Personal Thought

Ketika mendapatkan diagnosis tumor payudara, sebenarnya saya sedang dalam kondisi cukup terang. Saya baru menerbitkan buku, mendapatkan penghargaan dari sebuah lembaga pendidikan yang cukup bergengsi, mengamankan funding yang nilainya lumayan untuk jatah ngopi selama setahun, dan sedang menyiapkan beberapa project public speaking hingga pertengahan tahun.

Singkat kata hidup saya sedang bunga-bunga. Begitu saya menemukan benjolan di payudara, awan kelabu menggantung di atas kepala. Dokter meminta agar saya segera operasi mengingat ukuran tumor cukup besar. Tiba-tiba ritme kehidupan yang tadinya bak pelangi langsung berguncang. Saya ‘dipaksa’ untuk pause sejenak untuk memperhatikan kesehatan. Beberapa project harus ditunda.

Tentu sajaaa seperti kebanyakan orang lain yang lagi ketiban durian montong, eh musibah maksudnya, saya bertanya-tanya: kenapa bisa sakit? Apa salah saya? Kenapa saya? Apakah karena makanan saya yang asal-asalan? Atau ada faktor genetik?

Pita kaset di kepala kemudian berputar. Memutar ulang kejadian yang telah berlalu. Saya meyakini fisik dan mental saling berkaitan. Sakit fisik bisa mengguncang mental. Demikian juga sakit mental mempengaruhi fisik.

Saya ingat 2023 bukan tahun yang mudah. Saya sering menangis histeris tengah malam. Kepala terasa pening dan dada sesak. Saat itu untuk pertama kali saya harus mengakses layanan kesehatan mental karena mulai merasa ada yang konslet di otak saya.

Setelah tahun yang berat itu, kehidupan saya berjalan lebih baik. Saya menyadari terhadap beberapa hal memang kenyataan tidak bisa diubah. Mau marah-marah pun hanya menghabiskan energi. Saya mulai berdamai dengan keadaan. Mulai bangkit dan mulai menjalani ritme hidup ini.

Memasuki bulan kedua, tiba-tiba harus bedrest karena sakit fibroadenoma mammae. Saya langsung berpikir mungkin secara mental saya sudah lebih baik. Tetapi, fisik saya merekam semua kesedihan dan duka. Inilah yang mungkin saja membuat timbulnya benjolan di tubuh saya.

Bersyukur, operasi berjalan lancar. Saya dipertemukan dengan Dokter Andre yang bantu saya melewati sakit ini. Juga teman-teman yang sangat perhatian selama saya dalam masa pemulihan.

Meski sakit fisik sudah diatasi, tetapi saya sadar sebenarnya semua gejala ini meminta saya istirahat sejenak. Memberi waktu sejenak pada diri ini untuk didengar kehendaknya. Maka sepanjang Februari dan Maret saya off dari pekerjaan untuk pemulihan fisik dan mental.

Dalam masa hibernasi ini, saya merasakan hal-hal di luar nurul yang saya enggak kebayang saya akan merasakannya. Dari saya yang terbiasa multitasking dan melakukan banyak hal sekaligus, seketika tidak berproduksi. Tidak liputan. Tidak menulis berita. Jujur saja ada perasaan ganjil melihat jurnalis lain bikin berita, saya enggak. Apalagi pemilu lagi rame-ramenya. Ada keinginan terjun di lapangan, tapi fisik dan mental, saya memberontak. Setiap memikirkan kerjaan badan saya terasa sakit dan ngilu. Dada terasa sesak.

Yaweslahh akhirnyaa saya beneran istirahat. Pekan pertama di rumah saya cuma main sosmed. HAHA. Scrolling sana dan sini. Merdeka banget. Lama lama bosan. Apalagi video gak jelas muncul bikin emosi. Minggu kedua saya mulai menyibukkan diri dengan memasak. Menata buku-buku. Menyetrika. Melap debu-debu yang menempel di atas meja.

Ada perasaan suwung, kekosongan yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Di antara rak buku yang sudah jadi sarang laba-laba, saya menemukan majalah yang berisikan artikel tentang paman saya, Marsekal Muda Djoko Poerwoko. Dalam satu tulisan, paman mengatakan “Kita itu wayang kehidupan, berarti ada dalangnya. Harus siap ketika dimainkan. Harus siap ketika tidak dimainkan.”

Kata-kata pakde meresonansi dalam hidup saya. Tiba-tiba air mata merembes di pipi, ada penerimaan di sana. Untuk pertama dalam 10 tahun berkarya sebagai jurnalis, ini kali pertama saya break dari rutinitas. Tidak melakukan apa-apa. Rasanya tidak berfungsi normal seperti biasanya. Tetapi, inilah kenyataan yang saya hadapi. Saya Menerima kenyataan bahwa saya manusia bukan robot. Saya manusia yang enggak selalu bisa membuat karya terbaik. Saya manusia yang selain punya kemampuan dan kehendak diri, juga punya rasa sakit hati, trauma, sedih, dan duka.

Mungkin Nanti ada saatnya bangkit lagi, dan berkarya lagi. Tetapi, sekarang istirahat dulu. Wayangnya break dulu. Enggak main dulu. Its okay if you are not okay. Saya menerima diri saya ketika ia bisa naik tangga pencapaian diri, juga ketika ia merasa lelah, loyo, lunglai, dan tidak pasti.

Pst: Setelah baca artikel tetang pakde, saya merasa lega. Sekaligus saya merasa rindu. 🙁 Makasih pakde bahkan ketika pakde tidak ada bersamaku, pakde membukakan jalan dan memberikan terang.

Read more

Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman. Seperti biasa, kami membicarakan banyak hal, mulai dari keseharian, pekerjaan, dan pandangan-pandangan terhadap berbagai peristiwa. Saya juga mengabarkan kepadanya tentang kemajuan aplikasi beasiswa pendidikan di luar negeri.

Bagi saya, ini kemajuan karena untuk pertama kali saya benar-benar mengerti apa yang menjadi kegelisahan, kekurangan, kelebihan, dan kekuatan saya. Untuk pertama kali pula, saya menyadari apa yang hendak saya tuju. Alam seolah menjawab, karena progress aplikasi beasiswa saya cukup menjanjikan di bandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Saya sudah menerima offering dari kampus, sudah mengikuti wawancara dengan lembaga beasiswa. Saya tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Terlepas saya berhasil kuliah di luar negeri atau tidak, saya senang karena bisa menemukan diri saya,” kata saya.

Dia agak menunduk mendengar penjelasan saya. Entah mengapa, saya memahami kenapa dia terlihat tidak begitu antusias. “Tidak mungkin seseorang memperoleh beberapa keberhasilan bersamaan. Satu keberhasilan, pasti bersamaan dengan kegagalan di bidang lain,” katanya.

Saya mengerti apa yang dimaksudkan dengan “kegagalan” versinya, yaitu berkaitan dengan status saya sebagai perempuan lajang, alias belum menikah. Baginya, keberhasilan perempuan di dalam karir dan pendidikan, biasanya diiringi kegagalan untuk berelasi dengan laki-laki.

Percakapan serupa pernah saya hadapi dengan beberapa orang lainnya, mulai dari obrolan dengan teman, keluarga, dan rekan kerja. Misalnya, seorang teman pernah mengomentari perempuan penulis yang karya-karyanya mendapatkan beberapa penghargaan jurnalistik semata-mata hanya karena ia tidak menikah. Seorang rekan kerja pernah menceramahi saya agar segera menikah dan tidak mengutamakan karir. “Lihat tuh, teman-teman perempuan yang karirnya bagus, mereka tidak menikah,” kata ia sinis, waktu itu.

“Mengapa perempuan lajang dianggap sebagai kegagalan?” tanya saya. “Bukankah ini mengabaikan semua pencapaian yang dimiliki perempuan itu? Setiap orang punya cara mengukur keberhasilan. Bagaimana kalau dibalik, mengukur keberhasilan dengan sudut pandang saya, bukannya sudut pandang orang lain?” lanjut saya, lagi.

Teman saya terlihat berpikir. Kemudian ia segera menarik kata-katanya, “Ya, memang ukuran keberhasilan seseorang berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata,” katanya.

Lantas mengapa perempuan tidak menikah sering dianggap suatu kegagagalan?

Menurut saya, setidaknya ada dua alasan mengapa orang demen banget menjadikan status lajang sebagai bahan becandaan dan senjata untuk menjatuhkan. Pertama, masyarakat Indonesia tidak terbiasa menghadapi keberhasilan wanita. Kalau ada perempuan yang berhasil, selalu ada celah untuk untuk mengkritik dan menjatuhkan pencapaian perempuan itu.

Seringnya, status lajang dijadikan sasaran empuk karena ia mudah terdeteksi. Apalagi, di tengah kondisi masyarakat yang selalu mengaggung-agungkan pernikahan sambil menutup mata pada tingginya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, kian maraknya perceraian, pernikahan dini, dan pemiskinan perempuan. Fakta perempuan belum menikah sulit dipatahkan dan selalu dijadikan kambing hitam untuk disate disalahkan.

Kalaupun ada perempuan berprestasi, misalnya hebat dalam karir dan ia sudah menikah, selalu ada celah lainnya untuk menjatuhkan mereka, misalnya terkait apakah perempuan itu sudah memiliki anak, apakah ia memberikan ASI eksklusif untuk anaknya, apakah ia mengutamakan pekerjaan di bandingkan keluarga, apakah ia memasak untuk suami dan keluarga, dst. Di masyarakat heteronormatif ini, perempuan berkarya di ruang publik rasanya nggak akan pernah dicatat pencapaiannya selama belum terjun di dunia domestik. Beban yang sama tidak untuk laki-laki.

