Merasakan Sensasi “Off-Road” di Cikole
Jam 6 sore berangkat ke Lembang, di jalan maceeeettt ceeett ceet…… sampai Lembang udah nyaris jam 12 malam. Aduuuhhh I am sooooo tired……… langsung makan, langsung tidur. Besoknya begitu lihat Landy semangat lagi. Ini beberapa snap shot. Prinsipnya kalau Landy gue bermasalah, gue turun dari mobil jepret-jepret terus jalan lagi…. haha sampai diteriakin drivernya karena gara-gara gue Landy kelompok gue
ketinggalan rombongan terus……
Tulisan lengkap Kompas >> http://travel.kompas.com/read/2015/01/11/132700327/Merasakan.Sensasi.Off-Road.di.Cikole
Ziarah Leluhur Dan Makna Sebuah Kehidupan
Saya kemudian bangun, membuka jendela… dan mengucapkan, “Selamat pagi Sindangbarang!”
Sindangbarang merupakan sebuah desa yang terletak di Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Di tempat ini, setiap tahunnya diadakan acara adat Serentaun, pesta panen raya masyarakat Sunda Ladang. Acara ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang mereka peroleh.
Serentaun sudah berlangsung sejak jaman kerajaan Pajajaran. Acara yang juga dimaksudkan sebagai upaya membangkitkan jati diri budaya masyarakat Sunda ini sempat berhenti selama 36 tahun, sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh masyarakat Sindangbarang dan dijadikan sebagai agenda tahunan.
Setiap tahunnya, pada bulan Muharam, selama 7 hari berturut-turut, berbagai ritual dan penampilan kesenian traditional diselenggarakan dalam acara Serentaun. Acara yang dimaksudkan untuk ngauri-uri budaya leluhur itu diantaranya adalah nandur (menanam padi), angklung gubrag (penampilan kelompok angklung yang dimainkan oleh wanita setempat), ngalalauk (lomba menangkap ikan di sungai), dan tentu saja ziarah leluhur.
Pagi itu, warga berkumpul di depan rumah ketua adat dengan membawa berbagai persembahan. Sambil menabuh alat musik traditional, warga kemudian berjalan menyusuri ladang dan area persawahan menuju ke makam leluhur yang letaknya tak jauh dari desa. Warga berpindah dari satu pemakaman menuju pemakaman lainnya dalam iring-iringan kelompok, nyaris seperti karnaval namun dalam keheningan yang berbeda.
Agak siang, warga membagi diri menjadi dua kelompok untuk berziarah ke makam yang letaknya lebih jauh. Saya memilih bergabung dengan kelompok pertama, karena menurut warga, letak makam ini lebih dekat dibandingkan makam yang dituju oleh kelompok kedua.
Belum sempat saya menanyakan hal tersebut kepada warga, di hadapan saya sudah terhampar semak belukar dengan pohon-pohon tinggi menjulang. Glek, saya menelan ludah, lalu mengeringkan keringat di pelipis mata. Hutan tropis dan jalan setapak seakan mengucapkan salam pada saya, “Selamat datang di Gunung Salak!”
Ini pertama kalinya saya mendaki gunung. Saya merasa tertipu. Seharusnya saya tahu lebih awal, ketika mereka bilang dekat bukan berarti tak berat. Muka saya memerah, menahan letih tak terkira.
Bersama warga, kami bersujud. Di hadapan kami terlihat segumpal tanah yang dipercaya sebagai makam leluhur. Makam ini dikelilingi pohon-pohon yang tinggi menjulang. Saya menengadah. Hujan turun membasahi tanah. Tanah yang dipercaya sebagai leluhur, nenek moyang, asal muasal warga Sindangbarang.
Di antara derai hujan yang turun membasahi tanah, saya merasakan kehadiran leluhur seperti ingin menyapa kami, anak-cucu-nya yang berjuang mendaki gunung demi bertemu dengannya.
Saya langsung menyesali keluhan-keluhan yang tadi saya lontarkan. Letih tak sebanding dengan keagungan ini. Ah, betapa kita, manusia, seringkali alfa dalam mensyukuri nikmat yang diberikan alam. Bersama warga Sindangbarang, Bogor, saya belajar makna sebuah kehidupan. Kehidupan sejatinya adalah perjuangan yang tak pernah usai untuk sampai pada akhir yang dinanti.
(DPN, 2013)
Ps: Tulisan ini pernah dimuat dalam http://www.greensands.info/ dalam versi yang lebih pendek untuk keperluan lomba.
Borobudur, Kisah Seekor Gajah di Candi Yang Megah
Siang yang terik, membakar kulit. Saya bertanya kepada Penang Island Municipal Council President, Hajjah Ar Patahiyah Ismail, “Apakah ibu mau pakai payung?”
