, kami akan tertawa sampai perut sakit mengingat banyak hal bodoh yang kami lakukan. Di perjalanan, kami lebih mengenal diri sendiri, dan bisa saling menyesuaikan, atau bahkan terbawa kebiasaan teman.

Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, akhirnya jadi lebih gampang ngobrol dengan orang asing karena terpengaruh kebiasaan saya yang suka sotoy dan SKSD dengan orang lain. Hahahahhaa. Saya yang biasanya bangun siang jadi lebih pagi karena enggak mau ada jadwal perjalanan yang terlewatkan. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk.

Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul “Kepompong”: Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan…”

Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan. 🙂

For Narastika.

Best love, Denty.

Jakarta, 29 November 2016.

Rambutkriwil.com

 

Read more

sakura 4

Siapa bilang Jepang super mahal? Asal kita bisa menginap di hostel yang harganya terjangkau, tahu cara mengatur rencana perjalanan termasuk sistem transportasinya, hingga pandai-pandai memilih makanan yang sesuai dengan budget, dijamin image Jepang sebagai negara tak terjangkau akan berangsur-angsur hilang.

sakura 5 Beberapa bulan lalu, ketika saya merencanakan perjalanan ke Jepang, banyak teman bertanya: “Kenapa harus ke Jepang?” Saat itu saya menjawab, saya kagum pada Jepang yang begitu modern dengan kecanggihan teknologinya, namun di satu sisi mampu mempertahankan kekhasan budayanya yang berusia ratusan tahun. Keberadaan kuil-kuil traditional, profesi geisha, dan banyaknya jumlah becak Jepang adalah contoh bagaimana Negri Sakura ini terus berupaya mempertahankan budaya mereka.

Selain itu, sama seperti Indonesia, Jepang adalah Negara multikultur dengan jumlah penduduk yang banyak, dikelilingi lautan dengan ribuan pulau, serta memiliki catatan sejarah bangsa yang panjang. Berbicara soal sejarah tentu kita masih ingat akan penjajahan Jepang yang terjadi di Negri kita puluhan tahun silam? Maka mengunjungi Negri yang sering disebut sebagai the land of the rising sun ini adalah sekaligus untuk belajar membangun dan lebih menghargai bangsa kita sendiri.

Setelah mendarat di Jepang dan memulai petualangan, saya semakin sadar Jepang adalah Negri paradoks dimana sisir kecil berbahan dasar kayu bisa dijual seharga ¥10.000 (Rp 1.000.000) dan buku terkenal karya Haruki Murakami dijual hanya ¥ 100 (Rp 10.000). Di  negara dengan jumlah penduduk lebih dari 30 juta orang ini kita bisa dengan mudah menemui dewa-dewa penolong saat sedang dibingungkan dengan rute subway yang begitu kompleks. Walaupun terkesan sibuk dan dingin, orang-orang Jepang ternyata sangat suka menolong! Segala sesuatunya terasa tarik-menarik, namun inilah yang membuat Jepang begitu menarik untuk dikunjungi.

Wisata dan Berbagai Festival Gratis

becak jepang 4

Untuk menikmati keindahan Jepang, banyak tempat wisata murah meriah yang ditawarkan, beberapa diantaranya bahkan gratis! Wisata gratis ini meliputi taman (seperti Ueno Park dan Yoyogi Park), kuil dan pura (seperti Meiji-Jingu/Meiji Shrine dan Sensoji Temple), pasar (Tsukiji Fish Market), hingga area pertokoan yang sangat populer (seperti Shibuya, Shinjuku, Harajuku dan Akihabara). Kita juga bisa berfoto di depan Tokyo Tower (tiket naik ke lantai atas ¥ 1.200/Rp 120.000), ataupun menikmati sunset dari Observatori lantai 45 di Tokyo Metropolitan Government (TMG) Building. Semuanya gratis!!

Tokyo merupakan ibu kota sekaligus kota yang sangat terkenal di Jepang. Kota ini terkenal dengan sebagai kota industri yang sangat modern. Namun, bila kita ingin mengunjungi daerah dengan atmosfir kota Tokyo di masa lalu, kita bisa mengunjungi area Asakusa. Sejak jaman dulu, area ini terkenal sebagai pusat hiburan dan wisata. Area Asakusa sempat rusak karena perang dunia ke-2, namun bukan Jepang namanya bila tidak segera bangkit dan menata diri.

sakura 2Area Asakusa terkenal dengan Dempoin temple, kuil Buddha yang dibangun pada abad ke-7, Kaminarimon (Kaminari Gate), Sensoji Temple, dan Asakusa Shrine. Di area ini terdapat pusat perbelanjaan bernama Nakamise yang menjual berbagai makanan khas tradisional Jepang serta berbagi souvenir menarik.

Mengelilingi area Asakusa cukup dilakukan dengan berjalan kaki. Namun, bila ingin mencoba pengalaman berbeda, kita bisa naik becak dengan membayar ¥ 8.000 (Rp 800.000) untuk 30 menit perjalanan. Wah mahal ya?! Yap! Namun harga ini sudah termasuk penjelasan dari tukang becak terlatih yang sekaligus berperan sebagai pemandu wisata.

