Journalist Life

Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!

Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.

Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.

Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:

1. Tentukan media incaran

Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!

Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.

Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.

Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.

2. Pahami karakteristik media

Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”

Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)

B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.

Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.

3. Kirim foto dan pahami selera editor

Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk

Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?

Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!

Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.

Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.

4. Jalin relasi dengan ruang redaksi

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!

Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.

Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!

5. Tulis, kirim, lalu move on!

Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.

Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.

Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.

Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂

Jakarta, 14 Juli 2017

Salam, Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.

Read more

Blogging requires passion and authority. Which leaves out most people.”

Meski blog rambutkriwil.com baru dirilis awal tahun ini, cikal bakal blog ini sebenarnya sudah ada sejak sepuluh tahun lalu.

Pertama kali saya ngeblog sekitar 2007, ketika Multiply masih berjaya. Memakai nama samaran Rambutkriwil, saya memposting tulisan dan foto-foto perjalanan di antara kesibukan sekolah. Hasilnya, saya mendapat teman-teman baru sesama blogger, berkenalan dengan fotografer dan penulis profesional yang banyak mempengaruhi karya saya, dan tentu saja peluang pekerjaan.

Sedang gigih-gigihnya menulis di Multiply, platform blog di situs itu gulung tikar pada 2012 dan berubah menjadi e-comerce. Rambutkriwil berusaha bertahan dengan migrasi ke blogspot.com.

Seperti kehidupan yang penuh pasang surut, tekad dalam ngeblog juga timbul tenggelam. Lama kelamaan blog rambutkriwil.blogspot.com berubah bagaikan rumah tak bertuan. Bangunannya ada, tetapi suwung. Kosong. Kekosongan itu disebabkan beberapa hal, seringnya sih, alasan klise: SIBUK. GAK SEMPET NULIS.

Pada 2013, selepas kuliah, saya mulai magang sebagai jurnalis harian KOMPAS. Setahun kemudian, saya diangkat menjadi jurnalis tetap. Di antara rutinitas bekerja sebagai jurnalis, keinginan untuk kembali ngeblog kembali muncul. Anehnya keingan itu kian kuat saat saya sedang SIBUK-SIBUK-NYA BEKERJA, alasan yang dulu saya pakai untuk absen ngeblog.

Tak jarang keinginan blogging muncul pada saat deadline sedang menjerat. Suatu keadaan yang memaksa jurnalis bekerja cepat selesai, tidak berlarut-larut pada suatu tulisan tertentu. Jangankan makan dan minum, pada saat deadline, untuk nafas aja kadang susah… eh ini malah mikirin blog!

Setelah membulatkan tujuan, sejak awal 2017 saya kembali membangun blog, yang selama ini sering terbengkalai dengan nama: Rambutkriwil.com. Saya menganggap blog ini sebagai rumah yang terbuka bagi siapa saja. Silakan datang berkunjung, bercakap-cakap, atau sekedar melihat-lihat. Kalau suka boleh menginap dan meninggalkan pesan, kalau tidak suka boleh pergi begritu saja. Ingin jadi silent readers juga monggo.

Di luar negeri, jurnalis sekaligus blogger sudah banyak. Jurnalis-jurnalis handal yang bekerja di The Guardian, Washington Post, atau BBC, biasanya juga mengelola blog. Tetapi, di antara rekan-rekan seprofesi di Indonesia, sepertinya jurnalis yang juga blogger bisa dihitung pakai jari.

Meski jumlahnya tidak banyak, saya yakin, saya tidak sendirian. Kenapa? Karena blog sekarang sudah menjadi bagian dari media mainstream untuk membangun jaringan, membagikan pemikiran, menuliskan berita, gosip, atau hal-hal remeh temeh berkaitan dengan hobi dan minat di bidang tertentu. Bagi sebagian orang, blogging membuat mereka bisa mendapatkan uang tambahan di luar pekerjaan utama, tiket untuk mengunjungi banyak tempat-tempat keren di berbagai belahan dunia, dan segudang keuntungan lainnya. Untuk saya sendiri, blog memang tidak belum menghasilkan hal-hal materi semacam itu. Namun, saya tetap yakin, penting bagi seorang jurnalis (setidaknya bagi saya sendiri) untuk ngeblog tentang sesuatu, karena…

