Landscape

Beberapa hari lalu, saya menjalani tes kepribadian. Hasilnya, ada perubahan kepribadian dengan hasil tes lima tahun lalu, yaitu dari extrovert menjadi introvert. Artinya, kalau dulu saya lebih menyukai lingkungan yang interaktif, senang bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara, kini saya lebih senang menyendiri. Kalau dulu saya suka kumpul-kumpul, saya – yang sekarang – merasa nyaman duduk sendirian dalam ruang yang ramai sambil minum kopi, membaca buku atau majalah.

Perubahan ini, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Saya mulai menyadari perubahan kepribadian ketika sedang traveling ke New Zealand, bersama sahabat saya, Narastika.

Seperti pengalaman-pengalaman traveling sebelumnya, Narastika dan saya lebih suka tinggal di hostel daripada di hotel karena tersedia lebih banyak kesempatan bertemu teman baru. Di hostel, setiap hari adalah kejutan, entah itu suasana kamarnya, atau pertemuan dengan orang-orang tidak terduga. Tidak jarang, pertemuan dengan teman baru di hostel berakhir dengan pengalaman seru menjelajah bersama di tempat-tempat yang menarik.

Dalam perjalaan ke New Zealand ini, beberapa bulan lalu, saya mulai menyadari bahwa saya mengalami perubahan kepribadian. Beberapa tahun lalu, ketika Narastika dan saya traveling ke Singapura, Jepang, Malaysia, dan Inggris, saya punya kepribadian antusias, mudah bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara. Saya sama sekali tidak takut tuh untuk menyapa orang baru, mengajak jalan-jalan orang baru (kebanyakan sih bule, hahahha).

Hudson, saya, Narastika, dan Thiago, 10 kilogram yang lalu

Contohnya di Malaysia, saya sempat jalan seharian penuh bersama orang yang baru saya kenal, yaitu Thiago, traveler bule asal Sao Paulo, Brazil. Ketika itu, Narastika dan saya sedang jalan-jalan di Georgetown, Malaysia. Tiba-tiba, Narastika sakit dan memutuskan kembali ke hostel. Saking cueknya, di hostel saya melihat ada cowok bule lagi pakai sepatu. Lalu, saya tanya: “Kamu mau ke mana?” Cowok itu bilang mau ke toko, cari sendal jepit.

Dia lalu tanya balik: “Kamu mau kemana?” Saya langsung memberi tahu dia, kalau saya mau membeli makan siang, tetapi teman saya sedang sakit. Lalu, dengan super cueknya, saya berkata: “Kamu mau gak makan siang dengan saya? Nanti saya temanin kamu beli sendal jepit!!” Wkakkakakak. Lalu, begitu saja Thiago dan saya jalan bersama seharian penuh.

Keesokan harinya, saat Narastika sudah sembuh dan kami mau jalan-jalan, Thiago malah minta ikut jalan bareng. Ketika itu, ada teman lain yang juga bergabung, dan teman itu benar-benar baru saya kenal, yaitu Hudson dari Singapura. Narastika heran kenapa saya bisa dengan mudah bergaul dengan orang baru, bahkan sampai bule-bule yang baru saya kenal itu kayak kecantol mau aja diajak jalan-jalan padahal baru kenal. Wakakkakakk.

Sikap saya yang mudah bergaul dengan orang lain, sebenarnya sangat bertolak belakang dengan sikap Narastika beberapa tahun lalu yang tidak semudah itu menyapa orang lain. Kata Narastika, dia takut berkenalan dengan orang asing, karena bisa jadi orang itu jahat atau punya hobi suka culik orang, wkwk. Pemikiran yang sama sekali tidak muncul di benak saya.

Anehnya, ketika perjalanan ke New Zealand, Mei lalu, Narastika dan saya seperti bertukar kepribadian. Narastika menjadi orang yang lebih mudah bergaul, lebih mudah menyapa orang lain, dan aktif ngajak orang lain ngobrol orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Misalnya, saat kami roadtrip bersama bule asal Perancis, Erika, dalam perjalanan Narastika bertanya ke Erika: “Kamu suka mendengarkan musik apa?”, “Kamu suka nonton drama series gak di Perancis?”