Selain mengunjungi berbagai tempat wisata, jangan lupa menghadiri festival dan pertunjukan yang diadakan di pusat-pusat kota. Terutama saat musim panas, banyak festival-festival menarik yang diadakan, misalnya saja Obon Matsuri (festival arwah) yang diadakan pada pertengahan bulan Agustus setiap tahunnya. Festival ini cukup menarik karena dihadiri oleh ratusan orang Jepang yang mengenakan yukata (kimono sederhana). Saat semua orang sudah berkumpul, mereka akan membentuk lingkaran dan menari bersama diiringi musik traditional Jepang. Festival ini diadakan sebagai wujud persembahan bagi arwah para leluhur. Orang Jepang percaya arwah-arwah akan hadir dan ikut menari bersama mereka sebagai tanda sukacita.

Festival lainnya adalah festival kembang api dan festival lampion yang diadakan pada malam hari saat musim panas. Kemeriahan festival-festival ini seperti menyambut tahun baru yang penuh kegembiraan. Selain menghadiri festival, kita juga bisa menyaksikan beragam pertunjukan traditional Jepang. Pertunjukan itu diantaranya tarian Maiko/Geisha di Gion, Kyoto (IDR ¥ 2.500/Rp 250.000), pertandingan sumo (IDR ¥  2.100-14.300/ Rp 210.000 – Rp 1.430.000), hingga kabuki di Kabukiza Theater (IDR ¥ 3.000/ Rp 300.000).

Subway?? Kereta??? Monorail??? Aaaaa!!!

sakura

Selain Tokyo, sebetulnya banyak daerah lain di Jepang yang sangat menarik untuk dikunjungi. Daerah-daerah itu diantaranya Hiroshima, Kyoto, dan Osaka. Karena letaknya yang agak jauh di luar kota Tokyo, kita memang perlu menganggarkan biaya khusus untuk transportasi. Selain naik pesawat atau menumpang bullet train seperti shinkansen, bus malam seperti Willer Express bisa dijadikan pilihan! Biasanya Willer Express memiliki harga khusus untuk reservasi turis asing. Selain irit karena harganya terjangkau, dengan menumpang bis malam kita bisa sekalian menghemat biaya penginapan karena tidur di dalam bis. Bis ini memiliki kursi berbentuk couch yang memang dirancang cukup nyaman untuk beristirahat.

Bagaimana kalau saat naik bis kita lapar? Apa ada tukang jualan makanan di dalam bis? Jangan khawatir, bis malam di Jepang memiliki peraturan yang mengharuskan mereka berhenti beberapa kali di tempat peristirahatan saat sedang dalam perjalanan panjang. Tempat-tempat peristirahatannya dilengkapi dengan toilet yang sangat bersih dan convenience store yang besar. Jadi saat bis berhenti kita bisa membeli makanan atau minuman. Perut kenyang, hati senang, tidur tenang! 🙂

Bagaimana dengan sistem transportasi di dalam kota, seperti Tokyo? Tokyo memiliki jalur subway dan kereta dengan banyak pilihan. Walaupun jalur-jalur ini dekelola oleh beberapa perusahan berbeda, namun jalur transportasinya saling terintegrasi. Untuk memudahkan transportasi, kita bisa membeli prepaid travelcards, seperti SUICA dan PASMO yang dijual di stasiun-stasiun besar.

Menggunakan travelcards ini memiliki banyak keuntungan, misalnya saja kartu ini bisa digunakan untuk menumpang berbagai transportasi yang terintegrasi seperti subway, JR train, monorail, hingga express train. Selain itu kartu ini bisa digunakan untuk berbelanja di convenience store dan untuk membeli minuman/makanan di vending machine. Karena model pembayarannya yang berupa deposit, kita bisa mengisi kartu ini  dengan sejumlah uang yang akan berkurang sesuai pemakaian. Bila saat perjalanan usai ternyata di kartu itu masih ada depositnya, maka kita bisa menukarnya kembali untuk mendapatkan cash back.

Setiap kota memiliki model transportasi berbeda. Misalnya saja transportasi utama di Kyoto adalah bis, sedangkan transportasi di Hiroshima adalah term (kereta di tengah kota). Walaupun berbeda-beda, seluruh kota di Jepang memiliki sistem trasportasi yang terintegrasi sehingga memudahkan penumpang dalam dalam memilih transportasi yang terbaik untuknya. Namun ingat, prepaid travelcards di tiap kota berbeda sehingga kita harus memastikan dulu ya kartu yang digunakan sebelum melakukan perjalanan!

Mendaki Gunung Fuji 

sakura 1

Mengunjungi Jepang tidak lengkap rasanya bila tidak mendaki Gunung Fuji. Fujisan (Gunung Fuji) merupakan gunung tertinggi di Jepang (3.776 m) yang terletak di perbatasan perfektur Shizuoka dan Yamanashi, di sebelah barat Tokyo. Walau terkenal dengan track yang berat dan panjang, namun Gunung ini bisa didaki oleh seorang pemula sekalipun.