  1. Ngeblog membuat saya merasa sebagai manusia, bukan sekedar mesin perusahaan… Sejak dulu saya suka menulis. Bagi saya, menulis adalah kebutuhan, seperi makan dan mimum, dan bukan sekedar pekerjaan. Setiap hari meliput, mewawancarai narasumber, meriset data, menulis dengan deadline yang ketat, membuat tubuh dan pikiran kadang-kadang lelah. Lebih dari 50 persen kehidupan dihabiskan di lapangan dan di kantor. Saat orang-orang libur, saya bekerja. Saat orang-orang bekerja, saya malah libur (karena enggak pernah dapat libur weekend). Kesibukan membuat saya hampir tidak punya waktu kumpul keluarga atau reunian dengan teman-teman sekolah. Kehidupan seperti itu bukan tidak mungkin membuat saya merasa menjadi robot. Maka dengan ngeblog, saya bisa mengambil jarak dengan rutinitas jurnalistik.
  1. Saya ahli di bidang yang saya geluti… Kalau sedang kumpul-kumpul dengan teman, sering sekali ada yang bertanya: “Eh, pekerjaan jurnalis itu seperti apa sih?”, atau “Ceritakan dong kisah-kisah di balik tulisan yang dimuat di surat kabar!”Kadang-kadang saya suka heran, kenapa ya mereka bertanya seperti itu? Perasaan pekerjaan saya biasa-biasa saja. Kemudian saya sadar, jurnalis termasuk profesi yang membutuhkan keahlian khusus. Bagi sebagian orang, pekerjaan ini tidak mudah. Karena keunikannya, teman-teman menganggap saya ahli sehingga mereka tertarik mencari tahu cerita-cerita di balik profesi ini. Blogging membuat saya bisa menceritakan suka-duka menjadi jurnalis.
    Dengan alasan yang sama, ngeblog sangat penting bagi siapapun yang menggeluti bidang-bidang unik yang mungkin selama ini gak pernah ada di dunia, seperti pengiring pengantin profesional, penata gaya makanan, penonton Dahsyat, ahli pemberantas nyamuk, forensic linguistics, dan lain-lain… keahlian membuat seseorang dikenal dan dapat menghasilkan.
  1. Ada hal-hal yang tidak bisa ditulis di koran atau media tempat bekerja… Media mainstream, seperti koran, majalah, tabloid, memiliki keterbatasannya. Tidak semua tulisan yang dihasilkan seorang jurnalis bisa dimuat. Tulisan yang dimuat tentulah yang sudah memenuhi standar jurnalistik di media tersebut. Sekalipun sudah memenuhi standar-standar yang ditetapkan, tulisan bisa saja tidak dimuat karena ada keterbatasan halaman atau ada pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan sosial.Dengan menulis blog, saya bisa menulis topik apa saja – mulai dari curhatan sampai gosip artis – yang tidak akan pernah bisa dimuat di koran tempat saya bekerja. Selain itu, karena saya yang mendirikan blog ini, saya tidak peelu meminta atasan menilai karya saya. Saya bebas menentukan topik, gaya bahasa, waktu pemuatan, dan panjang tulisan.
  1. Terhubung langsung dengan pembaca… Menulis di koran terasa seperti dialog satu arah. Saya memaparkan fakta, orang lain hanya bisa menerima apa pun yang saya tuliskan. Di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat, model pemberitaan satu arah seperti itu sudah semakin ditinggalkan pembaca. Setiap orang kini bisa berbagi informasi dan berperan menyebarkan berita. Blog menjadi jembatan hubungan media mainstream yang kaku dengan para pembaca yang cair. Blog tidak hanya menyediakan interaksi di antara para penggunanya, tetapi juga menciptakan komunitas baru.
  2. Melatih kesabaran dan konsistensi.. Saya memanfaatkan hari libur, biasanya setiap Selasa atau Sabtu untuk ngeblog. Dengan cara ini, saya belajar untuk sabar dan konsisten menjalani apapun yang sudah menjadi pilihan.
  1. Ruang Meditasi… Ngeblog itu sebenarnya sama dengan menulis buku harian (kecuali perbedaan blog bisa dibaca semua orang). Menulis blog menjadi ruang untuk menyepi, berdialog dengan diri sendiri. Di tengah banyak informasi yang meresahkan, orang-orang saling menyerang atas nama suku, agama, ras, dan golongan, ngeblog membuat hidup lebih terasa tenang karena bisa bermeditasi. Melalui blog, saya bisa menyortir hal-hal yang penting dan terpenting dalam hidup ini. Sehingga tidak mudah ngamuk, atau mencak-mencak, apabila sesuatu terjadi seperti yang tidak diinginkan.

Jakarta, 30 Mei 2017

Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Read more

Kak, berapa sih gaji wartawan?

— Pelajar SMP di Cibubur

*

Adik pelajar yang baik,

Kalau kamu ingin hidup kaya raya dan bermewah-mewah, jangan pernah jadi wartawan. Saya menyarankan agar kamu menjadi pengusaha. Menjadi wartawan itu sulit, dik. Setiap hari lembur (bekerja lebih dari 8 jam) tanpa uang lembur. Gaji wartawan bisa dipastikan tidak akan pernah cukup dipakai untuk memenuhi semua hawa nafsu hidup hedonis di kota besar.

