Middle East

Aku ingin dibaptis, nderek Gusti Yesus. Aku ingin kembali menjadi seperti ketika aku dilahirkan,” kata-kata itu meluncur dari bibir kakek, pada suatu hari yang senyap.

Sebelumnya, kakek bukanlah orang Katolik. Seperti kebanyakan orang Jawa tradisional, eyang awalnya menganut paham kejawen. Dia tidak menganggap ajaran agama dalam pengertian agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku.

Kakek saya keturunan Kraton Yogyakarta, dengan nama Raden Indro. Dalam dokumen-dokumen hidupnya, seperti KTP dan Kartu Keluarga, nama eyang ditulis R. Indro. Nama R. Indro, selanjutnya bukan lagi Raden Indro, tetapi Robertus Indro.

Saya tidak tahu, mengapa dan sejak kapan eyang ingin dibaptis. Kakek beberapa kali cerita mengenai Romo (pastur atau imam gereja) yang dijumpainya saat masih kecil. Interaksi dengan para romo yang berbekas di hati, mungkin menggerakkan iman dan kepercayaan eyang pada Yesus Kristus.

Di antara hawa panas kota Yogyakarta yang membakar kerongkongan, di antara kenangan-kenangan yang selalu hadir di ingatan, eyang kakung menyimpan keinginan dibaptis pada kedalaman hatinya seorang. Menyadari adanya perbedaan keyakinan antara dia dan istrinya yang beragama Islam, eyang memutuskan untuk menahan ego itu. “Aku tidak ingin ada yang terluka. Keputusanku harusnya bisa direlakan,” katanya menjelaskan.

Suatu hari, eyang kakung terbaring koma di rumah sakit. Kulit wajah, tangan, dan kaki eyang terlihat keriput. Tulang-belulang di lutut dan pergelangan tangan terlihat jelas. Eyang bagaikan tulang belulang terselimutkan kulit tipis.

Selama berhari-hari kabel dan selang cairan obat dan makanan menempel di hidung, tangan, dan mulutnya. Dia terbaring lemah. Ayah, ibu, paman, dan bibi bergantian menjaga. Sesekali, saat akhir pekan, saya menggantikan peran ibu untuk menemani eyang di rumah sakit.

Suatu malam, karena tidak bisa tidur, saya duduk di sebelah eyang. Lampu kamar tidur bercahaya redup. Televisi menyala tanpa suara. Saya memandangi eyang kakung yang tergeletak tanpa tenaga. Saya memegang tangan eyang, membelainya lembut.

Sebuah dorongan spiritual membuat saya membisikkan Doa Bapa Kami di dekat telinga eyang. “Bapa Kami yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu. Datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga,…

Belum sempat doa itu selesai terucap, tangan eyang bergerak-gerak halus. Eyang terbatuk. Dia mengeluarkan suara sesenggukkan. Lalu air mata mengalir di pipinya. “Rama kawula ing Swarga, Asma Dalem kaluhurna…” bibir eyang bergerak, mengeluarkan suara lirih.

Panik, saya bergegas keluar kamar. Saya memanggil tante yang sedang tidur di selasar rumah sakit. “Eyang bangun… Eyang sudah bangun!” kata saya, setengah berteriak. “Eyang meminta doa Rama Kawula, Bapa Kami…” kata saya, terbata.

Tante segera masuk ke dalam kamar. Menggenggam lembut tangan eyang yang baru saja bangun dari tidur panjang, lalu melanjutkan doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa. Sebagai orang Jawa, saya merasa menyesal karena tidak terbiasa dan tidak hapal doa Bapa Kami dalam bahasa Jawa, bahasa ibu yang dikuasai eyang kakung.

Sepanjang doa dikumandangkan, air mata eyang kakung mengalir, seperti aliran air sungai yang bening. Setelah doa selesai diucapkan, tante menyuruh saya memanggil perawat dan dokter yang bertugas. Setelah peristiwa itu, kesehatan eyang mulai pulih.

Namun, bukankah kehidupan adalah misteri ilahi? Setelah eyang putri tutup usia, suatu hari, eyang kakung kembali mengutarakan niatnya untuk menerima percikan sakramenn baptis. “Bila selama ini aku menahan diri demi menjaga perasaan istriku, maka kali ini aku akan melangkahkan kaki sesuai kata hati,”  kata eyang kakung sambil berlinang air mata. “Aku ingin dibaptis. Aku ingin nderek Gusti Yesus.”

Pada 2013, eyang kakung menerima sakramen baptis. Sebuah pesta perjamuan sederhana diselenggarakan di rumah eyang di Yogyakarta.

“Bagaimana perasaannya, Eyang?” tanya bude (kakak ibu saya), usai penerimaan sakramen baptis.

“Saya senang karena Nderek Gusti Yesus, namun masih sedih karena harus menempuh jalan yang berbeda (dengan istri).”

Tujuh hari setelah pembabtisan, eyang kakung menutup mata untuk selama-lamanya.

Dalam perjalanan menuju Gereja Bapa Kami (Pater Noster Church) yang terletak di Bukit Zaitun, Yerusalem, saya teringat akan almarhum eyang kakung. Kakek saya menutup mata tepat saat berusia 86 tahun, hanya sepekan setelah dibabtis.

Gereja Bapa Kami adalah gereja yang dibangun lokasi saat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami, satu-satunya doa yang diajarkan Yesus kepada murid-muridnya.

Ternyata, rombongan peziarah terlalu pagi sampai gereja karena gerbang belum dibuka. Saya dan keluarga menunggu di depan gerbang. Pedangang-pedagang pohon zaitun menghampiri, menawarkan segenggam batang dan daun zaitun yang terkenal dapat menyembuhkan berbagai penyakit, seperti kanker, serangan jantung, diabetes, asma, dan peradangan sendi.

Pukul 10.00, gerbang gereja dibuka. Di dalam gereja ini ada pelataran dan lorong-lorong dengan dinding yang dipenuhi dengan keramik berisi Doa Bapa Kami dari berbagai Bahasa, seperti Jepang, Korea, dan Arab. Kalau negara lain, hanya memiliki sedikit bahasa, Indonesia kebalikannya. Indonesia kaya akan bahasa daerah.

Yoppi Taroreh, pemimping rombongan, menuturkan, saat Gereja Bapa Kami mulai dibangun, orang Sumatra Utara datang ke biarawati penjaga gereja dan meminta doa Bahasa Batak dipasang di dinding gereja. Setelah doa Bahasa Batak dipasang, orang Jawa juga datang dan meminta hal yang sama.

Kemudian secara berturut-turut, orang Palembang datang ke suster jaga dan meminta doa Bapa Kami dalam bahasa Palembang dipasang. Begitu seterusnya hinnga dinding gereja dipenuhi doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa, Batak, Palembang, Tana Toraja, Papua, Sunda, Biak, Karo, dan Bahasa Indonesia.

Bahasa-bahasa tradisional Indonesia itu terpasang berderet-deretan dengan bahasa dari negara-negara lain. “Setelah suster sadar doa yang terpasang kebanyakan bahasa tradisional Indonesia, suster tidak mau lagi memasang. Kalau dipasang semua, dinding akan penuh dengan doa dalam bahasa tradisional kita,” kata Yoppi. Peziarah tertawa mendengar cerita itu.

Saya berdiri mematung, memandang doa Bapa Kami dalam Bahasa Jawa di Gereja Bapa Kami, Yerusalem. Di tempat ini, saya terkenang eyang kakung dan perjalanan hidupnya yang mengingatkan akan iman dan kesetiaan. Bahasa telah mendekatkan hubungan manusia dengan Sang Kuasa. Bahasa Jawa mendekatkan eyang kakung pada Gusti Allah. Di Gereja Paster Noster, saya akhirnya saya bisa merapalkan doa Rama Kawula untuk eyang kakung yang setia mengikuti jalan Allah…

Rama kawula ing swarga

Asma Dalem kaluhurna

Karaton Dalem mugi rawuha

Karsa Dalem kalampahana

wonten ing donya kados ing swarga

kawula nyuwun rejeki kangge sapunika

sakathahing lepat nyuwun pangapunten dalem

kados dene anggen kawula ugi ngapunten dhateng sesami

kawula nyuwun tinebihna saking panggodha

saha linuwarna saking piawon. Amin.