Narastika, saya, Ryan, dan Erika… tiga di antara empat orang ini introvert, tebak yang mana saja… 😀

Sikap mudah bergaul itu, sangat membantu kami menemukan teman perjalanan, dan menambah pengalaman perjalanan. Sementara saya jadi lebih suka mengamati orang lain, menghabiskan waktu sendiri, dan agak kesulitan memulai percakapan dengan orang baru. Ketika ngobrol dengan Narastika mengenai hal ini, saya menemukan beberapa hal yang mempengaruhi perubahan kepriabdian dan sikap seseorang. Hal paling mendasar adalah lingkungan, keseharian, dan pergaulan seseorang (meski bukan satu-satunya faktor perubahan).

Narastika mengatakan, kepribadiannya berkembang pesat ketika dua tahun lalu dia memutuskan pindah dari Indonesia ke Australia. “Teman-teman aku kebanyakan bule. Aku ‘kan orang baru, kalau aku tidak mengajak ngobrol mereka duluan, aku akan sulit punya teman. Mereka nggak akan mau ngajak aku nongkrong kalau aku enggak ngobrol dengan mereka duluan,” ujarnya.

Sejak Narastika mengambil keputusan besar tinggal di Australia, saya sangat salut dengan keberaniannya meninggalkan zona nyaman demi mewujudkan cita-cita tinggal di negara kangguru. Keputusan itu rupanya telah membentuk siapa Narastika sekarang. 🙂

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, rupanya juga mempengaruhi kepribadian saya sekarang. Lima tahun lalu, saat baru lulus kuliah, saya adalah tipe manusia yang sama sekali nggak punya rasa takut. Saya ingin mengecap sebanyak-banyaknya pengalaman hidup, berkenalan dengan sebanyak-banyaknya orang, dan mengunjungi sebanyak-banyaknya tempat. Jadi, apa pun saya lakukan agar saya bisa dapat pengalaman, termasuk berani untuk spik-spik dengan orang yang baru dikenal 😛

Setelah saya bekerja dan tinggal di Jakarta, kejamnya Ibu Kota membentuk kepribadian saya. Hampir setiap hari, saya bertemu orang baru, mostly sih untuk kepentingan pekerjaan. Saking seringnya ketemu orang, kadang-kadang di waktu libur saya nggak pengen ketemu siapa-siapa. Kalau ada teman yang ngajak nongkrong, saya selalu tanya: “Ada siapa aja yang ikutan?”

Biasanya, saya akan menolak ajakan nongkrong kalau ternyata yang datang kebanyakan adalah orang-orang baru. Pertemuan dengan orang baru itu membutuhkan energi untuk membuka diri dan kerelaan untuk memahami orang lain. Rasanya, kesibukan dan kepenatan dengan aktivitas sehari-hari sering membuat saya enggan berkenalan dengan orang baru. 🙁 🙁

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, di Jakarta, juga membentuk saya menjadi orang yang lebih pemikir, penuh pertimbangan, dan pendiam. Saya lebih suka mengamati, daripada terlibat dalam suatu aktivitas. Saya sadar, lingkungan, keseharian, dan pergaulan bukan satu-satunya faktor perubahan kepribadian seseorang. Perubahan dari extrovert ke introvert dapat disebabkan banyak hal lain, seperti tekanan hidup, pengalaman pahit, kesedihan mendalam, dan masih banyak lagi (hayoo tebak apa yang mempengaruhi perubahan kepribadian saya?? … kayaknya gabungan ini semua Ahahhaha).

Sebenarnya, saya merasa cukup menyesal dengan perubahan kepribadian ini. Kesempatan saya untuk mengenal orang lain menjadi tidak sebesar sebelumnya. Kesempatan saya untuk merasakan pengalaman-pengalaman luar biasa juga mungkin saja berkurang.

Dent, aku tuh masih introvert. Aku suka cape jiwa kalo abis ngobrol ama orang,” kata Narastika.

