Indonesia

Teman saya, Wahyu, sudah lebih dari 30 kali naik Gunung Pangrango. Kadang-kadang bersama teman, sering juga dia berjalan sendirian. “Kenapa sih lo suka banget naik Pangrango?” saya bertanya.

“Di Mandalawangi sepi… enak untuk berdiam diri. Merenung. Rasanya tenang. Coba deh, sekali-kali naik Pangrango sendirian,” katanya.

Nanti ya Kak, kalau gue lagi galau akut dan butuh merenung, gue naik Pangrango sendirian,” jawab saya.

Saat itu, kami sedang menyusuri jalan setapak menuju puncak Pangrango. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang membuat Pangrango memiliki daya tarik sampai membuat banyak orang jatuh hati, tertutama pada Mandalawangi.

Bagi saya, ini bukan pertama kali naik Gunung Pangrango. Pada percobaan pendakian yang pertama, Oktober 2017, saya gagal mencapai puncak karena ada badai besar. Ketika itu, langkah saya dan kawan-kawan, terhenti di pusat perkemahan Kandang Badak. Kegagalan, tidak membuat saya patah arang. Saya justru termotivasi, untuk kembali…

Pada pendakian yang kedua ini, saya berangkat bersama kawan-kawan: Wahyu, Rico, Inang, Agnes, dan Rakhmat. Kami berjalan mulai pukul 06.00 melalui Jalur Cibodas dengan optimisme tinggi dan semangat berkobar-kobar. Saya selalu yakin, gunung boleh sama, tetapi kawan dan cerita perjalanan selalu berbeda.

Sepanjang perjalanan, saya merasa seperti kembali ke masa lalu…. melalui segala sesuatu yang pernah dilewati: jalur tanah setapak, Jembatan Jurassic Park, Telaga Biru, air terjun, pohon-pohon besar, tumbuhan liar dan bebatuan, semua terasa sama dengan sejak terakhir kali saya mendaki Gunung Pangrango. (Ohyaa, ada yang berbeda yaitu bunga-bunga liar yang mulai bermekaran!)

Perjalanan dari Basecamp Cibodas hingga Kadang Badak memakan waktu sekitar enam jam. Perjalanan melewati beberapa pos peristirahatan, yaitu Rawa Panyangcangan, Rawa Denok 1 dan 2, Batu Kukus 1, 2, dan 3, Kandang Batu, dan terakhir Kandang Badak. Di sini, jalur terbagi dua, ke kiri ke puncak Gunung Gede, sementara ke kanan ke puncak Gunung Pangrango.

Sepanjang perjalanan, saya tidak menemukan kesulitan berarti kecuali rasa kantuk sering mengacaukan fokus dan konsentrasi. Beberapa kali, saya berjalan oleng karena mengantuk. Untung aja nggak sampai terperosok ke jurang! Rasa kantuk juga membuat kepala pusing dan nafsu makan bertambah (hahaha ini mah gak usah ngantuk juga bawaannya laper terus :p).

Di Kandang Badak, teman-teman dan saya beristirahat sambil menikmati makan siang. Setelah makan, Wahyu menyodorkan secangkir teh panas manis. Wahyu ini sering banget bikin teh panas manis. Kata dia, ngeteh di gunung itu wajib karena memberi energi, ketenangan, dan kehangatan. Iyee… iyee… dehh terserah looo…” kata saya dalam hati. 😛 *saya gak boleh ngeyel sama kuncen gunung yang sudah 30 kali naik Pangrango… *langsung ditoyor

Kelak saya baru tahu, melalui secangkir teh, ada pesan tersirat yang ingin disampaikan mengenai medan perjalanan yang akan kami hadapi selanjutnya. Sebuah perjalanan panjang yang menguras emosi, tenaga, jiwa, melatih kesabaran, menguji mental, dan tentu saja tak akan terlupakan. Di bawah rimbunnya pepohonan, secangkir teh panas manis menjelma menjadi sumber kekuatan dan obat penenang, sebelum kekalutan datang. *anjaayyy omongan gue hahaha

Pukul 13.30, Wahyu, Rico, dan saya, berjalan menembus tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menggapai Puncak Pangrango. Adapun Rakhmat, Agnes, dan Inang menjadi rombongan kedua yang berjalan di belakang.

Mat, tenaga gue udah mulai terkuras nih,” kata saya ke Rakhmat sebelum melangkahkan kaki.

Tenang, jalurnya tanah kok. Lebih empuk. Lo pasti bisa sampai puncak,” kata Rakhmat.

Mungkin Rakhmat lupa menyebutkan bahwa jalurnya berupa tanah… DAN TEMAN-TEMANNYA, yaitu akar-akar tanaman besar, batang pohon tumbang, bebatuan besar, gundukan tanah, jurang, lembah, lumpur, jalur air, dan semak belukar.

Menurut saya, perjalanan ke Gunung Pangrango ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum Kandang Badak dan setelah Kandang Badak. Kalau dari basecamp hingga Kandang Badak perjalanan ini menguras fisik, dari Kandang Badak ke puncak lebih menguras mental dan emosional. Perjalanan ke puncak melewati jalur yang menantang tanpa pos peristirahatan. Sepanjang jalan juga hampir tidak ada bonus (sebutan para pendaki untuk jalan datar). Di jalur inilah, ketabahanmu sebagai manusia diuji!

Pada 20 menit pertama, jalur perjalanan terasa menantang dan menyenangkan,… selanjutnya,… waktu bergerak 30 menit, 40 menit, kemudian 50 menit, 60 menit… dan perjalanan semakin terasa menyengsarakan!

Kata Wahyu, perjalanan masih panjang. Tantangan sebenarnya masih berada di depan. Alamak!!! Rico dan saya, yang baru pertama kali mendaki ke puncak Gunung Pangrango hanya bisa pasrah menjalani tantangan dalam perjalanan.

Infonya, perjalanan dari Kandang Badak ke Puncak Pangrango memakan waktu 3-4 jam. Dengan pace perjalanan yang bisa dibilang cukup cepat dan hampir tanpa istirahat, mulanya saya yakin bisa sampai puncak dalam waktu tiga jam. Tetapi, ketika tiga jam berlalu bergitu saja, dan puncak yang dinanti terasa masih sangat-sangat jauh, pada titik itulah, tekad ini mulai mengendur. Kenyataan yang berjalan tak sesuai ekspektasi pelan-pelan membunuh semangat dan daya juang.

Masih jauh gak?” tanya saya kepada Wahyu, yang berjalan di depan.

Sedikit lagi… Itu puncaknya sudah kelihatan,” jawab Wahyu. Lebih dari sepuluh kali dia bilang “Sedikit lagi… ”. Tetapi, bukannya semakin dekat, puncak Gunung Pangrango justru terasa semakin jauh… dan abstrak (seperti masa depan hahaha). 

Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango, saya sadar… keberadaan akar dan batang pohon tumbang adalah rintangan, sekaligus sumber pertolongan. Beberapa kali saya kesulitan melewati jalur, bahkan hampir terperosok ke jurang, namun akar-akar pohon justru menyelamatkan nyawa saya! Ketika hampir terjerumus dalam bahaya, saya berpegangan pada akar-akar pohon atau mencoba bertahan dengan memegang batang pohon tumbang… Perjalanan ini mengingatkan saya bahwa tak selamanya rintangan dalam kehidupan itu buruk… dengan adanya rintangan justru membawa kita ke tempat yang lebih tinggi, dan lebih berarti.

Dalam perjalanan ini, saya juga melihat tanaman anggrek hutan yang memberi warna pada jalur pendakian. Bukankah dalam kesulitan sekalipun, selalu ada hal-hal sederhana yang memberi warna? 🙂

Pukul 17.30 warna langit mulai berubah menjadi kuning kemerahan, tanda senja mulai datang. Sesaat, Wahyu, Rico, dan saya menatap matahari yang tenggelam. Pupus sudah harapan melihat sunset di Lembah Mandalawangi. Langit yang mulai gelap menghadirkan tantangan selanjutnya, yaitu perjalanan malam menembus hutan belantara.

Perjalanan malam itu nggak enak, karena membuat manusia jadi tak punya kuasa untuk mengontrol sesuatu di luar dirinya. Jarak pandang mata kian terbatas. Energi semakin terkuras. Dingin semakin menusuk tulang. Harapan pelan-pelan tenggelam. Perjalanan tambah terasa panjang. Sempat muncul keinginan menyerah, tetapi berbalik arah sama sulitnya dengan melanjutkan perjalanan.

Ayo, Mandalawangi menunggu!!” kata Wahyu, saat melihat saya kepayahan.

Kata-kata itu  sedikit menghibur. Selama bertahun-tahun saya menantikan perjumpaan dengan Mandalawangi, yang berada di dekat puncak Gunung Pangrango. Mengetahui Mandalawangi sedang menunggu (kehadiran saya), membuat hati ini berseri-seri.

Penantian ini, semoga tidak bertepuk sebelah tangan.

Pukul 19.30, di antara kabut tipis yang menuruni lembah dan di antara remah-remah harapan yang bentuknya sudah tidak keruan, saya melihat tugu triangulasi Pangrango. “Welcome to Puncak Pangrango… Maaf ya, jalurnya berat,” kata Wahyu.

Rico dan saya tertawa. “Hahaha! Maaf juga sudah hampir menyerah…” kata saya.

Bertiga kami lalu berjalan di tanah setapak yang agak menurun, menembus semak belukar. Samar-samar, pandangan mata saya melihat ke arah kelopak bunga putih di tengah tanah lapang,… gumpalan bunga edelweis terlihat seperti awan putih di langit hitam… “Mandalawangi…” saya berbisik di antara embusan angin malam. Spontan, air mata menetes. Ada rasa haru dan syukur yang menjadi satu. Perjalanan selama 14 jam yang menantang dan menyengsarakan, terbayar dengan keheningan malam Mandalawangi.

Keesokan harinya, begitu keluar dari tenda, saya melihat Mandalawangi dengan lebih jelas. Sebuah daerah dataran tinggi kesayangan Soe Hok Gie yang dihiasi dengan bunga-bunga edelweis dan cantigi. Matahari pagi perlahan muncul, memberi cahaya kuning kemerahan pada tanaman yang tumbuh liar dan abadi.

Sambil membaringkan tubuh di atas rerumputan, saya memandang awan yang berarak di langit. Mendengarkan suara aliran air di sungai kecil. Merasakan angin pegunungan yang bertiup sejuk. Di Lembah Kasih Mandalawangi, saya menikmati waktu yang bergerak lambat,… mengurai semua rasa yang akhir-akhir ini mengganjal hati. Di Lembah Kasih Mandalawangi, manusia, rasa, dan semesta terasa menjadi satu. Saya menikmati kesepian dan kesunyian tanpa harus takut kehilangan.

Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi, saya terkenang kata-kata Gie:

Mandalawangi-Pangrango”

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie

Gimana, asyik ‘kan ada di sini?” kata Wahyu, sambil bikin sarapan mewah ala anak gunung: homemade spaghetti sauce bolognaise plus chicken nuggets kebanggaan! 😛

Iyaa Kak, pengen balik lagi! Tapi next time, kalau gue ke sini lagi, gue bawa “ransel kosong” yaa… jalurnya berat banget… kalau bawaan minim kan jadi lebih enak jalannya,” kata saya.

Boleh! Tapi, malam tidur di luar tenda yaaa…. Ya gak, Co??” kata Wahyu.

“Iyaa… setuju gue bang, biarin aja dia tidur di luar tenda… pakai bivak sekalian,” sahut Rico.

Sial! Tega bener!!” %£$^$£*&%^^%* wkwkkk

 

 

Di Mandalawangi, satu cerita tersimpan untuk dikenang kemudian…..

Jakarta, sepekan seusai pendakian ke Gunung Pangrango.

