Europe

“Hi, Ann, saya ingin membeli dekorasi natal. Mau ikut?” saya mengirim pesan singkat ke Ann, mahasiswi asal China, sekaligus flatmate saya di London.

“Saya di Angel nih. Kalau kamu mau, saya bisa menunggu kamu di sini,” jawabnya.

Saya melirik jam tangan. Saat itu sudah tengah hari, tapi suasananya masih seperti pukul 06.30 pagi. London memang sering berkabut akhir-akhir ini, tanda datangnya musim dingin. Warna langit jadi abu-abu seperti masih pagi.

Daripada suntuk di rumah, saya memutuskan menyusul Ann yang sedang berada di pusat perbelanjaan Angel, yang jaraknya hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari flat.

Di Angel, Ann dan saya saya membeli dekorasi natal seperti lampu hias, topi santa clause dan bando rusa. Rencananya, dekorasi natal ini akan dipakai untuk menghias dapur. Malam ini, bersama Ann, dan tiga flatmates lainnya, yaitu Camila (Amerika Serikat), David dan Bill (Inggris), kami akan makan malam untuk merayakan natal.

Bill janji masak menu tradisional Inggris. Agar acara makan malam terasa  semakin berkesan saya berinisiatif memasang dekorasi natal. Seusai berbelanja, Ann dan saya melihat seorang pedagang menjual pohon natal. Harganya hanya 5 pounds.

“Gimana kalau kita beli?” kata Ann.

“Kamu mau beli?” saya bertanya. Ann mengangguk.

Akhirnya saya memboyong pohon cemara setinggi satu meter, sementara Ann membawa dekorasi natal. Saya memegang pohon dengan kedua tangan saya. Ukurannya yang besar menutupi badan saya sehingga terlihat seperti pohon hidup yang berjalan. Di saat-saat seperti ini, saya jadi rindu dengan layanan pesan antar di Indonesia. Kalau di Inggris, belanja apapun harus dibawa sendiri. “Saya tidak bisa melihat. Mata saya tertutup pohon,” kata saya.

“Nanti saya kasih aba-aba kembali ke flat,” kata Ann, sambil tertawa.

Di flat, saya dan Ann sibuk menghias pohon natal. Sementara Bill memasak makan malam tradisional khas Inggris, terdiri dari ayam panggang, kentang, gravy, pig in blankets, dan sayur-sayuran, termasuk sproutsyang bentuknya menyerupai wortel dengan warna kuning seperti kentang. Ia juga menyiapkan makan malam penutup berupa menu tradisional Christmas pudding.

Ketika Bill sedang sibuk menyiapkan ayam panggang, David menata meja makan. Ia menyiapkan piring, gelas, garpu, dan pisau makan. Selama tinggal di Inggris, saya menyadari urusan dapur itu bukan hanya milik perempuan. Laki-laki di Inggris banyak yang jago masak, seperti Bill dan David. Untuk urusan kebersihan dan kerapian di dapur, saya juga banyak belajar dari mereka. Setiap kali masak, mereka selalu mencuci peralatan masak dan membersihkan kompor. Setelah semua bersih, baru deh menikmati makanan. Jadi, enggak ada tuh cucian piring menumpuk.

Begitu makanan sudah siap, empat teman dan saya duduk bersama mengelilingi meja makan. “Ini namanya, natalan! Ketika semua orang berkumpul di meja makan,” kata Camila, mahasiswa asal Amerika Serikat keturunan Palestina.

Makan malam diawali dengan menikmati white winesambil melahap aneka camilan sebagai makanan pembuka. Selanjutnya, menikmati hidangan utama yang sangat lengkap terdiri dari karbohidrat, protein, dan sayuran. Rasanya lezat sekali! Apalagi ketika Ann menawari saya sambal yang dia bawa dari China, sempurna sudah!

Saya agak terkejut ketika David menyodori cranberry source untuk campuran makanan utama. “Hah, cranberry sauce untuk makanan utama?” tanya saya polos. Setahu saya, cranberry sauce biasa dipakai untuk olesan roti tawar, bukannya digabung dengan daging dan sayuran. Meski awalnya terasa agak tidak biasa, tapi ternyata cranberry sauce terasa nikmat bercampur dengan salad, ayam panggang, dan sambal. Pedas, asin, asam, manis. Nano-nano rasanya, tapi menyatu sempurna.

Setelah menikmati hidangan utama, saatnya melahap makanan penutup, yaitu cheesecake dan Christmas pudding. Untuk membuat makanan penutup tambah berkesan, Bill menuang brandy di atas pudding. Ia menyalakan korek sehingga muncullah api di atas pudding. Semua orang bersorak takjub dan bahagia.

Sambil menikmati makan malam, teman-teman dan saya membicarakan banyak hal, mulai dari kebiasaan natal di masing-masing negara, makanan favourite, hingga astronomi. Di meja makan, semua membaur seperti keluarga. Warna kulit berbeda-beda, aksen dan intonasi ketika bicara juga punya warna dan coraknya sendiri, tapi natal menyatukan yang berbeda-beda ini menjadi saudara.

Saya jadi teringat tahun lalu, ketika merayakan natal dengan keluarga dalam hati saya membantin: “Mungkin tahun depan saya tidak ada di Indonesia. Mungkin tahun depan saya akan studi di luar negeri dan merayakan natal dengan teman-teman baru.” Kata-kata adalah doa. Kesempatan kuliah di Inggris dan menjalin persahabatan dengan mahasiswa-mahasiswa internasional menjadi kenyataan.

