Personal Thought

Suatu hari, seorang senior melihat saya makan sendirian di kantin kantor. “Sendirian saja?” katanya. Saya mengangguk, sambil meringis. Udah tahu sendiri, pakai tanya. Kata saya di dalam hati.

“Kamu berani yaa makan sendirian? Kalau saya tidak akan berani makan sendirian di tempat umum. Lebih baik membeli makanan untuk dibungkus dan dibawa pulang, daripada makan sendirian di ruang terbuka umum,” katanya.

Saya cuma bengong, sambil celingak-celinguk. Kayaknya gak ada yang salah deh. Belum sempat saya merespons, senior itu pergi ke meja sebelah, makan rame-rame dengan teman-temanya.

Saya nggak pernah masalah makan sendirian. Jalan sendirian. Nonton bioskop sendirian. Belanja sendirian. Ngebir sendirian. Berenang sendirian. Jogging sendirian. Tetapi, bagi sebagian orang, (ternyata) kesendirian merupakan sebuah persoalan.

Seperti dia, yang heran kenapa saya mau-maunya beraktivitas sendirian, saya juga (jadi) heran ketemu orang yang merasa kesendirian itu sebagai permasalahan. Saya jadi mikir, kenapa ada orang nggak berani atau nggak nyaman beraktivitas sendirian.

Mungkin dia takut merasa kesepian atau mengalami kebosanan. Mungkin dia merasa kikuk alias mati gaya karena enggak ada orang yang bisa diajak bicara. Mungkin dia merasa takut jadi pusat perhatian trus diomongin orang: “Ih kasian tuh orang sendirian”, which is belum tentu. Emang semua orang peduli sama lo?!? Helo?!!

Buat saya, sendirian atau ramean sama-sama bukan persoalan. Intinya sih gini, kalau semisal saya mau makan, ada teman yang bisa diajak makan bareng, tentu bagus. Kalaupun enggak ada, ketidakhadirannya tak akan membuat makanan saya berubah jadi nggak enak.

Contoh lain, ketika saya nonton film di bioskop, fokus perhatian saya tentu ke layar studio. Kalau ada teman di sebelah saya, mungkin asik karena setelah nonton bisa ngebahas film yang habis ditonton, kalaupun sebelah saya kursi kosong, film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! nggak akan mendadak jadi bagus. Toh tidak semua film itu asik jadi bahan obrolan.

Contoh lain lagi, semisal saya sudah janjian jalan-jalan dengan teman, seandainya teman saya batal, bukan berarti perjalanan saya berantakan. Kalau saya bener-bener pengen jalan, saya akan tetap jalan dengan atau tanpa dia. Fokus saya adalah perjalanannya. Kehadiran orang lain memberi warna dalam perjalanan. Tetapi, tanpa kehadiran orang tersebut, dunia bukan berarti tanpa warna. (Hitam putih toh juga warna juga kan?)

Seingat saya, selama saya sedang sendiri, saya jarang sekali merasa kesepian. Selalu ada hal yang membuat saya produktif, entah itu makan, nulis, atau karaokean. Rasa kesepian justru sering menyergap saat saya sedang bersama-sama dengan orang lain.

Makanya, saya sering menghindari pertemuan-pertemuan dalam kelompok ramai, seperti reunian, kawinan, atau apalah apalah namanya itu. Males bangetss gituuu ngobrol basa-basi lalu berarkhir selfie-selfie, njuk ngopooooo…. Saya lebih suka ngobrol tentang hal biasa-biasa aja, dengan teman dekat atau teman lama, sambil menyeruput secangkir kopi seharga Rp 10 ribuan di desa terpencil.

Masih soal kesendirian, ada teman yang menjalin skandal asmara karena takut sendirian. Ada pula yang menunda perpisahan, karena takut sendirian. Apakah kesendirian yang membuat hidup seseorang tidak bermakna? Atau rasa kesepian saat bersama orang lain yang lebih menyiksa?

Suatu hari, saya bilang ke ibu saya, betapa beruntungnya saya menjadi generasi single milenials di ibu kota. Gaji utuh dipakai untuk foya-foya diri sendiri. Waktu yang terbatas bisa dipakai untuk bersantai-santai, tanpa harus dipusingkan mengurus ini-itu. Lalu ibu bilang, “Masa selamanya sendirian? Emang kamu enggak takut sendirian dan kesepian?” Saya menjawab: rasa takut menjadi sendiri itu kadang kala lebih menyeramkan dari kesendirian itu sendiri.