Beliau menggeleng. “Tak usahlah!” jawabnya. Bersama Bapak Haji Mohamed Akbar Bin Mustapha, Ibu Noorizan Haji Abdul Hamid, seorang pemandu dan seorang pengawal, kami pun mulai melangkah. Membelah ratusan turis lokal dan international yang memenuhi Candi Borobudur pada hari yang terik ini.
Pemandu mengajak kami menggunakan jarik/kain batik sebagai sarung. Katanya pengunjung Borobudur wajib memakai sarung ini untuk menghormati tradisi leluhur, sekaligus membatasi perilaku selama berada di lingkungan candi. Belakangan, Pemandu menceritakan bahwa banyak pengunjung candi yang suka naik ke stupa. Dengan memakai sarung maka pengunjung tidak akan bebas bergerak karena tingkah lakunya dibatasi oleh sarung ini.
Pemandu kemudian memberikan contoh cara memakai jarik, “Caranya mudah, tinggal dililitkan di pinggul dan diikat di ujungnya.” Kami lalu menirunya. Seumur-umur bolak-balik Borobudur, baru kali ini saya menggunakan kain seperti ini.
“Peraturan baru ya mas? Atau karena tamu istimewa? Hehehe.” tanya saya berbisik. Ibu Patahiyah (walikota George Town, Penang) dan dua orang delegasi lainnya, adalah tamu istimewa. Jauh datang ke Yogyakarta untuk menghadiri Rountable Discussion ke-4 yang diadakan oleh Tourism Promotion Organization (TPO) sekaligus untuk menandatangani kesepakatan kerjasama di bidang pariwisata, kebudayaan, pendidikan, dan perdagangan antara Yogyakarta dan George Town, Penang. Kebetulan saya bertugas untuk mendampingin Ibu Walikota selama di Yogyakarta, menemani kemana-pun Ibu mau pergi sekaligus memberi masukan lokasi-lokasi yan patut dikunjungi. Borobudur, salah satunya.
Pertanyaan saya tadi membuat pembandu salah tingkah. Mungkin merasa tersindir. “Ah tidak, sudah dari dulu kok, Mbak. Tapi kain-nya memang terbatas, padahal turis yang datang banyak sekali,” jawabnya mengelak. Memang benar kata-katanya. Saya melihat beberapa pengunjung candi menggunakan jarik yang sama, namun jumlahnya hanya sepersekian persen dari jumlah pengunjung keseluruhan. Satu banding seratus mungkin.
Pemandu mengajak kami mengawali perjalanan dari belakang Hotel Manohara yang mewah. Di sana Pemandu menunjukkan pada kami sebuah pohon yang katanya adalah pohon Bodhi, tempat Buddha bertapa dan mendapatkan pencerahan. Pemandu memetik sehelai daun, membaliknya lalu mengarahkan daun itu ke arah candi Borobudur yang terlihat megah.
“Lihat, bila dibalik, daun ini akan berbentuk menyerupai candi Borobudur. Candi Buddha terbesar di seluruh dunia,” katanya yakin.
Ibu Patahiyah, para delegasi, dan termasuk saya, menyipitkan sebelah mata, lalu memandang ke arah Borobudur kemudian ke arah daun di tangan Pemandu secara bergantian. Ke arah Borobudur, lalu daun. Lalu kembali ke Borobudur, lalu ke daun. Ya, bentuknya memang mirip. Termasuk lekukan-lekukan yang membentuk lantai-lantai candi. Menurut Pemandu, dari bentuk daun inilah design candi Borobudur di buat. Menurut saya, ini adalah sebuah keagungan karya seni. Keindahan yang tiada taranya.
Pemandu kemudian mengawali langkahnya menuju candi Borobudur yang megah. Kami mengikutinya dari belakang. Menembus ribuan orang yang berdesak-desak-an naik menuju wilayah candi paling atas.
“Mencapai puncak Borobudur sejatinya adalah sebuah penghayatan akan iman dan kehidupan,” Pemandu memulai penjelasannya.
“Candi ini memiliki sepuluh tingkatan, tiga tingkatan dari ajaran Budha yang mencerminkan kehidupan manusia: tingkatan pertama disebut Kamadathu, dalam bahasa Sansekerta berarti hawa nafsu; tingkatan kedua disebut Rupadhatu, ranah berwujud; dan tingkatan ketida disebut Aruphadatu, ranah tak berwujud.”