 

Jakarta, Sabtu malam paskah, April 2017

Read more

Bagi kebanyakan umat Katolik, perjalanan menuju Tanah Terjanji Yerusalem seperti “naik haji”. 

Selama perjalanan, para peziarah diajak menembus hamparan padang gurun, melewati kebun-kebun kurma dan anggur, serta menyusuri kota-kota indah di Timur Tengah untuk mengenang perjalanan bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Di Israel dan Palestina, para peziarah mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Yesus.

Karena sudah seperti “naik haji”, orang tua saya kepingin mengunjungi Tanah Terjanji Yerusalem serta tempat-tempat lain yang disebutkan di dalam Alkitab.  Pada 2014, ayah dan ibu mendaftar perjalanan ziarah ke Mesir, Israel, Palestina, dan Jordan. Namun, niat itu batal terlaksana karena dua minggu menjelang keberangkatan, ayah sakit.

Suatu hari, keluarga kami kembali menyusun rencana perjalanan ke Timur Tengah. Kali ini, yang akan berangkat full team, alias ayah dan ibu dan dua anaknya, yaitu Raditya dan saya.

Seumur-umur saya tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan bersama keluarga! Ke luar negeri pula! Ke Timur Tengah pula!! Bakalan rempoooonggg, cyiiin….

Kenapa saya ogah trip dengan keluarga?

Pertama, saya sering berantem dengan kakak saya, Raditya Beken Wicaksana. Raditya itu model kakak penindas yang kemauannya harus selalu dituruti (Hahaha). Sementara saya, model adik manja dan merepotkan. Perbedaan sikap ini membuat hari-hari kami diisi adu mulut sampai adu cakar alias berantem fisik.

Selain sering bertengkar, style trip kami juga berbeda. Raditya senang menghabiskan waktu di tempat yang santai dan tenang, seperti di pantai. Sebaliknya, saya suka perjalanan menantang, seperti mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyelam di dalamnya perasaan (HALAH).

Saat pulang kampung, kakak saya bakalan membawa koper, serta memakai baju dan sepatu keren. Sedangkan saya sudah cukup hepi memakai jeans belel dan menyangklong ransel. Kelihatan perbedaannya kan? So, bagi saya, perjalanan bersama Raditya, it’s a big no no!

Kedua, kalau jalan bersama Raditya saja saya bakal mikir seribu kali, apalagi jalan bareng orang tua! Bagi ayah dan ibu, napak tilas di Tanah Suci merupakan perjalanan ke luar negeri pertama. Orang tua yang biasanya hidup dalam kultur Indonesia, akan melihat dunia luar dengan segala perbedaannya. Sumpaah dehh, ini ribet banget!

Sebelum berangkat, ibu sudah menanyakan dan mengkhawatirkan banyak hal gak penting, seperti “Nanti di Israel ada nasi gak ya?”, “Kalau pas jalan capek, bisa istirahat gak?”, “Trus, bicaranya pakai bahasa apa?”. Saya jawab saja: “Bicara pakai bahasa Tarzan, Ma!” Setelah itu saya dicubit!

Terbersit perjalanan yang seharusnya asyik dan kaya pengalaman bakalan ribet dengan hal remeh-temeh yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan! Namun, karena ini keinginan orang tua, apa salahnya (untuk kali ini saja!) saya menurut? Lagian, kapan lagiii bisa ke Timur Tengah??

Karena memang hobi vakansi, saya menganggap perjalanan ini sebagai ziarah plus plus (seperti pijat plus-plus hehee). Saya sebut “plus-plus” karena perjalanan ini tak melulu tentang berdoa dan memuji nama Allah. Hampir setiap hari, selalu ada kesempatan mencoba makanan khas, mencicipi anggur lokal, foto-foto, dan tentu saja berbelanja!

Saat ayah dan ibu sibuk berbelanja perlengkapan doa, seperti Alkitab dan Rosario, kakak saya bakalan riwueh mencari pedagang miras!! Gubraak!! Betapa perjalanan ini adalah campuran kepentingan duniawi dan surgawi!

Berbekal tekad kuat bahwa perjalanan ini akan berhasil, saya mencoba menjaga pikiran positif. Selama perjalanan, sebisa mungkin kami membangun toleransi dan komunikasi, menekan keinginan pribadi yang tidak sesuai dengan harapan keluarga dan kelompok peziarahan, serta menciptakan kenangan yang baik dengan tetap berusaha have fun!

Seiring waktu, saya semakin mengerti perjalanan ini mendewasakan dan membuat kami menembus berbagai keterbatasan diri sendiri: Raditya yang biasanya nggak pernah mau naik gunung, untuk pertama kalinya (setelah dipaksa) akhirnya bersedia mendaki Gunung Sinai. Ibu yang takut ketinggian, akhirnya mencoba naik kereta gantung di Gunung Hermon. Ayah yang biasanya enggan menempuh perjalanan jauh akhirnya sukses menembus perjalan ke Timur Tengah.

Kalau saya gimana? Wah, banyak sekali pengalaman dan pelajaran hidup yang saya dapatkan! Mulai dari jangan mudah panik, meskipun passport hilang di Israel dan nyaris nggak bisa pulang ke Tanah Air, hingga pelajaran hidup bahwa mimpi dapat diwujudkan, termasuk mimpi bervakansi di Timur Tengah!

Hingga perjalanan ini berakhir, saya tetap pada kesimpulan: ngetrip bersama keluarga ke Timur Tengah?? Nggak banget!! I’m not telling you it’s easy, but it’s worth it!

Salam vakansi!

Denty Piawai Nastitie.

 

Read more

Inilah tempat yang dituju. Puncak peziarahan. Rumah yang didambakan jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia. Berdiri di tempat ini, saya merasa kembali. Pulang. Meskipun saya baru pertama kali menginjakan kaki.
 
Setelah melalui perjalanan panjang menelusuri Jalan Penderitaan atau Via Dolorosa, saya berdiri, mematung, di depang pintu Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Pintu itu setinggi tiga meter. Begitu besar, megah, dan kokoh. Di depan pintu ratusan orang berdesak-desakkan masuk ke dalam gereja. “Pastikan kita berjalan dalam satu rombongan. Jangan terpisah!” tutur Joppy Taroreh, pemimpin rombongan, sambil mengibar-ngibarkan bendera biru, penanda kelompok kami. 
“Jam berapa pintu ditutup?” tanya saya.
“Pukul 18.00,” jawab Pak Joppy.
Saya melirik alroji, jarum jam menunjukan pukul 17.55. “Wew! 5 menit lagi pintu gereja ditutup!” seru saya dalam hati.
Dengan sabar, tenang, saya berusaha mengikuti alur manusia yang masuk ke dalam gereja. Senja membuat ruangan di dalam gereja redup, hampir tanpa cahaya. Begitu berada di dalam basilica Gereja Makam Kudus, saya melihat cahaya remang-remang berwarna kuning kemerahan dari lilin-lilin yang menyala. Lilin itu dipegang biawaran ortodoks yang sedang misa. Rombongan peziarah diminta hening, berjalan di belakang iring-iringan biarawan yang sedang beribadat.
 
Di Gereja Makam Kudus, ada batu merah muda yang diletakkan terbaring di atas lantai. Batu itu dipercaya sebagai lokasi pengurapan jenazah Yesus yang dilakukan oleh Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Secara bergantian, ratusan peziarah berjongkok dan memeluk batu.
Setelah melewati batu pengurapan Yesus, saya berjalan melewati dua tiang besar, lalu masuk ke bagian yang dinamakan Anastasis, tempat Yesus dimakamkan. Di depan tempat itu, ratusan orang berbaris. Setelah mengantre selama 15 menit, seorang biarawan menemani saya masuk ke dalam Anastasis. Tempat Yesus dimakamkan begitu gelap…. begitu sunyi… Inilah akhir perjalanan di Via Dolorosa.

