Features

Perjalanan memang tidak selamanya mulus. Ada kalanya apa yang kita harapkan tak menjadi kenyataan, atau sebaliknya, apa yang tidak dipikirkan malah memberi kegembiraan. Lalu, pilihannya hanya ada dua: menikmati sebaik-baiknya apa yang kita miliki sambil berharap badai segera berlalu, atau sekedar merutuki nasib yang toh tidak akan membawa kita kemana-mana.

Situasi itu, saya rasakan ketika mendarat di Quenstown, New Zealand, April lalu. Siapa sih yang tidak bahagia membayangkan akan segera menyusuri sungai dan hutan di Negeri Kiwi, bermain dengan biri-biri yang lucu menggemaskan, juga memandang bintang-bintang di bumi the Lord of the Rings. Saking bahagianya, begitu mendarat di Quenstown saya lompat-lompat bahagia.

Teman saya, Narastika, sangat menyadari perubahan suasana hati saya. “Di North Island, muka kamu biasa saja. Begitu mendarat di South Island, girang banget,” kata dia. Hahahahha.

Beberapa hari sebelum mendarat di Quenstown, Narastika dan saya memang sudah menjelajah di Pulau Utara. Beberapa tempat yang dikunjungi adalah Hobbiton Movie Set dan Waitomo Caves. Narastika dan saya juga sempat berjalan-jalan di Auckland.

Bagi saya, tidak ada yang salah dengan perjalanan di Pulau Utara. Semua serba baik-baik dan senang-senang saja. Tetapi, saya lebih tertarik berpetualang di Pulau Selatan karena bersentuhan dengan alam bebas. Berbeda dengan di Pulau Utara, tempat-tempat yang kami kunjungi kebanyakan destinasi favorit turis asing, sehingga somehow membuat saya kurang antusias. Sebaliknya, perjalanan di Pulau Selatan benar-benar bikin saya nggak sabar!

Foto perjalanan di South Island

Semangat 45 untuk segera menjelajah di South Island, berubah drastis jadi penuh ketidakpastian ketika saya menyadari koper yang saya bawa dari Jakarta tidak keluar dari baggage claim. Hilang! Lenyap! Nggak tahu di mana! Sialan! Perasaan gembira langsung beralih menjadi bingung, merasa tidak aman, marah, juga sedih. Narastika dan saya segera melapor kepada maskapai penerbangan.

Maskapai berjanji akan mencari koper itu dan kalau ketemu akan mengirimkan ke penginapan. “Tetapi nggak mungkin malam ini, ya, karena sudah nggak ada penerbangan,” kata si mas-mas dari maskapai penerbangan yang mukanya datar kayak setrikaan. WHAT?!!

 

 

 

Saking terkejutnya, saya tidak sempat meminta kompensasi dari kemalangan ini kepada petugas itu. Hidup penuh ketidakpastian dan keterbatasan baru terasa ketika untuk membeli sikat gigi saja, saya harus merogoh kocek pribadi sampai Rp 70 ribu. “Ah, ini mah di Indomart juga paling mahal 10 rb,” kata saya kesal, dalam hati. Saya juga harus membeli satu stel pakaian baru. Untuk jaket, terpaksa mengandalkan yang menempel di badan. “Nanti kamu pinjem sampo dan sabun aku aja. Kalau mau pakai tabir surya aku juga ada. Nggak usah beli,” kata Narastika, melihat wajah melas saya.

Dari peristiwa ini, saya sadar manusia itu sangat mood-swing. Perasaan-perasaan kita mudah terpengaruh dengan apa yang kita miliki. Ketika saya mempunyai koper, misalnya, saya merasa hidup aman dan nyaman karena saya tahu apa pun yang saya butuhkan ada di dalam kotak ajaib itu. Saya tidak akan takut kedinginan karena saya tahu telah menyimpan pakaian tebal dan sarung tangan di dalam koper. Saat saya ngantuk, saya mempunyai piyama yang nyaman dipakai. Di dalam koper juga ada peralatan mandi yang bisa membuat saya segar setiap waktu.