“Tingkatan pertama merefleksikan manusia yang masih dipengaruhi oleh hawa nafsu dan hal-hal negatif, tingkatan kedua manusia telah mampu mengendalikan dirinya dari segala hawa nafsu, dan tingkatan ketiga adalah dunia tanpa bentuk, manusia tidak lagi mengejar keinginan-keinginan manusiawi. Pada titik itu, manusia telah mencapai nirwana, tempat para boddhisatva mencapai kesempurnaan.”
Penjelasan pemandu membuat saya terdiam. Seringkali kita mendengar bahwa candi Borobudur terbentuk dari tumpukan batu tanpa semen, memiliki nilai sejarah karena dibuat pada jaman wangsa Syailendra (800 tahun Masehi), bertahan hingga anak cucu, diakui UNESCO sebagai warisan dunia,… dsb dsb tapi lebih dari itu… Borobudur memiliki nilai filosofis yang begitu dalam, tercermin dalam tiap bentuk dan ukirannya. Sebuah pemaknaan yang mendalam akan kehidupan.
Pemandu membawa rombongan mengitari salah satu tingkatan candi. Melihat berbagai relief yang indah terlukis pada dinding-dindingnya. “Ada 1460 relief di candi ini, tiap relief memiliki ceritanya masing-masing. Mulai dari kelahiran Buddha, perjalanan hidup, kematian, hingga ajaran-ajarannya,” kata Pemandu menjelaskan. Kemudian dia menceritakan beberapa kisah. Salah satunya kisahnya merupakan sebuah cerita yang paling menyentuh (dan tentu saja paling saya ingat), berikut ini:
Alkisah ada seekor gajah putih yang mendengar rintihan dan tangisan dari sekelompok manusia. Gajah putih itu pun mendekati ratusan manusia itu, dan bertanya, “Mengapa kalian menangis?”
Orang-orang itu tertegun mendengar seekor gajah berbicara dengan bahasa manusia. Walaupun masih tidak percaya, namun akhirnya mereka menceritakan bahwa mereka adalah masyarakat yang diusir oleh seorang raja hingga lari ke dalam hutan belantara. Di hutan ini mereka menangis karena kelaparan. Tak ada yang bisa dimakan, semua terasa asing bagi mereka.
Karena merasa kasihan melihat orang-orang yang putuh asa itu, sang gajah memberitahu bahwa mereka harus berjalan jauh, mengitari sebuah bukit yang tinggi menjulang. Dari balik bukit itu mereka akan menemukan bangkai gajah yang bisa dimakan dagingnya sehingga mereka tidak akan kelaparan lagi. Orang-orang itu bersorak, kemudian melanjutkan perjalanan, mengelilingi bukit yang dimaksud.
Saat orang-orang itu melanjutkan perjalanan, gajah itu berlari. Mendaki ke atas bukit, lalu loncat dari bukit itu. Karena aksinya, gajah itu mati… menjadi bangkai yang nantinya ditemukan oleh orang-orang yang sedang kelaparan itu. Dengan kepedulian yang dimilikinya, gajah putih itu mengorbankan jiwa dan nyawanya demi menyelamatkan ratusan orang yang kelaparan. Sebuah pengorbanan diri demi sesama yang sungguh nyata.
Mendengar cerita Pemandu, rombongan menjadi sunyi. Rombongan larut dalam keheningan pikiran masing-masing. Dalam situasi demikian, Pemandu membiarkan rombongan mengamati relief gajah putih itu. Relief terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama menggambarkan seekor gajah yang terlihat sedang berbincang-bincang dengan sekelompok masyarakat. Relief kedua menggambarkan sebuah bukit yang tinggi menjulang dengan deretan manusia berjalan di sekelilingnya. Relief ketiga adalah gambar bangkai gajah yang terkapar, memejamkan mata dengan sekelompok orang berada di sekitarnya.
Gajah putih itu adalah perwujudan boddhivasta yang selalu berusaha untuk berbuat baik. Buddha mengajarkan sebuah kebaikan yang universal, tak mengenal hambatan, tak mengenal perbedaan. Sesuai dengan kata-kata Dalai Lama berikut ini, “My religion is very simple. My religion is kindness.”
Hari semakin terik. Borobudur semakin ramai pengunjung. Tepat pukul 12 siang, saya bersama rombongan berjalan meninggalkan Borobudur. Kepala saya menunduk memandang tanah, betapa kecilnya kita manusia di hadapan kemegahan dunia. Seperti seekor gajah yang menyerahkan hidupnya untuk orang lain, sudahkah kita berani berkorban demi sesama?
“Selamat Hari Waisak 2013, Welas Asih Sesama Manusia.”
Melacak Jejak Purwaceng di Wonosobo
“Permisi Bu,… Numpang tanya, beli purwaceng dimana ya bu?”
Ibu berjilbab itu tidak menjawab. Saya dan dua orang teman pun saling menatap.