Kalau kata Kunto Aji, sudah terlalu asyik sendiri. Kenapa sih sendiri sering dianggap jadi sumber kesedihan?!! Bukannya sedih itu kalau lo pengen nongkrong atau makan enak tapi enggak punya duit??!! Wkkkwkk.

 

 

Semarang, 20 September 2017

Ngumpulin mood nulis berita, malah jadinya ngeblogging. :p

Foto by. Longina Narastika, Lasem, 2017

 

Salam, Denty.

Read more

Sebagai jurnalis, tidak ada yang lebih membanggakan selain bertemu dengan tokoh idola. Selain bisa bertatap muka secara langsung, sangat senang bisa berbincang-bincang dengan tokoh tersebut. Tidak jarang, malah menjadi teman dekat untuk bertukar pikiran.

Maka, ketika suatu hari saya ditugaskan meliput kejuaraan tenis dunia dan bertemu Serena Williams, hati ini berbunga-bunga. Saya menyempatkan berswa-foto dengan Serena. Saking senangnya, foto yang ada di telepon genggam saya pamerkan ke orang tua, teman-teman, keluarga.

Tetapi, tiba-tiba, foto itu hilang! Saya sedih karena bukti pertemuan dengan Serena tidak tersisa. Lebih sedih lagi, ketika saya sadar pertemuan itu hanya mimpi! Begitu bangun, saya tersadar sedang berada di kamar tidur. Tidak ada Serena Williams. Tidak ada foto-foto. Kalau kata wartawan, amsyong!! 😛

Sepanjang hari saya berpikir, kenapa yaaa…. saya bisa bermimpi bertemu dengan Serena Williams. Mungkin karena sesaat sebelum tidur saya melihat foto Serena dan Venus Williams saat bermain di AS Terbuka 2016. Mungkin karena memang saya ngefans dengan Mbak Serena, sampai kebawa mimpi. Hehe.

Perkenalan saya dengan Serena Williams terjadi belasan tahun lalu. Saat itu, saya sering tidak percaya diri punya rambut keriting dan kulit sawo matang menuju kegelapan. Ada yang bilang, saya mirip kakak beradik Serena-Venus Williams. Dibilang seperti itu, saya merasa tidak cantik. Merasa kacau. Sepertinya apa yang saya lakukan sia-sia karena sesuatu kerap hanya dari tampilan fisik.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, dan seiring mengikuti perjalanan karir Serena-Venus Williams, saya sadar, ketika kita fokus terhadap apa yang menjadi kekuatan kita, maka tampil fisik bukan lagi menjadi masalah.

Ketika musuh berhadapan dengan Serena di lapangan, yang mereka hadapi adalah Serena dengan aksi tenisnya yang luar biasa. Bukan Serena dengan warna kulitnya yang berbeda kebanyakan petenis lain di era-nya. Lagian, toh, definisi kecantikan itu apa sihh??

Serena Williams memang jagoan di lapangan tenis. Main tenisnya energik! Servisnya kenceng! Selain karena permainan di lapangan, saya suka Serena karena komentar-komentar yang dia sampaikan menunjukkan women’s empowerment.

Bagi saya, melalui prestasinya, Serena telah mendefinisi ulang pandangan-pandangan umum masyarakat yang sexist dan racist.

Serena, misalnya, menolak disebut petenis perempuan terbaik. Karena baginya, tenis bisa dilakukan siapa saja, tidak peduli kamu perempuan atau laki-laki. (Kenapa yaa, kalau Roger Frederer atau Nadal nggak pernah disebut petenis laki-laki terbaik??).

Komentar ini disampaikan saat Serena meraih kemenangan ke-307 di turnamen Grand Slam AS Terbuka 2016, menyamai rekor Frederer. ”Saya perempuan, dan saya atlet. Namun, pertama-tama saya adalah atlet,” ujar Serena, yang menggunakan momen kemenangan untuk meyakinkan para penggemarnya bahwa gender tidak ada kaitannya dengan kejayaan seseorang.

Sebagai perempuan petenis berkulit hitam, banyak orang yang sering mengolok-olok fisik Serena. Sebagian para penyerangnya bahkan sesama perempuan.

Saya sempat kesel banget lihat video seorang petenis yang ngebully fisik dia di lapangan! Tindakan itu seakan membenarkan pernyataan: “women are their own worst enemies is no new revelation.” Rasanya pengen saya tempeleng kepala tuh cewek pakai raket tenis.