Tetapi, begitu saya kehilangan barang itu, semua terasa tidak ada artinya. Hidup penuh ketidakpastian. Saya jadi merasa takut beraktivitas karena tidak membawa barang-barang yang dibutuhkan. Perasaan tidak nyaman dan tidak aman ini membuat saya harus menolak ajakan Erika, teman dari Perancis, yang mengajak tracking di Queenstown.

Erika, Narastika, dan saya 😀

Ketika Erika mengajak mendaki bukit, saya jadi berpikir ulang seribu kali. Banyak pertanyaan muncul di kepala, seperti bagaimana kalau hujan dan pakaian saya basah, bagaimana kalau nanti saya kedinginan padahal saya nggak punya baju berlapis yang cukup? Bagaimana kalau ini… kalau itu… dengan perasaan-perasaan tak menentu, akhirnya saya menolak perjalanan ke bukit. Narastika dan saya akhirnya hanya berjalan-jalan santai saja di sekitar penginapan.

Sebagai manusia, sepertinya memang kita tidak pernah siap untuk hidup tidak nyaman. Apalagi, kalau hidup dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, bukannya hidup lebih tenang, hampir setiap hari kita justru dihadapkan pada perasaan takut gagal, takut jatuh, takut tidak mempunyai tempat tinggal, takut tidur yang biasanya di atas kasur empuk berubah menjadi di atas tikar, takut uang tabungan habis, takut kelak tidak bisa membayar uang sekolah anak-anak, takut nggak bisa makan enak lagi, takut nggak bisa liburan sama teman-teman segank, takut nggak punya teman, takut hidup dan mati seorang diri tanpa teman menemani, takut nggak bisa eksis di acara-acara hits.

Kemudian rasa takut itu dilawan dengan bekerja lebih keras. Tujuannya cuma satu, agar punya penghasilan yang lebih besar, sehingga bisa membayar tempat tinggal, mengisi saldo tabungan agar punya uang untuk liburan, agar bisa traktir pacar makan enak, agar bisa bayar sekolah anak, agar bisa bawa orang tua mengunjungi tempat yang diinginkan. Kerja lebih keras lagi, lagi, dan lagi, karena bukankah setiap individu bertanggung jawab atas kesejahteraannya masing-masing, lalu kesibukan membuat lupa menikmati apa yang dimiliki. Lupa mensyukuri semua pengalaman suka dan duka yang tersaji. 🙁

Di tengah segala kepanikan, saya berusaha menikmati sebaik-baiknya perjalanan. Apalagi, sebelum tidur, ibu saya mengirim pesan: “Gimana kopernya? Tenang saja… Berdoa. Nikmati perjalanan,” tulis ibu. Nyes, rasanya! Iya jugaa yaa.. kenapa saya jadi nggak menikmati perjalanan gini? 🙁

Menyadari hal ini, saya berusaha tetap tenang meski hidup tanpa koper menemani. Saya jadi teringat kalimat: Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi dia berjanji akan selalu menyertai. *mendadak relijius hahahha* Jadi apa pun yang terjadi, terjadilah… Saya berusaha ikhlas… Saya nggak mau bohong, sejatinya mulut ini nggak tahan untuk tidak mengumpat, serta pengen nangis sambil garuk-garuk aspal (KENAPAA KOPER GUE ILAANG WOYY KENAPAA), tetapi sesungguhnya hati ini sudah legowo kok. Saya tahu, situasi terburuknya adalah koper saya benar-benar hilang dan saya benar-benar hidup nelangsa di negeri orang. HAHAHA.

Keesokan harinya, sambil menunggu koper, Erika, Narastika, dan saya, jalan-jalan ke Glenorchy! (((Gaisss… asli tempat ini indah banget!! Instagramable cuyyyy!!!))) Glenorchy terletak di utara Danau Wakatipu, sekitar 45 menit dari Quenstown. Situs perjalanan Newzealand.com mendeskripsikan tempat ini sebagai: pintu masuk menuju jalur lintas alam dan keajaiban Middle-earth. Magical! Bentangan alam Glenorchy yang spektakuler menjadi lokasi utama shooting film trilogi The Lord of the Rings dan Narnia.