Angkutan umum yang kami tumpangi berjalan lambat. Hanya ada 4 orang penumpang di dalam angkutan umum ini: Saya, Ervan, Yakub, dan ibu berjilbab. Deru angin malam yang berhembus menyelinap di sela pintu dan jendela angkutan umum memecah kebekuan. Dingin dan senyap.
Ervan melirik ke arah arlojinya, baru pukul setengah tujuh malam, namun Wonosobo sudah sepi bagai kota mati yang kelam. Tak ada kendaraan lain melintas. Tak ada orang lain selain kami penumpang angkutan umum dan Pak Supir. Toko-toko dan rumah-rumah kelihatan tertutup rapat. Dingin terus-terusan menyergap. Saya mengaitkan kancing jaket, mengencangkan simpul syal, lalu meremas-remas jemari tangan. Dingin yang tak terkira.
“Sudah hampir sampai,” kata Pak Supir angkutan. Kami hanya manggut-manggut menanggapi.
“Adik-adik mau kemana?” si ibu berjilbab angkat bicara.
“Ke Dieng, Bu.” jawab Ervan.
“Malam ini?”
“Mungkin besok pagi.”
“Terus mau menginap dimana?”
“Belum tahu Bu,…”
Di perempatan lampu merah, angkutan umum berhenti. Si ibu, dan kami bertiga langsung berhambur keluar. “Rumah ibu dekat pasar, boleh kalau mau menginap.” Sebuah tawaran yang di luar dugaan.
Si ibu terus berjalan, karena tidak tahu kemana harus melangkah, kami membuntuti dari belakang.
“Ibu tahu, cari purwaceng dimana?” tanya Ervan sekali lagi. Si ibu tetap tak menjawab.
“Kami dengar, purwaceng minuman khas sini ya bu…” kata saya, menimpali.
Si ibu kelihatan menutupi sesuatu. Namun akhirnya bertanya, “Untuk apa cari minuman itu?”
Saya-Ervan-Yakub saling menatap. Pertanyaan yang menohok, karena sesungguhnya kami juga tidak tahu untuk apa mencari minuman itu selain karena kami dengar bahwa purwaceng adalah minuman khas Wonosobo. Perkiraan kami, melacak jejak purwaceng semudah menemukan mie ongklok yang banyak beredar di pinggir jalan.
Si ibu melihat keraguan kami. Kemudian berkata, “Tidak perlu cari minuman itu. Itu minuman kuat. Penambah stamina pria dewasa.”
Keringat dingin membanjiri kening. Terdiam kami terpaku kaku. Ervan menyenggol saya, “Elu sih, sok tahu,” katanya.
“Sorry, gue juga cuma baca-baca…” jawab saya berusaha menutupi malu.
Kami memandang punggung si ibu berjilbab dari belakang. Habislah riwayat kami, satu bocah perempuan dan dua bocah laki-laki mencari minuman penambah stamina pria dewasa. Entah apa yang ada dipikiran si ibu menanggapi pertanyaan kami.
“Rumah saya dekat sana…” kata si ibu mencairkan suasana. Kami melanjutkan jalan, kikuk.
“Saya lihat di sekitar sini banyak penginapan ya Bu….” tanya Yakub. Penginapan-penginapan yang dimaksud Yakub adalah rumah-rumah kecil dua lantai dengan lampu kelap-kelip yang berpendar-pendar.
“Jangan, jangan menginap di sana!” kata si Ibu keras.
Keringat dingin membanjiri kening kami (lagi). “Kenapa bu?” tanya saya.
“Tempat itu bukan untuk anak-anak seusia kalian. Jangan menginap di sana! Tidak! Tidak baik! ” kata si ibu lagi. Dari penjelasannya yang terbata, kami menyimpulkan bahwa penginapan-penginapan itu adalah tempat prostitusi. Pantas saja kami melihat beberapa perempuan bertubuh sexy di sekitar penginapan.
“Duh gimana nih,…” saya menyenggol Ervan dan Yakub. Ada perasaan tidak enak datang menyergap. Percakapan-percakapan ini sungguh absurd, memberi keengganan luar biasa di hati dan pikiran.
“Cari tempat lain aja kali yaa… ” kata Ervan berbisik.
