Published Works

Penghilangan paksa oleh negara bukan sekadar peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang telah menghapus jejak seseorang dari kehidupan, tetapi juga menghapus arah bagi keluarga yang ditinggalkan. Di balik setiap nama yang dihilangkan secara paksa, terdapat perempuan-perempuan yang terus mencari dan menunggu anggota keluarga yang hilang agar segera pulang. Mereka juga berjuang agar dapat melanjutkan kehidupan.

Nurhayati (59) masih membawa kenangan tentang ayahnya, Bachtiar, yang tak pernah pulang setelah peristiwa kerusuhan pecah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Dokumen Komnas HAM menyebutkan, tragedi Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu luka terdalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam tragedi itu, sebanyak 79 orang menjadi korban, 55 korban luka dan 23 meninggal.

Saat terjadi, Nurhayati masih berusia 19 tahun. Malam itu, ia mendengar letusan senjata api di sekitar rumahnya. Banyak orang berlari untuk menyelamatkan diri. Rumah-rumah dibakar oleh orang tak dikenal. Keesokan harinya, Nurhayati berusaha mencari sang ayah yang sejak malam tidak terdengar kabarnya. Namun, pencariannya tak membuahkan hasil. Hingga kini, ia tak pernah lagi bertemu ayahnya.

Kehilangan sang ayah meninggalkan trauma, mengubah arah hidup, sekaligus membawa stigma berkepanjangan bagi Nurhayati dan keluarganya. Sang ibunda, yang kala itu kerap diteror dan diintai aparat tak dikenal, terpaksa menjual rumah dan melarikan diri ke Padang. ”Orang datang, tanya ’Bapak di mana’, entah siapa. Ibu jadi trauma,” kenang Nurhayati, dalam Diskusi dan Pernyataan Bersama Kongres ”Perempuan dalam Penghilangan Paksa di Indonesia” di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Pengungsian itu bukan akhir dari penderitaan. Di tanah kelahiran, keluarga Nurhayati justru menghadapi stigma dan penolakan dari keluarga dan kerabat. Dalam situasi keluarga yang kehilangan figur ayah, ibunda Nurhayati harus menjadi tulang punggung sekaligus pencari keadilan dengan mencari suaminya yang hilang. Demi bertahan hidup, sang ibu harus bekerja serabutan, seperti menjadi asisten rumah tangga.

Adapun bagi Nurhayati, penghilangan paksa ayahnya berarti juga hilangnya kesempatannya untuk menjalani hidup normal. Sesaat setelah peristiwa terjadi, beasiswa pendidikan Nurhayati dicabut dan ia sulit dapat pekerjaan. Cap sebagai ”Lulusan Tanjung Priok” terus melekat seperti kutukan. ”Sudah lima kali tes kerja, tapi begitu dilihat ijazah saya dari Tanjung Priok, langsung ditolak,” katanya.

Tak hanya mengalami stigma dan diskriminasi, penghilangan paksa anggota keluarga dalam tragedi kelam juga menciptakan trauma lintas generasi dan mengakar dalam dalam ingatan kolektif keluarga. Perasaan trauma dan takut berbicara dengan orang asing, hingga sikap menutup diri jamak ditemui di antara keluarga korban. ”Dulu ngomong aja takut, kalau ngomong salah takut kami kami diculik,” ujarnya.

Adapun bagi Nur Aini (50), kehidupannya berubah total sejak 1991. Saat itu, usianya belum genap 20 tahun ketika ayahnya dihilangkan secara paksa di tengah konflik antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejak hari itu, ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa mendadak menjadi segalanya, yakni mencari suami yang tak pernah kembali, menjadi tulang punggung keluarga bagi sembilan anak yang harus bertahan hidup, dan menerima stigma dan diskriminasi dari tetangga dan keluarga.

”Saya melihat ibu saya harus kuat di depan anak-anak, padahal batinnya tidak kuat. Dia menangis diam-diam, lalu besoknya bangun lagi untuk bekerja, mencari makan, mencari kabar ayah,” ujar Nur.

Beban berlapis itu, pelan-pelan juga berpindah ke pundak Nur. Ia kehilangan masa mudanya karena harus menggantikan peran ibu di rumah, yakni mengurus adik-adik, memastikan mereka tetap makan dan sekolah, sambil menahan rasa takut setiap kali ada di dekat rumah.