Tetapi, menanggapi ejekan itu, Serena tidak down. Dia santai aja menanggapi dengan pernyataan: “My power is sexy.” Pernyataan itu melegitimasi kehebatan Serena di lapangan dan di luar lapangan. Dia tidak menanggapi penghinaan dengan kemarahan atau komentar pedas, tetapi menajadikannya kekuatan untuk semakin berprestasi.

Konflik sesama perempuan sebenarnya terjadi tidak hanya pada petenis terkenal macam Serena, pada orang-orang biasa juga kejadian. Misalnya perempuan single vs perempuan berkeluarga, perempuan bekerja vs ibu rumah tangga, perempuan menyusui vs perempuan yang anaknya nyusu pakai sufor (susu buat sapi kalau kata orang-orang). Please deeh, saatnya perempuan saling mendukung bukannya saling menjatuhkan!

Serangan untuk Serena juga datang dari para petenis-petenis uzur yang rasis. Komentar rasis muncul semakin gencar saat Serena menjalin hubungan dengan Alexis Ohanain, pendiri Reddit, pria berkulit putih. Serena menjawab komentar rasis dengan mengutip sajak Maya Angelou, “Does my sassiness upset you? Why are you beset with gloom?… You may shoot me with your words, … You may kill me with your hatefulness. But still, like air, I’ll rise.”

Serena sudah menembus banyak kendala, tetapi perjalanan menuju kesetaraan kesempatan masih panjang… Seperti kata Serena, apapun yang terjadi, jangan pernah berhenti menciptakan hal-hal positif!

Jakarta, 19 Juli 2017
Denty Piawai Nastitie
Rambutkriwil.com

Read more

Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!

Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.

Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.

Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:

1. Tentukan media incaran

Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!

Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.

Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.

Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.

2. Pahami karakteristik media

Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”

Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)

B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.

Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.

3. Kirim foto dan pahami selera editor

Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk

Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?

Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!

Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.

Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.

4. Jalin relasi dengan ruang redaksi

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!

Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.

Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!

5. Tulis, kirim, lalu move on!

Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.

Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.

Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.

Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂

Jakarta, 14 Juli 2017

Salam, Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.

Read more

“Kapan kawin?”

Siapa sih, yang enggak pernah menerima pertanyaan: “Kapan kawin?!!”

Menjelang hari lebaran begini, siap-siap ya halal-bihalal dengan sanak saudara, teman-teman lama, para tetangga, dan disambut pertanyaan serupa berulang-ulang! Kyaaakkk! Kyakkk!

Bro, sist, sama kok! Saya juga sering menerima pertanyaan “kapan kawin?”. Dua tahun lalu pernah ngobrol dengan nenek asal Amerika Serikat, dia bertanya, “Berapa usia kamu?”. Saya jawab: “25 tahun!” Lalu dia dengan entengnya bilang: “You are just a baby.” Lalu, saya bengong dong: “Di Indonesia, orang-orang mengganggap saya berusia 200 tahun!” Si nenek pirang tertawa.

Begitulaaah, seiring usia bertambah makin banyak pula pertanyaan “kapan kewong?”. Beberapa orang bertanya sambil lalu, sepertinya hanya karena iseng gak punya topik pembicaraan. Beberapa lainnya memang peduli. Banyak juga yang bertanya untuk membandingkan kebahagiaan (kalau gak mau disebut penderitaan).

Menanggapi pertanyaan itu, sering kali saya tersenyum. Sering juga tertawa (baik karena memang ingin menertawakan diri sendiri atau tertawa garing untuk basa-basi). Kadang-kadang saya bawa santai saja pertanyaan demikian karena dilontarkan seseorang yang tidak terlalu penting (so buat apa gue pusing????)

Sering juga jengkel (karena pertanyaan dilontarkan di saat kurang tepat). Kadang saya sedih. Bukan karena status saya, tetapi sedih karena kok bisa ya saya mengenal manusia berpikiran begitu dangkal yang menganggap orang lain harus menjalani kehidupan sama seperti dengannya. Perasaan-perasaan itu muncul tergantung musim (musim rambutan atau durian hahhaa #yakali), kondisi (siapa yang tanya, lokasi, aktivitas, dll), juga suasana hati.