Read more

Negara Indonesia dan Inggris mempunyai banyak kesamaan, salah satunya dalam hal keberagaman agama dan etnis. Keberagaman ini adalah bukti kekayaan manusia, meski tak jarang justru menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Untuk mengingatkan pentingnya kerukunan, seorang seniman menggambar mural di Shoreditch, London, yang fenomenal dan membuat daerah ini menjadi terkenal.

Daerah Shoreditchdulunya adalah tempat tinggal kelas pekerja dan termasuk daerah termiskin di London. Kini, Shoreditch menjelma menjadi daerah pertokoan yang unik dan nyentrik. Di daerah ini terdapat banyak pub, kafe, dan restaurant.

Sejak dari Shoreditch Overground Station, karya seni jalanan berupa gambar dan tulisan sudah terlihat. Dari stasiun, apabila belok ke kiri terlihat deretan pertokoan yang menjual barang-barang vintage. Sementara di sebelah kanan, pemandangan karya seni jalanan menemani sepanjang jalur di bawah terowongan dari Braithwaite Street menuju Spitalfields.

Karya seni dibuat dengan berbagai macam teknik, bentuk, dan warna. Ada karya berupa tempelan stiker di halte bus, rambu-rambu jalan, atau pagar. Ada juga deretan kata dan coretan gambar yang saling menumpuk dengan karya lainnya.

Teknik melukis dibuat beraneka macam, ada yang menggunakan cat tembok dan kuas rol, ada pula yang diciptakan dengan menggunakan cat semprot. Sementara karya yang menempel berbentuk tulisan, foto wajah, kartun, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan sejarahnya, lukisan di dinding atau yang biasa disebut mural sudah muncul sejak ribuan tahun lalu. Di Shoreditch, mural dan graffiti muncul pada akhir 1990-an. Dulunya, gambar-gambar di daerah ini dianggap vulgar dan kotor. Lambat laun, satu gambar menggantikan gambar lainnya hingga terciptalah coretan-coretan dinding seperti sekarang.

Karya seni jalanan di Shoreditch menjadi ciri khas daerah tersebut. Karya dibuat seiring pergolakan politik dan kondisi sosial masyarakat lokal maupun internasional. Lukisan-lukisan dinding ini dibuat sebagai ruang komunikasi, serta bentuk eskspresi dan kreativitas.

Jalur yang paling terkenal di Shoreditch bernama Brick Lane, yang merupakan surga karya seni jalanan. Di daerah ini terdapat karya yang cukup terkenal berupa gambar dua orang berwarna hitam dan putih yang bergandengan tangan. Orang yang berwarna hitam dibuat seperti memakai cadar, mewakili komunitas Islam. Sementara orang yang putih mewakili kelompok Kristen Inggris. Mural karya Stik ini menggambarkan persahabatan antara agama.

Karya itu menjadi penting karena di Inggris sering muncul peristiwa diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok minoritas Muslim. Seperti di banyak tempat lainnya, agama selalu dianggap sumber perselisihan. Padahal, kalau mau dirunut, selalu ada hal lain yang melatar belakangi konflik. Di Inggris, konflik terhadap komunitas Islam sudah muncul sejak perang dunia kedua. Saat itu, banyak orang kulit putih yang kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan seusai kembali dari perang. Kedatangan orang-orang Somalia yang beragama Islam dianggap telah merebut peluang masyarakat lokal. Konflik ini, ditambah dengan perubahan iklim politik global, dan dinamika nasional, termasuk meningkatkan Islamophobia, membuat diskriminasi terus berlanjut dan dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang.

Apalagi, sejak ada peristiwa global, seperti serangan 11 September 2001 di New York, ledakan bom 2004 di Madrid, dan ledakan bom 2005 di London, orang-orang Islam yang tinggal di negara-negara barat, sering mengalami pelecehan dan diskriminasi. Karya yang dibuat oleh Stik pada Mei 2010 itu kemudian menjadi oase di tengah padang gurun kemanusiaan. Karya itu cukup ikonik karena membawa pesan penting yaitu harmoni dan integrasi yang menjadi ciri khas negara Inggris. Meski usia gambar sudah lebih dari satu dekade, tapi pesannya tetap relevan hingga kini.

Karya yang ada di Shoreditch banyak yang menonjolkan hiburan dan kreativitas, tapi tak jarang ada karya yang mempunyai pesan mendalam. Karya-karya itu dibuat sebagai sarana menggalang solidaritas. Sejak muncul gerakan Black Live Matters, para seniman juga merespons isu tersebut dengan menciptakan karya di jalanan.

Neequaye Dreph Dsane, atau yang biasa disapa “Dreph”, misalnya, menciptakan serangkaian potret yang menampilkan wanita kulit hitam yang tinggal di lingkungan tempat mural mereka berada. Foto-foto yang digambar bukanlah wajah orang terkenal, tapi masyarakat biasa. Fitur wajah yang digambar sebagain terlibat dalam pendidikan, advokasi, desain, atau karya kreatif dari kelompok masyarakat minoritas. Dari wajah-wajah ini, sang seniman ingin memberi inspirasi mengenai pahlawan sehari-hari yang ada dan tinggal di antara kita.