Benar juga yaa… bukankah tidak ada individu yang benar-benar memiliki satu tipe kepribadian saja, yang ada hanya dominasi, dan/atau kecenderungan satu atau kombinasi tipe kepribadian. Mungkin lima tahun lalu saat saya menjalani tes kepribadian sisi extrovert saya lebih kental. Lalu, dalam tes kedua ini justru kepribadian saya didominasi oleh sisi sebaliknya. Lagian, kepribadian extrovert atau introvert juga bukan tentang salah atau benar, atau sifat mana yang lebih baik, karena kedua kepribadian itu saling mengisi, saling melengkapi. 

Sekarang, saya sadar bahwa kepribadian setiap manusia bisa berubah. Hasil studi ini membuat saya kembali merenungkan makna keberadaan saya dan bagaimana saya bersikap selanjutnya. Kalau dulu saya bisa mudah berbagaul dengan orang lain, kenapa sekarang sulit? Menjadi seorang pemikir, pendiam, dan penuh pertimbangan, juga tidak buruk, karena mungkin ini bermanfaat agar saya bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Hal terpenting, saya sadar, rupanya saya harus terus belajar, untuk tidak puas dengan diri sendiri, saya harus belajar terus untuk mengenal diri sendiri dan mengenal orang lain dengan lebih baik.  

Terima kasih New Zealand atas pelajaran yang berharga, terima kasih Narastika untuk pengalaman-pengalaman yang berkesan!! *mewek* 🙂

 

Salam, Denty Piawai Nastitie

(Foto 1, 5, dan 6, diambil di Milford Sound, cerita menyusul yaa… Stay tuned!)

Cerita sebelumnya: Welcome to Auckland!

[instagram-feed]

Read more

Bagi pecinta alam, Tekapo adalah tanah impian. Selain langit bertabur bintang, tempat ini juga menyajikan pemandangan indah berupa jajaran pegunungan Alpen Selatan yang berpuncak salju, hamparan danau berwarna biru-kehijauan, juga bangunan Gereja Gembala Baik ( the Church of the Good Shepherd) yang ikonik.

Danau Tekapo terletak di daerah Cekungan Mackenzie, atau cekungan antarbintang elips yang terletak di Distrik Mackenzie dan Waitaki, di dekat pusat Pulau Selatan Selandia Baru. Di daerah ini ada tiga danau besar, yaitu adalah Tekapo, Pukaki, dan Ohau. Warna Danau Tekapo yang unik terbentuk dari erosi batuan sedimen glasial dari Alpen Selatan dan Gunung Aoraki (Mt Cook). Berasal dari es yang mencair membuat air Danau Tekapo dingin  banget, sekitar 8-10 derajat selsius.

Ada dua cara untuk menuju Tekapo, yaitu dari kota Queenstown (berjarak sekitar 256 km) dan Christchurch (227 km). Saya menempuh perjalanan dari Queenstown ke Tekapo selama sekitar empat jam perjalanan menggunakan Intercity Bus. Berdasarkan jadwal, bus berangkat pukul 08.00. 

“Kita cari penginapan yang dekat dengan halte, yuk! Biar tidak terlambat,” kata Narastika, teman saya, beberapa hari sebelum berangkat ke Tekapo.

Setuju! Kalau perlu, ‘nggak usah mandi. Begitu bangun tidur, kita langsung tancap gas,” kata saya.

Saya ingat, suatu hari, dalam perjalanan dari Auckland ke Hobbiton, ada dua penumpang bus yang ditinggal di tengah jalan karena terlambat. Kendaraan antar kota di Selandia Baru memang terkenal tepat waktu. Dalam perjalanan antar kota, bus berhenti selama 10 menit di sejumlah titik istirahat seperti pertokoan atau toilet umum. Tetapi, hingga waktu ditentukan, dua penumpang tadi tidak juga menampakkan diri. Akhirnya, supir meninggalkan mereka begitu saja di tengah jalan.

Belajar dari pengalaman tersebut, selama di Selandia Baru, saya berusaha selalu tepat waktu. Tidak terima rasanya kalau harus ketinggalan bus, padahal sudah bayar puluhan dollar sejak jauh-jauh hari!

 

Bus Intercity membawa penumpang dari Queenstown ke Danau Tekapo. (c) Denty Piawai Nastitie

Sekitar pukul 07.30, Narastika dan saya berjalan ke halte bus. Begitu sampai di sana, beberapa penumpang sudah menunggu. Penumpang mengenakan baju dan jaket berlapis untuk menghalau dingin. Saat itu, udara sekitar 4-6 derajat selsius. Tubuh menggigil. Ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang rela bangun lebih awal demi naik bus tepat waktu.