Erika, Narastika, dan saya, menyusuri jalur lintas alam. Kebetulan ketika itu gerimis membasahi rumput, tanah, dan pepohonan. Senang sekali bisa berjalan kaki dengan aroma tanah basah. Langit berwarna abu-abu, tetapi tidak membuat hati menjadi kelabu 🙂 Sejauh mata memandang, terlihat bentang alam yang memanjakan sanubari. Percakapan-percakapan dengan Erika dan Narastika, menjadi penghibur hati yang resah. Pertemuan dengan penduduk lokal yang sedang berkuda atau berjalan-jalan santai seperti kami, memberikan pengalaman yang menyenangkan. Dengan segala yang sudah diberikan alam dan kehidupan, nikmat mana yang hendak kau dustakan, Ferguzoooo!!!

Menjelang senja, Erika, Narastika, dan saya, kembali ke penginapan. Di hostel, saya melihat koper pink yang dinanti-nantikan sudah datang. Aaaaaahhhh senang sekali!!! Sesuatu yang biasa saja, terasa menjadi sangat berharga! Selanjutnya, kawan-kawan dan saya merayakan malam dengan makan pizza lezat yang dinikmati bersama-sama di dekat tungku api yang hangat. Terima kasih perjalanan yang memberi banyak perjalanan berharga 🙂

Jakarta, 21 September 2019

Denty Piawai Nastitie

Foto2 oleh: Narastika (silakan gais yang mau kenalan ^^,)

Ps: kehilangan koper membuat saya ingat seorang teman yang pernah kehilangan koper saat perjalanan ke Inggris. Saat itu, koper dia kebawa penumpang lain sampai Bahrain

((I feel you, Yog! HAHAHAHHAHA)

Baca kisah sebelumnya: Extrovert vs Introvert, Kepribadian yang Tertukar

[instagram-feed]

Read more

Bagi pecinta alam, Tekapo adalah tanah impian. Selain langit bertabur bintang, tempat ini juga menyajikan pemandangan indah berupa jajaran pegunungan Alpen Selatan yang berpuncak salju, hamparan danau berwarna biru-kehijauan, juga bangunan Gereja Gembala Baik ( the Church of the Good Shepherd) yang ikonik.

Danau Tekapo terletak di daerah Cekungan Mackenzie, atau cekungan antarbintang elips yang terletak di Distrik Mackenzie dan Waitaki, di dekat pusat Pulau Selatan Selandia Baru. Di daerah ini ada tiga danau besar, yaitu adalah Tekapo, Pukaki, dan Ohau. Warna Danau Tekapo yang unik terbentuk dari erosi batuan sedimen glasial dari Alpen Selatan dan Gunung Aoraki (Mt Cook). Berasal dari es yang mencair membuat air Danau Tekapo dingin  banget, sekitar 8-10 derajat selsius.

Ada dua cara untuk menuju Tekapo, yaitu dari kota Queenstown (berjarak sekitar 256 km) dan Christchurch (227 km). Saya menempuh perjalanan dari Queenstown ke Tekapo selama sekitar empat jam perjalanan menggunakan Intercity Bus. Berdasarkan jadwal, bus berangkat pukul 08.00. 

“Kita cari penginapan yang dekat dengan halte, yuk! Biar tidak terlambat,” kata Narastika, teman saya, beberapa hari sebelum berangkat ke Tekapo.

Setuju! Kalau perlu, ‘nggak usah mandi. Begitu bangun tidur, kita langsung tancap gas,” kata saya.

Saya ingat, suatu hari, dalam perjalanan dari Auckland ke Hobbiton, ada dua penumpang bus yang ditinggal di tengah jalan karena terlambat. Kendaraan antar kota di Selandia Baru memang terkenal tepat waktu. Dalam perjalanan antar kota, bus berhenti selama 10 menit di sejumlah titik istirahat seperti pertokoan atau toilet umum. Tetapi, hingga waktu ditentukan, dua penumpang tadi tidak juga menampakkan diri. Akhirnya, supir meninggalkan mereka begitu saja di tengah jalan.

Belajar dari pengalaman tersebut, selama di Selandia Baru, saya berusaha selalu tepat waktu. Tidak terima rasanya kalau harus ketinggalan bus, padahal sudah bayar puluhan dollar sejak jauh-jauh hari!