 

 

Awalnya, ziarah di Yerusalem awalnya adalah mimpi dan cita-cita orang tua saya. Tahun lalu, orang tua saya batal berangkat ke Yerusalem karena ayah sakit. Suatu hari, di Gereja Santo Antonius Padua, Jakarta Timur, saya menyampaikan keinginan menemani orang tua ke Yerusalem. Tuhan menjawab doa itu dengan memberi berbagai kemudahan hingga kami bisa menapakkan kaki di Tanah Suci. 
Setelah merampungkan peziarahan di Bukit Golgota, Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, mengajak saya berjalan selama lima menit ke Tembok Barat, tempat orang-orang Yahudi berdoa. Seringnya konflik antar kelompok masyarakat, membuat tentara Israel selalu berjaga-jaga. Mereka memeriksa barang bawaan peziarah dengan menggunakan metal detector.
Di balik Tembok Barat terlihat kubah emas Dome of The Rock, dalam bahasa Arab disebut Masjid Qubbat As-Sakhrah, atau Kipat Hassela dalam bahasa Ibrani. Dome of The Rock terletak bersebelahan dengan Masjid Al-Aqsa, masjid terpenting ketiga bagi umat Islam.

 

Hari itu haru Sabbath, hari penting bagi bangsa Yahudi. Sabbathdimulai dari Jumat malam hingga Sabtu malam. Sepanjang hari orang-orang Yahudi tidak diizinkan beraktivitas, selain berdoa. Saya melihat puluhan orang Yahudi berdoa, meratap, di depan Tembok Barat. Belasan gulungan kertas berisi doa-doa terselip di celah-celah batu. Keesokan harinya, hari Minggu, umat Kristen berdoa di gereja. Pada hari Jumat, giliran orang-orang Islam yang sembayang ke masjid.
Hidup dalam keberagaman di Tanah Terjanji bukan berarti tanpa masalah. Suatu hari, saat melewati tembok perbatasan Israel – Palestina, bus saya ditimpuk orang asing karena dianggap pendukung Zionist. Di lain sisi, ada pula orang-orang yang memperjuangkan kehidupan damai. Saat natal, misalnya, puluhan anak-anak dari keluarga muslim Palestina memakai baju Santa Clause dan mengunjungi Gereja Kelahiran di Betlehem. Bukankah hidup memang seperti sekeping uang logam, ada sisi baik dan sisi buruk. Ada harapan, juga ratapan, tangis, luka, dan nestapa.
Pukul 19.00, ziarah di Via Dolorosa selesai. Rauf (55), pengemudi bus, menjemput kami di halaman tembok ratapan. Rauf adalah orang muslim Palestina. Dia memiliki restauran yang terkenal di kalangan Yahudi. Pria itu juga hafal lagu-lagu Kristen. Dalam perjalanan, Rauf sering menyanyi lagu-lagu sekolah Minggu, seperti “Hari ini harinya Tuhan” atau “Aku bahagia”. Selain ramah dan lucu, Rauf selalu membagikan aura gembira. Bersama Rauf, perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci di Yerusalem tak pernah terasa membosankan.
“Bagaimana kamu bisa hidup di daerah dengan beragam latar belakang?” tanya saya, suatu hari.
Rauf tersenyum. Dia memandang saya selama beberap saat, lalu menjawab: “Saat berinteraksi dengan orang lain, saya tidak peduli agama kamu dan dari mana asal usul-mu, yang penting adalah “kamu”. Manusia.” kata Rauf, tenang.
…. selesai. 
 
 
 
(Denty Piawai Nastitie)
 
 
Read more

Bagi saya, menelusuri Jalan Penderitaan atau Via Dolorosa adalah puncak penghayatan akan iman, kasih, dan harapan. Napak tilas mulai dari pengadilan hingga penyaliban Yesus itu juga membuka tabir keberagaman masyarat yang hidup di Tanah Terjanji, Yerusalem.

Seperti yang kita tahu, kota Yerusalem penting bagi tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Selama ribuan tahun, kota itu sudah puluhan kali dihancurkan, dikepung, diserang, dan dikuasai ulang. Meski tidak diakui dunia internasional, Yerusalem diklaim sebagai ibu kota Israel. Oleh orang Palestina, kota itu juga dianggap sebagai ibu kota negara.

Sepanjang perjalanan menelusuri Via Dolorosa, saya berjumpa masyarakat yang berasal dari beragam latar belakang. Misalnya saja, saya bertemu belasan perempuan Islam. Mereka menjemur pakaian, berbelanja sayuran, dan menemani anak-anak bermain. Aktivitas keseharian kelompok Islam seolah tak terganggu dengan kegiatan rohani kelompok Kristen dan Yahudi. Umat Islam yang hidup di Yerusalem adalah orang Palestina yang sudah turun temurun tinggal di sana.

Saya juga bertemu sejumlah pria Yahudi. Mereka mengenakan pakaian tradisional berupa jubah dan celana panjang hitam, sepatu hitam, serta topi lebar berbulu. Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ada dua tipe orang Yahudi yang hidup di Israel. Sebagian adalah orang Yahudi Ortodoks (tradisional), sebagian lain Yahudi modern.

Yahudi Ortodoks hidup berdasarkan hukum taurat. Mereka mempercayai satu Tuhan yaitu “YHWH” yang artinya Yang Maha Esa. Keluarga Yahudi Ortodoks biasanya memiliki banyak anak dan tidak menikah dengan kelompok lain di luar kaumnya. Sedangkan Yahudi Modern biasanya lebih liberal, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan penemuan-penemuan ilmiah.

Perbedaan keduanya mudah terlihat dari penampilan fisik mereka. Yahudi Ortodoks biasanya mengenakan pakaian adat berupa jubah hitam dengan topi lebar. Semakin tebal dan lebar topi yang dikenakan, maka orang itu memiliki posisi penting di masyarakat. Yahudi modern, biasanya memakai baju biasa dengan kupluk (skullcap) kecil khas Yahudi.

Keberadaan orang-orang Kristen di Yerusalem tak kalah unik. Mereka berasal dari berbagai bangsa, mulai dari India, Filipina, Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah. Meski berbeda-beda latar belakang, umat Kristen berbaur menjadi satu dalam perjalanan iman menuju Bukit Golgota.

Sekitar pukul 17.00, rombongan melewati jalan yang semakin menanjak. Jalan itu memasuki pusat pasar yang berkelok-kelok. Di lokasi itu, Yesus sungguh kepayahan. Menurut tradisi, di sana Yesus jatuh untuk kedua kalinya. Di perhentian itu kini didirikan sebuah kapel kecil milik biarawan OFM. Di kapel itu, saya mengikuti misa yang dipimpin Romo Kornelis Dino Hardin.

Dalam kotbahnya, Romo Dino mengatakan bahwa jalan derita yang dialami Yesus adalah perjalanan menuju kehendak Ilahi. Perjalanan itu bukan semata-mata kesengsaraan, tetapi bukti cinta Allah kepada umat manusia. “Kita dilahirkan dengan sebuah rencana Allah. Seperti yang dialami Yesus, kehidupan yang kita jalani merupakan perjalanan menuju rencana itu,” kata Romo Dino.

Saya menundukan kepala sambil mendengar khotbah Romo Dino. Saya teringat betapa seringnya saya mengeluh, mengumpat, marah, bersedih…. karena saya kira Tuhan tidak berpihak pada saya. Padahal, apa yang saya alami dalam hidup sehari-hari, baik suka maupun duka, adalah perjalanan menuju sebuah rencana…. Hidup sehari-hari, itulah perjalanan derita yang sesungguhnya.

Seusai misa, Jalan Salib dilanjutkan. Kali ini saya masuk ke sebuah pintu kecil yang mengarah ke dalam Gereja Koptik. Begitu keluar dari gereja, saya sampai pada halaman megah yang ramai dengan peziarah. Halaman itu berada dalam kompleks Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre).