Di masa konflik, perempuan Aceh hidup dalam dilema yang nyaris tanpa ruang aman. Di satu sisi, mereka bisa dicurigai sebagai simpatisan TNI jika menolak membantu kelompok bersenjata Aceh. Di sisi lain, mereka bisa dituduh ”orang GAM” oleh aparat jika terlihat terlalu akrab dengan pihak lawan.

”Kadang hanya karena memberi sebatang rokok (kepada anggota GAM), malamnya orang itu hilang. Masyarakat sipil terjepit, tak tahu mana yang bisa dipercaya,” ujarnya.

Stigma menjadi luka tambahan yang sulit sembuh. Di masa itu, keluarga korban kerap dicap sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh para tetangga dan aparat. Banyak keluarga korban dikucilkan oleh para tetangga, bahkan keluarga sendiri. ”Adik saya yang masih SD diejek, ’kamu anak GPK’. Sampai sekarang trauma itu masih membekas,” ucap Nur.

Hingga kini, jumlah total kasus penghilangan paksa belum dapat dipastikan. Kontras mencatat terdapat 32.774 orang hilang dalam peristiwa 1965–1966, 1.935 orang hilang selama periode Daerah Operasi Militer di Aceh (1989–1998), dan 23 orang hilang dengan hanya 9 orang yang telah kembali pada peristiwa 1997–1998. 

Penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM juga menemukan terjadinya penghilangan orang secara paksa dalam peristiwa-peristiwa lain, yaitu Penembakan Misterius 1982–1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, Timor Timur 1999, Wasior 2001-2002, dan Timang Gajah 2001. 

Di luar peristiwa pelanggaran berat HAM, penghilangan paksa terjadi di berbagai peristiwa, termasuk Sentani 1970, peristiwa 27 Juli 1996, dan tragedi Biak Berdarah 1998. Peristiwa penghilangan paksa terus terjadi, data terbaru Kontras menerima 44 laporan orang hilang terkait demonstrasi pada akhir Agustus 2025.

Dalam peristiwa penghilangan paksa, perempuan keluarga korban, seperti Nurhayati dan Nur Aini kerap memikul peran berlapis, yakni merawat luka pribadi dan memperjuangkan keadilan. Selama bertahun-tahun mereka berusaha mencari anggota keluarga yang hilang sambil terus bertahan hidup. Kini, sebagian besar saksi dan korban peristiwa itu telah tiada. Hanya segelintir tersisa, termasuk Nurhayati dan Nur Aini, yang terus menjaga ingatan agar sejarah tak dikubur dalam diam.

Selama dua hari, pada Rabu dan Kamis, 15 dan 16 Oktober 2025, Kontras bersama bersama IKOHI dan AJAR dan jaringan keluarga korban penghilangan paksa menggelar serangkaian kegiatan yang berpuncak pada Kongres Perempuan dalam Penghilangan Secara Paksa. Dalam kongres itu, perempuan korban dan keluarga korban penghilangan paksa di Indonesia menyuarakan sembilan tuntutan kepada negara.

Tuntutan itu, mulai dari ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan penyesuaian KUHAP agar sejalan dengan prinsip HAM dan CEDAW, hingga penegakan keadilan dan perlindungan bagi korban. 

Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jane Rosalina, Kongres Perempuan mempertemukan para perempuan dari berbagai daerah dan peristiwa pelanggaran HAM berat, mulai dari Aceh, Timor Timur, tragedi 1965, hingga 1998. ”Kongres ini bertujuan menyerukan pernyataan sikap bersama terkait tuntutan perempuan dalam perlindungan dari praktik penghilangan paksa,” ujar Jane.

Ia menekankan bahwa hingga kini negara belum menuntaskan pelanggaran berat tersebut secara komprehensif, sementara para perempuan korban terus menanggung beban berlapis. Jane juga menyesalkan perspektif perempuan yang masih jarang muncul dalam penyelesaian kasus-kasus penghilangan paksa. Padahal, perempuan menjadi kelompok yang sangat terdampak.

Ia mencontohkan, banyak istri korban 1998 yang kehilangan hak-hak sipil seperti status perkawinan, waris, hingga akses ekonomi karena negara belum mengatur status hilang dalam konteks pelanggaran HAM berat.

Jane juga menyoroti berulangnya praktik penghilangan orang, termasuk kasus mahasiswa yang hilang baru-baru ini. Menurut dia, hal itu terjadi karena praktik impunitas masih mengakar. ”Negara tidak menuntut pelaku, tidak mereformasi sektor keamanan, dan tidak menjamin ketidakberulangan,” ujar Jane.