Menjelang pukul 08.00, bus jurusan Queenstown-Danau Tekapo-Christchurch tiba. Belasan penumpang segera membentuk antrean dan secara tertib masuk ke dalam bus. Kendaraan ini sepertinya memang dirancang untuk para pelancong. Bus Intercity dibuat dengan jendela-jendela lebar untuk memudahkan penumpang menikmati panorama alam.

Dengan menggunakan microfon, pengemudi bus, merangkap sebagai pemandu wisata, menjelaskan nama-nama gunung dan danau yang dilewati. Supir bus juga menjelaskan kebudayaan, keberagaman masyarakat, keanekaragaman flora dan fauna, serta makanan-makanan khas yang ada di Selandia Baru.

Berdasarkan penjelasan pengemudi, dari 4,4 juta penduduk Selandia baru, sekitar 70 persen merupakan keturunan Eropa, 15 persen adalah suku asli Maori, sisanya orang-orang Asia dan kepulauan Pasifik, non-Maori. Sebagian besar penduduk tinggal di kota besar seperti Auckland dan Queenstown. Tak banyak orang yang tinggal di daerah pegunungan. Kalau pun ada, biasanya mereka adalah peternak. Di desa-desa yang dilewati, terlihat sekali sangat minim penduduk. Desanya sepi. Tidak banyak orang berlalu-lalang, atau kendaraan melintas. Bahkan saya sempat foto-foto di tengah jalan desa saking minimnya kendaan yang lewat.

Maka banyak orang mengatakan, Selandia Baru lebih banyak dihuni domba dan sapi dari pada manusia. 😀 😀

Perjalanan melewati jalur bergelombang dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan, penumpang disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan berpuncak salju dan hamparan danau berwarna biru-kehijauan yang menawan. Sungguh, tak henti-hentinya saya terpukau memandang indahnya pemandangan alam yang tersaji di depan mata. Pemandangan sepanjang perjalanan ini membuat rasa kantuk lenyap.

Saat melintasi Danau Pukaki, bus berhenti. Pengemudi memberi kesempatan penumpang untuk berfoto dan menikmati pemandangan danau yang sangat menarik dengan air berwarna biru. Saya melihat warna danau ini seperti kolam renang. Tetapi, saat diliat dari dekat, ternyata airnya jernih. Batu-batuan dan kerikil yang ada di sekitar danau dengan mudah terlihat.

“Denty, ayo!” teriak Narastika.  Dari kejauhan, supir bus memencet klakson. Rupanya, saya menjadi satu-satunya penumpang yang belum naik ke bus. Sesegera mungkin, saya mengeluarkan kamera dan memotret pemandangan di Danau Pukaki. Klik! 

Danau Pukaki, Selandia Baru. (c) Denty Piawai Nastitie

Makan siang sambil menikmati pemandangan alam. (c) Denty Piawai Nastitie

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak terasa akhirnya sampai juga di Danau Tekapo. Begitu sampai, Narastika dan saya menyantap makan siang di restaurant Jepang. Restaurant ini menyajikan makanan khas Negeri Matahari Terbit, seperti sushi, ramen, dan paket nasi bento. Saya memesan paket makan siang berupa nasi dengan potongan ayam goreng terayaki, telur, salad, asinan, dan sup miso. Acara makan siang bertambah nikmat karena dilakukan sambil menikmati pemandangan alam.

Setelah makan siang dan menaruh barang-barang bawaan di penginapan, Narastika dan saya memulai petualangan di Tekapo. “Sebaiknya, kita bawa barang-barang yang dibutuhkan hingga larut malam. Langit sedang bagus, kita bisa stargazing malam ini,” ujar Narastika. [Bersambung…]

Baca selanjutnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

[instagram-feed]

Read more

Teman saya, Wahyu, sudah lebih dari 30 kali naik Gunung Pangrango. Kadang-kadang bersama teman, sering juga dia berjalan sendirian. “Kenapa sih lo suka banget naik Pangrango?” saya bertanya.