Gereja Makam Kudus berdiri di atas lahan yang disebut Golgota, bukit yang menjadi tempat penyaliban Yesus. Meski namanya Bukit Golgota, kini bentuknya sudah tidak lagi berupa bukit! Bukit Golgota sekarang menjadi kawasan dengan banyak bangunana-bangunan gereja

Di Bukit Golgota, Ratu Helena, ibunda dari Kaisar Konstantinus I, pernah datang dan berziarah. Dia mendorong Konstantinus menyelamatkan tempat-tempat suci dengan membangun gereja di atasnya. Selain membangun Gereja Makam Kudus, Helena juga mendorong pembangunan Gereja Kelahiran (Church of The Nativity) di Betlehem.

Gereja Makam Kudus dibangun di atas situs Golgota yang dipercaya sebagai tempat Yesus disalibkan dan dikuburkan. Walid menjelaskan, semua komunitas Kristen, percaya gereja dibangun di atas makam Yesus. “Mulai dari Patriarkat Ortodok Yunani, Biara Franciskan dari Gereja Katolik Roma, Patriarkat Armenia, hingga Kristen Ethiopia, Koptik, dan Ortodoks Suriah, seratus persen percaya gereja ini asli di atas makam Yesus,” kata dia.

Pertumpahan darah pun terjadi di antara umat Kristen. Mereka berebut menguasai Gereja Makam Kudus. Pada tahun 638, Patriark Yerusalem Sophronius menyerahkan semua kunci kota kepada pasukan Khalifah Umar ibn al Khattab yang merebut Yerusalem. Khalifah Umar lalu menyerahkan kunci gereja Makam Kudus kepada keluarga Muslim. “Karena kunci dipegang orang Muslim, jadi lebih aman. Tidak ada perang,” kata Walid, sambil terkekeh.

Kunci gereja kini dipegang keturunan keluarga Nusseibeh dan Joudeh. Kedua keluarga Muslim itu bertugas membuka pintu gereja saat fajar menyingsing, dan menutup gereja saat malam datang. Meski kunci pintu gereja dipegang umat Muslim, tidak berarti mereka menguasai Gereja Makam Kudus. Gereja itu dikelola bersama-sama antara Gereja Etiopia, Koptik Mesir, dan Suriah.

 

 

 

….. bersambung.

Kisah sebelumnya: Menelusuri Via Dolorosa (1): Inikah Jalan Sengsara itu?

 

 

(Denty Piawai Nastitie)

 

 

Read more

Hari itu hari Sabbath. Ketika sebagian besar umat Yahudi beribadat di Tembok Barat (The Western Wall) atau yang lebih dikenal dengan Tembok Ratapan, saya menelusuri Via Dolorosa, jalan sengsara menuju Bukit Golgota.

Jalan Salib menyusuri Via Dolorosa dimulai pukul 16.00. Perjalanan bermula di Gerbang Singa (The Lions’ Gate/St Stephen’s Gate), yang berada di dalam kompleks Muslim, hingga Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre), yang terletak di kompleks Kristen.

Di dekat Gerbang Singa, berdiri sebuah bangunan sederhana yang disebut Kapel Penyesahan. Di gerbang masuknya, ada plat-plat kaca yang menggambarkan Yesus disesah (tengah), Pilatus membasuh tangan (kanan), dan Barabbas dibebaskan (kiri). Langit-langit kapel berbentuk kubah dengan ukiran mahkota dan duri-duri emas.

Di depan altar Kapel Penyesahan, rombongan berlutut. Saya menutup kelopak mata sambil menundukkan kepala. Sesaat keheningan mengepung. Bulu kuduk merinding, membayangkan bagaimana dulu Yesus diadili dan disiksa. Di sela-sela kesunyian, terdengar suara lirih, “Allah ampunilah kami orang berdosa.”

Setelah berdoa di perhentian pertama – di Benteng Antonia – rombongan bergerak ke stasi kedua yang letaknya di seberang tembok Kapel Penyesahan. Di sana ada lengkungan Ecce Homo (Behold The Man) yang dibuat Kaisar Hadrianus pada 135 Masehi untuk mengabadikan kemenangannya atas kota Yerusalem.

Via Dolorosa merupakan jalan penderitaan yang dilalui Yesus sambil memikul salib, lebih dari 2.000 tahun silam. Pada masanya, jalan sepanjang satu kilometer itu berada di tembok luar kota tua Yerusalem di Timur Tengah. Kini, Via Dolorosa berupa jalan kecil berbatu, berundak, dan melewati keramaian pasar dan pemukiman penduduk Armenian, Kristen, Muslim, dan Yahudi.

Saya berjalan bersama rombongan, terdiri dari 28 perempuan dan laki-laki berusia 8 hingga 70 tahun. Sebagian orang berasal dari Jakarta, beberapa lainnya dari Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor Leste.

Walid (50), pemandu wisata asal Palestina, menjelaskan, ziarah menelusuri Via Dolorosa dimulai sejak masa kekristenan awal dan mencapai arti penting pada pertengahan abad ke-4, sewaktu Kaisar Constantine menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Saat itu, tidak ada stasi-stasi perhentian seperti sekarang. Rute Jalan Salib bahkan sering berubah karena kelompok Kristen juga menawarkan titik perhentian berbeda.

Pada abad ke-18, Paus Klemens XII menetapkan jumlah dan lokasi perhentian Jalan Salib secara pasti. Stasi perhentian itu dipakai hingga sekarang. Kini, ibadat Jalan Salib menjadi bagian tak terpisahkan dari tempat-tempat ziarah katolik. Jalan Salib sangat umum dilakukan pada Jumat Agung atau Jumat Prapaskah.

Di Via Dolorosa, Jalan Salib ditandai dengan 14 stasi perhentian. Penanda stasi berupa tulisan dan simbol tidak mencolok yang terpahat pada dinding dan tiang. Penanda itu berada di kiri-kanan jalan, melewati lorong-lorong pasar dan pemukiman penduduk. Di setiap stasi ada kapel untuk berdoa. Ibadat biasanya dilakukan setiap Jumat, dipimpin biarawan OFM.

Sebelum berangkat, ibu sempat menyampaikan kekhawatirannya tak mampu merampungkan Jalan Salib. Sejak bertahun-tahun lalu, ibu alergi dingin. Saat kedinginan, tulang belulang ibu keram sehingga sulit berjalan. “Mama pasti bisa. Yesus saja yang berjalan sambil memikul salib bisa menyelesaikan perjalanan dengan penuh iman,” kata saya, memberi semangat.

Kenyataannya, ketika berjalan di Via Dolorosa, iman saya mudah goyah. Konon, godaan iman terbesar manusia bukan saat kita berada dalam kekurangan atau keterbatasan, melainkan saat berada dalam keberlimpahan. Di Via Dolorosa, segala sesuatunya terasa begitu tersedia, mulai dari keramaian pasar, deretan pedagang-pedagang souvenir, dan keriuhan pemukiman penduduk.

Ketika saya berlutut di salah satu stasi perhentian, bola mata melirik ke deretan pedagang pernak-pernik. Para pedagang menjual patung, kalung, tempelan kulkas, gantungan kunci, gelang, kaos, sepatu, dan banyak benda-benda unik lain. Beragam souvenir yang terbuat dari pahatan kayu dan tempaan logam itu dipajang di dalam kios berukuran 2 x 3 meter. Sebagian barang ditata menjalar hingga ke luar kios.

Selain kios souvenir, ada juga kedai makanan dan minuman. Pedagang menjual sosis dan roti bakar, kebab, hingga beragam kurma dan buah delima. Aroma sedap makanan terbang hingga ujung hidung. Terbesit di kepala untuk berhenti Jalan Salib. Ingin rasanya mengecap panganan khas Timur Tengah itu. Ahh… betapa nikmatnya… Menelusuri Via Dolorosa yang penuh warna dan tawaran kenikmatan duniawi, membuat saya bertanya: Inikah jalan sengsara itu? Jalan sengsara yang dilalui Yesus dulu?