Malam datang semakin gelap. Saya-Ervan-Yakub memutuskan untuk tidak menginap di rumah si ibu. Kami pun melanjutkan langkah. Menyusuri kota kecil yang dingin dan sepi. Jantung kota Wonosobo dikelilingi gunung yang tinggi menjulang. Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, adalah beberapa di antaranya. Mungkin itulah alasan mengapa Wonosobo beraroma dingin dan beku. Kami percaya, kehangatan mentari pagi akan mengantar kami menuju Dieng esok hari. Selamat malam, Wonosobo…
Srikandi Senopati, Wujud Kartini Masa Kini
Dalang pementasan, Ki Sukisno, berhasil menggabungkan kisah pewayangan yang dinamis melalui teater, tari, gamelan dan wayang kulit. Ramuan pementasan itu membuat penonton menikmati suasana pertunjukan yang sering kali diselingi humor-humor jenaka.
Peran Perempuan
“Kalau biasanya kami mengadakan pementasan wayang kulit, kali ini kami membawakan Ketoprak Tari agar penonton yang mayoritas anak muda tidak jenuh,” kata Bu Unay yang berperan sebagai Antasena dalam lakon Srikandi Senopati ini.
Pementasan Srikandi Senopati adalah perwujudan Kartini-kartini masa kini yang dengan segala daya upaya tetap giat melestarikan budaya agar tetap bisa dinikmati segala kalangan. Bravo! (DPN, 2013)
“His name is Anton. He speaks russkiy.”
“Hi darling, what’s your name?” tanya saya pada bocah laki-laki berusia sekitar 5 tahun itu. Bukannya menjawab, dia malah asik melipat-lipat kertas. Sekali lagi saya bertanya padanya, “Hi darling, what’s your name?” Bocah itu tetap tidak menjawab.
Saya lalu menghampirinya dan menyentuh bahunya, “Hi darling, do you hear me? What’s your name?” Dia melihat saya sekilas, lalu kembali menunduk, sibuk dengan kertas lipatnya yang berwarna-warni.
Dalam hati saya mengumpat, sial nih anak…. kagak bisa denger apa yak?
Tarik napas, pasang senyum lebar, menyentuh bahunya lagi, berusaha sabar… berusaha sabar… lalu bertanya, “Hi darling, do you hear me?” Dan dia tetap tidak menjawab. Saya mengumpat sekali lagi, bener-bener deh ni bocah!!! Kagak punya kuping kali yaaa!!!
Tidak lama kemudian seorang wanita datang mendekat. Wanita berambut keriting yang mengenakan dress warna hitam itu lalu berbicara pada si bocah dalam bahasa yang tidak saya pahami. Si bocah mengangguk-angguk, lalu wanita itu menatap saya sambil berkata, “Sorry, he doesn’t speak English.” Saya melotot. Wh@t thE f#$%^&@! Saya mengumpat dalam hati.
“His name is Anton. He speaks russkiy.” Wanita itu memberitahu saya sebuah informasi paling penting abad ini. “I leave him here, I’ll be around here and I’ll be back soon.” katanya, lalu berlalu pergi. Bagoosss!
Ini adalah hari kedua saya bertugas sebagai volunteer di arena Kids Zone dalam acara Bali Spirit Festival. Bali Spirit Festival sendiri merupakan festival perayaan yoga-dance-music yang diadakan sejak tanggal 20-24 Maret 2013 di Ubud, Bali. Acara ini dihadiri oleh sekitar 1500 orang setiap harinya yang mayoritas adalah orang berkewarganegaraan asing.
Ada 2 venue acara, lokasi pertama merupakan tempat pameran, workshop, dan yoga class yang terletak di Purnati Center for The Arts, Batuan, dan lokasi kedua untuk music concert terletak di Arma Museum and Resort. Walaupun di kedua lokasi itu ada Kids Zone, namun saya dan teman saya, Novi, bertugas di lokasi kedua.
Tugas kami sebenarnya sederhana, yakni bertanggung jawab pada arena Kids Zone. Dalam artian, kami harus bertanggung jawab akan keamanan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan anak-anak yang berada di arena ini. Untuk itulah, sejak pagi hari kami sudah mempersiapkan berbagai permainan dan aktifitas untuk anak-anak, seperti mewarnai, melipat kertas, hingga face painting. Kami berharap anak-anak yang datang akan menikmati waktunya bersama kami.
Hari pertama, anak-anak yang datang tidak terlalu banyak. Usia mereka-pun sudah tergolong anak-anak besar, biasanya sekitar usia 8-10 tahun. Keadaan ini memudahkan saya dan Novi dalam mengatur mereka. Walaupun music concert pada hari pertama dihadiri ribuan manusia, namun singkat cerita, hari pertama arena Kids Zone berlangsur lancar dan aman.