Kalau saya lagi pengen bercanda paling saya jawab, “Kalau enggak Sabtu ya Minggu.” Bisa juga dijawab: “Emang kalau gue nikah lo mau nyumbang berapa?” atau “Tergantung kapan gedungnya kosong.” Sambil diiringi derai tawa. Kalau lagi sok bijak, saya akan mengatakan, “Never marry because time is going, marry because you are ready.”

Kalau lagi sok bijak semisensi, saya akan mengatakan, “Never marry because A DULL MAN asking you when you are going to marry, marry because you are ready.” >> biasanya setelah disemprot begitu tuh orang langsung mingkem.

Once, saya bilang ke nyokap, kenapa sih orang-orang kepo banget tanya-tanya kapan saya nikah. Kalau yang bertanya semacam orang-orang yang saya hormati seperti bude, pakde, atau bos di kantor kan saya jadi bingung harus jawab apa. Sesekali, sih, bisa saya jawab bercanda, tetapi kalau keseringan dan saya lagi males nanggepinnya bisa2 saya jawab ketus dan malah panjang urusan.

Untungnya, my mom mengerti kegundahan hati anaknya. Dia bilang sebagai manusia, saya harus bersikap baik dan ramah ke orang lain. “Beberapa orang memang seperti kurang kerjaan (kalau menurut saya kurang ajar!) tanya-tanya status, beberapa lainnya betul-betul peduli. Dia ingin mendoakan yang terbaik bagi kamu. Jadi, respons kamu ya harus baik juga,” kata my mom.

So mendengarkan masukan nyokap, saya siap tersenyum dan menjawab ramah kepada mereka yang saya hormati. Kalau ada kesempatan saya ngobrol heart to heart ke teman dekat, tentu saya akan menjawab dengan jawaban paling jujur dari dalam hati. Biasanya jawabannya panjang ha ha.

Well, pada dasarnya banyak alasan kenapa seseorang belum menikah.

1. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang

Teman saya ada yang belum menikah karena trauma. Beberapa hari sebelum pernikahan, tiba-tiba calon suaminya ketahuan selingkuh (baca tidur dengan cewek lain) di depan matanya sendiri. Ada juga yang di hari pernikahan tiba-tiba calon suaminya enggak nongol. “Hidup gue seperti runtuh. Dua tahun gue sama sekali gak keluar rumah. Gue sedih, hancur, malu,” kata teman saya.

Ada yang batal menikah karena calonnya lebih dulu dipanggil Tuhan. Sebagian orang pernah menjalin hubungan dengan pasangan posesif, pernah mengalami relationship abuse. Boleh dong kalau akhirnya lebih selektif memilih calon suami dan berpikir: “You’re better off alone than with someone who’s all wrong for you.”

Jangan anggap semua orang sama dengan Anda. Kita tidak pernah tahu masa lalu seseorang. Lo gak pernah tahu masa lalu gue. Stop asking, stop judging, if you are thinking everybody should live the life in your own way.

2. Punya cita-cita lain

Kapan itu ada teman yang tanya, “Lo galau ya makanya solo travel terus?”. Saya ngakak. Saya baru sadar, “Ada ya orang yang mikir gua traveling karena galau?”. Saya mah galau setiap waktu dan tidak mungkin spending money untuk traveling hanya karena galau. Travel expenses saya mahal booo bisa tekor sayaaa kalau setiap galau traveling :p :p

Sebagian orang suka buang-buang uang untuk belanja, investasi, mabok-mabokan. Dan saya suka spending money untuk traveling. Sesederhana itu.

Saya berencana solo travel naik Transsiberian menuju Rusia. Saya berencana ke Nepal, menyusuri jalur Santiago de Compostela, keliling Asia, terutama India, Pakistan, Uzbekistan, dan negara-negara tan lainnya (kebetulan skripsi S1 saya tentang kehidupan perempuan-perempuan Pakistan, jadi ingin mengunjungi tempat itu suatu hari nanti).

Selama ini saya membayangkan betapa gagahnya trip around the world seorang diri. Selain pengen traveling, saya juga pengen kuliah S2, pengen belajar Bahasa Jepang, pengen kerja sosial tanpa dibayar di beberapa daerah di Tanah Air dan di luar negeri.

Balik lagi ke pertanyaan, “Kapan lo kawin?” Adakah seseorang di luar sana yang akan bertanya: “Kapan kamu pensiun dini untuk solo travel keliling dunia?” Hahahahhahaa! Langsung cium tangaaannn kalau ada orang tanya seperti itu! 🙂

3. Hidup itu pelik

Most of my friends are men. Mereka santai aja nunjukin foto selingkuhan. Ada beberapa teman yang setelah beberapa tahun menikah baru sadar memilih orang yang kurang tepat. Lalu tersiksa dalam hubungan pernikahan.