Untuk mencapai puncak Fujisan, ada 5 rute yang dapat kita pilih: Ochudo trail, Yoshida trail, Subashiri trail, Fujinomiya trail, dan Gotemba trail. Yoshida trail paling banyak dipilih karena aksesnya paling mudah dari Tokyo. Cukup dengan menumpang Keio Bus dari Shinjuku Station https://www.highwaybus.com/ selama 2,5 jam maka kita akan mencapai 5th station, gerbang pendakian Fujisan. Untuk menghindari cuaca dingin yang ekstrim, rute pendakian Yoshida trail hanya dibuka pada waktu summer, yakni bulan Juli-Agustus setiap tahunnya. Pada musim panas inilah ribuan orang Jepang dan turis asing dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong mendaki puncak Fujisan.

Bagi orang Jepang, mendaki gunung adalah persembahan dan doa kepada para dewa. Sebagaimana lari marathon atau bermain golf, mereka juga menganggap naik gunung sebagai sarana olah raga. Maka mendaki Fujisan bersama ribuan orang dalam waktu bersamaan adalah pengalaman yang tak bisa dilewatkan begitu saja! Tidak ada biaya yang harus dibayarkan untuk mendaki Fujisan, alias free!

Food… Food… Food…

sakura 3

Jepang adalah surga makanan! Banyak makanan murah dan enak yang dijual di Jepang. Makanan-makanan itu mulai dari bento, ramen, sushi, udon, onigiri, dll.

Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan Takoyaki? Yup, camilan Jepang berbentuk bulat seperti bola pingpong, berbahan baku tepung terigu dengan isian gurita dan taburan katsuobushi (serutan ikan kering) memang banyak dijual di negara kita. Di Jepang, takoyaki terasa lebih gurih dengan potongan gurita yang lebih besar. Yummie! Kedai-kedai takoyaki bisa ditemui hampir di semua daerah, di banyak tempat-tempat umum, seperti stasiun dan lokasi wisata. Harga satu porsi takoyaki ¥ 300-600 (Rp 30.000 – 60.000).

Sebelum meninggalkan Jepang, ada baiknya juga kita mencoba okonomiyaki. Makanan ini sangat terkenal di Hiroshima dan di Osaka. Okonomiyaki merupakan adonan tepung yang ditambahkan irisan kol, tauge, telur, dan tambahan isi seperti daging daging sapi, cumi-cumi, ataupun udang. Biasanya okonomiyaki juga ditambahkan udon/mie Jepang sehinga mengenyangkan perut. Rahasia kelezatan okonomiyaki terletak pada saus okonomiyaki yang dioleskan di atas campuran adonan tadi. Rasanya sungguh nikmat! Harga satu piring okonomiyaki sekitar ¥ 750-1.000 (Rp 75.000 -100.000).

Where to stay?

sakura

Selama di Jepang kita bisa menyewa dormitory budget hostel seharga ¥ 2.000-2.500 (Rp 200.000-250.000) /orang/malam. Kamar dormitory biasanya dihuni oleh 6-8 orang dengan bentuk tempat tidur berupa bunk bed (kasur susun). Kamar dormitory dibedakan menjadi 2, female only dan mixed room. Kita bisa memilih kamar sesuai dengan keinginan kita! Salah satu budget hostel yang lumayan laris di Jepang adalah Khaosan Tokyo dan J-Hoppers.

Fasilitas yang ditawarkan biasanya berupa kamar mandi dengan water heater, akses komputer dan internet gratis (termasuk layanan wifi gratis), printer, TV, mesin cuci, serta berbagi perlengkapan dapur (teko, oven, kompor, kulkas, dll) yang bisa digunakan secara sharing dengan penghuni lainnya.

Banyak pengalaman menyenangkan selama tinggal di dormitory yang tidak bisa kita dapatkan saat menyewa private room di hotel berbintang. Pengalaman-pengalaman itu diantaranya bisa mengenal teman-teman baru dari berbagai belahan dunia, mempraktekan kemampuan bahasa asing kita, mengadakan acara-acara seru bersama seperti membuat pesta atau perayaan tertentu, serta belajar untuk sharing dan bertanggung jawab atas fasilitas yang kita gunakan. Karena sifatnya yang self-service, setiap tamu yang tinggal di hostel harus memperhatikan kenyamanan bersama, misalnya dengan mencuci piring dan gelas sehabis pakai, membereskan meja, merapikan tempat tidur, dll. Dengan cara seperti ini, kita akan merasa nyaman tinggal di dormitory seperti tinggal di rumah sendiri.

So, ingin berwisata ke Jepang? Tunggu apa lagi, ayo kita rencanakan perjalanan ke Negri Sakura! 🙂

(DPN, 2013)

Read more

Mata anak itu merah dan basah. Kepalanya menunduk ke arah lututnya yang dilipat. Jaket tebal yang dikenakannya kelihatan tidak cukup melindungi dia dari dingin yang menerjang. Beberapa orang dewasa di sekitarnya membelai lembut kepala anak itu, beberapa mengusap-usap pundaknya.

“Ganbatte ne! Akiramenna!!” kata salah seorang wanita di telinga anak itu. Artinya: semangat, jangan menyerah!

Anak itu kemudian mengangguk, memantapkan dirinya untuk kembali melangkah. Di hadapannya terbentang jalanan panjang yang berbatu, berkerikil, berpasir, gelap, dan menanjak. Anak itu mengerahkan segenap kemampuannya. Satu langkah, berarti satu tingkat lebih tinggi.