Padahal, kalau kita mau mengintip data sebentar saja keberadaan perempuan yang belum menikah telah berkontribusi besar terhadap negara, keluarga, dan bahkan perusahaan tempat ia bekerja. Di Amerika Serikat, perempuan lajang telah mengubah wajah ekonomi. Pada 2019, negara itu mencatat sejarah lebih banyak wanita lajang dalam angkatan kerja. Mereka telah berkontribusi terhadap pemasukan negara sebesar 7 triliyun USD.

Coba lihat di sekitar Anda, bukankah mereka yang lajang lebih sering diminta lembur saat akhir pekan di bandingkan pekerja berkeluarga? Berapa rekan perempuan di sekitar Anda yang menjadi sumber pendapatan utama keluarga terutama untuk membiayai kebutuhan orang tua yang pensiun dan menyokong biaya pendidikan adik dan keponakan.

Kedua, menurut saya ini adalah bentuk pertahanan diri seseorang untuk merasa tidak terlalu ketinggalan dengan pencapaian orang lain. Saya ingat seorang teman yang sudah menikah menggambar borgol dan jeruji besi di selembar kertas ketika saya tanya apa makna pernikahan baginya. Seorang teman lainnya pernah mengatakan bahwa saya bebas melakukan sesuatu karena saya masih hidup sendiri. Bukankah dengan kata lain ia hendak mengatakan bahwa hidupnya jadi serba terbatas setelah berkeluarga?

Kalau pernikahan justru membuat seseorang merasa terampas hak-haknya, merasa keahliannya tidak terasah, merasa peluangnya jadi berkurang, ada apa di dalam sana? Kadang-kadang, orang tidak mengakui ada sesuatu yang tidak lengkap dalam hidupnya. Lalu, ketika melihat orang lain selangkah lebih maju, maka bentuk pertahanan diri paling yahud adalah dengan menyerang orang lain agar dirinya tidak merasa jauh tertinggal.

Kalau Anda meluapkan ketidakpuasan pada kehidupan yang Anda jalani dan menjadikan status lajang untuk menjatuhkan saya, mohon maaf, Anda tidak berhasil. Kenapa? Karena saya mengukur keberhasilan dengan kacamata saya, tidak dengan kaca mata kuda Anda yang sangat sempit itu. 🙂

 

Jakarta, 11 Maret 2021

Read more

“Bagaimana pandemi mengubah hidup kamu?” saya bertanya padanya.

Ia berpikir sesaat, melihat botol cairan pembersih tangan dan tissue basah anti bakteri yang ada di atas meja. “Jadi lebih bersih, lebih sehat… Sama seperti orang-orang lain.” katanya.

Ia kemudian tersadar sesuatu. Tubuhnya digerakkan mendekat ke arah saya. Wajahnya tampak serius, juga curious. “Memang seberapa besar pandemi mengubah hidupmu?” pertanyaan yang sama dilontarkan.

Malam itu ia dan saya janjian bertemu untuk ngopi, membicarakan pekerjaan, juga bertukar kabar. Krisis Covid-19 membuat kafe dan restaurant tutup lebih cepat. Belum pukul delapan malam, pramusaji sudah bergerak-gerak gelisah. “Segeralah kaliah enyah,” mungkin begitu yang ada dipikiran mereka, mengusir tamu yang masih betah.

Perut saya bergejolak. Saya melewatkan makan siang, sehingga lapar terasa lebih panjang. Selain alasan perut keroncongan, sebenarnya masih ada alasan lain yang mengunci pikiran, yakni kebersamaan yang enggan dilepaskan dan cerita-cerita yang belum sepenuhnya disampaikan.

“Mau cari makan di tempat lain?” ia bertanya, seperti bisa membaca pikiran. “Setuju!”

Berjalan kaki mencari makan di tengah pandemi cukup membuat tidak tenang. Jalanan kota sudah senyap. Hanya satu dua motor melintas dengan kecepatan sedang. Beberapa orang berjalan kaki, nyaris tidak ada yang jalan berdua bersisian. Semua orang bergerak dengan tetap menjaga jarak aman. Saya sempat berpikir, di balik wajah-wajah yang ditutup masker ini, apakah saya mengenali seseorang? Apakah seseorang mengenali saya?

Saya menoleh, menatap wajahnya. “Tidak masalah pergi sampai larut?” saya bertanya.

Ia mengangguk. “Aman,” katanya.

Lalu sampailah ia dan saya di sebuah tempat yang masih buka hingga lewat tengah malam. Saya berjalan pelan memasuki tempat dengan nuansa gelap ini. Ada ingatan bersama seseorang tak jauh dari tempat ini yang sempat membuat nafas tidak tenang. Butuh waktu beberapa saat untuk menerapkan metode pernafasan 4-7-8 agar saya kembali fokus dengan apa yang sedang saya lalui.

Di dalam bar, saya memesan pizza keju. Saya bersyukur bar ini hanya menyediakan dua jenis pizza, yaitu keju dan jamur. Semuanya tanpa potongan daging. Ini memudahkan saya memilih. Hampir satu tahun menjalani hidup sebagai vegetarian, saya selalu reflek mencari makanan tanpa daging.

“Apa perubahan hidup kamu?” ia bertanya, sekali lagi.

Agak sempoyongan saya meninggalkan meja bar, lalu kembali dengan sebuah cerita panjang.

“Banyak sekali perubahan dalam hidup saya… termasuk bagaimana setiap harinya saya memilih ‘keberanian atas kenyamanan’,” kata saya, mengutip Brene Brown.

Pikiran saya kemudian mengembara ke waktu-waktu sebelum pandemi. Kehilangan sesuatu yang berarti lengkap dengan perasaan dikhianati, diikuti dengan ditemukannya kasus Covid-19 pertama di Indonesia, saya tidak tahu mana yang lebih menyiksa: hati rekah, atau pandemi pecah?

Saya ingat, masa awal-awal pandemi saya bisa menghabiskan waktu berhari-hari di dalam kamar kosan menelaah pengalaman hidup yang naik dan turun seperti gelombang. Setiap hari saya menangis hingga wajah bengkak (kalau kata teman saya, wajah saya berubah seperti keracunan seafood).

Saya juga mengalami insomnia parah, hanya baru bisa tidur setelah fajar merekah. Setiap bangun tidur, saya merasakan perih di dada (KEMUDIAN BARU SADAR: OH INI RASANYA PUNYA HATI HAHAHAA). Saat makan, saat mandi, bahkan saat menonton berita di stasiun televisi, air mata deras mengalir seperti sungai.

Beruntunglah, pandemi membuat saya tidak harus beraktivitas di luar rumah. Sehingga saya punya waktu yang panjang untuk recovery, melewati Five Steps of Grief tanpa harus dikejar-kejar jadwal liputan atau keharusan rapat redaksi di kantor.

Di antara hari-hari yang menantang, saya punya cukup waktu merenung, memproses diri, menemukan kekuatan diri, menentukan hal-hal penting dan terpenting dalam hidup, mengenal dan menemukan bagian diri sendiri yang selama ini jarang disapa.

Di tengah kesulitan ini saya melihat pandemi berperan memberikan jeda untuk penyembuhan diri. Ia berperan menumbuhkan keberanian mengambil keputusan di tengah berbagai ketidakpastian. Lebih dari itu, pandemi mereformasi kebiasaan sehari-hari serta mempengaruhi perspektif dan prioritas hidup.

Kalau dulu saya berambisi keluar dari rutinitas untuk melalang buana (bahkan saya sudah menabung untuk perjalanan panjang keliling semesta), kini saya sadar bahwa segala sesuatu yang kita cari sebenarnya ada di dalam diri sendiri.

Pernah saya haus mencari. Tidak pernah puas kalau tidak pergi. Sekarang saya merasa perlu mencari jalan kembali. Lagi pula, pengembaraan di tengah pandemi akan menambah perasaan yang tak pasti. Saya juga sadar, gunung dan lautan tidak pernah meninggalkan lokasi di mana mereka kokoh berdiri. Sehingga selalu ada waktu, untuk sebuah perjalanan di masa depan.

“Saya memutuskan menetap. Setidaknya untuk saat ini, saya tidak akan pergi,” kata saya kepadanya.

“Bagus dong. Settle down bagus,” ia merespons.

“Bagus ya?” saya bertanya, meyakinkan diri sendiri.

“Iya, bagus. Kita ‘kan tidak tahu apa yang menghadang di perjalanan. Makanya ada pandemi, agar kamu tidak pergi,…” ujarnya.

Entah kenapa ada kelegaan di sana… kelegaan mendengar kata-kata yang diucapkan. A glimpse of light. Mungkin ini closure dari perjalanan berliku, perjalanan panjang, penuh debu, dan sering terasa buntu, yang telah saya tempuh sekitar satu tahun terakhir ini.

 

Jakarta, 15 September 2020

 

Read more

Pe-es-be-be ini bikin saya melakukan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, mulai dari tiba-tiba pindah kos, masak, latihan nyanyi, main ukulele, sampai cat rambut sendiri!!! Kadang-kadang saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan kehidupan setelah virus korona berakhir. Tetapi, dari pada memusingkan masa depan, lebih baik menikmati apa yang tersedia, selagi masih bisa. 🙂

Beberapa hari lalu, ibu menelpon untuk memberitahu bahwa keponakan saya yang masih berusia tiga tahun ada di rumah. Sudah tiga pekan terakhir, saya tidak pulang. Saya lebih memilih untuk tinggal di kamar kosan daripada pulang. Saya selalu punya alasan untuk tidak di rumah. Tetapi, begitu tahu keponakan saya di rumah, saya menjadi lemah. Tak bisa menolak, saya memutuskan pulang.

Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan apa komentar orang rumah melihat warna rambut saya kuning gonjreng! Ini pertama kali saya mewarnai rambut. Keinginan mengecat rambut tentu sudah ada sejak lama. Tetapi, saya tidak pernah mengeksekusi keinginan itu karena takut orang tua marah. Jangankan mengecat rambut, untuk memotong rambut saja saya selalu berpikir seribu kali karena mempertimbangkan komentar orang rumah.

Saya menyadari bahwa dalam mengambil keputusan seringkali saya lebih condong mempertimbangkan pendapat atau kenyamanan orang lain, di bandingkan diri sendiri. Setiap kali mau memotong atau mewarnai rambut misalnya, saya selalu khawatir dengan pendapat orang lain: Bagaimana kalau ada yang mengatakan potongan rambut saya jelek? Bagaimana kalau potongan atau warna rambut tidak cocok dengan bentuk wajah saya, dengan warna kulit saya?

Tentu ini tidak masalah, toh memotong rambut hanya masalah sepele. Tetapi, kalau ditarik melalui perspektif yang lebih luas, ini menunjukkan dalam membuat keputusan kadang-kadang saya tidak otentik. Tidak menjadi diri sendiri. Tidak membuat keputusan berdasarkan hal yang benar-benar saya inginkan.

Memikirkan pendapat orang tua, membuat saya merasa seram kalau nantinya mereka memarahi penampilan baru dengan rambut berwarna kuning gonjreng! (BTW, niatnya rambut saya mau dicat warna abu-abu, tetapi entah kenapa keluarnya jadi warna kuning! HAHAHAHA).

Ketika saya sampai di rumah, ibu melihat saya dan  langsung beteriak: “Yaaampuuunn!! Itu rambutnya diapainnn??” katanya sambil mencampur adonan nastar di dapur. Sementara itu, ayah saya berkomentar: “Neko-neko wae!” Kakak saya berkomentar: “Koyo wong edan! (Seperti orang gila)” Adapun keponankan saya, Mas Dio, menjerit: “Uti (baca: aunty) rambutnyaaa IJOOOO”. Saya membalas komentar itu: “Ini coklat, bukan IJOOO!” 😀

Beberapa teman dan sepupu menyampaikan reaksi yang berbeda. Sepupu saya mengatakan saya mirip anggota Trio Macan (syit!). Ada pula yang bilang saya seperti bule hunters, mbak-mbak di pinggir Pantai Kuta. Ada juga yang memuji: Cocok, Keren, Nggak Aneh! (WHATT NGGAK ANEH ITU SEMACAM KOMENTAR SETINGKAT DI BAWAH BAGUS, TAPI JUGA ENGGAK JELEK! HAHA). Seorang teman di Bali menelpon. “Aku kaget. Aku lihat kamu nggak seperti biasanya. Kamu gak pernah neko-neko,” katanya dengan nada prihatin.

Komentar-komentar memang berdatangan, kemudian saya berpikir: So what? Saya hanya tertawa menanggapi komentar mereka. Toh apa pun yang dikatakan orang lain, entah itu pujian, celaan, atau bahan bercandaan, tidak akan mengubah warna rambut saya dari kuning menjadi ungu atau oranye.

Ini mungkin sangat berbeda dengan sikap saya beberapa tahun lalu. Selama ini, saya terlalu sering mendengarkan komentar orang lain sehingga jarang mengambil keputusan ekstrem. Untuk memilih model pakaian, potongan rambut, tas dan sepatu, sebisa mungkin saya melakukan dengan hati-hati karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apalagi untuk keputusan-keputusan lain yang lebih penting seperti memilih pendidikan dan pekerjaan.

Dulu, kalau saya mendengar komentar orang lain yang tidak sesuai harapan, saya mudah tersinggung, marah, keloro-loro (sakit hati). Kini saya sadar, ketika mengambil keputusan dalam kehidupan, dari hal-hal sepele hingga hal besar, paling penting adalah bertanya pada diri sendiri: “Apakan ini yang saya inginkan? Apakah keputusan yang akan saya ambil ini adalah sesuatu yang benar-benar yang saya inginkan?”

Kalau saja apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan “norma masyarakat” seperti ngecat rambut warna gonjreng ini, misalnya, reaksi orang lain hanya terbatas memuji, mengomentari, mencela, atau mungkin tidak peduli sama sekali. Saya rasa sekeras apa pun reaksi orang lain terhadap keputusan yang saya buat, tidak ada yang berani menjambak rambut saya karena warnanya kuning. Ini rambut saya. Beli cat sendiri, ngecat di kosan sendiri pula! 😛

Kadang kita ragu melakukan sesuatu karena takut mendengar omongan orang lain. Itu membuat kita tidak memanfaatkan seluruh potensi. Terlalu memikirkan orang lain, membuat kita hanya memanfaatkan sebagian potensi yang luar biasa. Tentu tidak semua orang senang atau setuju dengan keputusan yang kita buat. Namun, dunia akan adjust (menyesuaikan) dengan setiap keputusan itu.

Virus koronce, mengajarkan bahwa banyak hal yang selama ini saya rasa tidak sanggup dilakukan, ternyata bisa. Hal-hal yang terasa sulit, menjadi lebih ringan. Rasa takut dan ragu, bertransformasi menjadi keberanian dan kepercayaan diri. Hal-hal yang saya khawatirkan, tidak terlalu menakutkan.

Setelah mewarnai rambut, reaksi orang tua ternyata tidak semengerikan yang saya bayangkan. Reaksi orang tua hanya sebentar saja. Mereka juga tidak ambil pusing dengan warna rambut anaknya. Orang tua dan kakak saya lebih sibuk memikirkan, saat Lebaran nanti kita akan masak apa? Siapa yang tugas berbelanja beli ketupat?

Bahagianya menyambut Lebaran, dengan warna rambut baru! 🙂

 

Picture 1 by Theodora Agnes, Picture 2 and 3 by Deri Nugraha

Read more

Beberapa waktu lalu, saya merasa kelelahan luar biasa. Ini bukanlah kelelahan fisik karena akhir-akhir ini aktivitas saya tidak terlalu banyak. Kegiatan liputan tidak begitu padat. Saya juga mengurangi olahraga atau pertemuan-pertemuan yang kurang penting. Dengan situasi aktivitas yang tidak terlalu padat, sudah pasti kelelahan saya ini bukan sekedar fisik, melainkan mental atau psikis.

Saya ingat suatu hari saya hanya bisa meringkuk di atas tempat tidur, sambil merasakan dada sesak. “I am so tired. The healing process is so tiring, kapan saya bisa bebas dari persaan-perasaan melelahkan ini,” kata saya, sambil meneteskan air mata.

Ketika itu, saya memang sedang dalam masa pemulihan diri. Saya melakukan berbagai cara untuk bisa bangkit dari kenangan buruk masa lalu seperti dengan meditasi, yoga, memasak, membersihkan kamar, menuliskan kata-kata syukur, dan sebagainya… tetapi penyembuhan diri terasa tak berkesudahan.

Setiap hari, saya merasakan mood naik turun. Tentu saja, saya merasa baik-baik saja saat sedang beraktivitas atau bertemu dengan teman-teman pada siang hari. Tetapi, begitu malam hari kembali ke kamar tidur dan merasakan kembali kesendirian, penyiksaan sesungguhnya sedang menanti.

Saya kembali merasakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan. Ada goresan-goresan luka yang terasa perih di dalam relung hati saya. Peristiwa-peristiwa buruk yang telah berlalu kembali muncul di pikiran. Kenangan buruk, hal-hal tidak terselesaikan, serta pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, semakin membenamkan saya pada rasa sedih dan amarah yang mendalam.

Saya sadar, semakin saya marah, semakin saya merasa bersalah. Semakin saya marah, semakin saya menyakiti diri sendiri. Saya menyalahkan orang lain, menyalahkan lingkungan, menyalahkan diri sendiri. Ada pergulatan besar dalam hati saya: Seharusnya saya tidak perlu marah! Seharusnya saya bisa segera melupakan peristiwa ini! Seharusnya saya bisa segera bangkit! Tetapi, kenapa saya masih merasa seperti ini? Bagaimana cara melepaskan diri saya dari perasaan-perasaan menyebalkan ini!

Dalam situasi demikian, saya hanya bisa menangis. Bukan lagi menangis karena saya sedih atau marah, tetapi menangis karena saya merasa tidak mampu melewati  proses penyembuhan ini. Saya menangis karena merasa tidak berdaya. Saya menangis karena merasa tidak mampu menanggung duka. Saya menangis karena saya merasa sendiri.

Pada Sabtu (15/2/2020), pada perayaan ulang tahun Kompas Muda, saya bertemu dengan konselor, Asta Dewanti. Pertemuan dengan pendiri Ada di Kamu itu membuka pandangan saya bahwa tidak ada yang salah dengan perasaan marah, sedih, dan kecewa. Perasaan-perasaan yang selama ini kita anggap negatif itu seharusnya kita rangkul menjadi bagian dari kita, sama seperti ketika kita merasa bahagia, puas, lega. “Perasaan-perasaan itulah yang membentuk kita sebagai manusia biasa,” kata Asta.