Saat sedang membayangkan kelezatan makanan, kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27) menyenggol bahu. “Ayo!” kata dia, membuyarkan lamunan.

Di antara para peziarah, pedagang souvenir, dan warga yang berlalu-lalang, puluhan polisi dan tentara Israel berjaga-jaga. Mereka mengenakan pakaian dinas berwarna gelap, memakai sepatu boot kulit, dan mengenggam senjata laras panjang. Meski terlihat santai, telunjuk mereka siaga pada picu senapan. Bola mata awas memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang melintas.

Tiba-tiba, ketakutan menyergap. Bagaimana kalau tiba-tiba perang terjadi di antara para peziarah yang tak saling mengenal ini? Bagaimana saya bisa menyelamatkan diri? Ke mana harus berlari menghindari tembakan peluru tentara? “Tenang saja…. Mereka memang setiap hari di sini. Tidak akan ada perang,” kata Walid, seolah bisa membaca pikiran orang lain.

Di depan rombongan, ibu dan ayah berjalan pelan. Ibu mengenakan kaus dengan tiga lapis sweater. Di lehernya tersampir syal panjang berwarna hijau muda. Saat itu, bulan Desember, suhu udara di Yerusalem sekitar tiga derajat selsius. Seiring matahari turun, hawa dingin kian menyesakkan dada. Tulang belulang terasa ngilu dan beku. Rombongan bergerak semakin dalam ke jantung keramaian pasar, ke titik-titik di mana Yesus disiksa dan dihina…….

… bersambung.

(Denty Piawai Nastitie)

 

 

Read more

Sebelumnya:

Mendaki Gunung Sinai bukanlah pendakiangunung biasa. Mendaki gunung setinggi 2.285 mdpl itu dilakukan untuk mengenang perjalanan Nabi Musa saat menerima sepuluh perintah Allah.

Dalam bahasa Arab, Gunung Sinai dikenal dengan nama Jabal Musa. Dalam Perjanjian Lama, Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb. Gunung itu terletak di Semenanjung Sinai (Sinai Peninsula), perbatasan Mesir – Israel.

Di kejauhan, saya melihat deretan bukit batu yang kering dan tandus. Sejauh mata memadang, terhampar batu granit merah raksasa yang kaya kandungan mineral. Bukit-bukit batu berderet berwarna merah kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna biru pekat. Angin berembus meniupkan udara dingin. Pelan-pelan, di Gunung Sinai, matahari tenggelam…..  

— 

Setelah naik unta sekitar dua jam, saya sampai pada sebuah awal pendakian berupa hamparan ratusan anak tangga yang berbatu tajam dan berpasir. Permukaan tangga bergelombang, di kiri dan kanannya tebing curam. Saya menatap langit. Cahaya kian temaram. Warna langit perlahan serupa bebatuan yang gelap pekat. 

Ahmed (29), pemandu wisata dari Keluarga Gabalia, meminta rombongan berjalan dalam satu kelompok besar. Rombongan kami terdiri dari sekitar 20 orang, berusia 8 -70 tahun. Ahmad meminta semua orang berjalan dalam satu barisan memanjang. “Kamu, berjalan di belakang ya!” kata Ahmad, ke arah saya.

“Aduh!” kata saya dalam hati. Berjalan di barisan belakang dalam rombongan besar sama sekali tidak enak. Saya harus berjalan lambat mengikuti ritme langkah puluhan orang lainnya. Sebagian anak muda di kelompok saya berjalan cepat, sebagian orang tua bergerak lambat. Saat orang-orang berhenti untuk istirahat, saya harus berhenti di bagian paling belakang. Berdiri bersandar di bebatuan, hanya ditemani embusan angin yang kian menyesakan pernafasan.

Semakin malam, perjalanan semakin menanjak, dingin, dengan oksigen yang semakin jarang. Rombongan berhenti hampir setiap 5 menit sekali karena kehabisan tenaga! Setiap kali berhenti, udara dingin terasa menusuk tulang dan merajang sendi-sendi otot paha dan lengan. “Dingin banget… Harusnya kita jalan paling depan supaya cepat sampai…” kata kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27), yang berada beberapa langkah di depan saya.

Hufhhh… Terbesit pikiran untuk berjalan mendahuli puluhan orang lainnya… Namun, saya ingat pesan ibu sebelum melepas keberangkatan kami mendaki Gunung Sinai. “… Jangan kamu bersungut-sungut. Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan.” (Yoh 6: 43, Flp 2:14).

Mengingat pesan itu, saya menunduk malu. Ah, betapa egoisnya! 

Saya berusaha mengingat niat awal mendaki Gunung Sinai, yakni demi mengenang perjalanan Nabi Musa ketika menerima 10 perintah Allah. Nabi Musa dan bangsa Israel berputar-putar di gurun 40 tahun lamanya… Tentu dia merasa kedinginan, lapar, sesak nafas, jenuh, lelah… tetapi Nabi Musa setia pada perintah Allah.

“Are you okay?” Ahmed bertanya, saat kami berhenti di balik batu besar. 

Sapaan Ahmed membuyarkan lamunan. “Yes, I am good,” jawab saya singkat.

Berjalan di barisan paling belakang dalam rombongan besar memang tidak enak. Namun, saya berusaha berdamai dengan situasi ini. Kesulitan terbesar dalam perjalanan mendaki Gunung Sinai bukanlah medan terjal atau cuaca dingin yang dihadapi, tetapi bagaimana para pendaki bisa menekan egoisme dan kepentingan diri sendiri.

Ahmed menepuk bahu saya sambil tersenyum. Perjalanan selanjutnya, dia berada di sebelah saya. Mungkin dia menemani karena kasihan karena melihat saya berjalan kepayahan. Sambil melangkah, Ahmed bercerita mengenai kehidupannya di padang gurun. 

Dari Ahmed saya tahu, suku badouin lebih betah tinggal di padang gurun dari pada di kota. “Ketika saya mati di padang gurun memang tidak akan ada yang peduli. Tetapi, di sini ada kebebasan. Kamu tidak harus tunduk kepada siapa pun,”  kata ayah tiga anak itu.

Ahmed adalah lulusan SMA. Sebelum bekerja sebagai pemandu wisata, dia bekerja paruh waktu sebagai guru bahasa Inggris di sekolah dasar. Tuntutan guru harus bergelar sarjana, membebani dia. 
Ahmed lalu bekerja sebagai gembala domba, kemudian jadi tukang unta. Beberapa tahun lalu, Ahmed mulai bekerja sebagai pemandu wisata. “Di bandingkan pekerjaan lain, uang yang saya dapatkan sekarang memang lebih sedikit. Tetapi saya percaya, Allah tidak akan membiarkan saya kelaparan,”  kata Ahmed.

“Apakah suatu hari kamu akan cari pekerjaan lain?” tanya saya.

“Mungkin saja. Saya tidak tahu. Yang penting hari ini saya menikmati kehidupan. Tomorrow may never come,”  kata dia.

Di depan saya, pasangan suami-istri berusia sekitar 50 tahun berjalan lambat. Saya membayangkan, bagaimana kalau mereka adalah ayah dan ibu saya. Bagi mereka yang terbiasa naik gunung atau berolahraga, mendaki Gunung Sinai bukanlah perkara sulit. Tetapi, bagi orang lanjut usia, pendakian ini tergolong panjang yang melelahkan. Bersama Ahmed, saya berusaha memastikan semua orang berjalan aman dalam satu barisan panjang.

Menjelang pukul 21.00 rombongan sampai di puncak Gunung Sinai. Di sana, angin berembus kencang, meniupkan udara dingin yang membuat kaki bergetar dan tubuh menggigil. Gelap mengepung. Di puncak gunung ada sebuah kapel (The Chapel of The Holy Trinity) bergaya basilika. Kapel ini dipercaya dibangun diatas batu berisikan 10 perintah Allah.

Setelah berdoa dan menyanyikan lagu-lagu pujian, rombongan berfoto bersama. Saya melihat kakak saya menggigil kedinginan. Dia sudah mengenakan dua lapis jaket tebal dan memakai sarung tangan. “Gue enggak kuat lagi…” kata dia, dengan suara bergetar.