Gerakan anak itu di sambut tepuk tangan oleh orang-orang di sekelilingnya. Mereka merangkul anak itu. “Yatta!! Sugee!!” seru mereka.

Anak itu adalah satu dari sejumlah anak yang saya temui ketika mendaki gunung Fuji, 3776 m di atas permukaan laut. Walau masih kecil, berusia sekitar 5-8 tahun, namun anak-anak itu tidak gentar untuk terus melangkah. Tubuh yang mungil dengan beban berat di pundak, jalanan yang gelap dan menantang, serta dingin yang membekukan tulang belulang membuat mereka tidak selalu terlihat kuat. Namun dukungan dari orang tua serta paman dan bibi-nya, membuat anak-anak ini bertahan.

Bagi orang Jepang, mendaki gunung adalah persembahan dan doa kepada para dewa. Sebagaimana lari marathon atau bermain golf, mereka juga menganggap naik gunung sebagai sarana olah raga. Setiap tahunnya, ribuan orang Jepang mendaki gunung untuk mengukur kesehatan mereka. Itulah alasan mengapa sejak kecil anak-anak sudah diajak mendaki gunung. Mereka akan tetap mendaki hingga lanjut usia.

Memikirkan hal ini membuat saya merasa bersalah karena lebih sering bermalas-malasan ketimbang lebih mengenal dan mencintai alam. Efeknya adalah langkah kaki saya lebih lambat dari orang kebanyakan, tubuh yang mudah lelah, pikiran yang sulit untuk fokus, dan kemampuan adaptasi yang lemah.

“Denty.. Denty.. ” kata Felicia membuyarkan lamunan saya. Felicia adalah salah seorang teman asal Singapore yang saya temui berkat kemudahan jaringan sosial Couch Surfing. Bersama Hanh Hiu, asal Vietnam, kami bertekad untuk mencapai puncak Fujisan.

Saya menatap Felicia. “I am freezing. I can’t stand for this cold.” sahut saya dengan nafas terengah-engah. 5 jam lebih sudah berlalu, namun puncak yang dituju terasa masih sangattt jauh. Saya melirik arloji, pukul 23.30. Dingin angin malam semakin keras berhembus, menyapu wajah dan telapak tangan hingga terasa beku.

“Keep moving.  Take long rests make you feel freezing.” seru Felicia.  Felicia berjalan di belakang saya, namun hampir tidak pernah beristirahat bila bukan saya yang meminta. Walaupun tubuhnya mungil, namun prima tubuhnya patut diacungi jempol.

Saya mengangkat kepala, melihat tikungan-tikungan tajam berbatu yang menanti di hadapan. Mungkinkah saya mencapai puncak Fujisan?

“We almost there.” kata Felicia membesarkan hati saya.

Yang dimaksud Felicia dengan “almost there” adalah melewati belasan lagi tikungan menanjak dengan batu-batu besar yang menantang. Batu-batu besar ini membuat para pendaki harus mengerahkan tangan dan kaki untuk memanjat. Gelap, dingin, kering, dan tubuh yang kelelahan membuat konsentrasi terpecah. Berhenti atau beristirahat justru memberi kesempatan pada tubuh  untuk merasakan dingin yang semakin menyiksa.

Sama seperti anak tadi, saya kemudian memantapkan diri. Satu langkah, berarti satu tingkat lebih tinggi. Saya pun mulai merambat naik.

Jalan Panjang Itu Bernama Yoshida Trail

Untuk mencapai puncak Fujisan, ada 5 rute yang dapat kita pilih: Ochudo trail, Yoshida trail, Subashiri trail, Fujinomiya trail, dan Gotemba trail. Untuk menghindari cuaca dingin yang ekstrim, rute pendakian ini hanya dibuka pada waktu summer, yakni bulan Juli-Agustus setiap tahunnya. Pada musim inilah ribuan orang Jepang dan turis asing dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong mendaki puncak Fujisan.

Saya memilih mendaki melalui Yoshida trail karena akses-nya yang mudah dari stasiun keberangkatan, Shinjuku Station, Tokyo. Perlu waktu 150 menit dengan menumpang Keio Bus untuk mencapai Kawaguchiko 5th Station, pos pertama pendakian. Setelah melakukan persiapan akhir, tepat pukul 5 sore, saya mulai mendaki puncak Fujisan.

Bila selama ini saya berpikir bahwa Fujisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan cantik, maka dalam pendakian ini Fujisan menampakkan wajah aslinya.

Dari jauh warna Fujisan didominasi  biru muda dengan pucuk seputih salju yang hampir menyatu dengan warna awan. Dari gambar-gambar kartu pos yang sering saya lihat, banyak pohon maple atau momiji dengan daun berwarna pink berbingkai kekuningan tumbuh di sekitar Fujisan. Pesona Fujisan bertambah sempurna dengan Kawaguchiko Lake yang terkenal itu. Namun malam itu saya sadar, saya berada di gunung Fuji yang gersang dan kering, track yang panjang dan berbatu, debu-debu yang berterbangan seiring derap langkah kaki ribuan manusia, dan angin beku yang meniup sewaktu-waktu.