Asta menjelaskan, ada tiga proses seseorang untuk menyembuhkan diri. Pertama adalah sadar (aware) terhadap setiap emosi yang dirasakan. Kedua, menerima (accept) bahwa suatu persitiwa pernah terjadi di kehidupan seseorang tanpa kita perlu menghakimi atau menyalahkan diri sendiri. Selanjutnya, adalah proses penyembuhan diri (heal) yang bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti self-reflection dan meditasi.

Kata-kata Asta mencerahkan pikiran saya. Saya sadar kenapa selama ini saya merasakan kelelahan luar biasa dalam proses penyembuhan diri. Lelah itu saya rasakan karena saya berusaha menolak rasa marah, sedih, dan kecewa.

Dalam lubuk hati, saya merasa marah luar biasa. Tetapi, otak saya memerintahkan untuk memaafkan semua peristiwa, dan memaafkan seseorang yang telah meninggalkan luka. Isi kepala dan perasaan yang tidak selaras inilah yang membuat saya merasa lelah sehingga akhirnya justu menghambat proses penyembuhan diri.

Sering kali saya mendengar pernyataan bahwa sebagai manusia, kita harus memaafkan orang lain. Tetapi, ketika kita sedang mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan hati, bagaimana kita bisa memaafkan orang lain? Rasa amarah itu sungguh nyata dan menguasai, kenapa kita justru menolak rasa itu? Kenapa kita menolak memahami diri sendiri?

Saya sadar, selama ini saya memang menuntut diri saya segera bangkit dari keterpurukan. Saya memaksa diri saya untuk mengabaikan rasa marah, sedih, dan kecewa. Tetapi, tubuh dan hati ini tidak bekerja demikian. Ia punya proses penyembuhan diri yang selaras dengan gerak semesta. Tubuh ini mengajak pemiliknya untuk meresapi seluruh emosi, agar ia bisa menyembuhkan diri sendiri.

Setelah mendengar penjelasan Asta, saya mulai merasakan dan merangkul setiap emosi. Setiap kali saya mulai merasa gelisah, sedih dan kecewa, saya menyapa diri sendiri, “Hai Denty, apa yang sedang kamu rasakan? Oh, hari ini kamu sedang marah ya? Iya, saya tahu kamu sedang marah. Kenapa kamu marah? Peristiwa apa yang membuat kamu marah? Bagian mana dari peristiwa itu yang membuat kamu marah? Apa yang hendak kamu sampaikan kepada diri kamu sendiri? Apa yang hendak kamu sampaikan kepada orang lain yang membuat kamu marah?”

Saya berbicara dengan diri sendiri selayaknya sedang berbicara pada sahabat. Saya mendengarkan suara hati, tanpa menghakimi atau menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, saya mencoba merangkul emosi, dengan penuh kasih sayang. Mengakui setiap rasa tanpa harus membenci.

Malam itu, saya menangis lagi. Tetapi, kali ini bukan menangis karena kelelahan. Saya menangis karena untuk pertama kali saya merasa bisa jujur pada diri sendiri.

“Tidak apa-apa Denty kalau kamu belum bisa memaafkan seseorang yang telah menyakiti hati kamu. Saya mengerti, rasa sedih dan marah itu begitu nyata. Mungkin memang bukan sekarang saatnya kamu memafkan, tetapi suatu hari nanti kamu pasti bisa memaafkan… Bersabarlah… suatu hari nanti, semua ini pasti berlalu,” kata saya.

Keesokan harinya saya bangun seperti biasa, lalu beraktivitas biasa. Ajaibnya, pada malam hari saya justru merasa biasa-biasa saja. Amarah yang membara, tidak lagi singgah di sana. Sedih dan kecewa, juga berkurang. Padahal, biasanya malam adalah waktu yang paling menyiksa karena pikiran-pikiran negatif bermunculan.

Sebelum tidur, saya kembali berdialog dengan diri sendiri: “Gimana kabar kamu Denty? Apakah merasa lebih baik?” Diri saya yang lain menjawab: “Ya, saya merasa lebih baik. Ada suatu peristiwa menyakitkan yang terjadi. Peristiwa itu menjadi bagian dari diri saya, tetapi peristiwa itu tidak lagi menguasai saya.”

Sekarang, setiap kali saya kembali merasakan sedih, marah, dan kecewa… saya tidak menolak perasaan itu. Saya akan menerima perasaan-perasaan itu sebagai bagian dari diri sendiri yang harus dipahami. Setelah mendengar dan memahami diri sendiri, malam itu, saya tidur nyenyak sekali. (Denty Piawai Nastitie)

Read more

Sumber tulisan: Universitas Sanata Dharma (usd.ac.id)

Denty Piawai Nastitie, alumnus Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (USD), pada hari Jumat 8 Februari 2019 menerima penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, atas tulisannya yang inspiratif dengan judul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”, di Restoran Seribu Rasa, Jakarta.

Denty, demikian ia sering disapa, ketika dihubungi via telepon (14/2/18), kembali mengucapkan terima kasih kepada Uni Eropa karena telah memberikan penghargaan terhadap tulisannya yang dimuat di Harian KOMPAS (5/10/2018). “Saya mengucapkan terima kasih banyak buat penghargaan ini kepada Uni Eropa.” ucap Denty. Ia juga kembali mengucapkan terima kasih kepada tempatnya bekerja, Harian KOMPAS, karena telah memberikan ruang baginya untuk menuliskan kisah dan karya jurnalistik yang menarik. “Kepada tempat saya bekerja, Harian KOMPAS, yang sudah memberikan saya ruang buat menuliskan kisah-kisah yang menarik.” sambung Denty.

Denty, dalam tulisannya yang diberi penghargaan oleh Uni Eropa tersebut, hendak menyampaikan kepada publik bahwa kaum disabilitas dan non-disabilitas memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Hak-hak tersebut dapat berupa aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, dan pendidikan untuk mengembangkan dan menunjukkan potensi yang ada di dalam diri. “Orang-orang disabilitas maupun kita yang non-disabilitas itu sebenarnya punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini, orang-orang dengan kebutuhan khusus itu sering mendapatkan kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari karena minimnya aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, kesempatan pendidikan, sehingga sulit membuat mereka berkembang. Kebanyakan orang-orang dengan kebutuhan khusus memilih untuk bersembunyi dari pada menunjukkan potensi diri.” ungkap Denty.

Denty, yang secara intens mengikuti persiapan hingga penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games 2018, juga menyampaikan bahwa Asian Para Games (6-13/10/2018) telah menunjukkan bahwa ketika kaum disabilitas diberikan kesempatan yang sama seperti ketika kaum non-disabilitas berperan dalam Asian Games (18/8-2/9/2018), kaum disabilitas pun dapat menunjukkan potensi yang ada dalam diri mereka. “Dari Asian Para Games kemarin, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang dengan kebutuhan khusus itu, ketika mereka punya mimpi, punya cita-cita, terus diiringi dengan kerja keras, mereka bisa menunjukkan potensi dirinya.” lanjut Denty.

Denty, yang ditugaskan di bidang olahraga Harian KOMPAS sejak 2016, mengungkapkan perasaannya yang senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka ketika tulisannya mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa. “Perasaan saya tentu saja senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka.” ungkap Denty. Namun, Denty yang diangkat menjadi wartawan Harian KOMPAS sejak 2014 memberi catatan terhadap penghargaan yang diberikan oleh Uni Eropa bahwa semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi harus terus menggema dan tidak berhenti. “Buat saya yang lebih penting adalah bagaimana tulisan saya, karya-karya jurnalistik saya, dan teman-teman lainnya yang juga mendapat penghargaan, terutama terkait disabilitas ini, bisa terus menggema. Jadi, jangan sampai begitu Asian Games dan Asian Para Games selesai, semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi itu berhenti.” tegas Denty.

Denty, yang memulai karirnya dengan magang di Harian KOMPAS sejak lulus dari USD pada 2013, tidak lupa mengucapkan terima kasih untuk pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama kuliah di USD. “Terima kasih juga buat pengalaman-pengalaman selama kuliah di Universitas Sanata Dharma. Saya belajar banyak di Universitas Sanata Dharma, terutama nilai-nilai kemanusiaan dan semangat kesetaraan yang selalu saya dapatkan dari dosen-dosen di Universitas Sanata Dharma.” ucap Denty.

Tidak lupa pula, Denty yang aktif di dalam dan di luar kelas perkuliahan ketika menjadi mahasiswi USD, memberi harapan dan pesan kepada ‘adik-adik’nya yang masih berkuliah di USD dalam mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. “Saya berharap dengan adanya penghargaan ini, mahasiswa-mahasiswi USD bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan selama kuliah dengan sebaik-baiknya. Dan, enggak cuma aktif di kelas tetapi juga mencari pengalaman dan ilmu di luar kelas, di organisasi-organisasi yang lain. Karena, pengalaman-pengalaman selama kuliah, baik di kelas maupun di luar kelas, menurut saya akan sangat bermanfaat ketika masuk di dunia kerja.” harap dan pesan Denty. Denty pun melanjutkan harapan dan pesannya bahwa interaksi dengan masyarakat luas adalah ilmu yang tidak boleh dilupakan begitu saja. “Ketika kita kuliah, harus diimbangi dengan banyak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas, Interaksi kita dengan masyarakat luas itu akan menambah ilmu kita.” lanjut Denty.

(AH & YS)

Read more

Asian Games 2018 baru saja berakhir. Kenangan akan penyelenggaraan pesta olahraga antarnegara se-Asia itu tidak hanya meninggalkan kesan bagi atlet, pelatih, relawan, dan penonton, tetapi juga membekas bagi jurnalis dan fotografer yang selama dua pekan penuh meliput kegiatan ini.