Kepada Ahmed, kami meminta izin untuk berjalan di barisan paling depan. Ahmed melihat kondisi kakak saya dengan tatapan prihatin. “Oke,” kata Ahmed. “Tetapi pastikan, setelah melewati 700 tangga kalian berhenti. Di sana jalanan bercabang. Saya tidak mau kalian tersesat,”  kata dia.

Dalam kegelapan malam, saya meraba-raba perjalanan turun. Saat itu, cahaya headlamp sudah redup karena kehabisan energi. Perjalanan turun memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Saya berjalan mengikuti pantulan cahaya bulan di sela-sela bebatuan. Begitu sampai di ujung tangga turun, saya berhenti. Saya menyuruh kakak saya masuk ke warung makanan untuk menghangatkan diri. Sambil duduk di atas batu besar, saya menunggu semua anggota rombongan berkumpul.

“Terimakasih ya, sudah menemani berjalan,” kata salah satu anggota rombongan, sambil duduk di sebelah saya.

“Eh?” kata saya, kebingungan.

“Tadinya saya ingin menyerah berjalan karena punya penyakit asma. Tetapi, karena rombongan saling membantu dan memberi dukungan, saya jadi terpacu berjalan hingga puncak. Apalagi, kamu rela berjalan paling belakang. Maaf kamu jadi berjalan lambat,” kata pria dengan rambut berwarna putih perak itu. 

Saya tersenyum singkat. Di atas batu besar, saya memandang kegelapan yang utuh dan hening. Di dalam warung minum teh, kakak saya meringkuk kedinginan. “Semoga dia tidak pingsan karena kedinginan,” kata saya, di dalam hari.

Begitu sampai di penginapan, saya bergegas masuk ke dalam kamar mandi, mencuci kaki dan tangan, berganti pakaian, lalu naik ke atas ranjang. 

Ibu, yang melihat saya dan kakak saya kedinginan, segera merebus air. “Minumlah, setelah itu tidur yang nyenyak,” kata ibu sambil menyodorkan segelas coklat panas.

Setelah menghabiskan minuman, saya memejamkan mata. Samar-samar saya mendengar suara angin bertiup menggerakkan batang-batang pepohonan. Dingin di luar, hangat di dalam. Di hati ini.

 

… selesai.
(Oleh: Denty Piawai Nastitie)

Baca: Mendaki Gunung Sinai (Bagian 1)

Read more

“Rumah saya seperti rumah kamu. Ada televisi, koneksi internet, dan komputer. Satu-satunya perbedaan adalah keluarga saya sulit mendapatkan air,”  kata Muhammad (27), dalam perjalanan mendaki puncak Gunung Sinai.

Muhammad adalah penduduk lokal St Cathrine, sebuah kota kecil di kaki Gunung Sinai, Mesir. Pria itu memiliki seekor unta berusia 12 tahun yang dinamakan Bush-bush. Hampir setiap hari, Muhammad membawa Bush-bush ke gerbang pendakian. Bersama puluhan pria lain, dia menawarkan jasa sewa unta untuk membantu peziarah naik ke puncak Gunung Sinai.

Saat tidak bekerja bersama unta, Muhammad bermain sepak bola atau mencari air dengan mengikuti domba-domba yang berjalan di padang gurun. “Domba-domba hanya peduli dengan urusan makanan dan air,” kata Muhammad.

Berbincang dengan Muhammad membuat saya tak merasa jenuh duduk di atas unta. Binatang gurun itu berwarna coklat muda, berjanggut, dengan tinggi sekitar dua meter. Empat kaki unta kelihatan kurus, tetapi badannya gemuk. Di pundaknya tersampir tumpukan kain berwarna cerah. 

Bush-bush bergerak menginjak batu-batuan di jalan setapak. Sebisa mungkin hewan itu melewati jalur yang tidak licin. Dia juga menghindari tebing atau tanjakan terjal. Selama perjalanan, Muhammad melepas hewan itu begitu saja. Dengan insting dan ingatan kuat, Bush-bush bergerak mengikuti jalur pendakian menuju puncak Gunung Sinai.
__

Mendaki Gunung Sinai bukanlah pendakian gunung biasa. Mendaki gunung setinggi 2.285 mdpl itu dilakukan untuk mengenang perjalanan Nabi Musa saat menerima sepuluh perintah Allah.

Dalam bahasa Arab, Gunung Sinai dikenal dengan nama Jabal Musa. Dalam Perjanjian Lama, Gunung Sinai disebut juga Gunung Horeb. Gunung itu terletak di Semenanjung Sinai (Sinai Peninsula), perbatasan Mesir – Israel.

Dari Kairo, perjalanan menuju pegunungan Sinai dapat ditempuh melalui dua jalur. Pertama, dengan perjalanan darat selama 14-16 jam dari Kairo menuju St Chaterine. Kedua, dengan perjalanan udara selama satu jam Cairo – Sharm el-Sheikh, kota pelabuhan di dekat Laut Merah. Perjalanan lalu dilanjutkan dengan naik bus selama 4-5 jam menuju St Cathrine. 

Perjalanan darat dijejali deretan bukit-bukit batu yang begitu tinggi menjulang. Bentuknya bergelombang tidak beraturan. Perjalanan melewati bentangan padang batu dan pasir yang seolah tak berujung. Saat musim panas, udara terasa panas menyengat. Saat musim dingin, udaranya membuat tulang belulang terasa mau rontok!

Di kejauhan, saya melihat rumah-rumah penduduk suku badouin. Suku badouin adalah kelompok pengembara domba dan kambing yang hidup berpindah-pindah di tanah tandus Timur Tengah. Saya juga melewati pos-pos penjagaan tentara Mesir. Petugas memeriksa paspor dan dokumen imigrasi. Selama perjalanan, rombongan didampingi seorang polisi Mesir yang membawa senjata api. 

Menjelang jam makan siang, saya sampai di kota St Chatarine. Jangan bayangkan St Catharine seperti Kota Jakarta atau Surabaya! Kota itu sangat sederhana dengan krisis air berkepanjangan. Jarak antara satu bangunan dengan bangunan lain berjauhan. Bangunan besar biasanya berupa penginapan yang dilengkapi kolam renang dan restauran. Penduduk lokal tinggal di desa-desa yang berada di hamparan gurun pasir. 


Begitu sampai di St Chatarine, saya menikmati makan siang berupa potongan besar kalkun, sup sayur, dan roti mentega. setelah itu, saya bersiap-siap mendaki puncak Gunung Sinai. Saya membawa jaket tebal, headlamp, air mineral dan tongkat untuk mempermudah perjalanan.
 
Pendakian ke Gunung Sinai dimulai dari Biara St Chatarine, tempat ditemukannya manuskrip Perjanjian Baru abad ke-4. Dari biara, pezarah bisa berjalan kaki atau naik unta menuju puncak Gunung Sinai. Waktu yang dibutuhkan dnegan berjalan kaki sekitar 4-6 jam, sedangkan bila naik unta 2-3 jam. Biaya untuk menyewa taksi, seekor unta, dan tip untuk pemilik unta sekitar 30 dollar. 

Di kaki Gunung Sinai, Muhammad membawa saya ke tempat Bush-bush beristirahat. Muhammad menepuk perut Bush-bush pelan, meminta unta itu berjongkok. Sedikit gugup, saya naik ke atas unta. Berbeda dengan unta yang ada di Piramida Giza, Bush-bush berwatak lebih tenang.

“Sudah nyaman?” tanya Muhammad.
 
“Yup!” jawab saya.

Muhammad lalu menarik tali yang terpasang di leher Bush-bush, membawa hewan itu ke jalur pendakian. Dengan gerakan lambat, Bush-bush berjalan, sekitar 20 meter di belakang unta lainnya.

Bagi saya, ini bukan pertama kalinya naik unta. Beberapa hari lalu saya naik unta bertubuh kurus dengan kaki-kaki kecil di kompleks Piramida Giza, Kairo. Setelah diperintahkan tuannya, unta itu berjongkok dengan melipat dua kaki depan dan dua kaki belakang. Dengan gerakan pelan, saya naik ke atas unta. 