Melihat Fujisan dari dekat membuat saya sadar: tidak ada pohon hijau yang tumbuh di sekitar puncaknya, tidak ada mata air yang menyegarkan, tidak ada bunga-bunga yang bermekaran. Yang ada hanyalah tanah kering pecah-pecah, pasir, batuan besar, kerikil, debu, dan ribuan orang yang mendaki dalam waktu bersamaan. Inilah gambar Fujisan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Rute pendakian Fujisan memang terkenal berat dan panjang. Saking beratnya, ada ungkapan yang menyatakan “a wise man climbs Fuji once, but only a fool does it twice.

Untuk mencapai puncak tertinggi di Jepang ini tercatat ada sepuluh pos yang harus dilalui. Para pendaki dilarang untuk mendirikan tenda, namun bagi mereka yang ingin menginap, banyak pondok penginapan yang ditawarkan sepanjang jalur pendakian (terutama saat memasuki pos 8 hingga 10). Tarif-nya berkisar antara 5.000 – 7.000 yen (Rp 500.000-700.000). Karena banyak orang yang mendaki pada waktu bersamaan, dan tentu saja ingin menghangatkan diri dan menginap di sana, maka penginapan-penginapan ini sudah full-booked sejak jauh-jauh hari.

Saat sedang meluruskan kaki di depan salah satu pondok penginapan, seorang pria menyuruh saya dan para pendaki yang sedang beristirahat untuk terus berjalan. “More than two hundreds people are coming! You have to keep walking!” kata pria itu.

Saya dan rombongan pun kembali melangkah. Di depan kami, sudah ada ratusan orang pendaki. Di belakang kami, ada dua ratus orang segera menyusul. Semakin malam, jumlahnya semakin banyak. Kami mengukur, ada seribu orang yang mendaki puncak Fujisan malam itu. Headlamp yang kami gunakan membuat deretan manusia ini seperti bintang yang berpendar-pendar di atas langit.

Karena dingin yang menyiksa, saya sempat berpikir untuk menyerah. Namun saya ingat telah melipat rapi bendera merah putih di dalam ransel. Saya ingin mengantar bendera ini sampai puncak Fujisan. Merah putih harus berkibar tepat pada hari kemerdekaan NKRI, 17 Agustus 2013.

Namun mengantar merah-putih sampai pada tujuan tidak semudah yang dibayangkan. Bila rata-rata orang dewasa mencapai puncak dalam waktu 6-8 jam, memerlukan waktu 10 jam bagi saya hingga berhasil melewati Fujisan torri gate, gerbang masuk menuju puncak Fujisan.

17 Agustus 2013

Setelah hampir sepuluh jam melangkah, saya mulai melihat warna langit berubah. Dari gelap pekat, menuju warna yang lebih terang. Kelihatannya, saya tidak akan mencapat puncak Fujisan pada saat sunrise. “It doesn’t matter if we couldn’t reach sunrise at the top.” kata Felicia. Saya mengangguk, setuju.

Namun alam nampaknya sangat baik pada semangat kami hari itu. Tepat ketika saya melewati Fujisan torii gate, matahari berwarna emas perlahan-lahan muncul di angkasa.  Warnanya yang kemerahan memberikan semburat keindahan di antara warna pagi yang masih sunyi. Semburat emas kemerahan yang menghiasi langit membuat pemandangan Kawaguchiko-lake samar-samar muncul di antara kabut pagi.

Saya langsung melempar ransel biru saya ke tanah.  Mengangkat kepala saya ke angkasa, memandang keindahan langit Fujisan yang yang begitu indah. “Thanks God…. for the majestic!” kata saya dalam haru yang menjalarkan kehangatan pada seluruh tubuh.

Saya kemudian ingat pada merah-putih yang masih terlipat rapi di dalam ransel. Dengan tangan bergetar, saya mengikat bendera merah-putih  pada tongkat pendakian Fujisan. “Merah-putih, berkibarlah engkau di puncak Fujisan…..” kata saya dalam hati. Di belakang saya, ribuan orang terheran-heran melihat saya, seorang diri, mengibarkan bendera merah putih.

Tidak lama kemudian, seorang pria mendekati saya. “Are you Indonesian?” tanyanya. “Yes, I am.” jawab saya mantap.

“Merah-putih!!!!” katanya lalu mengambil tongkat bendera saya dan mengibar-ngibarkannya ke udara. Orang-orang semakin heran melihat tingkah kami berdua.

“Today is our country’s independence day! Today is Indonesia independence day!” serunya menjawab keheranan orang-orang di sekitar kami. Orang-orang itu kemudian tersenyum, dan ikut mengabadikan keberadaan bendera merah putih melalui kamera mereka.

“Tunggu ya Mbak, sebentar lagi ada teman-teman Indonesia yang akan mencapai pucak Fujisan. Ayo kita kibarkan merah-putih bersama-sama!!” seru pria itu penuh haru.

Maka hari itu, 17 Agustus 2013, disaksikan ribuan orang dari berbagai belahan dunia……….. merah-putih berkibar di puncak Fujisan.  Inilah merah putih yang bisa menyatukan anak bangsa. Happy Independence Day, INDONESIA!! Without you, I would never reached the top of Fujisan [fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][DPN, 2013].