Kalau kamu ingin bisa keliling Indonesia gratis, bisa keliling dunia gratis (kayaknya sih… soalnya saya belum pernah, hehehe), bisa makan enak di restauran mewah gratis, bisa menginap di hotel berbintang gratis, bisa nonton konser musik gratis, bisa ketemu dan berfoto dengan orang-orang keren mulai dari artis, hingga presiden dan wakil presiden, bisa naik pesawat presiden serta dapat uang dinas kalau bertugas ke luar kota dan luar negeri, mungkin kamu bisa jadi wartawan.

Lebih dari itu, kalau kamu ingin hidup bermanfaat bagi orang lain, bisa mempelajari nilai-nilai kemanusiaan dengan lebih baik, bisa bekerja sekaligus mencari pengalaman hidup, bisa pamer menjadi anjing penjaga (watch dog) yang bertugas mengawasi kinerja lembaga sosial, politik, dan ekonomi, agar mereka tidak melakukan monopoli kekuasaan, bisa menjadi jembatan aspirasi masyarakat, bisa menulis kisah-kisah yang menginspirasi, bisa gaya-gayaan aja punya pekerjaan yang berbeda dengan orang kebanyakan, mungkin kamu cocok menjadi wartawan.

Berdasarkan penelitian Aliansi Jurnalis Independen, upah jurnalis di Indonesia masih jauh dari ideal. Dari sekian banyak media cetak, televisi, radio, dan online, hanya ada dua media yang jurnalisnya mendapat upah di atas upah layak AJI (2010), yaitu harian Bisnis Indonesia dan Kompas. Tentu saja, dua media tidak cukup untuk menampung semua lulusan jurnalistik atau peminat jurnalisme di Indonesia yang jumlahnya mencapai ribuan orang. 

Seingat saya, pada 2013, ada sekitar 400 orang dari daerah asal Yogyakarta yang mendaftar bekerja sebagai jurnalis di harian Kompas. Pada tahun yang sama, Kompas juga membuka lowongan jurnalis di Bandung, Jakarta, dan Surabaya, sehingga total pelamar mencapai lebih dari 1.000 orang. Setelah melalui tahap seleksi yang panjang dan ketat, 15 orang dinyatakan lolos jadi calon wartawan Kompas. Kini, yang bertahan menjadi wartawan sebanyak 11 orang. 

Menurut AJI (2016) angka ideal untuk reporter yang baru diangkat menjadi jurnalis tetap Rp 7,54 juta per bulan, tetapi kenyataannya upah layak itu baru diterima seorang jurnalis setelah bekerja lebih dari lima tahun. Kalau ditanya ke media bersangkutan, kenapa memberi upah di bawah layak, pasti jawabannya akan beragam, seperti bisnis media yang sulit (media harus memperhatikan oplah, rating, TV share, dll…)

Kenyataan upah jurnalis yang tidak layak ini menjadi kegelisahan banyak pihak, terutama tentu saja jurnalisnya sendiri. Jika upah layak diberikan kepada jurnalis, dipercaya mutu produk jurnalisme meningkat. Sebab, jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis. 

Kalau kata teman saya, F, seorang wartawan di media online, setiap orang punya pilihan hidup. “Kalau sudah memilih jadi wartawan, ya bekerjalah sebaik-baiknya wartawan. Kalau tidak siap dengan konsekuensinya, bisa cari pekerjaan lain… ” Hmmm… 

Bagaimana dengan media asing? Menurut payscale.com, gaji jurnalis di amerika Serikat, berdasarkan data 24 maret 2011, antara US$ 25,542 (Rp 217.183.626) sampai US$ 45,517 (Rp 387.031.051) per tahun atau antara Rp 18.098.635 sampai Rp 32.252.587 per bulan (masa kerja bervariasi, mulai dari 1-20 tahun). Biaya kehidupan di sana memang tinggi, tetapi jurnalis juga dapat fasilitas yang luar biasa dari tempat bekerja. Makanya gak heran, kalau di film-film, jurnalisnya keceehh gituuu… pakai baju keren, naik mobil keren, tinggal di apartemen keren…. Hahhahaa. 

Suatu hari, teman saya berkata, “Wil, gue diterima kerja. Gajinya lebih gede dari lo. Kerjaannya ringan, pula! Cuma di kantor aja, enggak banyak kerjaan lapangannya.”

Saya cuma tersenyum menanggapi. Gaji teman saya memang bisa lebih besar. Pekerjaannya, juga mungkin lebih ringan, “cuma di kantor aja”, yang artinya dia tidak perlu berpanas-panasan ngejar berita, bisa pakai baju keren, kulit dan rambut terawat karena setiap hari bekerja di ruang ber-AC.