“Di Mandalawangi sepi… enak untuk berdiam diri. Merenung. Rasanya tenang. Coba deh, sekali-kali naik Pangrango sendirian,” katanya.

Nanti ya Kak, kalau gue lagi galau akut dan butuh merenung, gue naik Pangrango sendirian,” jawab saya.

Saat itu, kami sedang menyusuri jalan setapak menuju puncak Pangrango. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang membuat Pangrango memiliki daya tarik sampai membuat banyak orang jatuh hati, tertutama pada Mandalawangi.

Bagi saya, ini bukan pertama kali naik Gunung Pangrango. Pada percobaan pendakian yang pertama, Oktober 2017, saya gagal mencapai puncak karena ada badai besar. Ketika itu, langkah saya dan kawan-kawan, terhenti di pusat perkemahan Kandang Badak. Kegagalan, tidak membuat saya patah arang. Saya justru termotivasi, untuk kembali…

Pada pendakian yang kedua ini, saya berangkat bersama kawan-kawan: Wahyu, Rico, Inang, Agnes, dan Rakhmat. Kami berjalan mulai pukul 06.00 melalui Jalur Cibodas dengan optimisme tinggi dan semangat berkobar-kobar. Saya selalu yakin, gunung boleh sama, tetapi kawan dan cerita perjalanan selalu berbeda.

Sepanjang perjalanan, saya merasa seperti kembali ke masa lalu…. melalui segala sesuatu yang pernah dilewati: jalur tanah setapak, Jembatan Jurassic Park, Telaga Biru, air terjun, pohon-pohon besar, tumbuhan liar dan bebatuan, semua terasa sama dengan sejak terakhir kali saya mendaki Gunung Pangrango. (Ohyaa, ada yang berbeda yaitu bunga-bunga liar yang mulai bermekaran!)

Perjalanan dari Basecamp Cibodas hingga Kadang Badak memakan waktu sekitar enam jam. Perjalanan melewati beberapa pos peristirahatan, yaitu Rawa Panyangcangan, Rawa Denok 1 dan 2, Batu Kukus 1, 2, dan 3, Kandang Batu, dan terakhir Kandang Badak. Di sini, jalur terbagi dua, ke kiri ke puncak Gunung Gede, sementara ke kanan ke puncak Gunung Pangrango.

Sepanjang perjalanan, saya tidak menemukan kesulitan berarti kecuali rasa kantuk sering mengacaukan fokus dan konsentrasi. Beberapa kali, saya berjalan oleng karena mengantuk. Untung aja nggak sampai terperosok ke jurang! Rasa kantuk juga membuat kepala pusing dan nafsu makan bertambah (hahaha ini mah gak usah ngantuk juga bawaannya laper terus :p).

Di Kandang Badak, teman-teman dan saya beristirahat sambil menikmati makan siang. Setelah makan, Wahyu menyodorkan secangkir teh panas manis. Wahyu ini sering banget bikin teh panas manis. Kata dia, ngeteh di gunung itu wajib karena memberi energi, ketenangan, dan kehangatan. Iyee… iyee… dehh terserah looo…” kata saya dalam hati. 😛 *saya gak boleh ngeyel sama kuncen gunung yang sudah 30 kali naik Pangrango… *langsung ditoyor

Kelak saya baru tahu, melalui secangkir teh, ada pesan tersirat yang ingin disampaikan mengenai medan perjalanan yang akan kami hadapi selanjutnya. Sebuah perjalanan panjang yang menguras emosi, tenaga, jiwa, melatih kesabaran, menguji mental, dan tentu saja tak akan terlupakan. Di bawah rimbunnya pepohonan, secangkir teh panas manis menjelma menjadi sumber kekuatan dan obat penenang, sebelum kekalutan datang. *anjaayyy omongan gue hahaha

Pukul 13.30, Wahyu, Rico, dan saya, berjalan menembus tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menggapai Puncak Pangrango. Adapun Rakhmat, Agnes, dan Inang menjadi rombongan kedua yang berjalan di belakang.

Mat, tenaga gue udah mulai terkuras nih,” kata saya ke Rakhmat sebelum melangkahkan kaki.