Bagi pewarta, mengabadikan peristiwa bersejarah Asian Games pada 18 Agustus-2 September 2018 menjadi kebanggaan serta menciptakan persahabatan antarrekan seprofesi yang tak mengenal batas geografis, bahasa, suku, agama, warna kulit, atau warna bendera negara sekalipun.

Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) mencatat, ada 11.000 orang dengan akreditasi penyiar (broadcaster), jurnalis, dan fotografer dari 47 negara datang ke Indonesia. Mereka bertugas menggaungkan semangat Asian Games ke seluruh dunia. Penyiar dan jurnalis berjibaku meliput kejuaraan yang tersebar di arena Jakarta, Palembang, Jawa Barat, dan Banten.

Untuk mengabarkan berbagai peristiwa dan seluk-beluk Asian Games, ribuan awak media ”berkantor” di Main Press Center (MPC) dan International Broadcast Center (IBC) yang berada di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan. Ruang kerja juga tersedia di setiap arena pertandingan.

Tribune media di Stadion Utama Gelora Bung Karno. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Di MPC, fasilitas yang tersedia antara lain kabel LAN, Wi-Fi, soket listrik, data, komputer, layar lebar untuk menyaksikan pertandingan, termasuk makanan. MPC terdiri atas dua lantai. Di bagian bawah ada lobi dengan sofa-sofa empuk, ruang kerja, dan ruang makan. Sementara lantai atas merupakan ruang konferensi pers, ruang pertemuan, dan beberapa ruang khusus kantor media asing.

Biasanya, setelah meliput pertandingan olahraga, jurnalis akan berdatangan dan berkumpul di MPC. Di tempat inilah, awak media menulis, mengirimkan foto-foto, mengedit berita, juga beristirahat, melepas penat, dan bercengkerama dengan teman-teman dari sejumlah media.

Di MPC, adakalanya jurnalis bekerja sangat serius untuk melaporkan berbagai peristiwa sesuai tenggat. Saat deadline, wajah-wajah para pewarta seperti ”senggol-bacok”. Apalagi, kalau pertandingan selesai larut malam, semua fokus pada tugas masing-masing. Begitu berita dan foto-foto sudah dikirimkan, lega rasanya. Inilah saatnya untuk bercengkerama dan melepas kepenatan.

Biasanya, begitu selesai mengirimkan berita, saya akan menikmati makanan dan minuman di ruang yang sudah disediakan. Di ruang makan inilah, kadang-kadang saya berkenalan dengan teman dari media lain.

Suatu hari, setelah meliput pembukaan Asian Games, saya berkenalan dengan Hirata Jun dan Sato Yuki dari kantor berita Kyodo, Jepang.

Saat itu, Jun (yang kemudian namanya dipelesetkan menjadi Junaedi) dan Sato mengomentari betapa lucunya maskot Asian Games. Saking sukanya pada maskot Asian Games, Jun dan Sato serta Ed Sha Restian (jurnalis Kyodo) berkali-kali foto bareng dengan boneka raksasa Bhin-bhin, Atung, dan Kaka, yang berada di depan MPC.

Tiga maskot Asian Games 2018 mengikuti defile saat upacara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8/2018). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Mereka lalu menunjukkan hasil foto dengan aneka pose, seperti memeluk dan bersandar pada boneka yang merepresentasikan tiga hewan khas Indonesia itu.

”Bukannya maskot Olimpiade Tokyo 2020 lebih keren, ya?” tanya saya, teringat pada maskot bernama Miraitowa dan Someity yang akan dipakai pada penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Jepang.

Dengan kompak, Jun dan Sato menggeleng. ”No! No!” kata mereka. ”Maskot Jepang itu karakter rekayasa, tidak lucu. Lebih bagus maskot Asian Games,” kata Jun. Dalam hati, saya berkata: rumput tetangga memang lebih indah. Ketika banyak orang Indonesia mengatakan maskot Olimpiade 2020 keren, orang-orang Jepang ini malah mengagumi maskot Indonesia! Aneh, he-he-he….

Melalui perkenalan dan interaksi dengan jurnalis-jurnalis asing, banyak hal yang dapat dipelajari. Saya mencermati, jurnalis dan fotografer dari media asal Jepang, Korea, dan China bekerja sangat maksimal. Setiap hari mereka selalu datang ke arena pertandingan lebih awal dari jadwal. Hal ini berbeda sekali dengan karakter warga negara Indonesia yang serba ngaret.

Ketika meliput babak semifinal bulu tangkis, hampir saya tidak dapat tempat duduk karena tribune media sudah penuh wartawan. Padahal, pertandingan pertama pukul 12.00 belum dimulai. Ternyata, sejumlah media asing datang 60-90 menit sebelum laga dimulai sehingga mereka bisa mendapatkan posisi strategis untuk menyaksikan pertandingan.

Selain disiplin soal waktu, jurnalis asing juga tertib menjaga kerapian dan kebersihan. Setiap selesai bekerja, jurnalis Jepang dan Korea akan membersihkan meja sehingga tidak ada sampah yang berserakan. Kursi yang sudah dipakai juga akan dirapikan sebelum mereka meninggalkan ruangan.

Selain itu, mereka sangat perhatian pada teman-temannya. Saat mengambil minuman dingin, misalnya, mereka akan mengambil dua botol, satu untuk diri sendiri dan satu lagi untuk teman yang duduk di sebelahnya.

”Sesungguhnya, melihat mereka bekerja memberi banyak pelajaran berharga. Kadang-kadang jadi malu dengan sikap kerja diri sendiri,” kata Nuris Andi Prastiyo, jurnalis Jawa Pos.

Untuk mengabadikan momen Asian Games, kantor berita Kyodo, Jepang, mengirimkan sekitar 60 awak media yang semuanya merupakan orang Jepang. Mereka terdiri dari reporter, fotografer, tim grafis, dan tata letak. Selama berada di Indonesia, orang-orang Jepang ini tinggal di hotel yang berada di kawasan Blok M. Mereka juga menyewa ruang kerja di MPC.

Sagisawa Iori, fotografer asal kantor berita Kyodo, mengatakan, dirinya mendapat banyak kesan manis selama liputan di Indonesia. ”Di sini panas dan banyak nyamuk. Tetapi orang-orang Indonesia sangat ramah, baik hati, dan mereka selalu tersenyum sepanjang hari,” katanya.

Selama berada di Indonesia, Iori bertugas memotret di Stadion Akuatik GBK. Ia mengabadikan antara lain perlombaan renang, polo air, loncat indah, serta renang artistik. Biasanya, setelah memotret, Iori akan kembali ke MPC untuk mengirimkan foto-foto.

Menurut Iori, udara di MPC sangat dingin, dia sering kali merasa beku di ruang kerja. Namun, makanan dan kopi yang tersedia sangat lezat. ”Secara keseluruhan, saya menikmati berada di Indonesia,” ujarnya.

Interaksi dengan jurnalis asing sebenarnya tidak selalu manis. Adakalanya jurnalis nasional harus tarik urat dengan rekan satu profesi dari negara lain.

Wartawan Kompas, Denty Piawai Nastitie, bersama wartawan foto Jepang, Sato Yuki. (KYODO NEWS/ TANAKA YUSUKE)

Ketika meliput upacara pembukaan Asian Games di Stadion Utama GBK, misalnya, beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan karena mereka menyerobot tempat duduk di bagian tribune media.

Beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan.

”Heran! Padahal sudah ada nomor kursi di tiket masuk. Masih aja nyerobot kursi orang lain,” kata seorang teman, meluapkan kekesalannya.

Saya pernah merasakan kekesalan serupa ketika bertugas pada upacara penutupan. Kursi yang seharusnya menjadi hak saya diisi wartawan lain. Untunglah, setelah saya menyatakan keberatan, jurnalis asing itu bersedia pindah. Namun, masalah lain muncul ketika fotografer Jepang dari Asahi Shimbun yang duduk di sebelah saya menaruh barang-barang berserakan di meja.

Pada satu sisi, saya memahami bahwa fotografer itu membutuhkan meja yang luas untuk menaruh empat kamera dengan lensa-lensa besar. Namun, pada sisi lain, saya juga membutuhkan meja untuk meletakkan komputer jinjing sehingga bisa bekerja dengan nyaman.

Kepada fotografer itu, saya meminta agar ia sedikit bergeser dan merapikan barang-barangnya. Dia lalu meminta maaf karena ketidaknyamanan itu dan segera menggeser barang-barangnya.

Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana.

Selesai meliput penutupan Asian Games di Stadion Utama GBK, saya kembali bertemu dengan Sato dan beberapa rekan jurnalis dari kantor berita Kyodo. Kami bahkan berfoto bareng untuk mengabadikan kenangan terlibat dalam momen bersejarah ini.

Dalam perjalanan kembali ke MPC, Sato bertanya, apakah saya akan meliput Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana,” ujarnya.

Sato kemudian memberikan pin sebagai kenang-kenangan dan tanda persahabatan antarbangsa. ”Arigato!” kata saya, mengucapkan terima kasih. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/09/09/menjalin-persahabatan-dengan-jurnalis-asing-di-sela-asian-games-2018/ tanggal 9 September 2018

 

Read more

Pertemuan saya dengan Winarni (42) terjadi tidak sengaja. Pada Jumat (27/7/2018) sore, saya datang ke pelatnas angkat besi di Mess Perwira AL Kwini, Jakarta Pusat, untuk melihat persiapan akhir tim angkat besi Indonesia menjelang Asian Games 2018.