Tetapi, berkaca pada diri sendiri, bukan jenis pekerjaan seperti itu yang saya inginkan. Dalam hati saya bangga dengan diri sendiri: gaji orang lain boleh lebih gede dari gue, tapi berapa banyak daerah di pelosok nusantara yang sudah dikunjungi? Hehehhee.

Suatu hari, teman saya yang lain berkata, “Gaji gue lumayan. Fasilitas dari kantor juga cukup lengkap. Tetapi, kalau mau cuti susah banget, gak bisa jalan-jalan lama deh sekarang….” Setelah beberapa tahun bekerja, dia memutuskan resign dan menjalani passionnya sebagai traveler.

Bagi saya, yang hobi jalan-jalan dengan kondisi kantong tipis, jadi wartawan itu adalah jalan tengah. Saya bisa mendapatkan uang hallal untuk memenuhi hidup sehari-hari dan sedikit menabung untuk masa depan, sekaligus sesekali dapat tugas dinas ke luar kota dari kantor.

Bagaimana dengan kamu? Ingin jadi wartawan?

Kalau kata bos gueh, Pak JO, menjadi wartawan itu, vocatio. Panggilan hidup. 

 

Jakarta, 16 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Dalam tugas mewawancarai Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Belawan, Sumatra Utara, Juni 2015. Baru sadar, perjalanan laut selama tiga hari dua malam membuat badan lengkettt dan bau amis cuyy!! Padahal cuma bawa baju sepotong atasan dan bawahan aja karena dipikirnya nggak mau ribet bawa barang banyak. Huhuhuuu. (Fotografer: Denny Irwanto/Metrotvnews.com)

Read more

 

Selamat siang Bu Denty,

Saya kebetulan adalah mahasiswa komunikasi peminatan jurnalistik yang sebenarnya sangat tertarik untuk memulai menulis tentang perjalanan, akan tetapi bingung untuk memulai darimana. Jika ibu tidak keberatan, apakah ada saran atau tips dalam menulis sebuah perjalanan? Terutama yang ingin saya kembangkan adalah penulisan perjalanan yang tetap dapat mengangkat isu sosial dan lingkungan.

— Putu 
Undergraduate student of Communication Studies
Faculty of Social and Political Sciences
Universitas Indonesia

*

Dear Putu yang baik,

Pertama-tama, terimakasih atas pertanyaannya. Senang sekali bisa berkomunikasi langsung dengan pembaca. Kedua, jangan panggil saya ibu yaa…. muka saya emang boross tapi saya belum jadi ibu-ibu kok…. huaa huaaaa T.T *nangis bombaaayyyy*

Seperti yang saya jelaskan dalam email sebelumnya, saya bukanlah seorang jurnalis ketika pertama kali menulis catatan perjalanan dan mengirimkan tulisan itu ke media cetak.

Saya lahir dan besar di Jakarta. Begitu tamat SMP, saya pindah ke Yogyakarta. Pertama kali saya menulis catatan perjalanan adalah ketika saya sekolah di Yogyakarta. Ketika itu, saya memang hobi jalan-jalan. Tempat jalan-jalannya tidak jauh, sebutlah menyusuri Taman Sari dan Keraton Yogyakarta. Kalau mau agak jauh sedikit, paling-paling saya pergi ke Sungai Bengawan Solo yang bisa ditempuh dengan naik kereta api Pramex atau motoran selama dua jam dari Yogayakarta. Kalau mau lebih jauh lagi, saya naik bus umum pergi ke Wonosobo dan Dieng.

Saya bukan orang kaya. Jadi, ya bisa ditebak… jalan-jalannya di tempat-tempat yang biasa-biasa saja dan dekat-dekat saja. Jalan-jalan di Yogyakarta dan sekitarnya, bagi saya, adalah bagian dari pencarian jati diri. Saya yang biasanya hidup di gemerlapnya Ibu Kota, hobi ngemol dan nonton film, harus menjalani hidup yang sunyi di Yogyakarta. Hehehhe. Jalan-jalan, adalah cara saya untuk mengenal dan mencintai tempat tinggal saya yang baru.

Dulu, foto-foto hasil jalan-jalan saya posting di blog gratisan bernama Multiply (situs ini pernah eksis banget sebelum Facebook muncul :D). Karena memposting foto tanpa tulisan itu bagai sayur tanpa garam, jadi mulailah saya menulis catatan perjalanan. Saya menghindari menulis sesuatu yang sudah pernah ditulis orang lain, seperti “Bagaimana cara ke Dieng dari Yogyakarta?” atau “10 hal seru yang bisa dilakukan di Yogyakarta” atau “Tempat-tempat Indah di Kota Solo” dan seterusnya..