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com/)

 

Pictures by: Denty Piawai Nastitie; Wahyu Adityo Prodjo (foto cover, foto denty lagi ngeteh); foto team by tripod, and a stranger we met in Mandalawangi.

PS: Ket. foto terakhir: Ini ceritanya… rombongan kloter 1 sudah sampai puncak, sudah bikin tenda, sudah tidur, sudah bangun, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, sudah sarapan, sudah foto-foto, baru rombongan kloter 2 (Rakhmat, Inang, Agnes) datang… wkwkwkkk dagdigdugduer sempat khawatir dengan kabar teman-teman kloter 2, akhirnya senanggg karena semua bisa kumpul di Mandalawangi 🙂

Read more

Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!

Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.

Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.

Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:

1. Tentukan media incaran

Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!

Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.

Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.

Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.

2. Pahami karakteristik media

Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”

Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)

B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.

Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.

3. Kirim foto dan pahami selera editor

Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk

Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?

Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!

Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.

Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.

4. Jalin relasi dengan ruang redaksi

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!

Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.

Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!

5. Tulis, kirim, lalu move on!

Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.

Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.

Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.

Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂

Jakarta, 14 Juli 2017

Salam, Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.

Read more

“Lebih baik budaya itu “dirusak”, daripada tidak pernah tersentuh dan malah hilang dalam ingatan,” kata Sapto Rahardjo, seniman dan pemrakarsa Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), nyaris 10 tahun lalu.

Kata-kata Mbah Sapto, panggilan akrab Sapto Raharjo, terngiang-ngiang di kepala saat saya membuat mural di tembok kota lama Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Saat itu, jarum jam lewat pukul 00.00, belasan anak muda dari komunitas #Kesengsemlasem dan warga setempat bekumpul untuk menjadi saksi perubahan wajah tembok Lasem yang awalnya usang dan nyaris tak terawat menjadi lebih berwarna.

Sapto Rahardjo adalah seniman yang identik dengan gamelan. Tak hanya gamelan tradisi, dia juga mengekplorasi gamelan dengan menggunakan teknologi modern seperti komputer dan synthesizer. Perannya bagi perkembangan gamelan semakin jelas ketika dia membuat Yogyakarta Gamelan Festival (YGF). Festival musik berskala internasional itu sudah ada sejak 1995 dan masih eksis hingga kini, bahkan ketika Mbah Sapto tutup usia.

Di YGF, Mbah Sapto juga memperkenalkan konsep Gamelan Gaul. Melalui Gamelan Gaul, anak-anak muda yang tadinya hidup jauh dari kesenian dan tradisi dirangkul untuk memainkan gamelan dengan cara yang lebih fun. Kalau biasanya gamelan memainkan gending jawa, misalnya, melalui Gamelan Gaul anak-anak muda bebas memainkan lagu-lagu pop. Bunyi yang keluar dari gamelan juga dipadukan dengan alat-alat musik modern, seperti drum dan gitar.

Cara Sapto Rahardjo memperkenalkan gamelan kepada anak-anak muda sempat menuai kritik pedas dari banyak kalangan. Mbah Sapto, kakek berambut gondrong itu, dinilai sudah merusak gamelan. Tetapi, dia tidak gentar. Saat menjadi volunteer YGF 2007-2008, saya menyaksikan sendiri perjuangan Mbah Sapto bersama para relawannya menyukseskan berbagai event Gamelan Gaul. Dengan dana yang terbatas, Mbah Sapto bahkan pernah membuat Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara saat SBY berkuasa.

Hasilnya, dari sekedar coba-coba, banyak anak muda yang kemudian tertarik menggeluti gamelan. YGF juga selalu ramai dihadiri pecinta gamelan dari berbagai negara. Orang-orang asing dari berbagai penjuru dunia tidak hanya menonton, tetapi juga ikut bermain gamelan. Festival itu menjelma jadi ajang pelestarian budaya sekaligus tempat berkumpulnya warga dunia. Kerja keras Mbah Sapto adalah upaya mempertahankan gamelan sebagai warisan Indonesia. Jangan sampai, begitu negara tetangga mengakui gamelan sebagai peninggalan bangsanya, orang-orang Indonesia baru ribut-ribut!!!

Cerita tentang Mbah Sapto dan “perusakan” gamelan yang sistematis dan terstruktur itu kembali hadir dalam ingatan, ketika saya melakukan perusakan lainnya, yakni mewarnai tembok Lasem. Lasem yang terkenal dengan arsitektur peninggalan kebudayaan China, kini lebih bewarna dengan kehadiran gambar polkadot warna-warni, sayap, dan entah nanti apa lagi. Lasem yang dulunya terkenal sebagi kota dengan penghuni orang-orang tua, tiba-tiba digruduk anak muda yang hobi plesiran dan selfi-selfian di depan mural.

Sejumlah orang menilai, mewarnai Lasem adalah bentuk perusakan tembok yang usianya sudah puluhan (atau mukin ratusan) tahun. Kegiatan perusakan tembok ini bermula saat saya berkunjung ke Lasem bersama teman dari Yogyakarta, Narastika. Di Lasem, saya bertemu pendiri komunitas #Kesengsemlasem, Agni Malagina.

Begitu tiba di Lasem, Kak Agni mengajak saya berkeliling desa. Lasem itu sangat identik dengan lorong-lorong kampung yang di kiri kanannya terbentang rumah-rumah lawas. Rumah-rumah peninggalan keluarga Tionghoa itu dikelilingi tembok putih polos setinggi tiga meter. Sebagian tembok sudah retak dan pecah-pecah. Sebagian lainnya lembap dan berlumut sehingga suasananya sunyi dan agak menyeramkan saat gelap.

Sambil berkeliling naik sepeda motor, Kak Agni bertanya: “Apa pendapat kamu kalau tembok-tembok ini kita cat agar lebih berwarna? Mungkin bisa juga dengan gambar-gambar mural.”

“Hmm… menarik juga. Mungkin kalau tembok-tembok ini sudah diwarnai suasana Lasem jadi berbeda. Jadi lebih hidup,” jawab saya. Sebenarnya jawaban itu hanya untuk membuat Kak Agni lega. Jauh-jauh ke Lasem, saya ingin menikmati hidup ala pedesaan bukannya ingin berdebat apakah tembok-tembok ini layak diwarnai atau tidak.

“Naaaah! Pas bangeettt!! Mumpung lo ada di sini, lo yang gambar dan mewarnai ya!” seru Kak Agni kegirangan.

Saya yang sedang menyetir motor terpaksa ngerem mendadak karena kaget. “Maksudnya??? Gue yang bikin mural??? Lo yakin?? Kapan bikinnya??? Emang waktunya cukup??? Gue kan cuma tiga hari di sini!!” kata saya.

“Cukup! Waktunya pasti cukup. Nanti kita beli cat ya, terus kita mewarnai!”.

Matilah awak! Kata saya dalam hati. Biasanya Kalau Kak Agni punya keinginan, dia akan gigih berusaha mewujudkan keinginan itu. Maka, sepanjang hari saya berusaha mempengaruhi Kak Agni agar dia membatalkan niatnya. Saya katakan ke Kak Agni kalau mencat tembok itu butuh waktu tak sebentar, butuh orang banyak yang mengerjakan, dan butuh kreativitas. “Emangnya gue bisa gambar? Gue gak bakat gambar,” kata saya.

“Bisa! Pasti bisa! Kita buat Lasem lebih hidup!” kata Kak Agni yakin.

Karena rencana itu sudah bulat, maka tidak ada alasan untuk mundur. Kak Agni menghubungi sejumlah pemilik tembok. Begitu mendapat izin, kami segera ngebom! (istilah menggambar mural di tembok).

Seperti bomber profesional, ngebom tembok Lasem dilakukan malam hari. Dengan pencahayaan seadanya, Kak Agni, Narastika, dan saya pun bergelut dengan kaleng-kaleng cat warna-warni. Bomber dadakan ini bekerja sambil digigit nyamuk, dan menghisap debu-debu jalan raya. Kami juga menerjang gerimis dan menahan rasa kantuk.

Jujur saja, saya sempat merasa pesimis dengan aksi ini. Mana mungkin Trio Angles (Kak Agni, Narastika, dan saya) bisa menggambar tembok-tembok Lasem yang panjangnya mencapai puluhan meter itu?!!

Tetapi, rasa pesimis itu berganti jadi semangat saat melihat warga Lasem ikut terlibat. Warga Lasem yang berpartisipasi berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak pesantren, pengusaha batik, hingga orang-orang tua Tionghoa. Mereka terlibat dengan ikut mewarnai, atau sekedar memberi dukungan dengan membawakan kami makanan dan minuman agar tidak mati kelaparan dan kehausan. Ada pula warga yang datang menyumbangkan jendela-jendela usang untuk dipasang menjadi dekorasi di tembok. Bukankah suatu pembangunan kota dinyatakan berhasil bisa sudah sukses mengajak warga terlibat?

Ketika mewarnai Lasem, saya sadar Lasem adalah kota yang bernyawa dengan akulturasi budaya. Tidak ada sekat-sekat yang memisahkan orang China dan bukan China, orang Jawa dan bukan Jawa, orang Kristen dan bukan Kristen, Islam dan bukan Islam. Semua orang membaur, saling mendukung. Anak-anak pesantren misalnya, dengan mengenakan baju koko, sarung, dan peci, asik-asik aja tuh mewarnai tembok-tembok rumah milik pengusaha Tionghoa sehingga terlihat lebih indah.

“Di daerah lain punya kekayaan pantai atau gunung, sementara di Lasem kekayaan kita adalah tembok-tembok tua,” kata Umi, istri Gus Zaim, pemilik Pesantren Kauman Lasem.

Kak Agni mengatakan, anak-anak muda malas datang ke Lasem karena tempat itu dinilai kurang menarik. Mereka lebih senang datang ke tempat-tempat wisata yang lebih ngehits. “Kalau kita mau melestarikan budaya, kita harus melibatkan anak-anak muda. Mereka harus diajak datang ke Lasem. Mungkin, awalnya mereka hanya mau swa-foto di depan mural yang kita buat, pelan-pelan kita juga mengedukasi tentang betapa bernilainya Lasem,” kata Kak Agni.

Mewarnai tembok Lasem sebenarnya bukan hal baru. Beberapa rumah di Lasem sengaja di cat pemiliknya untuk memberi ciri khas. Tiongkok Kecil Herritage milik Rudy Hartono, yang menjadi salah satu ciri khas Lasem, misalnya, malah lebih sering disebut Rumah Merah karena temboknya berwarna merah.

Di negara-negara lain, mural juga sudah menjadi bagian dari peradaban kota. Di George Town, Malaysia, misalnya, sangat identik dengan mural dan dekorasi-dekorasi tembok, seperti sepeda dan jendela gantung, yang menyatu dengan arsitektur lawas. Kesadaran warga untuk merawat budaya dan sejarah, sekaligus menciptakan unsur kekinian, menjadikan George Town dan Melaka, mendapat predikat UNESCO World Herritage Site. Saat ini, Lasem Kota Pusaka juga sedang diusulkan ke UNESCO sehingga perlu ada gerakan massal untuk mendukungnya.

Saat mewarnai tembok Lasem, saya mendengar sejumlah orang sanksi pada gerakan ini. “Memang boleh tembok-tembok Lasem dirusak?”. Saya hanya tersenyum. Dalam hati ingin menjawab, “Lebih baik tembok-tembok ini dirusak daripada Lasem tidak pernah tersentuh dan malah hilang dalam ingatan.” Belum sempat saya menjawab demikian, beberapa warga Lasem sudah berseru, “Waah… temboknya jadi bagus! Lebih berwarna! Nanti rumah saya dikasih gambar juga yaa!!” Saya pura-pura gak dengar karena takut berniat alih profesi jadi tukang cat! >.<

 

Jakarta, 1 Syawal 1438 H

Selamat Idul Fitri bagi teman-teman yang merayakan, mohon maaf lahir dan batin.