Selama tidak ada efek jera, negara akan terus terjebak dalam lingkaran kesalahan yang membuat penghilangan paksa terus berulang. Dan di balik setiap nama yang dihilangkan paksa, ada perempuan-perempuan yang bertahan, menjadi ibu, pencari nafkah, dan penjaga gerbang keadilan. (Kompas/Denty Piawai Nastitie)

Read more

JawaPos – Esai menjadi salah satu komponen penting dalam pendaftaran beasiswa luar negeri. Hal ini disampaikan oleh penerima Beasiswa Chevening, Denty Piawai Nastitie, dalam webinar yang digelar Jawa Pos Learning Hub bertajuk Menulis Esai untuk Beasiswa Luar Negeri pada Sabtu (23/8).

Menurut Denty, keberhasilan dalam menulis esai berawal dari refleksi diri. “Sebenarnya siapa sih saya? Apa mimpi besar saya? Apa kekuatan dan kelemahan saya? Dari refleksi diri itu, ternyata membantu saya ketika saya menyusun beasiswa Chevening” ungkapnya.

Ia pun menekankan bahwa Chevening tidak hanya mencari kandidat dengan ambisi besar, melainkan mereka yang mengenal diri sendiri dan mampu memanfaatkan potensi beasiswa untuk berkembang.

“Jadi beasiswa Chevening itu tidak sekedar kamu punya ambisi yang kuat gitu ya buat dapat beasiswa, tetapi beasiswa ini menguji seberapa kita mengenal diri kita, dan bagaimana kita mendapatkan potensi yang lebih baik dengan beasiswa ini” sambungnya.

Lebih lanjut, Denty menekankan pentingnya memiliki mimpi besar yang relevan, bukan sekadar pencapaian setinggi langit. Yang dicari, menurutnya, justru adalah sosok yang mampu menempatkan diri pada posisi strategis sesuai dengan kebutuhan program.

“Karena yang dicari itu justru sebenarnya bukan orang yang punya pencapaian setinggi langit, tetapi bagaimana sih kita bisa punya posisi strategis dan sesuai dengan kebutuhan Chevening” ujar penerima beasiswa di SOAS University ini.

Untuk itu, riset mengenai kampus, jurusan, hingga situasi terkini di negara tujuan menjadi sangat penting. Setiap tahun, program beasiswa akan menilai sejauh mana aplikasi yang diajukan memiliki relevansi dengan isu-isu terbaru. “Setiap tahun beasiswa akan mencoba relevansi mereka dengan kebutuhan-kebutuhan terkini” lanjut Denty.

Pengalaman organisasi yang sesuai dengan bidang studi juga menjadi nilai tambah dalam esai. Keterlibatan ini akan memperkuat profil serta menambah bobot esai yang dituliskan. “Dengan pengalaman yang terus bertambah ini akan memperkuat esai kita atau profile kita ketika mendaftar beasiswa” ungkapnya.

Denty juga mengingatkan bahwa banyak esai gagal karena tujuan yang ditulis terlalu abstrak dan kurang spesifik. “Aku sering baca, ketika aku review esai dari temen-temen, membangun Indonesia, ini kan terlalu abstrak, bagaimana cara ngukurnya kita tidak tahu, sebaiknya kalau nulis esai lebih spesifik, membangun Indonesia caranya seperti apa, di bidang apa dan bagaimana konkritnya” ujarnya.

Selain isi, struktur esai juga tak kalah penting. Kerangka yang kuat akan membuat tulisan lebih enak dibaca dan mudah dipahami. Ia menyarankan menggunakan metode STAR (Situation, Task, Action, Result) maupun SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) agar pengalaman yang dituliskan dalam esai lebih sistematis.

Bahasa yang digunakan pun harus profesional. Kalimat perlu ditulis dengan jelas, ringkas, dan tidak bertele-tele. Kosakata harus dipilih secara tepat, informasi yang tidak relevan sebaiknya dihapus, dan esai perlu ditinjau kembali agar sesuai dengan pertanyaan yang diminta. Denty juga menyarankan agar esai dibaca ulang oleh orang lain sebagai masukan sebelum dikirimkan.

“Pastikan kalimatnya jelas, ringkas, dan tidak bertele-tele, gunakan kosakata yang tepat dan profesional, dan tinjau kembali apakah jawaban itu sesuai dengan pertanyaan atau tidak, terus buang informasi yang tidak relevan, dan jangan segan untuk memberikan esai kalian ke orang lain untuk dibaca” beber Denty.