Kenapa saya menghindari menulis instruksi “how to get here and there… and bla bla”? Alasannya simple, tempat-tempat yang saya kunjungi adalah tempat-tempat biasa-biasa saja yang sudah dikunjungi jutaan manusia lainnya. Saya tidak mau tulisan saya sama dengan orang lain. Kalau tulisan saya sama dengan orang lain, siapa yang akan membaca tulisan saya?

Lagian, bagi saya.. perjalanan bukanlah soal destinasi, perjalanan adalah soal perjalanan itu sendiri… daripada mendeksripsikan destinasi (yang sudah banyak dibuat orang lain), menuliskan cerita selama perjalanan, itulah yang menarik. Karena itu, dalam tulisan, saya lebih condong mengeksplorasi pengalaman ketika datang ke tempat-tempat yang “biasa-biasa saja itu”.

Pengalaman itu, misalnya soal interaksi dengan penduduk lokal. Saya pernah menulis tentang seorang ibu di Indramayu yang memetik sayur kangkung liar. Si ibu ini adalah single mother yang hidup dalam keterbatasan ekonomi sehingga terpaksa memetik sayur kangkung liar untuk makan anak-anaknya. Coba bayangkan kalau saya menulis kisah dengan judul: “Jalan-jalan seru di Indramayu,” atau “Yuk, Piknik ke Indramayu!” Hehehee… Tulisan dengan judul seperti itu pasti sudah tersebar di jagat dunia maya. Kalau tidak percaya, coba saja browsing!

Interaksi dengan penduduk lokal, siapapun orangnya, adalah materi tulisan yang sangat kaya, segar, dan baru. Selain itu, dengan menulis topik berisi interaksi dengan penduduk lokal, kita bisa sekalian merefleksikan kehidupan kita. Bukankah perjalanan akan memberi kita pandangan hidup yang berbeda? 🙂 Tentu saja, interaksi dengan penduduk lokal hanyalah salah satu contoh topik. Masih banyak topik lainnya, seperti soal kesulitan yang dihadapi saat naik angkutan umum, perasaan bodoh saat mencari minuman untuk pria dewasa Purwaceng saat berada di Wonosobo (hahahha kirain Purwaceng itu minuman seperti Wedang Ronde :p), pengalaman dikira jadi selundupan TKW Indonesia saat berada di perbatasan Malaysia-Singapura. Suerr semua ini bener kejadian!

Tulisan-tulisan di blog membuat saya terhubung dengan teman-teman yang punya hobi sama, yaitu jalan-jalan. Kadang-kadang saya kopdar (kopi darat alias ketemu tatap muka) dengan orang-orang yang juga hobi ngeblog dan kami merencanakan perjalanan bersama ke tempat-tempat lain.

Beberapa blogger itu adalah fotografer dan penulis profesional. Mereka menyarankan agar saya mengirim tulisan ke media cetak, seperti National Geographic dan Kompas. Ketika usia saya 17 tahun, tulisan saya pertama kali dimuat di Kompas. Rasanya sungguh banggaaa lihat nama saya tercetak di media nasional. Apalagi dapat uang jajan yang dikirim lewat wesel! 😀

Jadi, balik lagi ke pertanyaan kamu: bagaimana cara mulai menulis kisah perjalanan?

Jawaban saya adalah:

1. Mulailah dengan menulis pengalaman kamu sendiri! Untuk menulis catatan perjalanan, sudah pasti harus suka jalan-jalan! Gimana mau nulis catatan perjalanan kalau kita hanya fesbukan aja di dalam kamar…. Hihihi. Kemana jalan-jalannya? Sesuaikan saja dengan kantong kamu. Kalau anak-anak jaman sekarang banyak yang backpacker-an jauh-jauh sampai ke luar negeri…. kalau kamu suka, kamu bisa melakukan hal yang sama. Kalau kamu tidak punya banyak waktu dan budget (seperti saya ahhaha) bisa jalan-jalan di kota kamu sendiri. Eksplorasi tempat-tempat di kota tempat tinggalmu, dengan kaca mata seorang pejalan. Kalau ke Jepang kita bisa terpukau dengan pasar ikan Tsukiji Market, kenapa kita enggak pernah mengekplorasi pasan ikan Penjaringan di Jakarta Utara, misalnya? Pengalaman sebagai mahasiswi Kampus Depok juga sangat menarik ditulis…. Teman saya pernah menulis pengalaman mencoba puluhan kuliner di UI…. bikin ngiler!