Ketika mural dan graffiti banyak dihapus di berbagai tempat di dunia, di Shoreditch, keberadaan karya seni jalanan justru dirayakan. Coretan dinding dipelihara sebagai identitas kota, ruang untuk menumpahkan keresahan, panggung seni dan kreativitas, serta sarana menjaga solidaritas sebagai sesama manusia.

Read more

dari Brussels, Belgia

Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga, seperti Olimpiade, juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.

Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban, di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa (UE) menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara di luar UE.

Ada tiga rencana kerja UE terkait olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE mem-
bentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.

Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.

Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun 2017-2020. Program yang dibuat, misalnya, pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.

Esteban mengakui, jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Namun, ini masih dalam proses,” katanya.

Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.

Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.

Asian Games

 

Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.

Berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagai informasi, anggaran Kemenpora sebesar Rp 1,951 triliun, jauh dari total belanja negara mencapai Rp 2.439,7 triliun di dalam RAPBN 2019. Adapun anggaran yang dipakai untuk peningkatan prestasi olahraga hanya Rp 986,284 miliar.

Bukan hanya terkait besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, untuk memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.

Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus kepada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.

”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” ucapnya.

Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.

”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima semua lapisan masyarakat,” tuturnya. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 24 April, 2019

Read more

Setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, 17 April lalu, giliran Uni Eropa mengadakan pemilu parlemen Eropa pada 23 Mei 2019. Sebelum seluruh mata dunia tertuju pada pemilu Eropa, Kompas berkesempatan mengintip ruang kerja politikus dan jurnalis di markas UE di Brussels, Belgia.

Ada empat tempat utama yang dikunjungi atas undangan delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam itu, yaitu Kantor Parlemen Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, dan Layanan Tindakan Eksternal Eropa (European External Action Service/EEAS). Hampir semua kantor institusi UE berada di kawasan yang berdekatan di Schuman Roundabout. Dari satu kantor ke kantor lain cukup ditempuh dengan jalan kaki, seperti berada di kawasan Asia Afrika, Jakarta Pusat.

Kantor-kantor itu tidak hanya menjadi tempat kerja pemimpin negara dan politikus dalam menyuarakan kepentingan negaranya, tetapi juga ruang jurnalis berjibaku meliput, mewawancarai narasumber, dan mengabarkan informasi lintas sektor ke seluruh dunia. Untuk membantu kerja jurnalis, Komisi Eropa rutin menggelar konferensi pers. Senin (8/4/2019) itu, konferensi pers membahas kebijakan perlindungan petani sebagai dampak Brexit, kecerdasan buatan, dan potensi gangguan keamanan siber jelang pemilu Eropa.

Hari itu, udara Brussels dingin dengan suhu 4 derajat celsius. Namun, materi konferensi pers yang serius dan melibatkan banyak kepentingan membuat suhu hangat.

Saat konferensi pers, rombongan jurnalis Indonesia ditempatkan di kursi barisan paling belakang bersama jurnalis dari Polandia yang juga sedang melakukan kunjungan kerja. Kami memakai tanda pengenal bertuliskan ”observer”. Di mimbar, staf Uni Eropa mengumumkan kunjungan jurnalis. ”Mari kita sambut kedatangan jurnalis Indonesia,” katanya.

Dengan malu-malu, jurnalis Indonesia berdiri dan melambaikan tangan kepada rekan-rekan jurnalis asing. Siapa saja bisa mengikuti konferensi pers, tetapi hanya jurnalis terakreditasi yang diperkenankan mengajukan pertanyaan.

Untuk meliput kegiatan di Parlemen Eropa, jurnalis juga perlu mengurus akreditasi. Saat ini, terdapat 1.000 jurnalis terakreditasi di lembaga itu. Jumlah ini hampir sama dengan jurnalis peliput kegiatan Pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih, Washington DC, AS. Bedanya, kebanyakan jurnalis di Washington DC berasal dari negara-negara di luar AS, sedangkan di Brussels mayoritas dari negara-negara UE.

Parlemen Eropa mempunyai tim khusus untuk membantu kerja jurnalis. Tim ini bertugas mendampingi jurnalis dan menyediakan informasi berdasarkan fakta. Setiap petugas mempunyai spesialisasi di bidang khusus, seperti hubungan internasional, kesetaraan jender, dan antidiskriminasi. Mereka juga menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris.

Jurnalis yang sudah terakreditasi di Parlemen Eropa berhak meliput, menghadiri konferensi pers, mewawancarai narasumber, dan menggunakan fasilitas kerja yang tersedia. Fasilitas di Parlemen Eropa sangat lengkap dan dapat digunakan oleh reporter, jurnalis televisi, dan jurnalis radio. Fasilitas yang disediakan mulai dari rekaman multimedia, infografis, suara, galeri foto, radio, dan studio televisi. Layanan audiovisual juga menyediakan transmisi langsung ke rapat komite dan pleno. Semuanya ini bisa diakses secara gratis.

Parlemen Uni Eropa juga rutin mengadakan konferensi pers yang terbagi menjadi tiga, yaitu menjelang, di antara, dan setelah sidang. Konferensi pers menjelang sidang dilakukan untuk memberikan latar belakang informasi kepada wartawan mengenai materi yang akan diliput. Konferensi di antara sidang untuk memberikan informasi terkini jalannya persidangan. Konferensi pers setelah sidang menginformasikan kesepakatan negara-negara UE.