Keadaan aman-tentram pada hari pertama sungguh berbeda ketika hari kedua datang. Pada hari kedua, yakni tanggal 22 Maret 2013, Kids Zone didatangi lebih dari 10 orang anak dengan variasi usia 3 hingga 10 tahun. Jumlah ini belum termasuk dengan anak-anak yang datang-dan-pergi tanpa permisi (Kids Zone mempersilakan anak-anak yang datang bersama orang tua untuk sign in, mereka diharuskan membayar tiket masuk, dan biasanya para orang tua sengaja menitipi anaknya untuk diasuh sementara oleh panitia. Namun anak-anak yang tidak sign-in bebas keluar-masuk arena Kids Zone, dan panita tidak bertanggung jawab pada keamanan mereka).
F*cking great karena di arena Kids Zone ini, hanya ada 2 orang yang bertugas, yakni saya dan Novi. Music Concert pada Bali Spirit Festival selalu dihadiri ribuan manusia setiap malamnya, sehingga yang paling menakutkan bagi saya dan Novi adalah bagaimana anak-anak ini bisa aman berada di Kids Zone. Kami tidak bisa bayangkan bagaimana kalau suatu waktu anak ini hilang diantara ribuan manusia, OH BIG NO NO!
Dan hebatnya hari ini, selain hanya ada saya dan Novi yang bertugas dengan lebih dari 10 orang anak yang sign-in, kami memiliki Anton, si bocah Rusia tidak bisa bahasa Inggris itu! Sungguh sesuatu!
Sejak pukul 6 sore, saya dan Novi berusaha keras membuat anak-anak ini betah di arena. Kami mengajari mereka menggambar, do some face paintings, melipat kertas, dll. Dua jam kemudian, anak-anak mulai tidak bisa diam. Anak-anak besar pillow fighting, anak-anak kecil mulai mencari ibu mereka… saya dan Novi sungguh-sungguh kewalahan. Novi memaksa saya berpikir, “Ayo kita main games….. Ayo Dent, main apa?” tanya Novi setengah menjerit menghadapi tingkah laku anak-anak ini.
Patah semangat, saya berkata pada anak-anak, “Let’s play an Indonesian: DOMIKADO!” Dalam hati saya tertawa ngakak, bisa-bisa-nya saya kepikiran permainan ini. Hahaha. Dan ajaib, permainan ini bisa membuat anak-anak ini menjadi tenang untuk sesaat, horeee! :p
Anton, “Mama… Mama…”
Dari antara kami yang senang dan menikmati permainan DOMIKADO, mungkin Anton satu-satu-nya anak yang tidak bisa mengerti permainan ini. Daritadi dia coba bicara, namun kami tak mengerti. Daritadi saya coba bicara padanya, dia pun tidak mengerti.
Lalu tiba-tiba, Anton berlari keluar ruangan. Saya mengejarnya. Novi memberitahu saya agar membawa Anton masuk kembali ke dalam ruangan. “I tried! I tried!” kata saya dalam hati. Tapi berbicara pada Anton tidak semudah itu. Satu-satu-nya hal yang bisa saya lakukan adalah membiarkannya pergi dengan tetap mengawasinya dari belakang.
Anton menyelinap di antara ribuan manusia, saya mencoba tetap berada di belakangnya. Saya tahu, Anton sedang mencari ibu-nya. “Mama… Mama…” hanya itu yang saya pahami dari kalimatnya.
Saya memeluk Anton sambil berkata, “Anton, I’ll call your mom,” lalu saya menggandengnya menuju arena Kids Zone. Begitu Anton sadar bahwa saya membawanya kembali ke arena, Anton lalu melepaskan genggaman tangan saya dan berlari. “Oh my God, Anton!” kata saya sambil mengejarnya.
Anton mencoba menemukan ibunya. Beberapa kali dia memeluk wanita dari belakang yang disangka ibunya, padahal ternyata bukan. “Anton, I don’t know where’s your mom. Let’s come back to the Kids Zone. We’ll wait your mom there,” saya coba memberikan penjelasan pada Anton. Namun Anton tak mengerti. Hingga kemudian saya melihat kedua mata Anton merah dan berkaca-kaca. Saya tahu, Anton ingin menangis dalam ketidakberdayaan kami menemukan ibunya.
Saya tatap mata Anton iba, lalu saya berkata, “Anton, please trust me! I’ll help you finding your mom, but please don’t cry.” Saya tahu, ketika saya mengatakan ini mata saya-pun mulai berkaca-kaca.
Saya sangat ingin menemukan Ibu-nya Anton, tapi bagaimana mungkin saya bisa menemukan wanita dengan dress hitam itu diantara ribuan manusia yang hadir dalam music concert ini. Dalam kesedihan ini, sekali lagi saya mencoba bicara pada Anton si bocah Rusia, “Anton, I’ll help you finding your mom… but please don’t cry.”
Anton mengangguk, lalu berkata, “Okay,” dengan tatapan mata yang sedih dan tak berdaya. Sebuah kata yang membuat saya terkejut. He understands what I said!