Salam, Denty Piawai Nastitie

Rambutkriwil.com

Read more

Kakak! Kakak!” seru Yazid, dari komunitas Insan Pariwisata Muna, sambil menyenggol bahu saya saya. “Kakak, tidak apa-apa? Kakak masih kuat berjalan?” tanyanya, lagi.

Samar-samar saya mendengar suara Yazid. Saya menyeka keringat di dahi. Kemudian berjongkok pada sebuah batu besar. Kepala menengadah, melihat sang surya membakar langit. Matahari terasa seperti ada tiga!! Sinarnya memanggang kulit, menghanguskan kerongkongan. Membuat mata terasa berkunang-kunang. “Saya sepertinya tidak sanggup, Yazid. Saya berhenti di sini saja, toh air minum kita juga sudah habis… ” kata saya, kepayahan. 

Eeee!!! Tidak bisa kakak!! Berhenti di sini sama saja, bisa mati dehidrasi juga!” kata Yazid. 

Dia lalu menyodorkan satu botol air mineral. Botol terakhir. Isinya kurang dari separuh. Belasan botol lain sudah habis di perjalanan. “Minum sedikit, yang penting tenggorokan tidak kering,” kata dia.

Masih jauhkah perjalanan ini?” tanya saya.

Yazid mengangkat bahu. “Saya tidak tahu, kakak. Saya juga baru pertama kali datang ke sini,” jawabnya. “Jarak kita dengan rombongan di depan terlalu jauh. Sementara dua orang lain di belakang kita sudah menyerah sejak tadi. Kita harus terus berjalan agar tidak tersesat.”

Saya bersumpah serapah di dalam hati. Menyesal ikut dalam ekspedisi ini. Seandainya saya tahu perjalanan akan sulit dengan sinar matahari yang menyiksa kulit, lebih baik saya tidak ikut. Sinar matahari terik menjilat-jilati tubuh ini. Nafas pendek. Keringat dingin membanjiri leher dan telapak tangan. “Ayo kakak! Kita harus bergerak,” kata Yazid membuyarkan lamunan. 

Dengan sisa-sisa energi, saya bangkit. Kembali melangkah. Melewati batang-batang semak belukar setinggi lima meter yang sudah merobek-robek kulit paha dan betis. Semoga saya tidak ambruk sebelum sampai di goa misterius itu!

Perjalanan ini bermula dari situs peninggalan purbakala Liang Kobori dan Metanduno di Kabupaten Muna. Goa alam ini terkenal karena di dindingnya terdapat lukisan yang dibuat manusia purba. Liang Kobori dan Metanduno termasuk situs purbakala yang dilindungi pemerintah. Goa juga menjadi tempat pariwisata dan penelitian purbakala.

Tidak jauh dari Liang Kobori, terdapat Goa Sugi Patani, yang populer dengan lukisan manusia menerbangkan layang-layang. Meski jaraknya relatif dekat, perjalan cukup menantang karena goa berada di puncak bukit cadas. 

Untuk menuju goa yang dimaksud, saya harus melalui bibir tebing karst yang terjal dan berkelok. Di akhir perjalanan, saya memanjat tumpukan batang pohon rapuh yang dibentuk menyerupai tangga. Berkali-kali juru kunci, La Samada, mengingatkan agar saya tidak salah memilih pijakan. Begitu salah pijak, tubuh ini bisa meluncur jatuh dari atas bukit. Nyawa taruhannya!

Begitu sampai di puncak bukit, ceruk Goa Sugi Patani mengundang masuk. Di dinding goa terdapat coretan-coretan gambar menyerupai manusia. Ada dua tipe gambar manusia, yaitu yang memakai kain sebatas lutut dan manusia berupa garis sederhana membentuk kaki, tangan, dan kepala. Tentu saja, gambar yang paling menarik adalah wujud seseorang menerbangkan layang-layang.

Menurut peneliti, gambar layang-layang ini dibuat pada zaman pra-sejarah yang diperkirakan berasal dari tahun 9000 – 5000 Sebelum Masehi (SM). Gambar ini memperkuat bukti layang-layang tertua di dunia berasal dari Kabupaten Muna. Layang-layang Muna, berusia lebih tua dari layang-layang di Tiongkok,” ujar La Samada.

Penjelasan juru kunci itu berasal dari penelitian Wolfgang Bieck (Jerman), yang dilakukan pada 1997. Pada saat itu, Bieck tertarik dengan layang-layang yang terbuat dari daun kolope (kagathi kolope) yang ada di Kabupaten Muna. Dia kemudian terbang ke Muna untuk melakukan penelitian.

Dalam kunjungannya di Muna, Bieck diajak melihat peninggalan sejarah di Goa Sugi Patani. Berdasarkan temuan gambar layang-layang di goa itu diperkuat dengan berbagai hasil penelitian lainnya, menurut Bieck, klaim yang menyebutkan layang-layang tertua di dunia berasal dari Tiongkok terpatahkan. Alasannya, usia lukisan prasejarah di Goa Sugi Patani jauh lebih tua daripada layang-layang di Tiongkok yang diperkirakan berusia 2.400 tahun.

Sayang, gambarnya sudah mulai pudar. Lukisan manusia menerbangkan layang-layang tidak jelas terlihat,” kata saya.

Sebenarnya ada gambar lain yang lebih jelas. Gambar kerangka layang-layang di Goa Kagofigofine. Tetapi, karena baru saja ditemukan, belum ada penelitian yang membuktikan usia gambar itu,” jawab La Samada.

Di mana itu Goa Kagofigofine?” tanya saya.

Tidak jauh, tetapi jalannya sulit. Goa Kagofigofine masih sangat alami. Belum banyak orang yang datang ke sana karena letaknya tersembunyi,” kata juru kunci.

Saya menoleh ke Agni dan Ellen, teman perjalanan. Biasanya, Agni dan Ellen yang memutuskan destinasi perjalanan selanjutnya. Ada jeda beberapa saat, sebelum Agni bersuara: “Gimana kalau kita ke sana? Untuk membuat dokumentasi lukisan layang-layang,” ujarnya. “Semoga saja dokumentasi itu menarik minat peneliti untuk menyusuri jejak purba masyarakat Kabupaten Muna,” kata Agni, yang selalu punya energi blusukan kemana-mana.

Saya hanya bisa pasrah saat rombongan memutuskan menembus hutan belantara Kagofigofine. Rombongan terdiri dari perwakilan pemerintah Kabupaten Muna, komunitas pariwisata Kabupaten Muna, dan warga lokal. Perjalanan selama sekitar empat jam menembus kebun warga, semak belukar, dan padang ilalang. 

Sepanjang jalan, juru kunci membabat semak belukar. Beberapa kali perjalanan buntu di perbatasan kebun-kebun warga yang sudah ditandai dengan tumpukan batu. Bersama teman-teman, saya harus menyingkirkan tumpukan batu agar bisa melanjutkan perjalanan. Dengan sang surya yang bersinar terik, perjalan terasa tidak berkesudahan.

Lewat tengah hari, rombongan sampai di Goa Kagofigofine. Ukuran goa ini lebih besar dari Goa Sugipatani. Di Goa Kagofigofine, ada puluhan gambar yang dibuat manusia prasejarah, seperti gambar perahu, jangkar, manusia, dan hewan-hewan. Puluhan gambar itu menjalar di dinding goa. Gambar yang paling menarik perhatian sudah pasti lukisan kerangka layang-layang. Ada empat garis yang membentuk sayap layang-layang. Di tengahnya ada coretan garis yang membentu kerangka kagathi (layang-layang).

Dengan penerangan seadanya, saya memperhatikan gambar layang-layang yang ada di dinding goa. Kalau gambar kagathi yang ada di Goa Sugipatani sudah mulai pudar karena faktor alamiah, seperti terpaan sinar matahari yang terus-menerus, gambar di Goa Kagofigofine jauh lebih jelas. Warna kagathi coklat kemerahan. Mungkin karena letaknya yang tersembunyi di dalam goa jadi keberadaannya jauh lebih terlindungi.

Gambar layang-layang itu melemparkan kesadaran saya ke masa silam. Gambar di situs goa prasejarah menyimpan beragam tafsir, mulai dari karya seni, spiritual, aktivitas sosial, hingga ekspresi identitas diri. Ketika manusia belum memegang gadget seperti orang-orang masa kini, eksistensi dinyatakan dengan menggambar goa, tempat mereka bersembunyi, berlindung. Di Goa Kagofigofine saya sadar, perilaku manusia dari zaman ke zaman tidaklah berubah.

La Samada menjelaskan, Goa Kagofigofine berarti kelelawar karena di goa itu memang menjadi tempat bersembunyi kelelawar. Selama puluhan tahun goa ini “dikuasai” penduduk lokal. Tidak ada yang berani masuk karena kedatangan orang asing dipercaya dapat menghancurkan kedamaian masyarakat di Kabupaten Muna. 

Suatu hari, “penguasa” Goa Kagofigofine meninggal. Anaknya kemudian mengizinkan saya masuk ke dalam goa agar apa yang ada di dalamnya bisa disampaikan ke orang lain, dan harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak, entah di bidang pengetahuan, pendidikan, atau lainnya” kata dia.

Harapannya peninggalan-peninggalan masa silam dapat bermanfaat bagi orang banyak,” kalimat juru kunci terngiang-ngiang di kepala. Matahari tenggelam. Ingatan akan masa lalu mengantar perjalanan kembali ke Kota Raha.

 

Ditulis di Lasem, 13 Juni 2017

Denty Piawai Nastitie (Rambutkriwil.com)

keterangan foto cover:

Picture by. Andra Ramadhan di Liang Kobori (posting atas izin pemilik hak cipta)

Read more

“Suster! Suster!” teriak anak-anak, saat mobil melintas pelan di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jalanan yang dilalui berlubang, berbatu, dan berkelok-kelok. Terhampar pegunungan berwarna hijau dengan langit biru dan gumpalan awan putih.

Saya membuka jendela. Membiarkan angin pegunungan yang sejuk dan segar masuk ke ruang mobil, menyibakkan rambut. Mobil bergerak melewati puluhan anak berusia 9-11 tahun yang berdiri berjajar di tepi jalan raya. Sebagian besar anak-anak berjalan tanpa alas kaki.

Melihat jendela terbuka, wajah anak-anak sumringah. Mereka menggerakkan kaki-kaki kurus untuk mengejar mobil yang melintas. “Suster! Suster!” teriak anak-anak semakin kencang. Saya tersenyum. Kemudian melambaikan tangan. Anak-anak kegirangan. Beberapa berusaha memegang tangan saya.

“Kenapa mereka memanggil saya Suster?” tanya saya kepada Kraeng Yeremias, penduduk lokal yang mengantar perjalanan dari Labuan Bajo ke Wae Rebo.

“Mereka pikir kamu suster, biarawati dari gereja,” ujarnya.

Wahahaha! Jauh sekali saya dari rupa seorang biarawati. Baik dari segi fisik, maupun amal dan perbuatan. Apalagi, saya tidak memakai jubah dan penutup kepala biarawati. “Wah, seharusnya, sekalian saja anak-anak itu saya beri berkat ya!” kata saya, sambil tertawa.

Kraeng Yeremias ikut tertawa. Kemudian, ada ruang diam beberapa saat. Yeremias fokus mengemudikan mobil agar kendaraan ini tidak terpental jatuh ke dalam jurang di sebelah kiri jalan.

“Jalanan ini sangat jarang dilalui kendaraan bermotor. Biasanya, yang masuk jalan ini adalah mobil imam gereja atau biarawati yang datang memberi bantuan makanan atau buku-buku untuk sekolah. Itu alasannya anak-anak tadi mengira kamu biarawati,” ujar Yeremias.