Selama sidang berlangsung, anggota parlemen dari 28 negara anggota UE dapat berkomunikasi dengan memanfaatkan penerjemahan dalam 24 bahasa. Jurnalis juga bisa menyaksikan jalannya sidang di tempat yang disediakan serta dimanjakan siaran pers dan artikel dalam 24 bahasa.

Juru Bicara Parlemen Eropa Jaume Duch Guillot mengatakan, Uni Eropa menghadapi tantangan lebih serius dari sebelumnya sehingga membutuhkan media independent dan kuat untuk membantu masyarakat memahami isu dan tetap terhubung dengan perwakilan terpilih. “Oleh karena itu, Parlemen Eropa mengutamakan keterbukaan dan kekuatan interaksi dengan masyarakat dengan menyediakan fasilitas dan layanan untuk media,” kata dia. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 21 April 2019

Read more

Narastika dan saya sama-sama hobi bervakansi. Pada 2010, kami mendapatkan beasiswa pertukaran pemuda ke Luton, Inggris. Meski program itu melarang peserta traveling ke kota lain tanpa asistensi dari supervisor, kami nekat ngetrip ke London (sekitar 50 kilometer dari Luton).

Di London, kami menyusuri Sungai Thames, menikmati keindahan arsitektur Istana Buckingham yang megah dan mewah, menonton drama musikal Shakespeare di Globe Theather, meresapi kehidupan malam di sekitar London Eye, berfoto dengan mannequin, dan melakukan banyak hal lain.

Malam itu, dengan rasa haru dan gembira luar biasa, kami pulang ke Luton naik kereta cepat. Sepanjang perjalanan, Narastika dan saya menahan dingin karena tubuh kami hanya dibalut jaket tipis. Kami juga menahan lapar karena tidak sanggup membayar makanan paling murah di Chinese Food Restaurant di London. Meskipun kere, tetapi hore!

Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.

Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.

Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan. Namun, saya yakin, seperti jodoh (kayak ngerti ajaa hehe), cocok atau tidaknya dengan teman seperjalanan bisa dibangun. 🙂

Sejak delapan bulan sebelum perjalanan, Narastika dan saya sudah mempersiapkan jalan-jalan hemat di Negeri Sakura. Kami mengatur itinerary, mencari hotel, memesan tiket pesawat dan tiket kereta dan bus lokal, dan memasang target lulus kuliah! (FYI, demi bisa traveling setelah lulus kuliah saya mengerjakan skripsi dalam waktu tiga bulan! :D)

Dari mengatur itinerary, sebenarnya sudah terlihat bagaimana perbedaan sikap Narastika dan saya dalam memandang perjalanan ini. Narastika sungguh well-organized, dia mengatur itinerary perjalanan tidak hanya hari-per-hari, tetapi jam-per-jam! Dia juga mengatur rencana penginapan dan transportasi dengan sangat detail. Hal ini sungguh-sungguh berbeda dengan saya, yang super berantakan!

Kalau bepergian, saya hanya punya gambaran besar dan kasar mengenai kota yang ingin saya kunjungi dan berapa lama saya akan tinggal di sana. Saya sama sekali tidak memikirkan, seharian (dari jam-per-jam) mau ngapain aja, yang ada di benak saya: “Lihat nanti saja deh mau mengunjungi apa! Tergantung mood!” Tetapi, Narastika kekeuh jadwal harus fixed sebelum berangkat karena akan mempengaruhi budget. Baiklaah, saya menyerah. Dan kami pun menyusun itinerary secara rigid.

Dalam diskusi, saya memberi beberapa destinasi yang ingin saya kunjungi. Narastika yang akan memasukkannya dalam tabel-tabel itinerary disesuaikan dengan budget dan kondisi geografis.

Sesampainya di Jepang, perbedaan sikap kami semakin terasa. Narastika bergerak disiplin mengikuti jadwal, sedangkan saya lebih acak, dan mau menikmati slow-journey dengan, misalnya, berlama-lama menghayati sejarah Kota Hiroshima, berdialog dengan masyarakat setempat seperti para tukang becak Jepang, mencicipi makan makanan lokal, dsb. Saya sempat bete karena merasa hidup seperti diatur-atur dengan itinerary. Narastika juga pasti bete karena gerak saya super lambat dan mood mudah berubah-ubah. 🙁

Dari perjalanan ini, saya sadar, tantangan dalam perjalanan bukanlah keterbatasan bahasa atau uang atau waktu dan sebagainya, tantangan dalam perjalanan adalah membangun toleransi dan komunikasi dengan orang lain agar perjalanan menyenangkan! Sekalipun ada yang mengklaim sebagai solo traveler, bukankah kita tidak akan pernah betul-betul sendirian dalam perjalanan?

Lalu apakah langkah Narastika benar karena menyiapkan perjalanan dengan lebih detail sedangkan saya salah karena tergolong orang yang acak dan tidak terjadwal?

Beberapa orang mungkin suka gaya traveling teragenda, beberapa orang lain suka style travelling yang spontan. Dalam perjalanan tidak ada yang lebih benar atau lebih salah karena semua keputusan yang diambil tergantung situasi dan kondisi.