Beberapa teman sadar mempunya anak untuk mengisi kekosongan. Lalu pusing karena gaji gak seberapa kebutuhan untuk anak tinggi, lalu mulai korupsi sana-sini. Atau punya anak, gaji tinggi, lalu menitipkan anak ke pembantu dan hanya ketemu anak dua jam per hari sampai-sampai anaknya mulai gak kenal orang tua.

Hidup single memang pelik brohh, tapi situ hidup dalam pernikahan juga pelik kan yaaa… banyak masalah juga kan yaaa…. Daripada ngurusin saya, mending urus kehidupan Anda! 🙂

4. Belum siap

Banyak yang bilang, “Kalau menikah ditunggu kapan siapnya, ya gak akan pernah siap.”

Kesiapan pernikahan itu menyangkut emosi, sosial, finansial, intelektual, dan lain-lain. Kesiapan pasangan juga penting. Gak mau kan hidup berakhir seperti almarhum Catharina, korban pembunuhan oleh calon suaminya. Baca-baca di berita online, calon suami korban tidak siap memenuhi kebutuhan pernikahan lalu membunuh pasangannya.

Sedih deh kalau ada yang berpikiran menikah itu tidak harus menunggu siap. Kenapa? Karena pernikahan itu tidak hanya soal selebrasi hari-h, konsep pernikahan setelahnya juga penting. Pernikahan tanpa kesiapan itu terlalu riskan. Mereka yang menikah muda rentan mengalami KDRT karena emosi pasangannya masih labil. Teman-teman saya yang menikah muda pun mengalami hal serupa. Beberapa teman kerepotan dengan biaya hidup yang meningkat. Sebagian teman lain merasa mimpi-mimpi mudanya terkubur karena harus menjalani peran sebagai suami/istri. So, bagi saya kesiapan itu penting bingitsss… sekali memutuskan menikah, ya jangan menyesali keputusan.

Saya tidak anti pernikahan, balik lagi kalau ada yang bertanya: “Kapan kawin?” Maka jawabannya adalah: “Ehh… tanya apa barusan? Apaaa? Apaaaa?” *pura-pura gak dengar sambil ngeloyor pergi…. Wkwkwkwkwkkk

 

Jakarta, 20 Juni 2017

Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Read more

Belakangan ini saya terpancing sering kepo tentang Marrisa Haque. Semua berawal dari rasa penasaran, kenapa dia bisa dibully habis-habisan oleh netizen, sampai suami dan anak-anaknya terbawa jadi sasaran komentar pedas penghuni dunia maya.

Saking kurang kerjaannya, saya mengamati hampir semua postingan Marrisa Haque di linimasa, seperti Twitter dan Instagram. Beberapa postingan emang super nggak penting (sebutlah postingan yang berkaitan dengan menantu mantanya Om Ikang Fauzi :p)… Ibaratnya nih, Marrisa Haque nyalain korek, netizen nyiram minyak. Jadilah dunia mayaaa panasss terbakar… Hehhee.

Tetapi, di postingan ini, saya gak akan bahas gosip. Biar itu jadi makanan Lambeturah! 😀 Ada hal lain yang menarik perhatian, yaitu cuitan hoax yang disebarkan Marrisa Haque di Twitter. Hoax yang disebarkan seolah berasal dari situs ternama, yaitu CNN Indonesia. Dalam tulisan tersebut, pemilik Lucky Florist kecewa karena karangan bunga yang dikirim pendukung Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ke Balai Kota (terkait dengan Pilkada DKI) belum lunas.

Setelah cuitan tersebar, nitizen mencak-mencak! Apalagi beberapa waktu kemudian ada klarifikasi dari Lucky Florist dan situs resmi CNN Indonesia bahwa yang disebarkan Marrisa Haque kabar bohong alias HOAX.

“@HaqueMarissa Gelar doktor, hajjah Tapi dgn bangga nyebar berita hoax yg fitnah. Bukti kedengkian mengikis habis kecerdasan,” tulis @MurtadhaOne.

“@HaqueMarissa Bu saya aja yang baru kelar S1 tau itu cuma editan… ah ibu mah, malu atuh sama gelar :)) #AdaAqua,” kicau @gittung.