Jendela masih terbuka. Angin pegunungan bertiup, menyapu wajah. Mobil melintas di jalan berkelok-kelok di antara semak belukar setinggi lima meter.

Setelah melalui jalan satu jalur sejauh 10 kilometer, mobil melewati rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan bambu.“Apakah anak-anak tadi berjalan kaki dari sekolah sampai rumah di perkampungan ini?”

Kraeng Yeremias mengangguk. “Sebagian anak-anak memang tinggal di sini. Sekolah yang tadi kita lewati dibangun imam dari Belanda beberapa puluh tahun lalu. Kalau mereka sudah SMP atau SMA, anak-anak harus berjalan kaki atau naik sepeda lebih jauh lagi karena tidak ada sekolah lain yang lebih dekat,” jawab Kraeng.

Perjalanan dari Labuan Bajo ke Wae Rebo memakan waktu sekitar 6 jam. Perjalanan melewati jalur berkelok-kelok di antara perbukitan, lalu melintasi tepi pantai, semak belukar, dan daerah pedesaan. Sepanjang jalan, jarang sekali berjumpa dengan kendaraan lain. Beberapa kali, mobil hanya berpapasan dengan angkutan umum serupa truk dengan pintu kayu yang jadwalnya tak menentu.

Begitu sampai di Desa Denge, desa terakhir sebelum Wae Rebo, mobil berhenti. Dari desa itu, pengunjung harus berjalan kaki, satu-satunya cara, menuju Wae Rebo, sebuah daerah yang berada di lembah di antara pegunungan. Jalan kaki menuju Wae Rebo memakan waktu sekitar 3-4 jam.

“Ayo, kita harus cepat. Sebelum hujan,” kata Kraeng Yeremias.

Bersama pemandu jalan dari desa setempat, saya melangkah di jalan setapak yang licin dan berbatu di tengah hutan.

Saat berjalan, matahari mulai turun. Kabut berwarna putih menyeruak. Awan berwarna abu-abu berarak. Beberapa saat kemudian, gerimis jatuh dari langit. Tubuh basah karena hujan dan keringat. Membuat langkah semakin tidak nyaman.

Sekitar pukul 7 malam, saya dan rombongan sampai di Wae Rebo, penanda kami adalah tujuh rumah adat dengan atap berbentuk bulat mengerucut yang konon sudah bertahan selama 19 generasi.

Wae Rebo adalah sebuah desa tradisional yang dikelilingi bukit dan lembah. Desa ini berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Di Wae Rebo terdapat tujuh rumah adat yang disebut Mbaru Niang. Sebagian besar maysarakat bekerja sebagai petani kopi dan petenun. Mereka mempertahankan cara-cara hidup lama, seperti melakukan upacara adat untuk mendoakan para leluhur. Karena keunikan dan nilai sejarah, pada 2012, Wae Rebo dinobatkan sebagai situs warisan budaya UNESCO.

Keunikan Wae Rebo menarik minat pengunjung. Dengan membayar tarif yang sudah ditentukan untuk pemandu wisata, prosesi adat, dan akomodasi, para tamu bisa menginap di rumah-rumah penduduk dan merasakan sensasi hidup di daerah terpencil. Pada musim libur, sekitar 250-350 orang datang ke Wae Rebo. Kehadiran para pengunjung  membuat Wae Rebo seperti desa terisolasi dengan keramaian menyerupai kota-kota besar.

“Ayo, sebentar lagi ada acara adat, penyambutan tamu,” kata Kraeng Yeremias, membuyarkan lamunan.

Dengan rambut, wajah, dan tubuh basah, saya masuk ke dalam rumah adat yang paling besar. Di dalam rumah, para tetua duduk bersila. Teman perjalanan, Agnes, Hussein, dan saya, duduk di atas tikar rotan dengan tubuh menggigil.

Para tetua kemudian berbicara dalam bahasa setempat, yang kurang-lebihnya berarti, mereka merasa senang kami datang. Tetua kemudian melantunkan doa-doa dan menyembelih ayam. Bagi orang Wae Rebo, ayam adalah hewan yang cukup penting karena menjadi media persembahan kepada leluhur. Selain ayam, masyarakat Wae Rebo juga memelihara babi dan anjing.

Acara adat penyambutan tamu berlangsung sekitar setengah jam. Acara diakhiri dengan salam-salaman antara penduduk lokal dengan tamu yang hadir. Saya melihat ke sekitar, ada puluhan tamu seusia saya yang duduk bersila di dalam rumah adat. Beberapa orang saling bekenalan.

Sekitar pukul 9 malam, saat sedang duduk sambil menyeruput kopi di rumah adat, saya melihat rombongan lain datang. “Lala!” kata saya kepada salah satu anggota rombongan itu. Lala melambaikan tangan. Ah! Kebetulan sekali bertemu dengan Lala and the gank, yaitu Syarief, Ape, Gerdi, Ester, dan Liczy. Mereka adalah teman-teman yang mewarnai perjalanan di Kepulauan Komodo. Setelah menjalani prosesi adat penerimaan tamu, kami menikmati malam sambil melihat rasi bintang di langit.

Kesokan harinya, saya terbangun sesaat sebelum matahari terbit. Bersama puluhan pengunjung, saya keluar untuk melihat sang surya menampakkan wajah. Dingin dan lembab. Angin bertiup di dekat tengkuk kepala. Saya melihat pemandangan magis berupa desa tradisional yang berada di atas awan.

Setelah sarapan, para pelancong membaur dengan penduduk lokal. Beberapa orang “kota” memberikan buku-buku untuk anak-anak, ada yang ngopi dan ngerokok bersama deretan bapak-bapak, ada yang memasak bersama rombongan ibu-ibu, ada pula yang bermain sepak bola.

Di tengah lapangan saya melihat dua dunia menjadi satu, antara kawanan pemuda perkotaan, yang membawa kamera dan ponsel supercanggih, dengan anak-anak pedesaan yang lari tanpa alas kaki. “Orang Jakarta! Orang Jakarta!” teriak anak-anak Wae Rebo, kepada siapapun yang bukan berasal dari kaum mereka, bukan dari desa mereka.

Saya duduk sambil memandang kerumunan orang. Pemandangan yang indah, masyarakat yang ramah. Hati kecil berbisik, bisakah kita mengupayakan pariwisata berkelanjutan di Wae Rebo ataukah lambat laun budaya lokal terkikis nilai-nilai baru yang datang dari dunia luar?

 

Jakarta, 15 April 2017.

Ps: tolong abaikan Hussein yang melakukan foto bomb!

Read more

Nun jauh di pelosok Desa Masalili, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, kegiatan menenun sudah menjadi kegiatan turun-temurun. Kerajinan itu bertahan berkat kegigihan para perempuan, salah satunya Wa Opa (48). Ia menjaga tradisi itu demi kesejahteraan warga sekaligus menyokong pendidikan generasi muda.

”Bisa dibilang, selama ini saya hidup dalam kemiskinan. Akan tetapi, melalui kain tenun, saya bisa sekolah. Saya berharap tradisi menenun di Desa Masalili tetap lestari. Karena melalui tenun, ada kesempatan hidup lebih baik,” tuturnya saat ditemui, awal Maret lalu.

Masalili berada sekitar 8 kilometer dari Kota Raha, Kabupaten Muna. Perjalanan menuju desa itu tidak mudah, menembus jalur yang berkelok-kelok, berbatu, dan berlubang. Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah kayu warga. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki.

Di Masalili, ada kegiatan menenun hampir di setiap rumah. Itu memang pekerjaan harian warga yang terampil menenun. Dari 1.200 penghuni desa, 242 orang adalah petenun. Kebanyakan adalah remaja perempuan putus sekolah dan ibu rumah tangga.

Wa Opa membantu orangtua menenun sejak kanak-kanak. ”Ibu saya petenun. Awalnya saya membantu memintal benang,” ujarnya.

Agar kain tenun buatan ibunya laku terjual, Wa Opa kecil akan berlari menghampiri setiap mobil yang melintas di desa. Biasanya di dalam mobil itu ada orang asing yang datang untuk melakukan penelitian di goa alam Liang Kabori dan Metanduno.

Goa yang terkenal dengan lukisan dinding zaman prasejarah itu berada di perbatasan Desa Bolo dan Desa Masalili. ”Begitu melihat orang asing, saya menawarkan kain tenun. Uang dipakai untuk membeli peralatan sekolah,” kenangnya.

Ketika itu, menenun selembar kain bisa makan waktu satu tahun. Proses itu dimulai dengan menanam kapas. Dengan alat bernama kangia, perajin memintal serat-serat kapas.

Helaian serat itu ditata membentuk benang yang berjejer rapat. Helaian dibuat sepanjang 65-70 cm. Proses ini disebut menghani (de-soro). Perajin lantas merancang motif dan membuat komposisi warna (kabekasi) dengan limbah kayu.

Jika semua siap, barulah proses menenun dimulai. Mengingat proses panjang ini, wajar saja jika selembar kain tenun dianggap menggambarkan ketulusan dan keteguhan hati pembuatnya. ”Menenun itu harus tekun. Kalau terburu-buru, benang bisa terputus,” ujar Opa.

Inspirasi dari alam

Wa Opa mendapat inspirasi warna dan motif tenun dari pemandangan alam. Biasanya dia mengamati tanaman di hutan. ”Saya membuat gradasi warna kain tenun sesuai dengan warna bunga dan daun-daun,” ujar pendiri kelompok usaha tenun ”Baru Mekar” itu.

Proses menenun yang dilakukan selaras dengan keindahan alam membuat kain tenun dari Desa Masalili memiliki kekhasan warna alami. Coraknya pun beragam sehingga bisa dikenakan semua kelompok, mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa. Pemakaian sarung tenun laki-laki dan perempuan juga berbeda. Meski helaian benang ditenun secara tradisional, hasilnya cukup kuat dan bagus.

Sejak tanaman kapas sulit ditemui, perajin tenun di Desa Masalili beralih menggunakan benang biasa. Kini, proses pembuatan kain tenun juga lebih cepat karena menggunakan peralatan modern.

Para petenun di Desa Masalili kini menghadapi soal lebih serius, yaitu kekurangan modal. Promosi pun berjalan lamban. Pemasaran masih berjalan secara konvensional, yaitu dari mulut ke mulut. Pasar kain tenun pun sering kali sepi.

Satu-satunya kelompok usaha masyarakat, yaitu badan usaha milik desa, hanya mampu menampung 10-15 kain tenun per bulan untuk dijual kembali. Padahal, petenun di Masalili mampu memproduksi ratusan lembar kain tenun setiap bulan.

Agar kegiatan menenun di Desa Masalili tetap lestari, Wa Opa membantu memberikan modal benang untuk para perajin. ”Setelah benang selesai ditenun, mereka kembali kepada saya. Saya tidak memberi upah, tetapi membeli kain tenun dari para perajin dengan mengurangi harga bahan baku,” ujarnya.

Kain tenun hasil perajin di Desa Masalili itu kemudian dipasarkan. Soal harga bervariasi, bergantung pada motif dan bahannya. Paling murah selembar kain dijual Rp 100.000. Ada pula satu kain tenun yang dihargai jutaan rupiah karena terbuat dari benang dengan pewarna alami.

Dalam sebulan, Opa bisa menjual 50-100 lembar kain. Untungnya tipis. Itu pun kain kerap menumpuk di rumahnya lantaran pembeli pasang surut.

Untuk pendidikan

Saat ini, Wa Opa bekerja sama dengan puluhan petenun yang bekerja keras demi pendidikan anak-anak. Bulan April ini, ada 10 petenun yang membutuhkan uang untuk wisuda anak-anak mereka yang kuliah di sejumlah kota. ”Sejak beberapa bulan lalu, para perajin sudah menenun kain agar punya ongkos hadir di acara wisuda. Meski sepi pembeli, saya berusaha tetap menerima hasil menenun perajin karena dengan cara itu anak-anak mereka bisa sekolah dan kuliah,” tuturnya.