Persiapan sebelum trip memang penting, tetapi spontanitas dan fleksibilitas juga sangat dibutuhkan.Ketika dua kepala memiliki isi otak yang berbeda, akhirnya masalah yang timbul adalah keinginan pribadi tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Misalnya, saya sangat ingin naik Gunung Fuji. Sementara Narastika sama sekali tidak tertarik naik gunung. Untungnya, perbedaan ini tidak berujung pada percekcokan, adu mulut, jambak-jambakan, bete-betean, dan akhirnya malah jadi ngegosipin keburukan teman di kemudian hari.

Untuk mencegah peperangan (oke, ini lebay :D) kami mencoba sampaikan keinginan pribadi sejelas-jelasnya dan coba mendengarkan travel partner untuk mencari jalan tengah. Akhirnya kami mengambil jalan tengah: saya akan naik Gunung Fuji, sementara Narastika akan city tour di sekitar Tokyo. Ini merupakan jalan tengah yang sempurna, karena dengan berpisah kami bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dan berbagi pengalaman saat bertemu lagi.

Saya sangaaattt senang naik Gunung Fuji, tetapi lebih senang lagi ketika bertemu Narastika lagi di hostel!! Dia menyambut saya dan mengucapkan selamat karena saya sukses mengibarkan bendera merah putih di Puncak Fujisan! AAAAHH, Tikaaa!!! Saya gak mungkin mewujudkan cita-cita ini tanpa kamuuu!! *langsung meweeekkk*

Agar perjalanan menyenangkan, kami juga coba untuk saling mengalah demi memenuhi keinginan teman. Narastika menemani saya ke Shimokitazawa, distrik yang menjual barang-barang antik! Sementara saya menemanik Tika ke kota satellite Yokohama (di sini kami nonton sirkus gratisan! Hahahhaa).

Di Shimokitazawa, kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan…. yekss!! Dulu memang enggak doyan makan ikan, apalagi telur ikan T.T…. Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan….

Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa…. *mewek lagi untuk kesekian kali… hahahhaa)

Dengan berbagi kita tidak akan pernah merugi. Justru mendapatkan banyaaak pengalaman seru dan unik. Setiap kali saya bertemu Narastika, kami akan tertawa sampai perut sakit mengingat banyak hal bodoh yang kami lakukan. Di perjalanan, kami lebih mengenal diri sendiri, dan bisa saling menyesuaikan, atau bahkan terbawa kebiasaan teman.

Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, akhirnya jadi lebih gampang ngobrol dengan orang asing karena terpengaruh kebiasaan saya yang suka sotoy dan SKSD dengan orang lain. Hahahahhaa. Saya yang biasanya bangun siang jadi lebih pagi karena enggak mau ada jadwal perjalanan yang terlewatkan. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk.

Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul “Kepompong”: Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan…”

Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan. 🙂

For Narastika.

Best love, Denty.

Jakarta, 29 November 2016.

Rambutkriwil.com

 

Read more

Siapa bilang sebuah perjalanan selalu terasa menyenangkan? Ada kala-nya kekalutan menyelimuti, ada kalanya keraguan menemani. Rasa-rasa seperti ini membuat saya terpencil di tengah banyak orang asing. Perasaan enggan pun datang menyiksa.

Akhir-akhir ini wajah ibu, ayah, dan kakak sering tergambar jelas di kepala. Di antara hari demi hari yang saya lalui, di antara cerita demi cerita yang selalu diperbarui, seringkali saya berpikir: ah, seandainya saja mereka ada di sini.

Mungkin itu yang dinamakan kepekaan membaca pertanda-pertanda, orang Jawa meyakininya sebagai insting atau nalar untuk berinteraksi.

Malam, pukul 10, saya menekan nomor telpon kakak saya. Dua kali sambungan telpon gagal, tidak ada yang mengangkat. Di Jogja mungkin baru pukul 5 pagi, tapi rasanya tidak mungkin kakak saya masih terlelap. Karena ini bulan puasa, keluarga saya pasti bangun lebih awal untuk santap sahur. Berpikir seperti itu membuat keringat dingin turun membasahi telapak tangan.

Pada sambungan yang ketiga baru saya mendengar suara kakak saya di ujung telpon sana. “Buruan telpon mamah, atau papah,… eh, atau mamah saja!” katanya tergesa.

“Ada apa?” tanya saya panik.

“Udah, cepet telpon saja!” lalu sambungan telpon diputus.

Keringat dingin semakin merembes turun, kali ini mulai membasahi lengan dan leher saya. Terbayang adegan-adegan menakutkan di kepala. Perut saya menjadi keram. Jemari saya mulai bergetar seram. Kemudian saya menekan nomor telpon ibu. Tidak ada jawaban. Telpon tidak tersambung.

Dengan perasaan yang semakin tak keruan, saya menekan nomor telpon ayah. Ibu yang mengangkat. Suara ibu yang begitu pelan dan lirih menjawab sapaan saya di ujung telepon sana.

“Papah sakit…” katanya dengan nada tegar yang dipaksakan. “Sekarang masuk rumah sakit. Sudah ditangani dokter. Kamu tidak perlu khawatir.”

