Indonesia

There were three things that I really wanted to do in Lombok. The first one was climbing Mount Rinjani, the second one was coming to see Sendang Gile water falls, and the third one was snorkeling in Gili Islands. Even, I made the near-perfect itinerary long before my departure to Lombok. I just wanted to make sure that there is no destination I skip.

I planned to enjoy Lombok with one of my friends. Unfortunately,  she canceled her trip. It made me felt upset at the first time. Then I saw my father became excited to go Lombok. He said, “Let’s do it!” Then here I was….. going to Lombok with my family. Dad, Mom, Brother, and I. Perfect!

From three destinations that I really wish to go, only two of them that already accomplished: coming to see Sendang Gile, and snorkeling in Gili Islands. No worry, surely I will keep the first one, climbing Mount Rinjani, for another time 😀

In this post, I talk about snorkeling around Gili Air. It was a tiny island near Lombok, located in a group of island consis of Gili Air, Gili Trawangan, and Gili Meno. All of those islands well known as Gili Islands. I have chosen Gili Air for snorkeling simply because Gili Air was more quite and nearest to Lombok. So it gonna be the best way to enjoy other side of Lombok, either it didnt take too many times reaching the island. 

I reached Gili Air through Bangsal port. There were two options to reach here, we can ride a charter boat (IDR 200,000 fixed price, one way ticket), or joint with a regular boat run by local people (of course the price will be much much cheaper than the other one!). In this time, I got special price: round trip ticket + snorkeling trainer and equipment rental for IDR 500,000. It took 30-45 minutes to get here.

Gili Air was a really “wow” island. The circumstance was only two and a half hours walk around by foot. The population was about a thousand people. It was a good place for those who really want to escape from the hustle-bustle daily life. Gili Air had some places to hang out, such as club and cafe, but the number was not as many as in Gili Trawangan. It also had some good restaurants and various range of accommodation.

There were various activities that we can do in Gili Air (besides chill out in bungalow of course :D). We can did swimming, snorkeling, or scuba diving. Since I didn’t have diving license, so snorkeling was the perfect option to do! 🙂

Gili Air had really wonderful sea garden. I saw many fish, sea turtle, and colorful seaweed. After all, I had a really great time and it was one of the best experience in my life.

 
Read more

Ternyata Eyang Kung-Kung-ku pernah belajar foto. “Kapan, yang?” tanyaku enggak percaya sehabis sungkeman di hari lebaran kemarin.

“Ya jaman dulu. Pas Eyang masih jadi pegawai negri. Walau tidak berprestasi, gini-gini eyang pengalamannya banyak lohh..” jawabnya sambil nyengir sehingga gigi ompongnya kelihatan.

Iya dehh.. percaya!! Tapi kok yo aku sampe gak ngerti gitu loh!!

Menurut eyang, jaman susah dulu, dikantornya ada satu kamera. Apa mereknya, eyang kung-kung lupa. Eyang punya teman yang bisa motret, nah temennya eyang ini yang pertama kali mengenalkan dan mengajari eyang cara memotret.

“Kalo motret benda diam, mudah! Kalo bergerak, seperti kuda yang lewat, itu baru susah!”

Beberapa kali, eyang kung-kung pernah mengundang temannya main ke rumah. Undangan ini bersifat permohonan tolong untuk mendokumentasikan keluarga eyang. Lucunya, yang didokumentasikan bukan hanya keluarga kecil (istri dan anak-anak), tapi juga keluarga besar (tetangga sekampung!)

Sambil membuka-buka album foto hitam-putih miliknya, eyang menjelaskan siapa saja yang ada di gambar. Eyang kungkungku ternyata ganteng loh:D dan eyang utiku, ternyata cantik juga:D mereka pasangan serasi dehh..

Lucunya, pas bagian foto sekampung, kita bisa lihat perbedaan status alias pengkastaan dari alas kaki. Dari pakaian juga sih, tpai dari alas kaki yang paling kelihatan. Mereka yang termasuk orang berada mengenakan sepatu, yang lainnya cekeran. Eyangku termasuk manusia-manusia bersepatu. Hahhaha. Di kampung, Eyangku merupakan satu-satunya orang yang menjadi pegawai negri. Hebat euy..

“Kalau teman eyang datang untuk memotret, orang-orang pasti berdatangan ke rumah. Mereka berpakaian rapih, lalu berdiri berjejeran minta difoto.”

Dari pakaian, kita juga bisa lihat status seseorang. Makanya eyang utiku dn teman-teman perempuanya memilih pake kebaya. Alasannya sih biar kelihatan luwes dn njawani. Dalam kesehariannya, eyang uti tidak selalu berkebaya. Biasanya berpakaian baju terusan dengan lengan dan rok menggelembung. Hanya saat berpergian dan acara khusus saja eyang memakai kebaya. Kesimpulannya, kebaya adalah pakaian paling ‘pantas’ atau sopan untuk perempuan saat itu. Makanya, di hampir semua fotonya, eyang terlihat berkebaya.

Kata eyang uti, sebelum foto, eyang selalu mancak (berdandan!) juga. Bahkan enggak lupa pake parfum. Hhahahaa. Padahal, mana kecium pake parfum apa enggak?!! Namanya juga wong ndeso..he he.

Dengan berdandan dan berpakaian pantas, eyangku sedang membuat sebuah image (pencitraan diri). Semua fotonya terlihat ‘niat’. Anak-anak eyangku, yang berjumlah 6 orang (mamaku, bude, pakde, tante, dan om) semuanya memakai baju seragam -hasil jahitan eyang utiku sendiri- eyang kung-kung pake baju dinas pegawai negrinya dan sepatu hitam, dan eyang utiku tentu saja pake kebaya dengan rambut disanggul dan sampir (selendang kecil) menghiasi bahunya. Kalau diamati, tempat fotonya padahal enggak spesial-spesial amat loh. Hanya di depan pintu, di dekat sumur, di halaman rumah, di teras, atau di lapangan kampung. Tapi kelihatan banget kalau mereka ‘berniat’ foto.

Niatnya memang mendokumentasikan -merekam peristiwa-. Tapi dibalik itu sebetulnya ada niat lain, yaitu untuk menciptakan sebuah image, sebuah profile, akan keberadaan keluarga ini (keluarga yang dipimpin oleh seorang pegawai negri dengan isteri njawani dan anak-anak penurut dengan pakaian kompaknya itu).

Read more