Dia juga memberi modal benang agar para perajin dapat menenun kain untuk dikenakan saat anak mereka wisuda. ”Saya ingin para perajin dapat tampil pantas dengan kain tenun buatan sendiri di acara wisuda,” katanya.

Saat menghidupi denyut tenun di Desa Masalili, Wa Opa sering menghadapi penolakan dari masyarakat. ”Saya bahkan sering dilempar barang karena banyak suami dari para petenun yang hobi mabuk,” katanya.

Wa Opa lalu mengakali kondisi itu dengan bertemu para lelaki saat tidak mabuk. Wa Opa menjelaskan, dengan menenun perekonomian masyarakat meningkat. Anak-anak juga bisa bersekolah. ”Seharusnya orangtua malu mempunyai anak sarjana, tetapi mereka masih mempertahankan cara hidup lama. Seiring berjalannya waktu, pola pikir laki-laki mulai berubah,” katanya.

Selain memasarkan kain tenun, Wa Opa juga membuka tempat pelatihan menenun untuk anak-anak dan remaja. Saat Kompas berkunjung ke rumah Wa Opa, ada tiga anak berusia 9-11 tahun yang sedang tekun menenun kain. Wa Opa mengamati sambil sesekali memberi pengarahan agar hasil tenun rapi dan indah.

Sadar lukisan-lukisan dinding di Goa Liang Kabori dan Metanduno yang sudah berusia ribuan tahun menjadi ciri khas Kabupaten Muna, Wa Opa membuat kain tenun bermotifkan lukisan dinding goa. Tahun 2016 lalu, kain itu dibeli warga negara Belanda.

Wa Opa berencana kembali menenun motif lukisan dinding agar kain tenun Muna bisa mendunia. Sekalipun penjualan tenun pasang surut, perempuan itu bertekad terus mengembangkan kain tenun untuk mempertahankan tradisi sekaligus memastikan kegiatan itu menjadi ladang rezeki untuk warga. (OLEH DENTY PIAWAI NASTITIE)

WA OPA

♦ Lahir: Masalili, 31 Desember 1969

♦ Pendidikan: SMKN 1 RAHA

♦ Pameran:

– Gelar Tenun Tradisional Indonesia, 27 September-1 Oktober 2006

– Pembukaan Pameran Perayaan 2 Tahun Cita Tenun Indonesia oleh Ibu Ani Yudhoyono (Jakarta, 27-29 Agustus 2010)

– Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2010

– Pameran dan Seminar Cahaya Timur Indonesia (Jakarta, 1-4 Oktober 2013)

♦ Penghargaan:

– Perajin tenun terbaik dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sultra (Maret 2017)

Ket: Tulisan dimuat di harian KOMPAS, Rabu, 27 Maret 2017

Read more

Travel brings power and love back into your life” – Elisabeth Gillbert, Eat, Pray, Love

Bagi sebagian orang, melakukan perjalanan merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan diri dari segala duka dan nestapa. Entah duka karena cerai dari suami atau istri, putus dari tunangan, atau sebagai momentum kebangkitan setelah berkali-kali cinta ditolak. Bagi beberapa orang lain, perjalanan merupakan langkah mengatasi baper.

Sudah sering dengar istilah “baper” kan? Teman saya, Agnes Theodora, menjelaskan makna baper sebagai “perasaan campur aduk akibat suatu persitiwa berkaitan dengan orang lain yang cukup penting di hidup ini”.

Contohnya, baper muncul ketika Whatsapp Messenger hanya dibaca oleh gebetan dan tidak dibalas selama berhari-hari. “Menunggu balasan WA satu hari terasa seperti satu abad,” kata Agnes, sambil berkali-hali mengintip layar ponselnya yang kehilangan signal saat kami mendarat di Labuan Bajo. (Signal HP aja hilang, gimana signal perasaan dari dia, Ness??? *langsung digampar).

Menurut Agnes, baper juga bisa muncul karena ada perasaan dekat dengan “si dia” padahal sesungguhnya hanya dianggap sebagai sahabat. *NANGISSS BOMBAAAYYY T.T sediiihhh….

Baper akut membuat sebagian orang terlalu mudah bahagia dan terlalu gampang bersedih, bahkan sampai kepingin mengahiri hidup dengan bunuh diri, membuat nafsu makan hilang, susah tidur, dan berbagai aktivitas keseharian terganggu karena kurang konsentrasi.

Menyadari betapa berbahayanya baper di kalanganan generasi milenials, Agnes Theodora, Hussein Abri Yusuf, dan saya memutuskan untuk melakukan perjalan ke Flores. Sejenak kami ingin meninggalkan hingar bingar dan kebisingan hidup di kota. Dengan menikmati keindahan alam Flores, kami berharap dapat menemukan makna hidup dan sukses mengatasi baper agar hidup terasa lebih mudah di kemudian hari.

*

Meskipun rencana berangkat ke Flores sudah ada sejak jauh-jauh hari, kenyataannya kami baru membeli tiket keberangkatan tiga hari menjelang tanggal yang ditentukan! Agnes, Hussein, dan saya berangkat ke Flores tanpa itinerary, tanpa booking hostel, ataupun sewa kapal! “Santai saja… kita nikmati hari!” kata Hussein, enteng.

Begitu sampai Labuan Bajo, kami baru sibuk cari penginapan. Keluar masuk hotel mewah sampai hostel bapuk untuk menemukan tempat bermalam. And you know what, hotel-hotel yang kami datangi mayoritas sudah full booked. “Lo sih Sen, suruh booking hostel gak mau,” kata saya.

Kan sebelum berangkat gue sakit. Sekarang aja, masih sakit. Butuh dirawat,” jawab Hussein dengan suara parau.

Alesan!” Agnes dan saya berseru, berbarengan.

Selain cari penginapan, kami juga wira-wiri mencari agen travel yang menawarkan program sailing Flores. “Ada kapal ke Flores, besok berangkat. Dua orang, pasangan suami istri, sudah mendaftar” kata salah satu pegawai travel .

Agnes, Hussein, dan saya, saling bertatapan, lalu menggeleng kompak. Perjalanan ini bertujuan mencari makna anti-baper, kalau jalannya bareng pasangan suami istri, bisa-bisa malah tambah baper! Hehehe… Apalagi harga paket wisatanya lumayan mahal, bisa-bisa amsyongg perjalanan ini. Sudah baper, tombok pula!

Kami melanjutkan pencarian demi mendapatkan kapal menuju gugusan Kepulauan Komodo. “Gimana kalau kita makan dulu, sebelum memutuskan mau naik kapal yang mana? Perut kenyang, pikiran tenang,” kata Hussein.

Setuju! Tiga domba yang hilang lalu terdampar di sebuah kedai seafood, memesan ikan bakar, cumi goreng sambel kecap, dan tumis kangkung.

Nikmat mana yang hendak kau dustakan anak muda, ketika menyantap lezatnya ikan bakar dengan daging yang empuk dan segar, cumi goreng kriuk-kriuk, juga sambal bawang yang menggoyangkan di lidah!

Saat menyantap ikan bakar dan cumi goreng, tiga domba yang tersesat tidak ingat sedang mencari kapal untuk sailing Flores. Tiga domba yang tersesat sama sekali tidak sadar, hidup sedang terombang-ambing karena tidak ada kepastian tempat bermalam. Live today coz tomorrow never comes, mungkin benar!

Permisi mas dan mbak, cumi gorengnya enak ya?” kata seorang perempuan, membuyarkan kenikmatan menyantap seafood.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba! Aha! Agnes, Hussein, dan saya, saling berpandangan. Seperti ada lampu bohlam yang menyala di kepala, terbesit ide yang sama. Enaaak!!!” jawab kami kompak. Hussein menawarkan perempuan itu mencoba cumi goreng yang tersaji di piring. “Sumpah, ini enak banget! Harus dicoba!!” kata Hussein sambil menyodorkan potongan terakhir cumi goreng di piring saji.

Stella menolak. Gerak-geriknya kikuk. Tetapi Hussein tetap kekeuh menyodorkan sepotong cumi goreng kepadanya. Saat Stella mencicipi cumi goreng, Hussein langsung menembak dengan pertanyaan yang sudah terukir di kepala: “Kalian mau sailing Flores ya? Sudah sewa kapal? Kami bisa ikut rombongan kalian gak?” 

Percayalah saudara-saudara, saat kepepet bungkus rasa malumu! Nggak usah jaim, dan utarakan maksud kamu hidup di dunia ini! (Maaf ya Stella, akhirnya kamu mengetahui bahwa tujuan Hussein menawarkan cumi goreng tak lain tak bukan karena kami ingin nebeng kapal kamu! T.T)

Stella kaget melihat kami yang sangat agresif minta tebengan sailing Flores. Wajah Stella menunjukkan tatapan: Kenal juga enggak, main nebeng ajaa!

Kami akan bayar berapapun uang patungan kalian,” kata Hussein meyakinkan.

Stella lalu memanggil teman-temannya, yang berjumlah enam orang. “Sebentar ya, saya tanya temna-teman dulu,” kata dia.

Setelah mereka berdiskusi, Stella menggangguk setuju. “Horeee!!!!” Hussein, Agnes, dan saya, bersorak kompak! Kami langsung bersalam-salaman dengan rombongan Stella, sok kenal sok akrab. Wkwkwkwkkw!!

Perjalanan sailing Flores kami lakukan selama tiga hari dua malam. Kami mengunjungi beberapa tempat eksotis, seperti Pulau Padar, Pulau Rinca, Pulau Kanawa, dan Pink Beach. Kami menyelam, menyusuri terumbu karang, berenang bersama manta dan ikan-ikan kecil. Kami mendaki bukit-bukit yang tinggi menjulang, berfoto bersama pasir putih, ranting pohon, dan kapal-kapal yang bersandar.

Selama sailing Flores, kami sadar meskipun setiap hari kami mudah baper namun hidup menawarkan banyak pengalaman seru dan menantang. Di antara perasaan-perasaan baper, kami bahagia punya teman baru. Kami juga bahagia bisa mengibarkan bendera merah putih di puncak Gili Lawa, menyusuri Pantai Merah Jambu, menyelam dan menikmati keindahan bawah laut, serta menikmati sunset di pelosok Tanah Air.

Kalau kamu merasa baper, atau merasa sedih karena hidup berjalan tidak sesuai harapan, angkat gelasmu kawan… dan mari kita mulai berpetualang! Perjalanan tidak akan mengusir kesedihan atau menyelesaikan segala persoalan, tetapi selama perjalanan kita akan mensyukuri setiap nikmat dalam hari-hari yang berharga! Cheers!

Jakarta, 22 Maret 2017

Read more

Oleh: Denty Piawai Nastitie

“Kita sudah sampai di Pulau Kanawa,” kata Ardin, anak buah kapal.

Hussein Abri Yusuf, Agnes Theodora ,  dan saya saling berpandangan. “Sudah sampai?” saya bertanya, kebingungan.

Ardin mengangguk. Dia lalu melempar pandangan ke arah utara. Tangan kanannya menunjuk sebuah pulau yang jaraknya sekitar lima ratus meter dari tempat kapal berlabuh.

Saya harus memincingkan mata untuk melihat pulau sebesar kelereng di garis cakrawala. Pulau berwarna hijau yang dikelilingi terumbu karang, pantai pasir putih, dan air laut yang bening dengan gradasi biru tua dan biru muda.

“Masih jauh, kenapa kita tidak mendekat saja?” kata saya, mendesak.

“Tidak bisa. Pulau itu dikelola orang asing. Kita tidak bisa berlabuh di sana. Kalau mau berlabuh, harus menyewa kapal khusus,” jawab Ardin.

“Lalu bagaimana cara ke sana?”

“Hanya ada dua pilihan, pertama berenang.”