Anton lalu menyerahkan dirinya untuk saya gendong. Saya memeluknya berusaha memberi kehangatan. Tidak lama kemudian, dari balik punggung Anton saya melihat seorang wanita berlari ke arah kami. Wanita berambut keriting dengan dress hitam itu. Dia bertanya pada saya, “What happened?”
“Anton tried to find you, but we don’t know where you are,” jawab saya sedih.
Wanita itu lalu memeluk Anton dan berbicara dalam bahasa yang tak saya pahami. Sempat saya merasa kehilangan karena tak mengerti bahasa mereka. Saat saya mulai bergerak meninggalkan ibu-anak ini, saya mendengar Anton berkata, “Thank you.”
Saya kembali ke arena Kids Zone. Sesaat kemudian, saya sudah merindukan Anton… hingga hari ini.
Untuk melihat beberapa foto kegiatan Bali Spirit Festival:
Berkat Suci dari Monkey Forest
Apa sih menariknya melihat monyet di tengah hutan?
Pikiran itu melintas dalam benak saya ketika Novi, mengajak mengunjungi Monkey Forest pada hari terakhir kami di Ubud (Senin, 25/3). Pengalaman menelusuri hutan menuju ke sebuah pura dan pemakaman tua dengan jalur setapak yang di kiri-kanan-nya terdapat banyak monyet sudah pernah saya alami beberapa tahun lalu. Karena sudah pernah mengalami, sebenarnya saya jadi kurang semangat untuk kembali ke sana.
Namun Novi terus membujuk saya. Novi adalah salah seorang teman saya yang bekerja part-time sebagai baby-sitter untuk dua orang anak dari Brooklyn New York bernama Leo dan Caleb. Leo berusia 7 tahun, sedangkan Caleb berusia 5 tahun.
Kebetulan mereka berserta kedua orang tuanya sedang berlibur di Bali. Waktu liburan yang bersamaan dengan keberadaan kami di Ubud membuat mereka mengatur pertemuan dengan kami. Monkey Forest menjadi tempat pertemuan itu. Setelah menimbang-nimbang, walaupun pernah ke sebuah tempat yang sama, bukankah pengalaman dan cerita bisa jadi berbeda? Maka akhirnya saya setuju untuk bertemu dengan Leo dan Caleb di Monkey Forest.
Pukul 09.45 kami sudah sampai di lokasi. 15 menit lebih awal dari jadwal pertemuan yang sudah disepakati. Sambil menunggu kedatangan mereka, kami duduk di depan gerbang masuk Monkey Forest menikmati pemandangan hutan monyet yang masih segar dan sepi di pagi hari. Saya lalu bercerita pada Novi bahwa beberapa tahun yang lalu saya pernah ke sini bersama keluarga.
Novi bersama Leo, Caleb, dan Ziad |
Salah seorang teman mengatakan bahwa monyet-monyet di tempat ini nakal. Mereka suka mengambil barang yang dibawa/dipakai turis yang datang. Kebetulan waktu itu ibu saya memakai kaca mata hitam. Ketika kunjungan sudah hampir usai, salah satu monyet berlari ke arah ibu saya, lalu dari arah belakang dia mengambil kaca-mata hitam yang dipakai ibu.
Ibu saya berteriak. Lalu petugas setempat pun memukul-mukulkan dahan pohon, menyuruh monyet tersebut mengembalikan kaca-mata milik ibu. Bukannya mengembalikan, monyet tersebut malah tertawa ngekek, memakai kaca-mata di kepalanya, lalu menghilang di balik hutan yang lebat. Sial. Sebuah pengalaman yang lucu namun menyebalkan bagi kami sekeluarga.
Digigit Monyet
Pukul 10 tepat, Leo dan Caleb datang bersama kedua orang tuanya, Caron dan Dave, serta sepupu mereka yang bernama Ziad, seorang paman yang bernama Dough, dan bibinya. Mereka adalah keluarga yang sangat baik dan ramah. Namun sayang hanya Leo, Caleb, Ziad, dan Daough, yang ikut masuk ke dalam monkey forest.
Sambil pamitan pergi, Dave berkata, “I had enough time with these two boys. Enough. Very enough, even too much. So, I leave them with Novi.” Tentu saja sebuah gurauan yang membuat saya tertawa.
Selama satu jam kami berjalan-jalan di Monkey Forest.
Belajar dari pengalaman, saya tidak ingin monyet itu mengambil barang-barang saya. Maka sudah sejak awal saya memasukkan semua benda-benda, seperti kaca-mata, tempat minum, kunci, dl, dalam tas, lalu menyelempangkannya pada bahu saya.