[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

Sambil mengamati patung St. Francis Xavier di dekat St. Paul’s Church yang tua dan bersejarah, teringat bagaimana Thiago mengolok-olok saya. “Looser! looser!” begitu katanya menertawakan saya yang gagal mencapai garis finish penelusuran hutan damar minyak di puncak bukit Bendera tempo hari.

“You’re looser!” jawab saya tak mau kalah. Sebenarnya yang diolok-oloknya adalah dirinya sendiri karena kami jalan bersama, maka gagal bersama.

Candaan saya dan Thiago membuat Tika berpikir, “Sepertinya kita harus membuat tingkatan seorang pecundang.” Looser pertama adalah untuk mereka yang berbalik arah karena tak kuat melangkah di Penang Hill. Looser kedua adalah untuk mereka yang lari meninggalkan Singapura lebih awal karena mahal yang menjerat (Hahaha, saya dan Tika juaranya!). Dan nampak-nya hari ini, saya menemukan looser tingkat tiga, yakni: bagi mereka yang takut pada perjalanan pulang. Ketiganya muncul bergantian pada diri ini, namun saya belum berhasil menemukan mana di antara ketiganya yang paling kuat melekat.

*

Awan kelabu menyelimuti langit sungai Melaka keesokan hari-nya. “It’s rain…” kata saya pada Mr. Germany, seorang kawan baru, sama-sama pendatang di tanah Melaka. Dia menjawab, “Ah, just rain..”

Hujan masih rintik-rintik membasahi kota ketika kami memulai berjalan to explore around. Menyusuri sungai Melaka mengingatkan saya pada sebuah perjalanan yang hakikatnya adalah sebuah perpindahan meninggalkan zona nyaman.

Melaka adalah kota tua, salah satu pusat perdagangan Asia. Dulunya kota ini dipenuhi oleh orang-orang Portugis yang membangun berbagai zona pertahanan. Orang-orang Portugis berlalu, digantikan orang-orang Inggris yang menyempurnakan berbagai tatanan untuk melindungi masa depan. Untuk apa semua pertahanan-pertahanan ini? Semata-mata untuk melindungi diri dari musuh-musuh yang mungkin datang menyergap sewaktu-waktu.

Orang-orang Portugis dan Inggris berpindah, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari sebuah zona nyaman, ke zona lainnya yang antah berantah. Sampai pada suatu kota, suatu Negara, memulai orientasi, beradaptasi, lalu tinggal mendiami. Itulah drama penjajahan yang terjadi.

Di pinggir sungai Melaka, saya sempat berpikir, apa arti kehadiran saya di sini? Ini adalah sebuah perjalanan dalam mencapai daftar-daftar destinasi yang dinanti. Setelah meninggalkan rumah sebagai zona nyaman, saya menemukan zona nyaman lainnya, yakni: perjalanan itu sendiri. Namun saya tahu, keberadaan saya di sini hanya untuk sementara waktu. Setelah ini saya akan berpindah, tak lagi menatap pagi di antara kepak sayap burung-burung yang menghiasi langit kota.

Malam tadi ibu mengirim pesan, “Kapan pulang?” Dalam hati saya menjawab, akankah pulang. Pada pinggir sungai Melaka saya telah menambatkan hati. Ingin rasanya melanjutkan perjalanan ini, mencapai daftar-daftar destinasi yang selama ini menjadi mimpi. Vietnam, Myanmar, India, Nepal, Peru……

*

Tawa Thiago masih berbekas, “Looser. Looser.” Ya, betapa pecundangnya saya bila menyerah dalam langkah ini. Bukankah pulang juga bagian dari sebuah perjalanan? Sambil menatap gelombang air yang menuju Selat Melaka, saya berharap suatu saat bisa kembali menyusuri waktu dalam sebuah perjalanan menuju tempat-tempat yang dituju.

Read more

Prologue:

Sesuatu itu telah pergi. Pada bayangan yang masih tersisa, air mata jatuh tak tertahan. Ibu mengelus lembut kepala saya. “Tidak apa, tidak apa. Jangan lagi menangis, perjalanan harus tetap dilanjutkan…..” Ada kalanya kesedihan datang menerjang, namun perjalanan harus tetap dilanjutkan.

*

Satu rangkulan dari seorang kawan di pulau Penang melepas saya dan Narastika untuk melanjutkan perjalanan. Sempat bergurau pada Tika, “Ah, kita terlalu banyak tertawa. Jangan-jangan habis ini menangis.” Tawa dan tangis, keduanya adalah bagian dari perjalanan. Dan kita harus siap dalam tiap detilnya.

Bus yang kami tumpangi melaju larut malam. Udara dingin dari air-conditioner sungguh mengganggu. Walau tak kuat menahan dingin, namun rasanya sudah tak sabar ingin segera melempar tubuh di atas coach, merebahkan diri, dan tidur.