“Yang kedua?”

“Yang kedua juga berenang,” tuturnya, sambil ngekek.

Saya mendengus, kesal. Kenapa sih ada orang asing yang hobinya menguasai kekayaan alam Indonesia dan membentengi pulau seolah itu milik pribadi.

“Jadi, gimana? Mau tetap di kapal hingga matahari terbenam atau pergi ke pulau?”

Ardin duduk di atas dek kapal sambil meluruskan kaki. Dia menyalakan lighter, lalu menghisap sebatang rokok. Kapal bergoyang, terombang-ambing digerakkan gelombang.

Saya memandang pria dengan tubuh hitam legam itu. Kalau saya sebagai wisatawan merasa kesal dengan pulau-pulau yang dikuasai orang asing, bagaimana penduduk lokal seperti Ardin? Apakah dia merasa terjajah di negeri sendiri?

Saya menarik nafas panjang, lalu mulai menyiapkan kaca mata berenang. Dalam waktu singkat, Hussein dan saya menyelam ke laut. Membenamkan diri di air asin yang dalamnya tak seorang pun tahu, seperti perasaan si dia yang sulit ditebak. (Eh!)

Angin bertiup. Ombak bergulung. Terik matahari membakar kulit. “Hati-hati, ya!” kata Agnes, sambil melambaikan tangan. Dia tidak berenang ke Pulau Kanawa karena tidak bisa menyelam. Saya menoleh ke Agnes, melihat keningnya berkerut-kerut.

Pulau Kanawa adalah sebuah pulau kecil di Flores. Sekilas, namanya mirip dengan Pulau Kenawa, yang terletak di dekat Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa.

Pulau Kanawa dulunya dikelola warga lokal. Sejak 2010, pulau itu dikuasai orang asaing berkebangsaan Italia dengan sistem hak guna usaha selama 25-30 tahun. Selain Kanawa, pulau lain, seperti Bidadari dan Sebayur, juga dikuasi orang asing. Dari 162 pulau di Manggarai Barat, 13 di antaranya merupakan pulau berpenghuni. Sejumlah pulau tak berpenghuni dilirik investor.

Di Kanawa, pengelola membangun bungalow di bibir pantai, jembatan kayu, dan dermaga. Keindahan Kanawa membuat pulau itu diserbu turis asing dan turis lokal berduit tebal.

Untuk mengunjungi Pulau Kanawa, wisatawan berlayar dari Pelabuhan Labuan Bajo. Di Kanawa, pengunjung dapat menyewa tenda dome, bungalow, atau rumah berbentuk gazebo. Harga sewa rumah sudah termasuk kapal dan makan selama menginap. Saya tidak tahu berapa harga sewa keseluruhan, katanya sih mencapai jutaan rupiah.

Lalu bagaimana kalau ada pelancong yang hanya ingin mengunjungi pulau ini tanpa menginap? Pengelola “bermurahan hati” mempersilakan siapa saja datang. Syaratnya, kapal harus berhenti setidaknya 500 meter dari bibir pantai. Turis diminta berenang. And here we go, berenang menuju pantai!

Awalnya, menyelam terasa begitu menyenangkan! Hidup bebas, lepas dari kebisingan dan kepenatan kota. Saya, yang sebagian besar masa kecil dihabiskan dengan les berenang, mencintai air. Selain makanan dan kamu yang ada jauh di sana (halah!), berenang adalah hal paling saya cintai dalam hidup.

Namun, semakin lama, ombak semakin bergulung. Gelombang bukannya membawa tubuh mendekati pantai, justru menarik menjauh. Beberapa kali saya menelan air asin. Nafas semakin pendek. Kulit kian terbakar. Saya melihat Hussein mengerahkan segenap kemampuan. Semakin lama, jaraknya semakin jauh.

Saya memutuskan tidak menunggu Hussein. Terbesit dalam pikiran, yang penting bisa segera sampai pantai. Bisa mampus ditelan laut kalau terlalu lama terombang-ambing!

Setelah sekitar 30 menit berenang tanpa henti, saya mencapai bibir pantai. Saya segera merebahkan tubuh di hamparan pasir putih. Kepala saya menengadah ke langit. Biru. Putih. Abu-abu. Menjadi satu.

Angin bertiup. Kepala berkunang-kunang. Tanpa air minum, tenggorokkan terasa kering. Saya terdampar di sebuah pulau asing. Lalu, saya teringat Hussein! Mana dia??? Saya melihat ke arah laut, Hussein tidak terlihat! Jangan-jangan dia balik ke kapal! Sialan, gue ditinggalin di pulau sendirian!

Tiba-tiba badan saya menggigil. Pikiran buruk berkecamuk. Jangan-jangan Hussein… tengg.. ge… laaam…

Ketika sudah kepayahan mencari, saya melihat seorang pria berjalan pelan di jembatan kayu. “Hussein!” kata saya, sambil melambaikan tangan.

Hussein bergerak mendekat.

“Gua kira lo tenggelam!”

“Enggaklah! Gue berenang sampai dermaga terus jalan kaki,” jawab Hussein.

“Boleh lewat jembatan itu?”

Hussein menggeleng. “Petugas minta uang Rp 50 ribu untuk lewat jembatan.”

“Dasar petugas matre!” umpat saya, sambil bersandar pada pohon kelapa.

Di Pantai Kanawa, saya melihat turis asing datang naik perahu karet yang bersandar tepat di bibir pantai. Beberapa bocah berlarian. Orang dewasa rebahan di hammock sambil menegak air kelapa.  Ingin rasanya mengecap seteguk air untuk menyegarkan tubuh.

Saya menoleh ke arah Hussein, “Lo bawa duit buat beli air?”

Hussein menggeleng. “Tadi aja lewat jembatan gue belum bayar. Petugas dermaga kasih gue peringatan supaya tidak lewat sini lagi,” katanya.

Kami kembali menyelonjorkan kaki. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga sebelum kembali berenang ke kapal.

Mengunjungi Pulau Kanawa termasuk dalam sailing Flores yang saya lakukan bersama Hussein dan Agnes, Mei 2016. Selain Kanawa, kami juga berkunjung ke Pulau Padar, Pulau Rinca, dan Pink Beach yang berada di dalam gugusan Kepulauan Komodo. Selain berlayar, kami juga overland  ke Waerebo.

Dalam perjalanan menuju Waerebo, hati saya berbunga-bunga. Hampir seminggu di tanah Flores, saya melihat pemandangan indah berupa hamparan pasir putih dan pulau-pulau kecil yang berkilauan. Saya juga menyusuri terumbu karang dan aroma asin air laut.

Kini, jalan berkelak-kelok di antara lebatnya hutan terhampar. Setiap kali singgah, penduduk lokal dengan ramah menyapa dan menawari kopi Manggarai. Hati senang, pikiran tenang, dan perut juga kenyang setelah siang tadi menyantap lezatnya ikan bakar di pinggir pantai. Dengan berbagai kenikmatan hidup yang ada, siapa tidak terbuai dan jatuh cinta pada  keindahan alam Flores.

Di Manggarai, saya bertemu dengan Romo Ricard dan Romo Dino, imam di Gereja Labuan Bajo. Sambil menegak minuman dingin, Romo Ricard bercerita mengenai nasib Flores yang kian ironis karena dikelilingi kekayaan alam sekaligus dikepung dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. “Kepentingan pejabat rakus membuat rakyat menderita,” kata Romo Richard.

Romo Ricard menuturkan, orang-orang “kaya” kong-kalingkong degan sejumlah pejabat di Ibu Kota untuk menguasai asset daerah. Investor membangun resort mewah. Mempromosikan keindahan alam ke negara-negara di Eropa dan Amerika. Mematok harga tinggi untuk setiap kunjungan wisata. Meraup keuntungan besar dari setiap lini bisnis yang dijalani.

Tidak hanya di Pulau Komodo, sejumlah pelaku bisnis juga membeli hamparan tanah di Labuan Bajo untuk membangun resort-resort mewah. Masyarakat lokal yang minim pengetahuan sepakat menjual tanah di pinggir pantai dengan harga murah. Uang lalu habis untuk membangun rumah baru.

Dampaknya, sebagian masyarakat kini tak lagi memiliki tanah untuk tempat kapal berlabuh. Mereka yang tadinya bekerja sebagai nelayan, kini banting tulang menjadi tukang ojek.“Bahkan, sepenggal tanah di Pantai Pede, satu-satunya tempat terbuka untuk masyarakat biasa, sudah dilirik investor. Di tempat itu, investor berencana membangun hotel mewah,” kata Romo Ricard.

Masyarakat yang sadar akan potensi Flores, mengembangkan daerah itu sebagai tujuan wisata. Mereka menawarkan jasa sewa kapal untuk berlayar di Kepulauan Komodo, menggunakan keahlian memasak untuk membuka usaha catering, serta membangun rumah untuk dipakai menjadi homestay murah.

Namun, sebagian masyarakat lainnya sulit mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan bahasa dan teknologi. Masalah serupa, rasanya juga terjadi di daerah lain seperti Raja Ampat di Papua. Konon, banya tanah di Raja Ampat sudah dibeli artis-artis Ibu Kota untuk dijadikan resort mewah.

Malam semakin larut. Mata kian mengantuk. Bersama Hussen dan Agnes, saya kembali ke penginapan. Sebelum terlelap, saya terkenang percakapan dengan seorang teman yang bercita-cita ingin meninggalkan zona nyaman hidup di kota besar demi tinggal dan bekerja di Flores. “Flores itu eksotis. Penuh potensi, sekaligus menawarkan segala ironi,” katanya. Seiring debur ombak dan desir angin yang menutup malam, kelopak mata erat terpejam… Esok, menawarkan cerita berbeda.

Jakarta, 17-01-2017

 

Read more

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”][fusion_text]UPSK2862

“Waspada! Jaga jarak dalam melangkah! Saling mengawasi agar tidak ada yang celaka!” teriak seorang pendaki, sambil menuruni puncak Kenteng Songo di Taman Nasional Gunung Merbabu.

Di Gunung Merbabu, hujan deras tumpah dari langit. Mengguyur tubuh yang sudah basah dan menggigil. Angin bertiup kencang. Menggoyang daun-daun dan ranting pohon. Aliran air membuat tanah berlumpur. Jejak kaki hilang tersapu genangan.

Setelah menuruni lereng dan bukit, jalur perjalanan terbelah. Di sebelah kiri, trek berupa turunan terjal dengan tebing berselimut kabut pekat. Di kanan, jalur melebar dan memanjang seperti tak berujung.

“Kita ke mana?” tanya saya pada Ricky, teman seperjalanan.

Ricky memanjat bebatuan. Memandang jalur di sebelah kiri yang berbahaya. “Kita tidak mungkin lewat sini. Terlalu riskan,” katanya.
“Kalau sebelah kanan bagaimana?” tanya saya, gusar dan tak sabar.
“Saya tidak yakin. Itu sepertinya bukan jalur yang kita lalui saat mendaki tadi,” jawab Ricky.
Perasaan campur aduk tak karuan. Pikiran mulai membentur-bentur segala kemungkinan. Sepatu basah. Sarung tangan basah. Air hujan menetes-netes dari jas plastik berwarna merah. “Bagaimana kalau kita tunggu rombongan lain yang juga turun?” ujar Ricky.

Setelah menunggu beberapa saat, sambil menahan dingin kantuk, kami bertemu rombongan lain yang bergerak menuruni bukit.

“Ada yang tahu jalan menuju Sabana Dua?”