Tenang, jalurnya tanah kok. Lebih empuk. Lo pasti bisa sampai puncak,” kata Rakhmat.

Mungkin Rakhmat lupa menyebutkan bahwa jalurnya berupa tanah… DAN TEMAN-TEMANNYA, yaitu akar-akar tanaman besar, batang pohon tumbang, bebatuan besar, gundukan tanah, jurang, lembah, lumpur, jalur air, dan semak belukar.

Menurut saya, perjalanan ke Gunung Pangrango ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum Kandang Badak dan setelah Kandang Badak. Kalau dari basecamp hingga Kandang Badak perjalanan ini menguras fisik, dari Kandang Badak ke puncak lebih menguras mental dan emosional. Perjalanan ke puncak melewati jalur yang menantang tanpa pos peristirahatan. Sepanjang jalan juga hampir tidak ada bonus (sebutan para pendaki untuk jalan datar). Di jalur inilah, ketabahanmu sebagai manusia diuji!

Pada 20 menit pertama, jalur perjalanan terasa menantang dan menyenangkan,… selanjutnya,… waktu bergerak 30 menit, 40 menit, kemudian 50 menit, 60 menit… dan perjalanan semakin terasa menyengsarakan!

Kata Wahyu, perjalanan masih panjang. Tantangan sebenarnya masih berada di depan. Alamak!!! Rico dan saya, yang baru pertama kali mendaki ke puncak Gunung Pangrango hanya bisa pasrah menjalani tantangan dalam perjalanan.

Infonya, perjalanan dari Kandang Badak ke Puncak Pangrango memakan waktu 3-4 jam. Dengan pace perjalanan yang bisa dibilang cukup cepat dan hampir tanpa istirahat, mulanya saya yakin bisa sampai puncak dalam waktu tiga jam. Tetapi, ketika tiga jam berlalu bergitu saja, dan puncak yang dinanti terasa masih sangat-sangat jauh, pada titik itulah, tekad ini mulai mengendur. Kenyataan yang berjalan tak sesuai ekspektasi pelan-pelan membunuh semangat dan daya juang.

Masih jauh gak?” tanya saya kepada Wahyu, yang berjalan di depan.

Sedikit lagi… Itu puncaknya sudah kelihatan,” jawab Wahyu. Lebih dari sepuluh kali dia bilang “Sedikit lagi… ”. Tetapi, bukannya semakin dekat, puncak Gunung Pangrango justru terasa semakin jauh… dan abstrak (seperti masa depan hahaha). 

Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango, saya sadar… keberadaan akar dan batang pohon tumbang adalah rintangan, sekaligus sumber pertolongan. Beberapa kali saya kesulitan melewati jalur, bahkan hampir terperosok ke jurang, namun akar-akar pohon justru menyelamatkan nyawa saya! Ketika hampir terjerumus dalam bahaya, saya berpegangan pada akar-akar pohon atau mencoba bertahan dengan memegang batang pohon tumbang… Perjalanan ini mengingatkan saya bahwa tak selamanya rintangan dalam kehidupan itu buruk… dengan adanya rintangan justru membawa kita ke tempat yang lebih tinggi, dan lebih berarti.

Dalam perjalanan ini, saya juga melihat tanaman anggrek hutan yang memberi warna pada jalur pendakian. Bukankah dalam kesulitan sekalipun, selalu ada hal-hal sederhana yang memberi warna? 🙂

Pukul 17.30 warna langit mulai berubah menjadi kuning kemerahan, tanda senja mulai datang. Sesaat, Wahyu, Rico, dan saya menatap matahari yang tenggelam. Pupus sudah harapan melihat sunset di Lembah Mandalawangi. Langit yang mulai gelap menghadirkan tantangan selanjutnya, yaitu perjalanan malam menembus hutan belantara.

Perjalanan malam itu nggak enak, karena membuat manusia jadi tak punya kuasa untuk mengontrol sesuatu di luar dirinya. Jarak pandang mata kian terbatas. Energi semakin terkuras. Dingin semakin menusuk tulang. Harapan pelan-pelan tenggelam. Perjalanan tambah terasa panjang. Sempat muncul keinginan menyerah, tetapi berbalik arah sama sulitnya dengan melanjutkan perjalanan.