Baca postingan Marrisa Haque, komentar-komentar di sosial media, berita-berita follow up yang menjadi viral, membuat saya teringat ibu saya. Membayangkan Marrisa Haque sebagai ibu kandung, saya pasti kesel dan malu setengah mati. Ya, kesel karena punya ibu yang mudah termakan hoax, ya juga kesel dengan reaksi netizen yang mencaci-maki dengan cara blangsatan seperti itu.

Nggak usah jauh-jauh ke Marrisa Haque, kalau ibu saya share informasi menyesatkan via Whatssapp saja saya suka merasa: harus menarik nafas panjang sambil berkata: “Harap bersabar, ini ujian”. Hoax yang disebar beragam, mulai dari kriminalitas, ekonomi, hingga sentimen agama. Sering sekali saya mengingatkan ibu: “Sudah deh mam, itu kan hoax. Nggak usah disebar!”

“Iya, tapi kan mama gak tau itu fakta atau bohong.” jawab mama.

“Karena belum tahu kebenarannya, makanya dicek dulu. Minimal, tidak perlu di-share…”

Mama menggangguk. Lalu beberapa hari kemudian, melakukan hal yang sama. Huffhhh!! ZZZ.

Hoax juga disebar teman baik saya via Facebook. Dia menyebarkan link, yang isi tulisannya seolah-olah ada ulama yang dipukulin sampai berdarah-darah saat aksi 411 bergulir. Saya buka link itu, ternyata berita berasal dari media sapi-sapian (you know what laaa). Tanpa perlu baca judul atau isi tulisannya, saya sudah tahu bahwa artikel itu provokatif dan belum tentu benar.

Saya langsung tulis komentar: “Tulisan itu belum tentu benar. Kalau belum tentu benar, jangan disebarkan karena sangat berpotensi membuat masyarakat panik, khawatir, dan terpecah-belah.”

Kira-kira 10 menit kemudian, saya lihat di halaman FB teman saya, link itu sudah dihapus. Dia lalu menulis status baru, bahwa tulisan itu ternyata hoax, sekaligus minta maaf ke netizen karena sudah menyebarkan kabar bohong. Fuuhhh… Heran aja gitu, link itu disebarkan teman saya, lulusan kampus negeri top, pernah dapat beasiswa ke luar negeri, dan anaknya dosen.

Berita hoax juga disebar beberapa teman kuliah via Facebook, Path, Twitter, grup Whatsapp, hingga beberapa kanal jaringan pribadi. Untuk mendamaikan hati dan pikiran, saya terpaksa keluar dari sejumlah grup Whatsapp yang isinya sangat partisan. Saya tidak ingin perselisihan terjadi di antara lingkungan sosial sehari-hari. Pengalaman serupa ternyata juga dialami beberapa teman saya. Mereka terpaksa keluar dari grup Whatsapp, unfollow dan unfriend beberapa kawan di media sosial yang sering menyebarkan kabar bohong untuk mencegah peperangan terjadi.

Singkatnya, apa yang dilakukan Marrisa Haque itu… JAHAP sebenarnya sering juga dilakukan orang lain, di sekitar kita…. seperti ibu, ayah, pakde, bude, teman, tetangga, gebetan, selingkuhan.. (eh!). Mereka kita kini memanfaatkan media sosial tidak hanya untuk menjalin komunikasi dengan sesama pengguna, tetapi juga untuk menyebarkan informasi. Kenyataannya, tidak semua orang berbagi informasi yang benar berdasarkan fakta.

Kalau kata Isabella Fawzi, anaknya Marrisa Haque, “Saya tidak bisa memilih terlahir dari orang tua seperti apa, tetapi kami bisa memilih ingin jadi orang seperti apa.”

Kita memang tidak bisa memilih lahir di era prasejarah, zaman pencerahan, atau digital lyf, tetapi kita bisa memilih ingin menjadi generasi milenials ngehe seperti apa. Membaca artikel dengan nada meresahkan itu membuat mata, kuping, dan hati panas, dab! Karena jarimu adalah harimaumu, saring sebelum sharing ya, dan jangan lupa perbanyak piknik!

Jakarta, 17 Mei 2017

Salam, Denty.

rambutkriwil.com

 

Keterangan foto: Di era teknologi dan banjir informasi, duduk di pagi hari sambil membaca koran atau sumber lain yang terpercaya adalah sebuah kemewahan. Foto diambil di Jalan Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, Februari 2017. (@Denty Piawai Nastitie)

Read more