Saat bus mulai bergerak meninggalkan kota tua George Town di pulau Penang, terbayang di kepala kepingan-kepingan cerita bagaimana saya dan Narastika, bersama Thiago dan Hudson, dua kawan baru, menyusuri bukit bendera, mendaki temple Kek Lok Si yang tinggi menjulang, menikmati laksa dan berlomba menghabiskan es kacang……… kepingan-kepingan itu mengingatkan saya pada perjalanan kehidupan yang sering kali “up-and-down” bak roller coaster. Ada kalanya kita bertemu dan tertawa, ada kalanya harus berpisah, kembali pada alur perjalanan masing-masing. Semua pikiran ini menghantar saya terlelap dalam tidur yang panjang. 8 jam menuju Singapura!

Terbangun ketika supir bus berteriak-teriak, “Passport! Passport!”

Bersama puluhan penumpang lainnya, saya berlari menuju kantor imigrasi. Mengantre di antara ratusan orang, lengkap sambil membawa tas-tas besar berisi pakaian dan kamera. Matahari pagi menyambut kedatangan kami. Baru saja saya duduk kembali di dalam bis, mengintip deretan mobil (mereka menyebutnya sebagai kereta) yang berbaris padat memasuki garis batas antar negara, supir bus kembali berteriak, “Passport! Passport!”

Rangkaian cerita yang terjadi selanjutnya sungguh diluar dugaan. Petugas immigrasi Singapura berwajah garang, bersenjata laras panjang, dengan sepatu boot semata kaki, menggiring saya dan Narastika masuk ke dalam lift, menuju ruang yang kaku dan dingin.

Tak ada senyum atau sapa, hanya deretan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul dari layar monitor yang harus segera kami jawab. Tak kurang dari 70 pertanyaan secara terus menerus dilontarkan. Pertanyaan-pertanyaannya seputar aktifitas saya, seperti apakah saya pernah terlibat dalam tindak kriminal, pencurian, pembangkangan, ikut serta dalam kelompok-kelompok penjahat (mereka menyebutnya: slek-slek pengganasan), dsb. Awalnya saya anggap pertanyaan-pertanyaan ini mudah, namun setelah ditanyakan berkali-kali rasanya frustasi sendiri (dan malah kepikiran mau berbuat kejahatan sekalian saja, hehehehe). Tangan saya dan Narastika secara bergantian ditempelkan pada sensor, telinga kami dipasangkan headset. Introgasi yang panjang dan berulang-ulang.

Setelah introgasi usai, seorang petugas bandara bertampang Melayu dengan kepala plontos dan tubuh tambun berbicara pada saya dalam bahasa India, kemudian Arab, kemudian Filipina.

What? What? Sorry, I dont understand!” kata saya membuyarkan tebak-tebakannya.

“Aaa….. Indonesya? Indonesya?” tanya-nya, masih berteka-teki. “Saya kira Filipina,” kemudian dia terkekeh dengan leluconnya sendiri. “Oke, follow him.” petugas itu kemudian mengarahkan saya pada petugas bandara lainnya lagi yang berusia lebih muda.

Petugas itu membawa saya bertemu dengan seorang wanita bermata sipit. Katanya kepada wanita itu, “Normal, everything is normal.”

“Normal??” wanita itu tidak percaya.

“Yes, normal.” katanya sekali lagi.

Saya mulai kesal. Apakah saya nampak tidak normal sehingga harus diuji kelayakan?

Setelah sekitar 2 jam berbelit-belit di kantor Imigrasi, akhirnya petugas bandara berkepala plontos membubuhkan cap pada passport saya. Sebuah cap yang melegalkan keberadaan saya di Negara pesemakmuran Inggris ini.  Petugas bandara memberi keterangan pada data passport saya sebagai, “First timer.” Seorang pendatang baru. Saya dan Narastika-pun dilepaskan. Menghirup udara Singapura untuk pertama kalinya.

“Sial, kita jadi kelinci percobaan alat baru!” keluh Narastika.

Ya, dan bisa jadi kami dituduh buronan Indonesia yang lari ke Malaysia, kemudian Singapura.

Belakangan saya baru tahu bahwa jarang sekali ada turis yang menumpang bis untuk mencapai Singapura. Biasanya para turis itu naik pesawat, kapal feri (paket wisata Malaysia), ataupun kereta. Berhubung saya dan Tika adalah turis irit, maka kami memilih menumpang bis dari Penang. Bis yang kami tumpangi adalah bis yang biasa digunakan oleh para immigran antar Negara. Maklum murah bo, harga tiketnya sekitar 30 RM! 😀

Gara-gara insiden ini, saya dan Narastika ketinggalan bus yang tadi kami tumpangi.  “Kita sih kebanyakan tertawa….” kata Narastika. Saya meresponnya dengan gelak tawa. Lagi-lagi tertawa! Hahahaha. Hari yang penuh misteri!

Berbekal tanya sana-sini, akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan dengan MRT yang bergerak cepat. Deretan manusia bergadget canggih dalam MRT menyambut kedatangan kami. Laki-laki, perempuan, tua, muda, berpakaian sekolah, bergaya fashion, berpakaian dinas…. semua menggenggam minimal satu gadget di tangan, menyumpal kuping dengan headseat, larut dalam dunianya masing-masing. Inilah wajah-wajah Singapura yang menyambut kedatangan kami pada hari yang terik. Selamat pagi, Singapura!