Di sana, saya bertemu dengan trio atlet Olimpiade Sydney 2000 yang sedang memberi motivasi kepada atlet. Trio Olimpian itu adalah peraih medali perunggu angkat besi pada Olimpiade Sydney 2000, Sri Indriyani (kelas 48 kilogram) dan Winarni (53 kg), serta atlet tenis meja Ismu Harinto.

Kesempatan itu saya gunakan untuk mewancarai para Olimpian mengenai pengalaman mereka menghadapi kejuaraan besar dan bagaimana para atlet mengatasi tekanan mental.

Di sela-sela wawancara itu, sejumlah pelatih dan atlet menanyakan kabar anak Winarni, yang juga merupakan juara dunia angkat besi pertama Indonesia pada 1997. “Memang sakit apa Mbak anaknya?” tanya saya, kepada Winarni, yang juga meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney 2000.

Mulanya Winarni tidak mau menjawab. Untuk menghormati privasi narasumber, saya tidak terlalu mendesak dan menuntut jawaban.

Setelah latihan selesai, saya bersiap-siap meninggalkan tempat pelatnas. Ketika itulah, seseorang memberi tahu bahwa anak Winarni sakit parah dan membutuhkan biaya hingga ratusan juta untuk biaya pengobatan. “Winarni berniat jual rumah untuk kesembuhan anaknya,” ujarnya.

Hah, serius? Separah itu sakitnya?” tanya saya, tidak percaya.

Saya kemudian kembali mendekati Winarni untuk menanyakan kondisi anaknya. Ketika ditanya, Winarni langsung menangis. “Saya tidak mau bercerita tentang anak saya. Kalau ditanya (tentang anak), saya pasti menangis. Lagian kalau saya sudah cerita, memang ada yang mau membantu?” kata Winarni, sambil berurai air mata.

Kata-kata Winarni menyayat hati saya. Sebagai jurnalis, sejujurnya saya sempat merasa sanksi apakah tulisan saya akan berdampak untuk narasumber. Namun, sesegera mungkin saya tepis pikiran tersebut. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa untaian kata mempunyai kekuatan untuk menggerakkan hati manusia.

Saya selalu percaya bahwa karya jurnalistik mempunyai nasibnya sendiri, entah itu bernasib buruk, misalnya, dengan tidak dimuatnya sebuah tulisan, atau bisa juga bernasib baik dengan dimuatnya tulisan dan membawa manfaat bagi banyak orang. “Mudah-mudahan kali ini memberi manfaat,” kata saya dalam hati.

Kepada Winarni, saya sampaikan bahwa saya tidak berjanji karya jurnalistik yang akan saya buat bisa menolongnya. “Mungkin saja (tulisan) menjadi jalan, mungkin juga bukan jalan. Tetapi, kenapa tidak kita coba? Bukankah kita tidak boleh putus harapan, dan mencoba segala hal untuk menolong kesembuhan putra Ibu?”

Peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 Winarni (kanan) mengamati lifter Syarah Anggraini yang sedang berlatih untuk Asian Games 2018 di pelatnas angkat besi, Jakarta, Sabtu (28/7/2018. Tampil tenang dan percaya diri diharapkan jadi kunci kesuksesan atlet.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA)

Sesaat, Winarni terdiam. Dia menarik nafas panjang, kemudian mulai menceritakan nasib putra bungsunya, Achmad Fariz Taufik (2,5), yang terlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus atau kondisi tidak berkembangnya usus pada janin. Kondisi itu membuat Fariz tidak bisa menelan makanan dan minuman. Ia hanya bisa menjilat makanan, tetapi tidak boleh memasukkan makanan ke mulut. Selain kelainan itu, Fariz juga menderita gangguan jantung dan paru-paru.

Ketika masih berusia kurang dari 30 hari, Fariz sudah menjalani dua kali operasi, yaitu operasi untuk melubangi tenggorokannya sebagai jalan keluar air liur, serta operasi untuk membuat jalan makan di perut. Melalui jalan makan itu, susu disuntikkan setiap 1,5 jam tiap hari.

Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam.

Pernah suatu ketika Fariz meminta makan karena melihat kakak-kakanya menyantap makan siang. Akhirnya, Winarni mengizinkan Fariz menjilat makanan. “Jangan ditelan ya, Nak,” kata Winarni.

Winarni menuturkan, kalau sampai ada makanan atau cairan yang masuk ke tenggorokan anaknya, efek yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya karena benda itu bisa masuk ke organ tubuh lainnya.

Fariz pernah dirawat di RSCM selama tiga bulan. Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam. “Ketika itu, perawat tidak ada yang mau mengambil risiko karena kalau memompa jantung terlalu kencang bisa mengakibatkan jantungnya pecah. Kalau terlalu lambat, paru-paru pecah. Akhirnya saya sebagai ibu memompa jantung anak saya dengan tangan saya sendiri,” ujarnya.

Berita di Kompas saat Winarni juara dunia angkat besi pada 1997, terbit pada edisi 8 Desember 1997, halaman 16.

Keterbatasan biaya membuat Winarni kesulitan mengobati anaknya. Ketika Fariz menjalani operasi, Winarni dan suaminya harus tidur di emperan rumah sakit selama tiga bulan karena tak mampu menyewa kamar untuk bermalam. Setiap hari Winarni kepanasan dan kehujanan demi menantikan kesembuhan anaknya.

Winarni menceritakan kisah itu sambil terus terus-terusan menangis. Saya sampai harus mematikan perekam suara beberapa kali untuk menenangkan dia. Kata Winarni, dia tidak pernah menceritakan kondisi anaknya secara detail kepada orang lain, apalagi sampai diwawancarai seorang jurnalis. “Tetapi, beban ini tidak bisa saya tanggung sendirian,” kata Winarni.

Ketika mewawancarai narasumber, sebenarnya saya mudah tersentuh. Namun, kedalaman kesedihan Winarni membuat saya hanya bisa berdiam diri. Saya teringat keponakan saya yang berusia delapan bulan. Tidak tega rasanya membayangkan seorang bocah harus melalui perjuangan hidup yang begitu berat. Cerita Winarni juga membuat saya berkaca pada diri sendiri. Ketika setiap hari saya bisa menikmati kelezatan makan dan minum, ada anak yang tak bisa menelan setetes pun ASI.

Winarni mengatakan, ketika dirinya masih menjadi atlet, ibunya selalu berdoa siang dan malam agar dirinya menjadi juara dunia. “Sekarang saya sudah menjadi juara. Sekarang saatnya saya berdoa siang dan malam dan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Fariz,” kata dia.

Keesokan harinya, saya kembali ke pelatnas angkat besi. Saya masih melihat Winarni menangis dan saya kembali berusaha menenangkannya. Saya sampaikan bahwa saya memerlukan data-data pendukung. Namun, karena ini berkaitan dengan istilah medis, saya perlu Winarni menjelaskan secara rinci. “Saya mohon Ibu Winarni jangan menangis dulu, yaa. Penjelasan Ibu sangat penting untuk tulisan ini,” kata saya.

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, saya baru berani menulis kisah Winarni dengan judul: “Mantan Atlet Angkat Besi: Juara Dunia Berjuang demi Kesembuhan Anak”. Tulisan itu dimuat di Kompas, Minggu (29/7/2018).

Siapa sangka, setelah dimuat, tulisan tersebut ramai dibicarakan warganet. Melalui Twitter, foto kliping tulisan itu dibagikan oleh penulis dan konsultan kreatif Maman Suherman. Dalam cuitannya, Maman menuliskan pada kolom komentar, ”Pak Presiden @jokowi, Pak Menpora @KEMENPORA_RI, bisakah mantan juara dunia dan peraih perunggu Olimpiade Sydney 2000 ini dibantu? Terimakasih. @hariankompas”. Cuitan tersebut telah dibagikan ulang hingga lebih dari 2.000 kali, disukai lebih dari 1.000 orang, serta mendapat komentar dari ratusan warganet.

Pada Minggu siang, Media Relation dari platform penggalangan dana digital Kitabisa.com, Alvi Anugerah, menghubungi saya. Alvi menyampaikan bahwa Maman Suherman berencana membuat penggalangan dana untuk Winarni dan anaknya Fariz. Hal itu dilakukan karena banyak warganet yang tertarik untuk membantu, salah satunya dari mantan Wakil Menteri Perdagangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II Bayu Krisnamurthi.

Pada hari yang sama, halaman penggalangan dana pun diluncurkan. Kurang dari dua hari, penggalangan dana sudah menembus Rp 100.000.000 dari target Rp 300.000.000. Dalam satu pekan, atau pada Rabu (8/8/2018) pukul 12.00, donasi terkumpul melalui http://kitabisa.com/atletangkatbesi mencapai Rp 267.537.523 dari 1.388 donatur.

Masyarakat urunan membantu, mulai dari yang nilainya puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Masyarakat juga membantu dengan menyebarkan link donasi sehingga aksi penggalangan dana semakin tersebar. Di antara masyarakat yang menolong ada juga penyanyi Raisa.

Donasi untuk Winarni yang terkumpul pada https://kitabisa.com/atletangkatbesi itu belum termasuk bantuan dari PT Toyota Astra Motor yang menyumbang Rp 80 juta dengan cara membeli foto ”Ajang Pacu Jawi” karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, saat lelang foto pada pembukaan Festival Fotografi Kompas (FFK) di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (31/7/2018) malam. Dato Sri Tahir dari Mayapada Group juga menyumbang Rp 50 juta. Winarni juga mendapat bantuan Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta, serta dari pengunjung festival Rp 4,27 juta dan 100 dollar AS.