Dalam sekejab, hewan itu berguncang. Hiasan di tubuhnya bergerak, gemericik. Saya menggenggam erat pegangan unta sambil menjerit. Terbersit pikiran untuk membatalkan niat naik unta. Belum sempat turun, unta jantan itu sudah berdiri. Badannya berguncang keras ke kiri dan ke kanan, membuat tubuh saya terasa oleng. “Seperti naik dinosaurus!” jerit saya kepada pemilik unta. 

Lima menit kemudian, kaki saya sudah kembali menapak di tanah. Saya merelakan uang satu dolar untuk pemilik unta. Meski batal naik unta dan berkeliling kompleks piramida, pemilik unta tetap meminta uang sewa karena saya sudah menyentuh hewan peliharaannya. Sejak saat itu, saya ogah naik unta! Namun, Di St Catharine – apa boleh buat – saya memerlukan unta untuk mendaki Gunung Sinai. 

“Bagaimana rasanya duduk di atas unta?”  tanya Muhammad.

“Cukup nyaman. Ini lebih baik daripada ketika saya naik unta di Piramida Giza. Naik unta di sana rasanya seperti naik dinosaurus!” jawab saya.

Muhammad terkekeh. Saat dia tertawa, pria itu memamerkan deretan giginya yang berwarna kecoklatan. “Tentu saja berbeda,” tutur Muhammad. “Unta itu binatang gurun, kalau tinggal di kota dia merasa stress!. Sama seperti manusia, saat dipaksa pindah dari tempat di mana dia lahir dan dibesarkan, pasti merasa asing dan stress,” ujar Muhammad.

Di kejauhan, saya melihat deretan bukit batu yang kering dan tandus. Sejauh mata memadang, terhampar batu granit merah raksasa yang kaya kandungan mineral. Bukit-bukit batu berderet berwarna merah kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna biru pekat. Angin berembus meniupkan udara dingin. Pelan-pelan, di Gunung Sinai, matahari tenggelam….. 

… bersambung.
(Denty Piawai Nastitie)

Read more

Keluar mulut buaya. Masuk ke mulut singa. 
Begitulah yang terasa ketika saya menembus perbatasan Israel – Palestina, suatu malam, menjelang natal. Bus bergerak pelan di belakang deretan kendaraan lain. Tentara Israel memeriksa paspor dan dokumen perjalanan peziarah yang duduk lelah dan mengantuk di dalam bus.
 
Begitu tentara mengizinkan bus melintas, Rauf (50), menginjak pedal gas. Saat itulah saya mendengar suara “Brak! Brak! Brak!”. Pengemudi bus mengehentikan kendaraan dan melirik ke kaca spion.
Sebagian orang langsung berdiri di dalam bus, menoleh ke asal suara. Beberapa orang meremas tangan, cemas. “Seseorang menimpuk bus!” teriak Ronald (34), salah satu peziarah.
Calm down… Calm down… It’s okay.” kata Walid (55), pemandu wisata asal Palestina. “Mungkin hanya supporter sepak bola iseng,”  kata dia, dengan wajah pucat. Entah karena kedinginan atau kewaspadaan akibat peristiwa ini.
Ingin saya bertanya, “Siapakah gerangan orang iseng yang main bola di tengah malam natal, Walid?” Tetapi, saya mengunci rapat mulut ini. Membiarkan pertanyaan itu melayang-layang di dalam kepala. Menguap terbang terbawa suhu dingin tiga derajat selsius Kota Betlehem.
Meskipun sadar we’re not in okay condition, para peziarah kembali duduk di atas kursi empuk. Tatapan mereka melayang ke jalan raya. Dari balik jendela kaca, hiasan natal berbentuk rusa dan bintang-bintang menyala. Terang benderang. Hiasan itu membuat Kota Betlehem, di dalam daerah otonomi Palestina, terasa semarak.
Peristiwa ini menyadarkan saya: inilah Timur Tengah, rumah Tuhan yang dikenal sebagai daerah rawan konflik dan perang. Daerah yang diberkahi kekayaan alam berupa padang gurun yang kaya mineral, hamparan laut, dan gunung tinggi menjulang. Daerah bersejarah dengan masyarakat yang terdiri dari beragam latar belakang.
Saya teringat cerita seorang kawan yang pernah ziarah ke Tanah Terjanji beberapa tahun lalu. Saat berjalan di salah satu sudut kota, dia bertemu sekelompok anak muda pemarah. Mereka berteriak dan memaki. Mereka menganggap kawan saya pendukung Zionnist. Kebencian dan prasangka memang sering menjadi sumber masalah! …. dan kebanyakan orang, sepertinya lebih suka membangun tembok perbatasan dari pada jembatan penghubung.
Tertulis pada salah satu tembok perbatasan: “This wall may take care of the present, but it has no future.” 
(Denty Piawai Nastitie)
Read more

Timbunan sampah sering dianggap tak berguna! Selain bentuknya yang menjijikan, beraroma busuk, keberadaannya pun sering diiringi dengan kehadiran lalat, tikus, dan bakteri perusak kesehatan.

Di Bukit Mokkatam, Old Kairo, Mesir, timbunan sampah adalah jantung warga. Di sana, belasan ribu pemulung hidup dengan mengais sampah. Mereka mengolah sampah menjadi benda-benda yang bernilai dan mendatangkan keuntungan finansial. Di Bukit Mokkatam pula, sebuah gereja megah berdiri di atas timbunan sampah. Di gereja itu, keajaiban Allah pernah hadir!

Joppy Taroreh, pemimpin rombongan ziarah mengatakan, pada abad ke-10, Bukit Mokkatampernah berguncang karena gempa bumi hebat. Tradisi mengatakan, saat itu, ada perdebatan sengit antara khalifa Mesir bernama AL-Mui’z Li Din Allah dengan Pastor Abraham bi Zara. Dalam perdebatannya, Abraham seperti tak terbantahkan. 

Khalifa AL-Mui’z Li Din Allah ingin membalas dengan mengutip ayat yang tertulis dalam kitab suci: “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, –maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.” (Mat 17:20)

Khalifah meminta Abraham membuktikan kebenaran ayat itu. Dia memandang hal ini sebagai kesempatan yang bagus untuk menghilangkan gunung yang sering merusak pandangannya. Pada saat yang sama, jika Kristen tidak dapat membuktikan keajaiban itu, maka agama yang dianut Khalifah adalah agama yang benar.

Bukit Mokattam

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/andre.jayaprana/gereja-terbesar-di-timur-tengah-itu-adalah-gereja-sampah_54f448c77455137e2b6c8af7

Bukit Mokattam

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/andre.jayaprana/gereja-terbesar-di-timur-tengah-itu-adalah-gereja-sampah_54f448c77455137e2b6c8aSetelah makan malam, saya mengunjungi Gereja El Kharaz atau Gereja St Ibram Ibnu Zaara El Soriany di Bukit Mokkatam. Orang Indonesia lebih sering menyebut gereja koptik tua atau gereja koptik ortodoks itu sebagai Gereja Mukjizat atau Gereja Sampah. Gereja terbesar di Kota Kairo itu memang berdiri di atas timbunan sampah!

Untuk membuktikan keajaiban itu, orang buta bernama Simon Tanner meminta Abraham bi Zara berdoa dan berpuasa. Simon meminta Abraham berdoa “Ya Tuhan, kasihanilah kami” sebanyak tiga kali serta membuat salib di atas gunung tersebut.
Setelah berdoa dan mengikuti apa yang diminta Simon, tiba-tiba tempat itu terguncang hebat. Gunung Mukhatam terangkat dan berpindah sejauh tiga kilometer ke arah barat. Sejak kejadian itu, sosok Simon menghilang dan tidak pernah ditemukan.