*


Epilog:

“Dalam perjalanan, kadang kala kita tertawa atau menangis. Namun, kita harus selalu siap,” kata ibu. Tangannya masih membelai lembut kepala saya, hingga saya terlelap.

Read more

Puluhan lelaki tua dengan motor-motor tua berkumpul di pesisir pantai kota tua George Town di pulau Penang. Mereka berbicara dalam bahasa China tua yang tidak saya pahami, membaca koran dengan aksara China, dan sebagian memandang jauh ke laut lepas yang bergelombang.

Sempat bertanya-tanya, apa yang sedang mereka lakukan di sini. Seorang kakek berkata pada saya, “Untuk bersantailah! Siapa tak suka di sini! Banyak angin lah…. di rumah terus, penatlah!” Tangannya direntangkan ke udara, pandangannya menatap ke angkasa meresapi sinar matahari yang menyinari kota.

Saya mengerti, kota tua George Town, Penang, memiliki matahari yang bersinar panjang. Thiago Vilas Boas, seorang teman asal Brazil, mengatakan, “Two things you can always expect from Penang: the most delicious food and the most beautiful sunset.”  Makanan yang lezat dan matahari sore yang bersinar indah. Inilah yang membuat banyak orang rindu kembali ke pulau Penang. Termasuk Thiago, kawan saya itu. Enam bulan lalu dia sudah pernah ke Penang, lalu kembali lagi. Untuk apa? “Untuk makan,” jawabnya sambil terbahak. “Saya suka kota ini… Saya suka orang-orangnya, saya suka makanannya.”

*

George Town merupakan ibukota Penang, Malaysia. Dulunya kota ini dikenal dengan nama “Tanjung Penaga (Cape Penaigre) kemudian berubah menjadi George Town, yang berasal dari nama Raja Inggris, George III. Sejarah mencatat George Town sebagai salah satu kota pelabuhan yang penting pada masa pendudukan Inggris. Kota ini merupakan pusat perdagangan expor-impor, pusat pelayaran, dan dikenal sebagai kota komersial bersejarah. Sejak tahun 2008 George Town, Penang, terdaftar sebagai situs warisan dunia.

Tidak sulit untuk sampai di George Town. Walaupun terletak di sebuah pulau kecil bernama pulau Penang, kota ini memiliki bandar udara bernama Penang International Airport yang berfungsi sebagai bandar udara utama Malaysia setelah Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Selain itu, kota ini memiliki kapal feri yang berlayar setiap hari dan berlabuh di Butterworth, dan juga jembatan bernama Penang Bridge yang menghubungkan daratan pulau Penang dan Seberang Perai.

Pagi buta, pukul 5 saya menumpang kapal Feri untuk mencapai George Town. Beberapa orang sudah menunggu kapal yang sama di pelabuhan. Sebagaian yang saya lihat adalah pekerja dan anak-anak sekolah. Tiak lama menunggu, kapal feri datang menjemput kami. Kapal feri yang sudah beroperasi sejak tahun 1920 ini tergolong masih terawat apik dan bersih. Kapal feri ini lah penghubung dunia luar George Town dengan berbagai potensi klasik yang dimiliki kota ini.

*

Pukul tujuh sore, lampu-lampu berwarna kuning berpendar menghiasi Penang City Hall. Sebuah kesan yang membangkitkan kenangan akan masa lalu. George Town adalah satu kota yang dipercaya UNESCO berhasil merawat sisa-sisa peninggalan melalui gedung-gedung tua-nya yang terawat apik, dan kota ini pun terus menata diri menyambut masa depan. Promosi pariwisata, peraturan-peraturan daerah yang melindungi warisan leluhur, penerbangan international yang sudah dibuka. Semua demi kemajuan pariwisata Pulau Penang.

Government encourage people to speak in their own language. Maka banyak China berbicara China, India berbicara India, Melayu berbicara Melayu. Tak harus berbicara Inggris,” kata seorang pria yang saya temui di tempat penginapan.

Dia kemudian menjelaskan, “Semua bangunan, herritage. Tak boleh diubah. Jalan-jalan dibuat untuk sepeda dan rickshaw. Bukan lah untuk kereta.” Kereta yang dimaksud adalah kendaraan beroda empat, orang Indonesia menyebutnya sebagai mobil. Pantas begitu banyak lorong-lorong sempit yang melilit di antara bangunan-bangunan tua George Town city. Lorong-lorong ini menjaga dimensi waktu tetap bertahan hingga anak cucu.

Di hadapan saya angin berhembus semilir. Burung-burung terbang mengudara. Anak-anak tertawa lepas di atas ayunan. Orang-orang tua berbincang-bincang sambil memandang panorama laut. Matahari yang cerah! Sore yang indah!

Your handbag! Your handbag!” seorang pengendara rickshaw berteriak-teriak pada saya. “Kau pegang itu handbag! Hati-hati lah, di sini berbahaya!” katanya dengan logat Melayu yang kental.

Saya langsung menangguk sambil mengucapkan terimakasih. Karena sibuk memotret, saya meninggalkan tas di ujung kursi sana.

Angin pantai mengibaskan rambut. Hampir saja saya terlena dengan keramahan kota ini higga tak berhati-hati menjaga barang bawaan. George Town city, engkau sungguh mempesona…..

Read more