2. Enggak ada cara lain melatih kesabaran selain dengan bersabar. Begitu juga dengan menulis. Bagaimana cara menulis? Ya, jawabannya harus menulis! Setelah jalan-jalan, tentukan dulu mau menulis apa. Biasanya sih saya memilih topik sesuatu yang betul-betul saya pahami, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan berbekas di hati saya, entah itu membuat hati saya terenyuh, terpukau, tersentuh, atau drama-drama perjalanan yang lucu, gokil, menyeramkan, aneh, yang sepertinya tidak akan saya lupakan.

Setelah menemukan topiknya, lakukanlah 3N, yaitu Niteni, Nirokke, Nambahi. Niteni (memperhatikan) karya penulis favaorit kamu, nirokke (mencontoh) cara menulis dia dengan menggunakan materi tulisan yang kamu miliki, dan nambahi (menambahkan) gaya penulisan yang membuat kamu nyaman. Dengan cara ini, lama-lama akan terbentuk style penulisan yang jadi ciri khas kita. Tulisan yang menarik biasanya yang penuh warna, ada drama, kreatif, informatif. Kalimat-kalimatnya nggak perlu kaku seperti nulis jurnal ilmiah. Menulislah seperti kamu bercerita lewat tutur kata. Yang nggak kalah penting adalah, keterampilan menulis judul dan lead. Judul yang baik biasanya enggak terlalu panjang, dan bisa membuat pembaca tersihir untuk membaca tulisan kamu. Sampai sekarang saya juga masih belajar menulis judul dan lead kok…. 🙂

3. Perkaya tulisan dengan sumber-sumber lain yang relevan. Seperti saya bilang sebelumnya, saya akan menulis sesuatu yang betul-betul saya pahami. Tentu saja, semakin banyak kita tahu sesuatu akan semakin banyak materi yang bisa dituliskan. Sumber-sumbernya dari mana? Ya dari baca buku, nonton film, dengerin musik, ngobrol sama penduduk lokal, wawancara para ahli, kepo instagram Lambeturah! (Eh!) Sumber-sumber itu bisa jadi inspirasi atau mungkin ada kalimat menarik yang bisa jadi kutipan.

4. Kirim tulisan ke media masa. Bukan semata-mata mencari eksistensi atau uang jajan tambahan, menulis di media masa membuat kita belajar menulis dengan lebih baik. Tulisan kita akan dibaca dan diedit oleh editor berpengalaman. Kalau tulisan dimuat, kita bisa belajar menulis yang lebih baik dengan cara membandingkan tulisan kita (asli) dengan tulisan yang sudah diedit dan dimuat. Pasti ada beberapa perbedaan, deh! Kalau tulisan tidak dimuat, kita bisa hubungi editornya, dan tanyakan kenapa tulisan tidak dimuat. Nah, bisa belajar juga kan dari situ. Bukankah kegagalan adalah awal dari keberhasilan? 🙂 Kalau punya teman penulis, kita juga bisa kirim ke dia dan minta tolong agar tulisan diedit atau minimal dikomentari. Sebelum saya kirim tulisan ke media masa, biasanya saya minta beberapa teman untuk baca tulisan saya sehingga bisa diedit sebelum dikirim ke redaksi.

5. Terakhir, soal pertanyaan kamu: bagaimana menulis kisah perjalanan yang tetap dapat mengangkat isu sosial dan lingkungan hidup. Hmm… gimana yaaa,… ya tulis saja fakta-fakta yang kamu temui selama perjalanan. Misalnya, banyak yang menulis keindahan Kepulauan Komodo, tetapi jarang sekali yang nulis bahwa di pulau-pulau itu banyak sampah berserakan. Isu sosial sangat mungkin ditulis kalau kita mau membuka diri dengan penduduk lokal. Beragam perbedaan latar belakang, budaya, agama, membuat hidup kita kaya dan memahami dunia dengan lebih baik. Tetapi, saran saya… di awal-awal seperti ini, nggak usah repot-repot membatasi diri terhadap isu tertentu… percayalah, lama-lama akan terbentuk sendiri kok apa yang menjadi kekhasan kita. Tulis saja apapun hal yang menarik!

Demikian balasan email saya yang ternyata sudah panjang yaaa, sepanjang jalan kenangan… Wkwkwkwk. Semoga jawaban saya dapat membantu! Saya tidak sabar membaca tulisan kamu. 🙂

Jakarta, 9 Mei 2017

Salam, Denty.
Rambutkriwil.com

 

Keterangan Foto: Soesilo Pram – adik penulis Pramoedya Ananta Toer -menulis di ruang kerjanya di Blora, Jawa Tengah. Kata Pramoedya: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Selamat menulis!

Read more

“Are you happy to be a journalist?” kawan saya, Luhki Herwanayogi, bertanya.