Air mata saya perlahan mulai mengalir membasahi pipi. Saya teringat bagaimana dulu keluarga saya berbondong-bondong mengantar ke bandara. Dengan berbagai petuah “jangan lupa makan tepat waktu”, “jangan lupa minum banyak air putih”, “jangan lupa berdoa”, “jangan lupa memberi kabar” dsb dsb dsb… Kepergiaan saya adalah sebuah kegembiraan dan kekhawatiran yang menjadi satu. Namun kini, bagai bocah cilik yang merengek ingin pulang, yang muncul di pikiran saya adalah bagaimana caranya agar bisa segera kembali ke tanah air. Apa arti semua program ini bila nun jauh di Jakarta sana, ayah terbaring sakit.

Nduk,” kata ibu menenangkan, “program di Inggris, harus jalan terus…”

Ibu memang ibu nomor satu. Dalam berbagai kondisi dan situasi selalu bisa memompakan semangat pada kami anak-anak-nya. Pesan ibu sungguh sebuah oase dalam kesedihan yang datang tiba-tiba.

Ibu lalu menyambungkan telpon ke ayah saya. “Pie kabare, Nduk?” tanya ayah dalam bahasa Jawa. Suaranya begitu lemah, jauh berbeda dengan suara penuh ketegasan yang biasa saya dengar.

“Baik pah, papah gimana?” Sekuat tenaga saya berjuang agar tidak menunjukan lara yang meliputi.

“Ini masih sakit, tapi pasti nanti bisa cepat sembuh… Kamu baik-baik di sana ya.”

“Iya pah, cepat sembuh pah… Sebentar lagi programku selesai, aku segera pulang.”

Tidak lama, telpon dimatikan. Kekalutan menyelimuti hati dan pikiran. Namun seperti pesan ibu, program harus terus berjalan. Tidak boleh berhenti hanya sampai di sini. Dari negri Britania Raya, saya menyadari bahwa kegembiraan dan kesedihan adalah anugrah yang hanya perlu dilalui. Dari waktu ke waktu yang terus berganti, saya hanya bisa berdoa, semoga lekas sembuh, pah… 🙁

Foto Platform 3/4, London, UK by. Longina Narastika

Read more

Saya sering menganggap dia sebagai Mak Lampir. Tawanya membahana, hingar-bingar hingga memekakan gendang telinga. Gerak-gerik-nya gesit, energinya besar, dan tak pernah kenal lelah. Dia sering mengajak saya gelut, membuat tulang belulang ini terasa ingin rontok.

“Rachael, shut up!” sering kali saya membentaknya. Tapi dia tak pernah gentar. Yang paling menyebalkan adalah ketika dia dan Jacob, adiknya, sudah mulai bertengkar. Tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau diam.

Pernah suatu kali Rachael kesal. Dia tidak mau bermain UNO bersama Jacob. Saya katakan padanya, “Baiklah kalau kamu tidak mau bermain UNO bersama adikmu, maka saya tidak mau bermain UNO denganmu,” kata saya terus terang.

Rachael menatap saya dengan mata merah, “I hate you, tante!” katanya marah.

Entah benar atau salah, saya harus mengambil sikap. Saya memutuskan untuk tidak berpihak pada salah satu dari dua kubu ini, walaupun nyatanya sering kali saya berada pada sisi yang berat sebelah. Kadang membela Jacob, kadang mendukung Rachael. Saya mengerti, kedua bocah ini hanya ingin dekat dengan saya, tapi masalahnya mereka tidak ingin dekat satu dengan lainnya. Bagaimana mungkin saya bisa membelah diri demi memenuhi keinginan keduanya?

Walau sering membuat kewalahan, nyatanya Rachael adalah pelipur lara nomor satu di dunia. Seringkali dia menggedor-gedor kamar saya, memaksa masuk dan tidur bersama saya. “No, you can’t stay here,” kata saya mengusir dia keluar.

Please, tante… please…” katanya memelas  sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. “Saya janji tidak akan mengganggu tante…” suaranya lirih. Menggetarkan hati. Membuat iba.

I am not in good mood, jadi kalau kamu tidak bisa diatur, saya akan mengusir kamu keluar!”

Promise, tante…. promise….” jawabnya kegirangan, “Saya tidak akan mengganggu tante.”

Walau sudah diperingati, Rachael tidak pernah menepati. Secara maraton dia ngelitikin saya, menyembunyikan bantal dan sendal saya, memeluk saya hingga saya sulit bernapas…. “Oh Rachael, please…. I give up.” kata saya terengah-engah.

Dengan wajah tak bersahabat, saya merebahkan diri di balik selimut. “Terserah kamu mau ngapain,” kata saya menyerah. Rachael ikut-ikut-an merebahkan diri di sebelah saya. Saya diam, pura-pura tak mempedulikannya.

Bukan Rachael namanya kalau kehabisan akal. Dengan penuh penghayatan Rachael bercerita, katanya:

Alkisah ada seorang anak perempuan yang sering bermain ayunan. Ibu si anak memperingati agar dia tidak bermain ayunan. Katanya, ada banyak anak laki-laki yang akan jongkok di dekatmu demi melihat pakaian dalam-mu. Jadi berhentilah bermain ayunan!

Keesokan harinya, si anak tetap bermain ayunan. Ibu si anak memperingatinya lagi agar dia tidak bermain ayunan. Namun dengan lugunya si anak menjawab, today I don’t wear any underwear, jadi laki-laki itu tidak bisa mengintip pakaian dalam saya.