 

Bus Intercity membawa penumpang dari Queenstown ke Danau Tekapo. (c) Denty Piawai Nastitie

Sekitar pukul 07.30, Narastika dan saya berjalan ke halte bus. Begitu sampai di sana, beberapa penumpang sudah menunggu. Penumpang mengenakan baju dan jaket berlapis untuk menghalau dingin. Saat itu, udara sekitar 4-6 derajat selsius. Tubuh menggigil. Ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang rela bangun lebih awal demi naik bus tepat waktu.

Menjelang pukul 08.00, bus jurusan Queenstown-Danau Tekapo-Christchurch tiba. Belasan penumpang segera membentuk antrean dan secara tertib masuk ke dalam bus. Kendaraan ini sepertinya memang dirancang untuk para pelancong. Bus Intercity dibuat dengan jendela-jendela lebar untuk memudahkan penumpang menikmati panorama alam.

Dengan menggunakan microfon, pengemudi bus, merangkap sebagai pemandu wisata, menjelaskan nama-nama gunung dan danau yang dilewati. Supir bus juga menjelaskan kebudayaan, keberagaman masyarakat, keanekaragaman flora dan fauna, serta makanan-makanan khas yang ada di Selandia Baru.

Berdasarkan penjelasan pengemudi, dari 4,4 juta penduduk Selandia baru, sekitar 70 persen merupakan keturunan Eropa, 15 persen adalah suku asli Maori, sisanya orang-orang Asia dan kepulauan Pasifik, non-Maori. Sebagian besar penduduk tinggal di kota besar seperti Auckland dan Queenstown. Tak banyak orang yang tinggal di daerah pegunungan. Kalau pun ada, biasanya mereka adalah peternak. Di desa-desa yang dilewati, terlihat sekali sangat minim penduduk. Desanya sepi. Tidak banyak orang berlalu-lalang, atau kendaraan melintas. Bahkan saya sempat foto-foto di tengah jalan desa saking minimnya kendaan yang lewat.

Maka banyak orang mengatakan, Selandia Baru lebih banyak dihuni domba dan sapi dari pada manusia. 😀 😀

Perjalanan melewati jalur bergelombang dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan, penumpang disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan berpuncak salju dan hamparan danau berwarna biru-kehijauan yang menawan. Sungguh, tak henti-hentinya saya terpukau memandang indahnya pemandangan alam yang tersaji di depan mata. Pemandangan sepanjang perjalanan ini membuat rasa kantuk lenyap.

Saat melintasi Danau Pukaki, bus berhenti. Pengemudi memberi kesempatan penumpang untuk berfoto dan menikmati pemandangan danau yang sangat menarik dengan air berwarna biru. Saya melihat warna danau ini seperti kolam renang. Tetapi, saat diliat dari dekat, ternyata airnya jernih. Batu-batuan dan kerikil yang ada di sekitar danau dengan mudah terlihat.

“Denty, ayo!” teriak Narastika.  Dari kejauhan, supir bus memencet klakson. Rupanya, saya menjadi satu-satunya penumpang yang belum naik ke bus. Sesegera mungkin, saya mengeluarkan kamera dan memotret pemandangan di Danau Pukaki. Klik! 

Danau Pukaki, Selandia Baru. (c) Denty Piawai Nastitie

Makan siang sambil menikmati pemandangan alam. (c) Denty Piawai Nastitie

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak terasa akhirnya sampai juga di Danau Tekapo. Begitu sampai, Narastika dan saya menyantap makan siang di restaurant Jepang. Restaurant ini menyajikan makanan khas Negeri Matahari Terbit, seperti sushi, ramen, dan paket nasi bento. Saya memesan paket makan siang berupa nasi dengan potongan ayam goreng terayaki, telur, salad, asinan, dan sup miso. Acara makan siang bertambah nikmat karena dilakukan sambil menikmati pemandangan alam.

Setelah makan siang dan menaruh barang-barang bawaan di penginapan, Narastika dan saya memulai petualangan di Tekapo. “Sebaiknya, kita bawa barang-barang yang dibutuhkan hingga larut malam. Langit sedang bagus, kita bisa stargazing malam ini,” ujar Narastika. [Bersambung…]

Baca selanjutnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

[instagram-feed]

Read more