Di luar bantuan donasi, beberapa warganet berencana mengunjungi Fariz saat bocah itu dioperasi. Ada juga masyarakat yang menghubungi untuk mengajak Winarni masuk dalam supporting group WhatsApp, yang berisikan 21 orang tua dengan anak yangterlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus. “Melalui grup ini, kami saling mendukung untuk memberikan kekuatan mental kepada orang tua dengan anak-anak hebat,” kata salah satu anggota grup.

Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria.

Mendapat berbagai uluran bantuan dari masyarakat, Winarni merasa sangat bahagia. “Beberapa hari lalu saya bingung bagaimana membeli susu untuk Fariz, tetapi sekarang masyarakat banyak membantu. Dulu, saya juga merasa sendirian, tetapi sekarang banyak teman-teman yang datang memberi dukungan,” katanya.

Pada Selasa (7/8/2018) kemarin, Fariz dibawa dengan menggunakan kapal laut dari Lampung ke Jakarta untuk konsultasi dengan dokter anak, dokter nutrisi, dan dokter bedah di RSCM dan RSPI. Rencananya, apabila kondisi Fariz stabil, bocah itu akan segera dioperasi untuk menarik usus besar dari ke tenggorokan sebagai jalur makan.

Winarni mengatakan, bantuan masyarakat membuat Fariz lebih ceria. “Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria. Setiap hari dia berlarian dan mudah tertawa. Sepertinya Fariz tahu sebagian beban orang tuanya sudah terangkat sehingga hal itu mempengaruhi mood Fariz,” kata Winarni.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi bediri di samping foto karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, yang dilelang untuk membantu Winarni, Selasa (31/7/2018). (KOMPAS/FRANSISKUS WISNU W DANY)

Maman Suherman mengatakan, bantuan yang mengalir untuk Winarni tidak lepas dari kekuatan pena yang telah menggerakkan hati manusia. “Terimakasih, dirimu sudah menjadi pembuka jalan. Kekuatan pena….” tulis Maman Suherman melalui pesan WhatsApp, pekan lalu.

Maman mengatakan, ini merupakan pertama kali dirinya menjadi inisiator penggalangan dana. “Saya terdorong oleh berita di Kompas,” katanya. Duta Literasi Iluni UI dan Sahabat Literasi Kemendikbud ini mengatakan, Indonesia berutang budi dan rasa terhadap Winarni. “Berkat perjuangan Winarni dulu kita merasa bangga mempunyai juara dunia pertama untuk Indonesia. Sekarang, biarkan kita berjuang untuk Winarni,” kata Maman.

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, penggalangan dana untuk Winarni dilakukan sebagai respons terhadap pemberitaan Kompas pada Minggu (29/7/2018). Setelah berita mengenai perjuangan Winarni dan anaknya dimuat, masyarakat tergerak untuk berdonasi. ”Jurnalisme tidak hanya bertugas membagikan informasi, tetapi juga harus mampu menggerakkan hati orang lain. Membangkitkan empati dan solidaritas,” ujar Budiman, Selasa malam, dalam pembukaan Festival Fotografi Kompas.

Sebagai jurnalis yang memberitakan kisah ini, muncul perasaan bahagia. Saya tersentuh karena sebuah tulisan ternyata bisa menjadi jalan dan menggerakkan hati manusia. Saya juga sadar, sebuah kebaikan bisa menular pada kebaikan-kebaikan selanjutnya.

Saya teringat Winarni sudah hampir putus harapan. Tetapi, masyarakat datang memberi pertolongan. Uluran tangan masyarakat telah menumbuhkan kembali harapan bagi Winarni dan keluarga.

(Tulisan ini dimuat di https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/09/ketika-kekuatan-pena-menggerakkan-hati-manusia/ tanggal 9 Agustus 2018)

 

Keterangan cover:

Winarni, lifter juara dunia angkat besi 1997 dan peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 (kiri) menerima bantuan dari hasil lelang foto dari Executive General Manager PT Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto senilai Rp 80 juta disaksikan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot S Dewabroto (kanan) pada penutupan acara Festival Fotografi Kompas Sportscapes di Bentara Budaya Jakarta, Minggu (5/8/2018) malam. Selain itu, Winarni juga menerima bantuan untuk pengobatan putranya Achmad Fariz Taufik dari filantropis Datuk Sri Tahir senilai Rp 50 juta, Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta serta sumbangan dari pengunjung festival senilai Rp 4,2 juta dan 100 dollar AS. (KOMPAS/Priyombodo)

Read more

Berita mengenai dua wartawan kantor berita Reuters didakwa melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Negara saat meliput krisis Rakhine membuat saya berandai-andai menjadi orang tua atau keluarga yang menghadapi kenyataan mempunyai anak seorang jurnalis yang harus diadili.

Hati saya pasti akan hancur ketika melihat orang terkasih digelandang memasuki mobil tahanan seusai sidang, dan dibawa kembali ke penjara.

Peristiwa yang terjadi di Yangon, Myanmar, itu membuat saya sadar, konsekuensi atau tantangan berprofesi menjadi jurnalis tak hanya dirasakan sang jurnalis, tetapi juga berdampak kepada orang-orang terdekat, seperti orang tua, suami, istri, dan anak-anak.

Saya masih ingat, ketika menulis berita sensitif tetang tentara yang mencoba mengarahkan preferensi warga dalam pemilu, berhari-hari ayah tidak bisa tidur sebelum memastikan saya pulang ke rumah dengan selamat. Mengingat efek berita itu cukup besar, yaitu sejumlah tentara dimutasi, ada pula yang turun pangkat, ayah khawatir dengan keselamatan saya.

Ayah takut, orang yang merasa dirugikan dengan berita tersebut nekat melakukan hal-hal yang mengancam keselamatan saya. Fakta bahwa saya lahir dari keluarga militer, rupanya tidak membuat orang tua merasa anaknya akan baik-baik saja menjalankan profesi ini.

Kembali ke berita mengenai wartawan yang didakwa, salah satu jurnalis, Wa Lone, mengatakan, “Mereka menangkap dan menindak kami karena berusaha mengungkap kebenaran.”

Saya jadi ingat kata-katanya George Orwell, “Journalism is printing what someone else does not wanted printed: everything else is public relation.”

Tugas utama jurnalis adalah mengungkap kebenaran. Tetapi, kebenaran itu (bagi penguasa) seringnya menyakitkan sehingga mereka akan melakukan berbagai cara untuk membungkam wartawan. Fuh!

Pernah suatu hari, salah seorang narasumber mengancam akan melapor ke pihak berwajib kalau saya tetap menulis tentang topik yang dianggapnya merugikan dia. Fakta yang saya tulis, yang saat itu saya ungkap dengan niat baik, yaitu memperjuangkan kepentingan masyarakat, rupanya menyakitkan bagi pemangku kebijakan.

Ancaman si Bapak bikin saya kesal. Ego saya melawan, tidak terima diperlakukan kasar demikan. “Silakan saja Bapak melapor. Pekerjaan saya dilindungi Undang-undang,” kata saya, sambil menahan keinginan ngejambak orang.

Ketika menonton The Post, saya kembali diingatkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Hal sesuai dengan sembilan elemen jurnalisme yang pernah dituturkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dalam buku The Elements of Journalism (2001).

Dalam The Post, sikap mematuhi kewajiban pada kebenaran ditunjukkan Pemimpin Redaksi The Washington Post Ben Bradlee (Tom Hanks) dengan berkeras menerbitkan tulisan tentang Pentagon Papers, meski taruhannya sangat besar. Dasar penulisan adalah dari salinan dokumen yang didapatkan seorang wartawannya. “Kita tidak bisa membiarkan pemerintah mendikte liputan hanya karena mereka tidak suka dengan apa yang kita tulis tentang mereka,” katanya.

Sooo… buat HEY KAMO PARA NARSUM YANG SUKA RESEK, MARAH2, KARENA MALU AIBNYA DIBONGKAR, CUMA ADA SATU KATA BUAT KAMO… BHAAYY!

Film The Post juga mengingatkan bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Meski pemilik surat kabar The Washington Post, Katherine ”Kay” Graham (Merryl Streep), dekat dengan para penguasa, tetapi keberpihakannya kepada “wong cilik” tak perlu diragukan lagi.

Keberpihakan itu mengandung konsekuensi perusahaan media yang dirintisnya akan bangkrut, karena bisa jadi para pemilik saham itu menarik investasi yang sudah ditanamkan. Menurut saya, situasi tersebut menjadi tantangan sesungguhnya di industri media zaman now, ketika banyak situasi yang menghadap-hadapkan idealisme vs realita, idealisme vs pragmatisme, idealisme vs… *silakan isi sendiri!

Saya terharu, ketika ada seorang perempuan asing mengucapkan terima kasih kepada Graham karena berita mengenai Pentagon Papers telah memberikan harapan untuk keluarganya. Ciyusaaan dehh gaiiissss, you know you did something right, when a stranger in nowhere say thank you for what you have done! Padahal, perusahaannya nyaris bangkrut looohh… tapi pemiliknya tetap memilih untuk melayani warga! *tepuk tangaaaaaaaannn!!!