Tidak perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan ini. Saya tersenyum, dan menangguk. “I couldn’t find any better job rather than to be a journalist, so far.”

Saat itu, kami sedang duduk berhadap-hadapan, di sebuah kedai bir kecil di daerah Jakarta Selatan. Yogi merupakan seorang sutradara, penulis, juga fotografer asal Yogyakarta. Siang tadi, dia menemani saya bekerja di sebuah kedai kopi. Sore harinya, kami bertemu teman lama di Cibinong. “Malam kita hang-out, yuk! Tapi, sambil aku kerja yaa…” kata dia.

Lalu, kami terdampar di kedai bir ini. Satu-satunya tempat nongkrong yang masih buka sampai larut malam, selain sevel, indomart, alfamart, atau kosan teman. :p

Yogi membuka komputer jinjing yang menyala, lalu larut pada tahap akhir penyelesaian naskah film. Di dekatnya ada sebuah buku berjudul “A Work in Progress” karya Connor Franta. Saat itu, udara sedang sejuk sehabis diguyur hujan. Kami mendapat tempat duduk yang cukup strategis di tengah ruang yang remang-remang. Di meja kami tersaji dua botol minuman dingin rasa jeruk nipis dan sepiring keripik jamur dengan saus mayonaise.

Hari itu hari Senin. Kedai tidak terlalu ramai, hanya beberapa meja terisi. Beberapa pengunjung adalah pria kantoran yang masih mengenakan kemeja lengan panjang (yang tentu saja digulung hingga ujung siku). Ada pula sekelompok remaja yang sibuk berinteraksi dan berkomunikasi… dengan telepon genggam. Mereka tersenyum, sesekali tertawa. Sambil memandang layar datar.

Yogi menatap saya beberapa detik,… mencari penjelasan lebih lanjut.

“Saya menyukai, menikmati, mencintai pekerjaan ini…. pekerjaan ini, membuat saya bahagia,” kata saya.

Yogi mengangguk. Sesaat kemudian, hentakan drum menggema di udara. Empat pria berbadan tambun dan kepala plontos, naik ke atas panggung. Lagu manis berjudul “Wonderful Tonight” dari Eric Clapton mengisi malam. Semua pengunjung kedai ikut bernyanyi bagai tersihir dengan suara magis sang vokalis. Suara yang merdu, musik yang pas, dengan beberapa botol bir dingin tersaji. Apa lagi yang kau harapkan anak muda?

I feel wonderful because I see
The love light in your eyes.
And the wonder of it all
Is that you just don’t realize how much I love you.

Di antara melodi yang berbunyi, pikiran saya melayang ke masa kecil…. saat saya bersentuhan dengan dunia tulis-menulis, hingga akhirnya bercita-cita menjadi jurnalis.

Mungkin, waktu itu, saya berusia 4 atau 5 tahun. Ayah sering menceritakan maksud karikatur yang biasanya dimuat di pojok surat kabar. Ayah juga  membacakan potongan-potongan berita di koran. Saya tidak tahu maknanya, hanya saya senang mendengar ada banyak peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi.

Kata ayah, orang yang menulis berita adalah wartawan. Setiap wartawan memiliki nama inisial tiga huruf yang ada di ujung tulisan. Identitas sang penulis abadi di sana. “Aku ingin punya nama inisial,” kata saya. Ayah hanya mengangguk-angguk menanggapi celotehan cita-cita bocah kecil yang sering berubah sewaktu-waktu.

Saat saya duduk di bangku SD, guru saya Pak Felix, sering memberi tugas mengarang. Karena saya suka mengkhayal, tugas menulis bukan hal yang sulit dilakukan. “Tulisan kamu jelas dan informatif. Kamu cocok menjadi wartawan,” kata Pak Felix, mengomentari tulisan saya.

Komentar Pak Felix itu membuat saya ingat cita-cita ketika kecil dulu: ingin menjadi wartawan. Meskipun saat itu saya belum tahu, apa tugas jurnalis.

Segala sesuatunya lalu bergerak seperti sudah digariskan. Saat SMA, saya terpilih menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah sekaligus bekerja freelance di beberapa majalah nasional. Tulisan saya beberapa kali menang lomba majalah dinding atau mendapat penghargaan dari media besar. Setiap kali tulisan dimuat di majalah, rasa senangnyaaa….. luar biasa. Apalagi pas dapat honor penulisan!! Uang tak seberapa sukses membuat saya merasa seperti milyuner!! 😀

Saat kuliah, kecintaan saya pada dunia tulis menulis saya wujudkan dengan menulis di blog. Kalau menulis awalnya hanya hobi untuk ekspresi diri (yang kebetulan mendatangkan keuntungan finansial), sekarang saya merasa menulis membuka dunia saya lebih luas. Saya bisa mengunjungi banyak tempat baru, berkenalan dengan banyak blogger yang kemudian menjadi sahabat saya, juga merasa menjadi orang yang lebih bermanfaat.