Cerita Rachael yang di luar dugaan membuat saya tertawa…. tertawa…. dan terus tertawa… “Saya yakin, anak perempuan itu adalah kamu! Hahahaaha….” kata saya dengan tawa membahana. Kami-pun tertawa bersama di atas ranjang. Melupakan segala kepenatan. Melepaskan segala ketegangan. Lalu tak sadar, kami telah terlelap bersisian.

Di sini, di rumah mungil di Wordsworth Street, perbatasan Luton dan Berdforshire-England, saya merasa menjadi bagian dari kakak beradik Annabelle-Rachael-dan-Jacob. Tiga bersaudara yang selalu memberi kebahagiaan.

Read more

Berbicara dengan orang asing menjadi hal yang paling ditakuti. Safina, Jordan, Gulam, dan V, teman-teman UK, mengatakan, “Ini bukan Indonesia. Kalian tidak perlu beramah-tamah dengan orang asing. Lagipula, itu berbahaya.” Kata ‘berbahaya’ diulang hingga tiga kali. Menancap tepat dikepala. Kemanapun melangkah, dimanapun berada, jangan pernah coba-coba berbicara dengan orang asing.

Sebagai pendatang baru di Luton Town, saya harus waspada. Banyak imigran datang ke Luton dengan beragam budaya. Sebut saja Pakistan, Bangladesh, Karibia, Afrika, dan masih banyak orang dari negara antah berantah lainnya. Bersama warga kulit putih British dan Irish, mereka membentuk nadi kehidupan Luton.

Keberagaman Luton menjadi hal yang patut dirayakan sekaligus diwaspadai. Loyalitas komunitas membuat mereka sering berkonflik satu dengan lainnya. Belum lagi keisengan anak muda: mencoret-coret tembok, menendang tempat sampah, merusak pagar, parkir di tempat tak semestinya, dsb. Itulah mengapa, hampir setiap sudut kota dipasangi kamera pengintai. Gerak-gerik warga diawasi. Siapa melanggar, surat tilang langsung melayang. Denda ratusan pounds langsung menanti. Sebuah sistem yang patut diacungi jempol sekaligus membawa trauma tersendiri, salah-salah saya korban berikutnya yang ditilang karena dianggap melanggar aturan. Hmfh.

Pada pagi hari, seperti biasa, jalan-jalan di Luton masih sepi. Toko-toko baru sebagian yang sudah buka. Orang-orang berpakaian rapi melintas dengan berjalan kaki atau bersepeda. Bersama Tika, kami menyusuri area pusat kota. Di ujung sana, ada Caribbean Food paling enak sedunia, kata saya. Tentu paling enak, karena saya tidak pernah mencicipi makanan seperti itu di tempat lainnya. Tika tertarik, sudah rindu makan nasi katanya. Lalu Tika membeli satu paket Caribbean Food terdiri dari nasi-sayur-dan-lauk untuk disantap. Sementara Tika menikmati menu sarapannya, saya duduk di memandang Luton yang masih sepi.

Tidak lama kemudian seorang bapak paruh baya duduk di sebelah saya. “Sulit sekali mencari pekerjaan…” katanya tiba-tiba dalam bahasa Inggris, mencurahkan isi hatinya. “Sudah tiga hari saya berkeliling, namun tidak ada hasilnya…” lanjutnya lagi.

Teringat akan kata-kata teman-teman saya untuk tidak berbicara dengan orang asing, saya hanya diam. Terbayang sudah gambar-gambar menyeramkan di kepala. Jangan-jangan laki-laki ini ingin menawari narkoba. Jangan-jangan dia ingin merampok saya. Jangan-jangan dia….. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah saya, “Dari mana asalmu?”

“Indonesia,” jawab saya singkat.

“Suka dengan Luton?”

Saya berkelana memandang sekeliling. Saya hanya menemukan wajah Luton yang pucat. Orang-orang tidak saling menyapa. Tidak ada canda tawa. Tidak ada gembira. Ah, sayang sekali…. Pada titik ini, saya merasa tanah air jauh-jauh lebih baik. Namun, tidak layak saya membandingkan Negri asal saya dengan suasana di tempat ini. Ada sesuatu yang belum terungkap. Dan tugas saya adalah, menemukannya.

“Apa yang paling kamu suka dari Luton?” lelaki itu mendesak saya.

Well…” saya menarik napas panjang, menghirup kesejukan kota Luton. “Sejauh ini, mungkin udaranya…” kata saya melanjutkan.

Pria itu tersenyum. “Udara!… Hahaha. I am sure, your country much more better than England.”

Kemudian dia berdiri. “Maaf sudah mengganggumu…” katanya sambil berlalu pergi.

Detik itu juga saya merasa tidak seharusnya saya bersikap acuh-tak-acuh pada orang asing atau memandang Luton sebelah mata. Apa yang terlihat di permukaan bukanlah sebuah kenyataan. Kebenarannya adalah, Luton memiliki keramahan-tamahan yang ditawarkan. Ada persaudaraan yang ingin dibangun. Tinggal bagaimana kita dapat menangkapnya. Luton membutuhkan canda tawa. Luton membutuhkan orang-orang yang saling menyapa. Namun siapa yang bisa memulai kalau bukan diri sendiri?

Read more

“Endonesya? MasyaAllah…… You come from Endonesya? Come! Come!” cerocos seorang wanita dengan kerudung berwarna biru yang menutupi kepalanya.