Ayo, Mandalawangi menunggu!!” kata Wahyu, saat melihat saya kepayahan.

Kata-kata itu  sedikit menghibur. Selama bertahun-tahun saya menantikan perjumpaan dengan Mandalawangi, yang berada di dekat puncak Gunung Pangrango. Mengetahui Mandalawangi sedang menunggu (kehadiran saya), membuat hati ini berseri-seri.

Penantian ini, semoga tidak bertepuk sebelah tangan.

Pukul 19.30, di antara kabut tipis yang menuruni lembah dan di antara remah-remah harapan yang bentuknya sudah tidak keruan, saya melihat tugu triangulasi Pangrango. “Welcome to Puncak Pangrango… Maaf ya, jalurnya berat,” kata Wahyu.

Rico dan saya tertawa. “Hahaha! Maaf juga sudah hampir menyerah…” kata saya.

Bertiga kami lalu berjalan di tanah setapak yang agak menurun, menembus semak belukar. Samar-samar, pandangan mata saya melihat ke arah kelopak bunga putih di tengah tanah lapang,… gumpalan bunga edelweis terlihat seperti awan putih di langit hitam… “Mandalawangi…” saya berbisik di antara embusan angin malam. Spontan, air mata menetes. Ada rasa haru dan syukur yang menjadi satu. Perjalanan selama 14 jam yang menantang dan menyengsarakan, terbayar dengan keheningan malam Mandalawangi.

Keesokan harinya, begitu keluar dari tenda, saya melihat Mandalawangi dengan lebih jelas. Sebuah daerah dataran tinggi kesayangan Soe Hok Gie yang dihiasi dengan bunga-bunga edelweis dan cantigi. Matahari pagi perlahan muncul, memberi cahaya kuning kemerahan pada tanaman yang tumbuh liar dan abadi.

Sambil membaringkan tubuh di atas rerumputan, saya memandang awan yang berarak di langit. Mendengarkan suara aliran air di sungai kecil. Merasakan angin pegunungan yang bertiup sejuk. Di Lembah Kasih Mandalawangi, saya menikmati waktu yang bergerak lambat,… mengurai semua rasa yang akhir-akhir ini mengganjal hati. Di Lembah Kasih Mandalawangi, manusia, rasa, dan semesta terasa menjadi satu. Saya menikmati kesepian dan kesunyian tanpa harus takut kehilangan.

Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi, saya terkenang kata-kata Gie:

Mandalawangi-Pangrango”

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie

Gimana, asyik ‘kan ada di sini?” kata Wahyu, sambil bikin sarapan mewah ala anak gunung: homemade spaghetti sauce bolognaise plus chicken nuggets kebanggaan! 😛

Iyaa Kak, pengen balik lagi! Tapi next time, kalau gue ke sini lagi, gue bawa “ransel kosong” yaa… jalurnya berat banget… kalau bawaan minim kan jadi lebih enak jalannya,” kata saya.

Boleh! Tapi, malam tidur di luar tenda yaaa…. Ya gak, Co??” kata Wahyu.

“Iyaa… setuju gue bang, biarin aja dia tidur di luar tenda… pakai bivak sekalian,” sahut Rico.

Sial! Tega bener!!” %£$^$£*&%^^%* wkwkkk

 

 

Di Mandalawangi, satu cerita tersimpan untuk dikenang kemudian…..

Jakarta, sepekan seusai pendakian ke Gunung Pangrango.

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com/)

 

Pictures by: Denty Piawai Nastitie; Wahyu Adityo Prodjo (foto cover, foto denty lagi ngeteh); foto team by tripod, and a stranger we met in Mandalawangi.

PS: Ket. foto terakhir: Ini ceritanya… rombongan kloter 1 sudah sampai puncak, sudah bikin tenda, sudah tidur, sudah bangun, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, sudah sarapan, sudah foto-foto, baru rombongan kloter 2 (Rakhmat, Inang, Agnes) datang… wkwkwkkk dagdigdugduer sempat khawatir dengan kabar teman-teman kloter 2, akhirnya senanggg karena semua bisa kumpul di Mandalawangi 🙂

Read more