Dalam perjalanan pulang, Leo dan Caleb bertengkar. Bukan pertengkarang serius. Ini hanya pertengkaran ala anak-anak, namun membuat saya berpikir, pantas saja Dave berkata: I had enough time with these two boys. LOL. Pertengkaran bocah-bocah ini pasti membuat orang tua mereka kewalahan. Hahaha.
Ketika sudah selesai berjalan-jalan, Dough membeli minuman mineral untuk Leo dan Caleb. Sambil menikmati air mineral, kami menunggu Dave datang menjemput. Saat Dave sudah datang dan anak-anak mulai masuk ke dalam mobil, saya melihat seekor monyet jalan perlahan ingin meraih air mineral milik Dough. Sejurus kemudian, saya mengulurkan tangan, mengambil botol minum tersebut. Saya ingin menyelamatkan botol minum itu karena saya tidak ingin Leo dan Caleb kehausan karena air minumnya dicuri monyet.
Monyet yang marah meloncat ke tangan saya, mencakar dan menggigitnya.
Novi yang melihat kejadian itu langsung memukul monyet dengan botol air mineral. Tindakannya membuat monyet itu terlepas dari tangan saya dan terjungkal ke belakang. Sukur! Novi, Dave, dan Dough panik melihat luka di tangan saya. Saya pastikan pada mereka kalau kondisi saya baik-baik saja karena lukanya tidak parah.
Ah, apa saya bilang!
Selalu ada cerita dalam setiap perjalanan. Digigit monyet bisa dibilang sebuah pengalaman sial untuk mengakhiri perjalanan di Ubud, Bali. Namun saya lebih suka memaknai-nya sebagai berkat dari tempat suci bernama: Padangtegal Mandala Wisata Wanara Wana Sacred Monkey Forest Sanctuary. Berkat dari monyet yang setia menjaga pura suci.
NAHKO Bear & Medicine for the People, BSF 2013
Sendang Gile and Tiu Kelep Water Fall
Sendang Gile Water Fall |
Still remember 3 things that I really wanted to do in Lombok?
The first one is climbing Mount Rinjani, the second one is coming to see Sendang Gile water falls, and the third one is snorkeling in Gili Islands. Yesterday I already post about my experience snorkeling in Gili Air
Today, I wanna share my experience coming to see Sendang Gile and Tiu Kelep water fall. It is located in the foot of Mount Rinjani. Exactly located in Bayan, the north of Lombok. It takes 3 hours driving from Mataram, the capital city of Lombok. Although it takes a long journey to reach here, but we will be served with a beautiful panorama such as Malimbu Hill and the coast of Senggigi beach along the trip.
To reach Sendang Gile water falls takes 20 minutes walks down five hundreds stairs from Senaru Village. Senaru is the main access to climb Mount Rinjani national park. Sendang Gile is not the only one of the water falls located in this area. There are two other water falls, called Tiu Kelep and Betara Lejang. The journey to reach those water falls is longer and more challenging. Tiu Kelep for example, it takes another hours walk upriver great trail and steps from Sendang Gile. Betara Lejang is located farther. It takes a day walking through Mount Rinjani. Since I hadn’t made enough preparation to reach Betara Lejang, I decided coming to see Sendang Gile and Tiu Kelep in this journey. Surely as usual, I keep Betara Leja for another time 😀
Both Sendang Gile and Tiu Kelep are great water falls.
Tiu Kelep Water Fall |
Sendang Gile has a height about 40 meters. This water fall emerges from the cliff and falls directly into the river below it. The water that comes straight from Mount Rinjani makes Sendang Gile becomes so clean and fresh. I took a moment standing under Sendang Gile water fall. It hurts lil bit, but feeling fresh after all.
Satisfied enjoying Sendang Gile, I walked to the next water fall, which is Tiu Kelep. As I said before, the journey to reach here is about an hour from Sendang Gile. Walking above the path of volcanic rocks decorated with the exotic wood, acrossing the river, and enjoying the view of wilderness scenery makes this journey becomes really amazing. All of this greatness becomes perfect when I already reached Tiu Kelep water fall.
Tiu Kelep water fall is more powerful than Sendang Gile. From a distance our clothes had become wet because the splashes. In Sasak language, Tiu interpreted as vortex. Unlike Sendang Gile which only had a shallow pond, in Tiu Kelep the visitors can swim in the pool directly above the water fall. With a depth about 1 meter, this pool become safe to swim. I love swimming here so much!! The greatness become complete with the color of rainbow arises because the water bias.
If normally Lombok, as well as Bali, well known with its beautiful beaches and attractive clubs and cafes, coming to see water falls become a picturesque experience! Love it so muchh!! 🙂