Sebagai jurnalis, rasa bangga dan haru paling besar memang ketika perjuangan wawancara narsum, ngublek-ngublek data, nulis panjang lebar, berbuah tulisan dimuat dan mendapat respons positif dari pembaca. But, bekerja sebagai jurnalis, sebenarnya tidak selalu se-gagah itu… Hahahahaa…

Ada kalanya, saya justru merasa apa yang saya kerjakan ini sia-sia. Kesia-siaan itu tercipta karena beragam alasan, mulai dari tulisan ditolak di ruang redaksi, merasa ide kurang diakomodir, atau ketika tulisan mendapat banyak kritik, atau sedang kurang puas dengan hasil tulisan, entah karena ada data yang kurang, atau kurang akurat, taapiiii kaaaannn kalau pas baper, ada aja perasaan ingin gebuk2 aspal! 🙁

Lagi-lagi, menjelang berakhirknya film, The Post menjawab kegalauan saya, dengan kalimat: “Kita memang tidak selalu melakukannya dengan benar. Kita tidak selalu sempurna,… tetapi ku pikir, kita bisa adil. Bukankah memang itu tugasnya (jurnalis)…”

 

Cikole, 27 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie

Read more

Ketika saya berumur 10 tahun, seorang supir angkot meletakkan tangannya di atas paha saya. Di dalam angkot yang penuh sesak, melintas di jalanan yang padat merayap, dia mengatakan tubuh saya bagus. Saya tidak ingat menjawab apa. Yang saya ingat, sejak saat itu saya ogah duduk di bagian depan angkot. Saya trauma. Bagi saya, semua supir angkot sama busuknya dengan dia.

Ketika saya SMA, dalam perjalanan naik sepeda menuju ke gereja pagi, seorang pria meremas payudara saya. Dia mengendarai sepeda motor dan sengaja memepet sepeda saya untuk memegang payudara. Seketika saya berteriak: “BAJINGAN!” Saya berusaha mengejar dia, ingin rasanya menonjok mukanya. Tetapi, sepeda saya melaju lambat. Terlalu lambat untuk mengejar motor itu.

Sepanjang misa pagi itu, konsentrasi saya buyar. Yang ada di kepala hanya bayangan ciri-ciri fisik si bajingan. Kurus. Kecil. Memakai baju serba hitam. Memakai tas selempang. Saya berusaha mengingat-ingat fisiknya, saya berjanji dalam diri saya untuk menemukan dia dan menghajar dia sampai babak belur.

Saya marah luar biasa. Berkali-kali mengumpat: “Bajingan! bajingan!” Apa salah saya. Saya memakai baju tertutup, jaket tebal dengan kupluk. Tetapi masih menjadi korban pelecehan seksual. Saya trauma. Setiap kali ketemu orang yang mirip si bajingan, langsung saya samperin dan saya introgasi. Sampai-sampai saya mencurigai teman saya sendiri.

“Sumpaah gue gak lewat Jalan Godean pagi-pagi! Lo tahu rumah gue dimana, dan jam segitu gue belum bangun. Ngapain juga gue lewat Godean,” kata teman saya, ketika saya mengutarakan bahwa saya mencurigai dia sebagai pelaku kejahatan seksual semata-mata karena punya kemiripan ciri fisik.

Peristiwa pelecehan seksual ternyata terus berulang, sejak saya sekolah, kuliah, hingga sekarang bekerja. Saya bukan satu-satunya korban. Dari banyak curhatan teman, saya rangkum bahwa pelecehan seksual terjadi dengan berbagai modus, mulai dari lirikan mata, bersiul saat ada cewek dengan rok mini melintas, mengeluarkan kata-kata jorok, hingga melakukan sentuhan fisik.

Ini menimpa perempuan yang emang hobi pakai baju kekurangan bahan, sampai perempuan hijabers. Pelecehan menimpa korban, nggak peduli lo anak tentara, anak ustad, hobi clubbing, hobi manjat tebing, atau rajin menabung atau mengaji. Lokasinya mulai dari di rumah, sekolah, rumah sakit, pinggir jalan, kantor pemerintahan, warung, restaurant, hingga tempat bekerja. Tanpa disadari, eksploitasi tubuh perempuan dan pelecehan seksual juga kerap terjadi pada hubungan dekat, seperti pacaran atau rumah tangga.

Saya kesal, kenapa pelecehan seksual terjadi dan terus berulang. Pelecehan bahkan terjadi di ruang kerja yang isinya para profesional. Pelecehan seksual yang terjadi di ruang kerja, sangat membuat tidak nyaman karena sebagian besar kaum milenials menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja.

Saya baru sadar, pelecehan seksual yang terjadi berulang merupakan hasil dari pembiaran. Ya, PEMBIARAN. Saya membiarkan supir angkot memegang paha saya tanpa saya melapor ke orang tua. Saya membiarkan orang asing meremas payudara saya dan tidak melaporkan peristiwa itu ke pihak berwajib. Saya membiarkan orang-orang terdekat saya, seperti atasan, teman kuliah, teman sekolah, dan rekan kerja melontarkan komentar-komentar yang seksis. Menyampaikan jokes-jokes murahan yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Membiarkan meme atau gambar-gambar cewek berpayu dara besar, berbokong besar, tersebar melalui grup-grup chatting. Anggota grup tertawa. Sebagian merasa tidak nyaman, dan memilih bisa diam saja. Worst of the worst is, saya pernah membiarkan pacar saya menindas dengan kata-kata dan perbuatan. (Thanks god, saya sudah putus! Dn saya tidak mau perilaku abbusive terulang lagi).

Pembiaran itu terjadi karena banyak sebab, mulai dari malu, males atau repot lapor sana-sini, tidak terbiasa berkonfrontasi, ogah berdebat, atau pembiaran terjadi sederhana karena pmbiaran itu sendiri. Eksploitasi tubuh perempuan yang direproduksi secara terus-menerus, melalui obrolan antar tetangga atau group chatting, diskusi di sosial media hingga konten di media mainstream, membuat kita semua berpikir, bahwa eksploitasi tubuh perempuan sudah biasa dan sah-sah saja terjadi. Saya ingat bangets ketika kaum fesbukers banyak yang share soal Jilboobs alias cewek-cewek berpayudara besar yang memakai jilbab, dan mendiskreditkan perempuan, berapa banyak dari kita yang bereaksi terhadap kelakuan para netizen?? Kebanyakan dari kita ikut-ikutan menyalahkan si perempuan yang menurut saya punya otoritas atas tubuh dan penampilannya!!

Lama-lama kita mengamini, tubuh perempuan memang selayaknya jadi bahan tontonan, tertawaan. Kemudian peristiwa pelecehan seksual dianggap sebagai kewajaran, hal yang biasa-biasa terjadi. Kita pun lupa, bahwa perempuan punya hasrat, keinginan, passion, yang bisa menggerakkan dia melakukan apapun yang dia inginkan. Pergi kemanapun yang dia mau. Mencapai apapun yang dia inginkan! Bukannya malah menjadi objek birahi para lelaki!

Sadar nggak yaa… bapak-bapak atau om-om yang di kantor atau di mana pun mereka berada, saat mereka melontarkan jokes-jokes seksis kepada rekan kerja atau bawahan, bisa jadi anak perempuan mereka sedang berkutat dengan trauma karena pas berangkat sekolah ada cowok yang meremas bokong mereka di jalanan, atau ada cowok menempelkan penis ke bagian tubuh si anak perempuan saat sedang naik bus transjakarta. Atau mungkin juga si anak perempuan sedang berkutat dengan trauma katena pacar mereka memaksa berhubungan seksual.

Ketika saya menemani sahabat saya Caron Toshiko membaca karya cerpen di acara “Pekan Seni Melawan Kekerasan Seksual” di AOA Space, Yogyakarta, pembicara diskusi Angela mengatakan, kekerasan seksual terjadi karena eksploitasi tubuh perempuan secara simbolik direproduksi terus-menerus, melalui bacaan, tontonan televisi, dan sebagainya. “Untuk itu, perlawanan kekerasan seksual juga harus dilakukan secara simbolik,” katanya.

Memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual untuk anak-anak, membuka ruang-ruang diskusi, menyelenggarakan pameran lukisan atau pamerah foto tentang gerakan anti kekerasan seksusal, atau menulis blog di rambutkriwil.com (hehehe) adalah bentuk perlawanan terhadap kejahatan seksual.

Saya memang gak bisa setiap hari protes atau menegur teman atau orang-orang dekat saya yang sering mengeksploitasi tubuh perempuan, saya cuma bisa berharap para pelaku kejahatan seksual itu baca tulisan ini. Berharap juga, teman-teman yang pernah menjadi korban kejahatan seksual sadar: “You’ll never walk alone.”

Tulisan ini nggak jamin para pelaku kejahatan seksual itu tobat. Mau membaca tulisan ini atau berdiskusi soal kejahatan seksual saja sudah bagus. Karena saya ingat, salah seorang aktivis perempuan pernah berkata, orang-orang patriarki yang percaya laki-laki punya otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda, selalu gatel, resah, dan ogah membicarakan isu-isu perempuan dan kejahatan seksual. So, minimal para pelaku kejahatan seksual  itu sadar dulu deehhh, “yang lo lakukan itu JAHAT.”

 

Yogyakarta, 17 Oktober 2017

Denty Piawai Nastitie

 

Tentang foto: Anak-anak bermain ayunan di Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) Bahari, Jakarta Selatan, Selasa (23/6). Anak-anak adalah masa depan bangsa. Lindungi mereka agar tidak mengalami kejahatan seksual. (Betewe, dengar-dengan RPTRA mau dihapuskan era Anies-Sandi yaaa? Padahal anak punya hak untuk memiliki ruang bermain dan berinteraksi. T.T)

Read more