Tetapi, kecintaan saya pada dunia tulis menulis -yang sering membuat saya teralienasi dari lingkungan sekitar- sering dianggap aneh oleh orang lain. Beberapa kali menjalin hubungan asmara, barisan mantan kekasih tak setuju saya bergelut pada dunia tulis menulis yang didominasi kaum pria.

Bahkan, salah satu mas mantan mengatakan (dengan nada termehe-mehe) “Aku kan gak mau kehilangan kamu kalau kamu ditugaskan liputan perang…” (Hmm… saat itu kayaknya romenss. Tetapi, kalau diinget-inget lagi rada geli jugaaa karena sekarang era kemerdekaan sehingga perang jarang terjadi, kecuali mungkin di negara-negara Timur Tengah.). Hal baiknya, hubungan itu berakhirrr…. #belumjodoh #usapairmata #masalalubiarlahmasalalu #nyanyidangduut (sorry ini intermezo hehe).

Puncaknya adalah, saya berkonflik dengan ibu. Beberapa belas tahun lalu, dunia tulis menulis dianggap tidak bermanfaat. Aneh. Gak biasa. Agar tidak dimarahi orang tua, saya harus bangun tengah malam lalu mengendap-endap menulis di antara remang lampu kamar. Butuh waktu beberapa tahun untuk menyembuhkan luka dan sakit hati pada ibu, serta mengumpulkan kembali rasa percaya diri untuk menulis dengan cara “normal” dan sadar. Semua kesulitan itu berlalu seiring waktu. 🙂

Sekarang, ibu adalah pendukung saya nomor satu. Dia yang pertama kali memberi tahu ada lowongan pekerjaan sebagai jurnalis di harian umum KOMPAS. Ketika mau ikut uji kompetensi, ibu mendukung, memberi restu, mendokan, membantu memilih pakaian yang sesuai untuk wawancara pekerjaan, dsb…dsb… hingga akhirnya saya dinyatakan lolos menjadi wartawan.

Meski saya mencintai profesi jurnalis, nyatanya pekerjaan ini tidak mudah. Selama menempuh pendidikan wartawan dan magang satu tahun di Palmerah Selatan, sering kali saya merasa ingin mundur. Tugas yang berat, menumpuk, mencekik, dengan standar-standar tulisan begitu tinggi,… belum lagi ada perasaan minder dan segan berada di antara penulis-penulis senior di kantor redaksi. “Ibu, anak mu tak akan mampu,” kata saya, sambil menahan tangis.

Tetapi, ibu yang menguatkan. Kata ibu, saya sedang berada di Kawah Candradimuka, tempat keramat dan sakti untuk menggembleng kesatria agar menjadi ksatria yang kuat dan tangguh. “Kalau kamu berhasil melaluinya, kamu akan menjadi jurnalis hebat,”  kata ibu.

Ah ibu, berat sekali perjalanan ini. Hingga kini, saya merasa masih sangat sangat jauh dari kata hebat. Meski sulit, saya merasa masih harus menjalani panggilan ini… vocatio. Panggilan hidup.

Selama tiga tahun menjadi wartawan, saya merasa lebih terbuka pada realita, mampu melihat segala sesuatu tidak hanya hitam-putih kehidupan, mengunjungi lebih banyak tempat-tempat indah di pelosok nusantara, bertemu dengan lebih banyak orang dari berbagai latar belakang, dan berkat dunia tulis-menulis, saya mendapatkan penghargaan “Anugrah Pesona Bahari 2015” dari Kementerian Pariwisata dan menjadi salah satu finalis penghargaan MH Thamrin ke-42, pada Oktober 2016.

Menjadi wartawan, meski sulit dan saya tidak tahu sampai kapan akan bertahan, adalah bukti bahwa mimpi dapat diwujudkan. Jadi, kalau seseorang bertanya, apakah saya bahagia menjadi jurnalis? Saya bahagia karena hidup dalam mimpi dan cita-cita yang terus dikobarkan…. 🙂

“Balik yuk!” kata Yogi, membuyarkan lamunan.

Saya melirik jam tangan. Waktu sudah lewat tengah malam. Kedai bir semakin ramai dengan muda-mudi. Daya tahan tubuh saya menurun karena mengantuk. “Yuk,” jawab saya. Kami pun membayar makanan dan minuman. Memesan taksi online. Menembus sisa-sisa kemacetan Ibu Kota.

Jakarta, 11-08-2016

Read more