“Lurus saja! Sebelah kiri terlalu terjal, akan sulit dilewati,” jawab salah satu pendaki. “Waspada! Jaga jarak dalam melangkah! Saling mengawasi agar tak ada yang celaka!” ujarnya lagi.
Saya memandang teman-teman seperjalanan: Ricky, Rhesa, Eva, dan Ivan. Di puncak gunung, kami satu jiwa dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan.
Begitu sampai di Sabana Dua, saya segera masuk ke dalam tenda. Melindungi tubuh dari badai. Segera mengganti sarung tangan dan kaos kaki, lalu menenggelamkan diri di dalam sleeping bag. Sesaat menutup mata, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan tubuh dan pikiran yang terkuras di dalam perjalanan.
Sekitar dua jam kemudian, aroma sosis goreng membangunkan tubuh yang kelelahan. Hujan sudah reda. Menyisakan angin yang bertiup nyaris merubuhkan tenda. “Ayo, sarapan…” kata Ricky.
Bagai kawanan domba, berkumpul di bawah terpal untuk melahap roti gandum, sosis goreng, chicken nugget, dan sarden. Keterbatasan air membuat kawanan domba yang kelaparan ini tidak dapat menanak nasi atau merebus mi instan. Namun, pada saat kepepet, kreativitas mengolah makanan tidak terbatas. Roti dengan selai sarden menjadi pilihan. 

“Nikmat,” kata Ivan, sambal melahap makanan.
_
Perjalanan mendaki puncak Gunung Merbabu berawal tepat di hari Natal. Perjalanan selama tiga hari dua malam ini merupakan perayaan menyambut pergantian tahun baru. Perayaan tanpa hiruk pikuk keramaian kota. Tanpa kilatan cahaya dan kebisingan kendaraan di jalan raya. Perayaan menyusuri pekatnya malam dan keindahan alam.
Bagi saya, perjalanan menyusuri Gunung Merbabu sebenarnya bukan pertama kali. Empat tahun lalu, bersama mas mantan, saya pernah mendaki Gunung Merbabu melalui jalur Wekas, Magelang. Kali ini, saya menempuh petualangan melewati jalur Selo, Boyolali. Selain dua jalur ini, ada pula perjalanan melalui Kopeng dan Suwanting.
Jalur Wekas terkenal pendek dan memiliki banyak sumber air. Perjalanan dari basecamp menuju Pos Satu akan melewati rumah-rumah dan ladang penduduk. Dari Pos Satu menuju Pos Dua menyusuri hutan. Di Pos Dua ada lahan datar yang biasa dipakai untuk berkemah.
Setelah itu, tanah menanjak dan berkelok-kelok menanti. Sensasi melipir tebing yang memacu detak jantung memberi tantanganSayangnya, sebelum sampai puncak, perjalanan berakhir. “Sudah terlalu sore, waktunya tidak akan cukup mencapai puncak,” hanya kalimat itu yang terucap dari si dia di masa lalu (Bwahahhaha :p).

Rasa penasaran mencapai puncak Gunung Merbabu rupanya masih tersisa di relung hati. Seperti menoleh ke masa lalu, perjalanan, meskipun dilakukan di tempat yang sama, selalu menawarkan sudut pandang berbeda.

Bersama The Squad, kali ini, perjalanan bermula dari jalur Selo. Berbeda dengan Wekas, perjalanan dari jalur Selo terkenal lebih mudah karena treknya panjang dan relatif lebih landai. Tantangannya, di jalur Selo tidak ada sumber air. Pendaki harus membawa ekstra air untuk bertahan hidup.

Berjalan dari basecamp, saya melewati arena perkemahan yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Perjalanan banyak melintasi bonus (sebutan jalur landai) di arena hutan. Selepas Pos Satu, jalur mulai menanjak dan berkelok-kelok. Bersama rombongan, saya berkemah di Pos Dua. Saat mendirikan tenda, gerimis turun membasahi rerumputan.
Keesokan harinya, perjalanan berlanjut melewati Tikungan Macan dan Pos Tiga (Batu Tulis). Arena ini terbuka dan berdebu. Sejumlah pendaki beristirahat sambil memandang keindahan Gunung Merapi yang berdiri gagah berhadap-hadapan dengan Gunung Merbabu. Di sebelah kiri dan kanan, bukit dan lereng pegunungan berwarna kehijauan. Langit berwarna biru terang dengan gerombolan awan putih bergerak pelan. Saat cuaca cerah, Gunung Sumbing, Sindoro, dan Slamet juga terlihat.
 
Banyak yang bilang, tidak perlu mencapai pancake Gunung Merbabu untuk menikmati alam. Keindahan tidak selalu ditawarkan di puncak tujuan, tetapi ada dalam setiap kesulitan dan langkah-langkah perjalanan. 

Setelah Pos Tiga, jalur menyempit dan berbatu menuju Sabana Satu. Trek semakin menantang memasuki Sabana Dua. Di tempat ini, hamparan rumput yang luas menjadi tempat para pendaki berleyeh-leyeh menikmati sore.

Begitu sampai tiba di sana, matahari mulai bergerak turun. Sejumlah pendaki mendirikan tenda sebelum hari bertambah gelap.

Di bawah temaram lampu tenda, kawanan domba berkumpul. Masing-masing menggenggam segelas minuman hangat. Kopi. Cokelat. Jahe.  “Bagaimana kalau besok hujan, apakah kita jadi ke puncak?”
“Kalau hujan, lebih baik kita berteduh dulu di tenda karena tidak mungkin melihat matahari terbit. Kalau cuaca cerah, kita bergerak. Tidak masalah apabila terlambat melihat sunrise di puncak, karena di perjalanan kita tetap bisa menikmati Sang Surya,” tutur Ricky.
Pukul 22.00, saya membenamkan diri dalam selimut tidur. Menutup kelopak mata. Dan membisikkan doa agar esok langit cerah.
Setelah beberapa jam terlelap, Ricky keluar tenda. “Bangun, bangun. Di luar bintang-bintang bercahaya,” katanya.
Ivan, Eva, Rhesa, dan saya segera mengeluarkan kepala dari dalam tenda. Memandang langit hitam dengan butiran kemilau bintang.

Pukul 03.30, rombongan mulai merambat bergerak menuju puncak. Tanjakan yang terjal dan curam dilalui selangkah demi selangkah. 

Mendekati puncak, kabut bergerak meniupkan udara dingin. Gerimis mulai turun, membasahi jaket dan celana. Semakin lama, hujan semakin deras. Angin bertiup kencang. Badai mulai mengamuk. Jalan kian licin dan terjal. “Kita tertipu langit cerah. Ternyata, malah hujan,” kata seorang pendaki.

Di puncak Kentheng Songo (3.142 mdpl), yang terlihat hanya langit putih. Tanaman tertutup kabut. Tanah berlumpur. Angin menggerakkan dedaunan. Kawanan pendaki bersembunyi di balik batu atau pohon. Melindungi tubuh dari badai yang mengamuk. Matahari terbit, yang dinantikan, tertutup awan.Beberapa orang kecewa, cita-cita menatap Sang Surya di balik jendela puncak Gunung Merbabu tak terlaksana. Sebagian lainnya, cukup bersyukur dapat selamat dari badai yang mengamuk.

Memiliki tujuan dalam perjalanan memang perlu. Tetapi, keindahan tidak ada di puncak. Keindahan ditemui dalam setiap langkah perjalanan mengatasi tantangan dan segala kesulitan.

Jakarta, 30 Desember 2016
Catt: foto paling atas dimuat harian Kompas (29/12)

[/fusion_text][/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

[fusion_builder_container background_color=”” background_image=”” background_parallax=”none” enable_mobile=”no” parallax_speed=”0.3″ background_repeat=”no-repeat” background_position=”left top” video_url=”” video_aspect_ratio=”16:9″ video_webm=”” video_mp4=”” video_ogv=”” video_preview_image=”” overlay_color=”” overlay_opacity=”0.5″ video_mute=”yes” video_loop=”yes” fade=”no” border_size=”0px” border_color=”” border_style=”” padding_top=”20″ padding_bottom=”20″ padding_left=”” padding_right=”” hundred_percent=”no” equal_height_columns=”no” hide_on_mobile=”no” menu_anchor=”” class=”” id=””][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ last=”yes” spacing=”yes” center_content=”no” hide_on_mobile=”no” background_color=”” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” background_position=”left top” hover_type=”none” link=”” border_position=”all” border_size=”0px” border_color=”” border_style=”” padding=”” margin_top=”” margin_bottom=”” animation_type=”” animation_direction=”” animation_speed=”0.1″ animation_offset=”” class=”” id=””][/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ last=”yes” spacing=”yes” center_content=”no” hide_on_mobile=”no” background_color=”” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” background_position=”left top” hover_type=”none” link=”” border_position=”all” border_size=”0px” border_color=”” border_style=”” padding=”” margin_top=”” margin_bottom=”” animation_type=”” animation_direction=”” animation_speed=”0.1″ animation_offset=”” class=”” id=””][fusion_text]

“Lo boleh nggak percaya sama gue di kehidupan nyata, tapi please…. Kalau lagi di gunung, lo percaya sama gue,” – Rio Praditia, Juli 2016.

Pertengahan tahun lalu, sahabat saya Rio Praditia mengajak naik Gunung Rinjani. “Ini untuk memurnikan makna persahabatan kita,” kata Rio.

Rio Praditia adalah sahabat saya sejak kami kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Meski kami berbeda jurusan, Rio dan saya sama-sama suka traveling dan hobi ngeblog. Saat mahasiswa lain menghabiskan waktu dengan nongkrong di kantin, bikin event-event diskusi ilmiah atau pementasan musik, Rio mengajak saya duduk di perpustakaan sambil membolak-balik majalah National Geographic.

Kami membahas cerita-cerita seru para pejalan idola, membahas foto-foto keren yang terpajang di majalah National Geographic, serta mengkhayalkan perjalan-perjalanan menantang. 

Kecintaan pada dunia traveling, membuat Rio menerbitkan majalah traveling elektronik, Backpackidea. Dia mengajak saya terlibat sebagai text and photo editor, Andri sebagai IT supporting staff, dan Rembrandt sebagai ahli grafis. Kami berempat, jelek-jelek begini boleh sombong karena punya majalah keren bernama Backpackidea 😛

Melalui Backpackidea, kami memperkenalkan konsep traveling bertanggung jawab (responsible traveler) yang tak hanya memperkaya pengalaman pelakunya, melainkan membawa cerita dan manfaat bagi orang lain. Sudah sepuluh edisi Backpackidea terbit, sudah ratusan foto dan cerita perjalan muncul di majalah, sudah puluhuan kontributor dan sponsor terlibat untuk mendukung penerbitan Backpackidea, ada sesuatu yang mengganjal di hati: Rio dan saya belum pernah sekali pun traveling bareng!

“Ayolah, ini saatnya! Teman yang cocok di dunia nyata, belum tentu cocok saat mendaki gunung. Perjalanan ini akan memurnikan persahabatan kita… Berkat perjalanan ini persahabatan kita bisa makin lekat, atau justru permusuhan akan menjerat,” kata Rio.

Kata-kata Rio membuat saya merenung. Meskipun kami punya hobi yang sama, doyan makan makanan yang sama, membaca buku atau mendengarkan musik senada, tidak berarti kami kami akan cocok ketika mendaki gunung bersama. Perjalanan mendaki gunung yang dilakukan dengan segala ups and downs-nya, akan membuat kami mengenal satu sama lain dengan baik.

Ajakan Rio membuat saya membayangkan betapa asyiknya mendaki gunung bersama! Kami akan mendaki gunung sambil menyanyikan lagu Ke Antah Berantah-nya Banda Neira, menikmati coklat panas sambil memandang matahari terbit, atau terlelap dengan belaian angin pegunungan yang sejuk.

Kalimat, “Perjalanan ini akan memurnikan persahabatan kita…” terngiang-ngiang di kepala.

“Gimana?” desak Rio.

“Baiklah, gue ikut,” jawab saya.