Dia lalu masuk ke dalam toko kainnya, memanggil kawan-kawan wanita-nya yang lain, yang juga berkerudung warna-warni. Mereka berbicara sebentar dalam bahasa Pakistan, lalu wanita-wanita itu menatap saya. “Endonesya? Endonesya? MasyaAllah… MasyaAllah…” kata mereka berulang-ulang. Mereka lalu memegang kepala saya. Merangkul saya. Memeluk saya, seolah sudah lama tak berjumpa.

Wanita-wanita itu terus-terusan mengerubuti saya dan tak henti-hentinya menyebut kebesaran nama Tuhan di hadapan saya. Mereka memperlakukan saya seperti baru saja menemukan anaknya yang hilang di medan perang. Saya merasa senang sekaligus pengap berada di tengah-tengah tumpukan kain dan ditambah kumpulan wanita yang berdiri mengelilingi saya.

Saya menoleh ke arah Safina, teman saya. Dia yang mengajak saya ke toko ini. Katanya, dia hendak membeli beberapa potong kain. Safina hanya tersenyum memandang wajah saya yang kebingungan.

“Many of these come from Endonesya,” kata seorang wanita paruh baya menjawab kebingungan saya. “This is from Endonesya. This is from Endonesya. This is from Endonesya.” Wanita itu menunjukkan pada saya satu per satu gulungan kain dagangannya. Ada yang berwarna merah renda-renda, ada yang berwarna kuning kerlap-kerlip, ada yang berwarna hitam polos, ada yang berwarna putih polos.

Saya hanya bisa memandangi kain-kain itu tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Bertepuk tangan? Berbalik merangkul mereka? Nyatanya saya hanya mengusap keringat yang mengucur di dahi sambil mengipas-ngipaskan wajah dengan jari-jari tangan. Siapa sangka, di Luton, yang jauhnya ribuan kilometer dari negara kepulauan Indonesia, kita bisa menemukan kain-kain asli tanah air?

“You don’t believe me? This is from Endonesya… Tanah Abang! Yes, Tanah Abang! This is from Tanah Abang. We have lots from Tanah Abang!”

Oh, God! Rasanya mau pingsan. Wanita-wanita ini menyebutkan Tanah Abang dengan fasihnya. Saya langsung membayangkan pasar Tanah Abang di tengah kota Jakarta yang penuh sesak dengan lautan manusia, jorok, becek, bau, dengan kemacetan bajay-ojek-angkot yang tidak keruan. Dengan Satpol PP yang sering menendang plat nomor angkot, dengan abang-abang yang menjual tas kresek atau tas kertas bermerek, dengan ibu-ibu yang memborong tas-tas KW. Semua gambar itu berputar-putar di kepala saya.

“Endonesya has very good quality one,” cerocos wanita itu lagi. “I have been to Jakarta. I have been to Tanah Abang.”

Saya meringis kepada mereka. Mereka terus-terus-an merangkul dan memeluk saya. Mereka kemudian menawari saya kain-kain Tanah Abang itu. “I will give you more discount!” Dengan mantap saya menggeleng. Ini adalah hari terakhir saya di Inggris, namun apa kata dunia, jauh-jauh ke England membawa oleh-oleh dari Tanah Abang??

Walaupun saya menolak tawaran potongan harga mereka, mereka tetap memperlakukan saya seperti saudara. Mengajak saya berputar-putar toko untuk melihat kain-kain dan pakaian jadi. “Do you like it? Do you want it?” Terus-terusan saya menggeleng sambil tersenyum. Wanita-wanita tadi akhirnya menyerah untuk menawari saya ini dan itu.

Keesokan harinya, Safina memberikan tas kertas kepada saya. Isinya beberapa potong kain dengan corak macan tutul dan beberapa potong kain berwarna biru.

“Now you can make very good salwar kameez. One for you, one for your mother.” kata Safina.

“Did you get it from the shop?”

“Yes! They gave me very good discount,” kata Safina girang mengingatkan saya pada wanita-wanita di pasar Burry Park tempo hari. “I told them that I wanna buy some for you, so they gave me very good discount. They gave me the best quality for your salwar kameez.”

Rasanya saya ingin melayang. Kembali ke toko kain itu. Merangkul mereka. Memeluk dan mencium mereka. Safina memeluk saya, “Have a safe flight back to Indonesia.” Terimakasih, Safina! Mengenang Luton dan Burry Park, adalah mengenang toko kain Tanah Abang.

Read more

Dinding undeground London berteriak sepi.
Dia hanya mendengar derap langkah kaki.
Dia hanya mendengar auman lorong panjang dari mancung kereta super cepat.
Dia hanya mendengar gesekan tubuh manusia yang sedang bercumbu dengan kopi, buku, atau roti mentah bawah tanah.
Sedih, tak ada yang mendengar teriakan sepi dinding undeground London. Semakin banyak orang berlalu-lalang datang dan pergi, semakin banyak orang tak peduli. Sekalipun dia bertambah kotor hitam pekat karena asap. Atau sekalipun dia bertambah pucat karena panas, dingin, yang dibawa manusia, hujan, dan matahari.
___

August 2010, all pictures was taken on the way from Luton to London, UK
It was a great journey with great team called “Global Xchange”
My pleasure to see u, guys!

Read more