Kini di atas Bukit Mokkatam berdiri tiga gereja megah, salah satunya bisa menampung lebih dari 10.000 umat. Dinding dan atap gereja itu terbuat dari reruntuhan batu goa. Puluhan peziarah mengikuti misa di dalam goa. Cahaya remang-remang bersinar di antara para peziarah.

Dalam renungan, usai misa, Pak Joppy menceritakan mukjizat yang pernah dialaminya. Suatu hari, saat hendak pergi memimpin retret, sekujur tubuh ayah satu anak itu mendadak tak bisa digerakkan. Oleh dokter dia dinyatakan mengalami gejala stroke ringan. Karena harus memimpin retret, Pak Joppy dan istrinya berdoa memohon kesembuhan. Tanpa mengkonsumsi sebutir pun obat, pelan-pelan tubuhnya bisa kembali bergerak. Hingga 10 tahun kemudian, stroke yang diprediksi dokter kian parah, hingga sekarang tak menyisakan jejak. “Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, takkan ada yang mustahil bagimu,” kata Pak Joppy, mengutip isi kitab suci.

Di Bukit Mokkatam, saya berjumpa dengan puluhan anak kecil yang bermain sepak bola di atas timbunan sampah. Di antara gang-gang pemukiman, kelompok pemuda berkumpul menikmati sisha,  beberapa orang tua berbincang santai di atas trotoar. Meski tinggal di antara bukit sampah, kehidupan berjalan seperti biasa. Karena bagi mereka yang percaya, kehidupan itu sendiri adalah mukjizat.

(Denty Piawai Nastitie)

 

 

Read more

Kairo, adalah potret Mesir yang selalu terkenang dalam kepala saya. Sekilas, keadaan kota ini mirip Jakarta: jalanan yang padat dengan kendaraan bermotor, sampah yang berserakan, angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat,… dan satu lagi, debu yang berterbangan!

Namun, inilah kota yang kaya akan sejarah peradaban dunia. Kota yang berada di antara Sungai Nil dengan bentangan alam tak ternilai harganya. Kota yang gegap gempita dengan sejuta lokasi hiburan malam. Kota yang setiap tahun diserbu ribuan peziarah!
Perjalanan di Kairo adalah perjalanan pertama saya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di tanah suci. Saya berkunjung dalam rombongan, terdiri dari 28 orang perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 8 – 70 tahun. Sebagian peziarah berasal dari Jakarta, sebagian lainnya dari Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor Leste. 
Setelah menempuh penerbangan selama 17 jam dari Kota Jakarta, saya masuk Kairo melalui bandar udara internasional yang padat dengan kedatangan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Begitu turun dari pesawat, ratusan orang berhadapan dengan proses pemeriksaan dokumen perjalanan dan imigrasi yang panjang dan berbelit-belit. Saya berdiri berdesak-desakan di antara orang-orang yang baru saja umroh ke Arab Saudi.
Sebagian perempuan mengenakan baju serba serba putih dengan jilbab panjang. Sebagian perempuan lain terselubung pakaian serba hitam dengan perhiasan emas dengan liontin berlian yang menyilaukan mata. Beberapa perempuan, terutama yang sudah lanjut usia, menyeret tas besar di lantai. Sebagian lainnya mengangkut tas atau kantong kresek besar di atas kepala. Para pria mengenakan jubah panjang berwarna putih. Tubuh mereka besar dan kekar dengan kulit berwarna kecoklatan.
Di loket pemeriksaan dokumen imigrasi, petugas membuka acak tas dan koper penumpang. Sebagian penumpang menghabiskan waktu 5 – 10 menit berdebat dengan petugas imigrasi, sebagian lainnya bisa menghabiskan waktu 30 menit. Raut lelah, gusar, dan tak sabar, terlihat di wajah penumpang. Seringkali mereka saling mendorong dan berteriak tak sabar.  

Setelah melewati loket imigrasi, para penumpang pesawat terbang masih harus menghabiskan waktu berjam-jam mengambil koper bagasi. Sore itu, puluhan orang berdiri di sembarang tempat dan koper datang tak tentu arah. Serba semrawut!

“Rombongan Indonesia… Rombongan Indonesia… Kemari! Kemari!” kata seorang pria yang memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Dia meminta rombongan menumpuk passpor di atas telapak tangannya. Pria itu lalu menyuruh rombongan keluar melewati pintu kecil yang terletak di sebelah kanan pengecekan imigrasi.

Kami keluar bandara melalui jalur “khusus”. Belakangan saya tahu, jalur itu hanya bisa dilalui apabila rombongan peziarah sudah bekerja sama dengan tur wisata lokal. Jalur khusus membuat kami tak perlu menghabiskan waktu berjam-jam berhadapan dengan petugas imigrasi. “Kalau di Indonesia, ini namanya pakai calo. Kita tidak perlu capek-capek antre,” kata kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27), sambil berjalan keluar.

Di depan bandara, puluhan koper sudah tertumpuk rapi. Setelah memastikan anggota rombongan lengkap dan tidak ada barang bawaan yang tertinggal, kami berjalan ke dalam bus. Saat itu matahari berwarna kuning keemasan mulai turun. Bus bergerak lambat di antara barisan kendaraan di jalan raya.


Seperti Kota Jakarta, hampir setiap hari jalan di Kota Kairo padat dengan kendaraan bermotor. Seperti warga Ibu Kota, orang Kairo juga lebih senang naik kendaraan pribadi dari pada angkutan umum. Bedanya, kalau di Indonesia orang-orang libur setiap Minggu, di Mesir, Minggu adalah hari pertama bekerja. Orang Mesir libur Jumat, waktu umat Islam beribadah.

Saat bus bergerak pelan, saya melihat bangunan-bangunan bertingkat yang terbuat dari batu bata coklat. Bangunan-bangunan itu merupakan rumah penduduk Mesir yang pembangunannya dibiarkan tidak selesai. Di atap bangunan, orang Mesir memelihara kambing dan domba. Mereka meletakkan kayu dan seng bekas di atap rumah. Bentuk rumah-rumah susun itu seperti gudang tua yang tak terurus.  

Atef Nafea (37), pemandu wisata, menjelaskan, orang-orang Mesir sengaja membiarkan pembangunan rumah mereka tidak selesai untuk menghindari pembayaran pajak. Meski dari luar rumah-rumah terlihat tak terawat, kondisi di dalam rumah bagus. “Kami memasang karpet dan pendingin udara,” kata Atef.

Ayah tiga anak itu menjelaskan, kebanyakan rumah tidak dicat. Warna rumah dibiarkan seperti warna batu bata asli karena hujan jarang sekali turun. Dalam setahun, hujan hanya turun tiga kali. Rumah-rumah berwarna cerah tentu lebih cepat kotor karena debu dan kotoran yang menempel.

Menjelang malam, saya melintasi jembatan di atas Sungai Nil. Aliran air dari Sungai Nil adalah jantung Kota Kairo. Sebagian besar penduduk Mesir tinggal di sepanjang Sungai Nil, terutama Iskandariyah, Kairo, dan di dekat Terusan Suez. Selama ribuan tahun, orang-orang Mesir mengandalkan aliran air dari Sungai Nil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Air dipakai untuk mengaliri persawahan dan perkebunan. Ditambah ekspor minyak bumi, ekspor gas alam, dan bisnis pariwisata, menjadikan Mesir sebagai salah satu negara kaya. Sayangnya, kekayaan itu tak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Di Mesir, ada jurang lebar antara si kaya dan si miskin. Hal itu mudah terlihat dari banyaknya pengemis yang meminta-minta di antara rumah-rumah mewah.

Atef lalu bercerita, pada tahun 2011 ada demonstrasi besar-besaran yang terjadi di seluruh Mesir. Orang-orang menuntut agar Presiden Hosni Mubarak yang sudah berkuasa selama 30 tahun untuk melepaskan jabatannya. Kekuasaan yang terlalu lama, memang sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang. “Saya harus jujur mengatakan, negara ini kaya. Tetapi, kekayaan dikorupsi para penguasa,” kata Atef.

Bus bergerak lambat. Di dalam bus, saya terlelap.

(Denty Piawai Nastitie)



Read more