Persiapan untuk mendaki Gunung Rinjani saya lakukan hanya dalam waktu enam hari. Kata Rio, rombongan kami yang terdiri dari enam orang akan menyewa tiga porter. Saya bisa menitipkan carrier ke porter sehingga beban berkurang saat mendaki gunung. Brief singkat dari Rio membuat saya kegirangan dan menyiapkan pendakian, SEMAKSIMAL MUNGKIN. (*capslock jebol :D)  Kalau biasanya setiap naik gunung saya bawa barang minim supaya tidak menjadi beban, kali ini saya membawa barang lengkap… Boleeh dongg, sekali-kali naik gunung enggak sengsara-sengsara banget karena kebutuhan hidup nyaman tersedia di carrier.

Baju ganti, misalnya, biasanya cuma bawa sepasang atasan dan bawahan, kali ini saya membawa tiga pasang baju, terdiri dari baju tidur, baju ganti, dan baju gaya (untuk foto-foto di puncak, hahaaha).

Saya juga membawa matras, sleeping bag, toiletries yang super lengkap (mulai dari tabir surya, krim pagi, krim malam, krim wajah dengan vitamin C supaya muka enggak gosong, lipbalm, hingga body lotion,… bener-bener kayak mau ngelenong!). Selain itu, saya membawa buku (untuk bahan bacaan di pesawat dan properti foto), sandal gunung, sleeping bag, serta tissue basah plus tissue kering. Saya juga membawa kamera, lengkap dengan charger dan ekstra baterai!

Karena sepatu Adidas trekking saya sudah jebol, saya membeli sepatu hiking Hi-Tec model terbaru! (Sekalian pamer :P). Untuk menampung barang bawaan yang super banyak, saya juga membeli carrier baru Deuteur 55+10 liter (biasanya saya traveling dengan Deuteur 35 Liter). Barang-barang bawaan sudah lengkaaap, mantabss! Tariiikkk maaanggg!!!

Waktu itu Rio pernah bilang, “Lo gak usah beli tas baru yang bikin barang bawaan lo jadi banyak dan berat. Lo bawa barang-barang yang kecil dan ringan saja.” Tetapi, dasar nekat, saya mengabaikan peringatan Rio! Dalam benak saya muncul kepercayaan diri tingkat tinggi, “Ahh,… nanti juga ada porter! Bisa titip porter!”

Begitu sampai di kaki Gunung Rinjani, ternyata kami hanya dapat dua porter (bukannya tiga seperti rencana awal!) “Teman-teman, porter akan membawa tenda dan logistik perjalanan. Sementara tas pendaki, dibawa sendiri-sendiri ya!” kata Rio. Mampuuuussss…. Gimana barang bawaan gua…. Muka saya langsung pucet. Percayalah…. selain bayang-bayang masa lalu, barang-barang bawaan juga bisa membebani hidup!

“Rio, barang bawaan gue gimana?” tanya saya.

“Apa gue bilang! Bawa barang yang ringan saja!” kata Rio, ketus. Waaahhh… Belum naik gunung, saya sudah musuhan nih sama si Rio! Kata saya dalam hati. Meski sambil mencak-mencak, Rio bersedia bawa sebagian (besar) barang saya!

Kami mendaki gunung sekitar pukul 08.00. Awal perjalanan kami melewati padang yang kering dan berdebu. Matahari bersinar terik, membakar kulit wajah. Beberapa kali berhenti untuk berfoto atau menegak air mineral. Sekitar pukul 12.00, kami berhenti di Pos Satu untuk makan siang. Setelah itu, rombongan kembali bergerak menuju Pos Dua untuk isi air minum dan berkemah. Sepanjang perjalanan, Rio menyindir barang-barang bawaan saya dengan berkata, “Seandainya tas gue enggak bertambah berat dengan titipan orang lain, gue bisa jalan cepat nih!” Hmm. Saya pura-pura enggak dengar.

Keesokan harinya, kami mendaki menuju Pos Tiga Sembalun. Perjalanan melewati bukit penyesalan yang terkenal berat dan menantang! Jalanan yang dilewati berkelok-kelok, berbatu, berdebu, kering kerontang! Begitu mencapai puncak bukit, awan tersingkap… bukit selanjutnya yang lebih tinggi dan menantang menanti! Begitu seterusnya, hingga tujuh bukit terlewati. Di tempat ini, konon, banyak pendaki merasa nyesel sudah naik gunung!

Saya berjalan kepayahan. Di dekat pohon besar, saya berhenti dan bersandar pada dahan. Menyeka keringat di dahi, lalu berbalik badan untuk melihat seberapa jauh trek yang sudah dilalui. Saat menoleh, terlihat gumpalan awan mengelilingi tebing dan lereng pegunungan. Letaknya di jauh bawah posisi saya berdiri. Sungguh magis! Saya merasa sedang menari-nari di atas awan.

Rio menghampiri. “Gue gak bisa menjanjikan lo pemandangan indah, matahari terbit, atau bintang-bintang yang bersinar terang. Gue cuma memastikan kita akan melalui jalan yang menantang, terjal, berbatu, berdebu, berkelok…. tetapi di perjalanan itu lo bisa mengenal diri lo sendiri dan memurnikan makna persahabatan,” kata Rio, sambil menepuk bahu.  

Di negeri di atas awan, napas terasa pendek. Wajah berkeringat. Kaki pegal-pegal. Di Bukit Penyesalan, kami kehabisan energi. Lalu, muncullah ide untuk menyewa satu porter tambahan lagi untuk membawa carrier yang berat menuju Pos Sembalun. Harapannya, beban yang berkurang, bisa meringankan langkah. Kenyataannya, tidak ada porter yang bersedia mengantar barang sampai Pos Sembalun. “Uang hanyalah selembar kertas. Saya tidak bisa mengantar, beban terlalu berat,” kata seorang porter. Tanggapan porter itu membuat kami misuh-misuh: #$$@#%^&&a*su**&^. Terpaksa, kami mengandalkan kekuatan kaki dan bahu diri sendiri untuk berjalan menuju puncak. Di Bukit Penyesalan, saya memetik satu pelajaran berarti, dalam hidup ini tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri.Menjelang sore,… Kami menginjakkan kaki di Pos Sembalun, pos terakhir menuju Puncak Rinjani. Di dalam tenda, Rio bertanya, “Gimana, masih mau bawa barang enggak penting untuk naik gunung? Lo boleh nggak percaya sama gue di kehidupan nyata, tapi please…. Kalau lagi di gunung, lo percaya sama gue!” kata Rio, yang memang punya pengalaman segudang terkait suka-duka mendaki gunung. 

Saya menjawab dalam diam. Malam terlalu dingin. Kami pun terlelap, karena esok masih panjang.

Hari ketiga, sebelum matahari terbit, Rio, Lingga, Tere, dan saya mendaki puncak Rinjani. Sementara Andri dan Vani berasyik-masyuk menjaga tenda. 

Dalam perjalanan, Lingga mengalami mountain sickness sehingga harus menghentikan langkah. Rio dan Tere juga memutuskan turun sebelum menginjakkan kaki di puncak. “Lo gimana, mau lanjut atau turun?” tanya Rio.

Saya menggigil kedinginan. Tangan beku. Debu menempel di wajah. Menimbang-nimbang, lebih baik naik ataukah turun. “Lo gimana, mau lanjut atau turun?” tanya Rio, sekali lagi. Dengan suara kencang membahana yang bikin saat itu saya kesel banget sama dia!  

Ya, saya sih maklum saja… Namanya di gunung, sebisa mungkin jangan melangkah dalam keraguan. Naik atau turun, sama-sama mengandung risiko. “Gue naik,” kata saya.

“Oke, lo naik. Ikutin orang-orang dan porter yang juga naik. Cuma ada satu jalur, lo tidak akan tersesat. Tetapi, pastikan hati-hati dalam melangkah,” kata Rio. Setelah itu, dia bergerak turun.

Langit masih gelap. Kesendirian dan kesepian mengepung. We’re born alone, we live alone, we die alone. Saya berusaha tabah dan melanjutkan perjalanan. Melalui satu lagi petualangan dalam hidup. Bukan puncak gunung sebenarnya yang dicari. Kenikmatan hidup tidak ditemui di puncak, tetapi dalam kesulitan-kesulitan yang dilalui dalam perjalanan. Terjatuh, bangkit, dan berjalan, hingga ujung hari.

Pukul 07.00, saya mulai menuruni gunung. Memerlukan waktu sekitar empat jam untuk kembali ke Pos Tiga Sembalun, Saat melangkah turun, hati saya riang gembira. Rasanya ingin segera jumpa Rio dan bersorak, “Horeee… gue bisa mencapai puncak!!!” Terbayang Rio akan membuatkan segelas minuman hangat sebagai ucapan selamat. Lalu dia akan mendengarkan cerita-cerita perjalanan, sebagaimana sering kami lakukkan saat berjumpa.

Tetapi, bayangan itu runyam seketika! Begitu saya sampai di tenda, saya melihat Rio sedang molor! Enggak ada ucapan selamat, enggak ada segelas minuman hangat. “Gue nungguin lo lama banget…. makanya gue tidur!” kata Rio dengan wolesnya… -___-” 

“Dasar kampretooo, udah ninggalin gue di gunung malah tidur!!” kata saya. Rio hanya ngekek-ngekek.

Setelah berkemas, kurang lebih satu jam, kami melanjutkan perjalanan.

“Jadi gimana, apa yang lo dapatkan dari perjalanan ini?” Rio bertanya.

“Walaupun lo ninggalin gue di gunung, selama perjalanan ini gue sadar lo emang sahabat gue,” kata saya.

“Kok bisa?”

“Soalnya lo udah bawain carrier gue!! Hahahaa…” kata saya, sambil tertawa terbahak-bahak.

“Sialan!” kata Rio. “Kita berteman, baik di darat maupun di udara.” 

Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju Danau Segara Anak sambil berbincang tetang hal-hal sederhana di hidup yang singkat ini.

Percayalah…. selain bayang-bayang masa lalu, barang-barang bawaan juga bisa membebani hidup! Meskipun ada porter yang bisa membantu kita membawa barang bawaan saat menuju puncak, atau ada teman yang bisa meminjamkan jaket atau sendal gunung, atau teman yang bisa membagi air mineral saat kita kehausan di tengah jalan, saran saya pastikan membawa barang yang BETUL-BETUL dibutuhkan. Dalam hidup ini tidak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri…

Tips naik gunung aman dan nyaman:

1. Nggak usah gaya-gayaan mau bawa carrier besar dan berat kalau enggak kuat.
2. Dari barang-barang yang penting, bawalah yang terpenting! Tabir surya penting, krim pagi atau krim malam sama sekali enggak penting! Sortir your belongings!
3. Pakai sepatu dan pakaian yang nyaman.
4. Camilan dan kamera buat swafoto jangan lupa! (all pictures taken using Iphone 6+ hehe)
5. Enggak usah baper, konflik dengan teman itu biasa… yang penting sama-sama saling menjaga dan harus sadar, pendakian ke puncak gunung adalah perjalanan untuk kembali pulang dengan selamat.
Blora, 10 Desember 2016

 

 

 

[/fusion_text][/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container][fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”2_3″ last=”yes” spacing=”yes” center_content=”no” hide_on_mobile=”no” background_color=”” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” background_position=”left top” hover_type=”none” link=”” border_position=”all” border_size=”0px” border_color=”” border_style=”” padding=”” margin_top=”” margin_bottom=”” animation_type=”” animation_direction=”” animation_speed=”0.1″ animation_offset=”” class=”” id=””][/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”2_3″ last=”yes” spacing=”yes” center_content=”no” hide_on_mobile=”no” background_color=”” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” background_position=”left top” hover_type=”none” link=”” border_position=”all” border_size=”0px” border_color=”” border_style=”” padding=”” margin_top=”” margin_bottom=”” animation_type=”” animation_direction=”” animation_speed=”0.1″ animation_offset=”” class=”” id=””][/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more