Menurutnya, esai beasiswa adalah ruang untuk “menjual diri” kepada lembaga pemberi beasiswa. Esai tidak hanya berisi daftar prestasi, tetapi juga menggambarkan latar belakang, alasan memilih program studi, serta rencana kontribusi setelah lulus. Dengan persiapan matang, refleksi mendalam, serta strategi penulisan yang tepat, peluang lolos beasiswa luar negeri pun akan semakin terbuka. (Jelita Indriana Putri, Senin, 25 Agustus 2025 | 12:22 WIB)

Read more

Selama ini, perempuan dalam jaringan terorisme kerap dipandang hanya sebagai korban atau pelaku. Padahal, ada sisi lain yang jarang terlihat, perempuan juga bisa menjadi agen perubahan. Inilah kisah para istri mantan narapidana terorisme yang berjuang melawan stigma, membesarkan anak-anak di tengah trauma, sekaligus mencegah keluarga mereka kembali terjerat paham radikal.

Bagi Putri Ariasti (44), ingatan paling mencekam itu terjadi tepat pada 17 Agustus 2016, sembilan tahun silam. Hari kemerdekaan yang semestinya dirayakan dengan sukacita justru berubah menjadi titik kelam dalam hidupnya. Pagi itu, di tengah semarak karnaval dan kibaran bendera Merah Putih, sebuah barakuda berhenti di depan rumahnya.

Beberapa pria berbadan tegap lengkap bersenjata turun dengan langkah cepat dan langsung menggeledah rumah. Putra sulungnya, Sultan, yang kala itu berusia 12 tahun, berlari sambil menangis ketakutan. Pada hari yang sama, Detasemen Khusus 88 Anti Teror menangkap suaminya, Munir Kartono (42), atas dugaan keterlibatan kasus terorisme.

Sejak detik itu, Putri tidak hanya kehilangan suami yang digelandang aparat, tetapi juga seolah kehilangan separuh hidupnya. ”Saya gemetar. Di satu sisi ingin mengejar suami saya, di sisi lain anak-anak saya menangis ketakutan,” kenang Putri dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya di Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/8/2025).

Pascapenangkapan, stigma langsung menghantam Putri. Ia, yang selama ini dikenal sebagai guru TK, tiba-tiba dipandang curiga. Gosip beredar ke mana-mana, dari tuduhan menyembunyikan uang hasil kejahatan, hingga cibiran bahwa keluarganya bagian dari jaringan teror. Selama seminggu, Putri tidak keluar rumah karena malu. Apalagi, ayahnya sempat marah besar dan tidak mau bicara dengan Putri.

Munir, suami Putri, kemudian divonis 5 tahun penjara. Ia terbukti mendukung pendanaan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta pada Juli 2016. Saat itu, Munir menjadi penggalang dana andal untuk mendukung aksi teror, kegiatan terlarang yang ia tutupi dari orang lain, termasuk istri dan keluarganya.

Sembilan tahun berlalu. Munir telah bebas sejak 2020 setelah menjalani 3 tahun 8 bulan masa hukuman. Tetapi, trauma masih menghantui Putri dan keluarga. Selain itu, Putri juga sering merasa malu dan tidak percaya diri untuk bergaul. Label sebagai istri eks narapidana teroris mengganggu pikirannya.

Namun, Putri tak larut dalam keterpurukan. Sejak suaminya menjalani hukuman penjara, Putri berjuang menata ulang hidup bersama empat anaknya. Dengan bantuan modal dari keluarga, ia membuka warung di dekat rumah yang menjadi titik balik hidupnya.

Selain menopang ekonomi keluarga, warung menjadi bukti resiliensi menghadapi tekanan psikologi, ekonomi, dan sosial. Perlahan, tetangganya kembali menyapa, bahkan membantu keluarga ini melanjutkan kehidupan.

Pengalaman pahit menjadikan Putri lebih waspada. Bagi Putri, perjuangan terbesar bukan sekadar menghadapi stigma, melainkan menjaga anak-anaknya agar tidak ikut terseret pada jejak kekerasan. Putri berusaha menekankan nilai-nilai sederhana, seperti tanggung jawab, saling menghormati, dan terbuka pada perbedaan. Ia juga mendampingi anak-anak saat stigma menimpa. Contohnya, ketika si sulung sempat minder dan enggan sekolah karena ayahnya dipenjara, Putri memotivasi. Hasilnya, sang anak justru meraih juara umum di sekolah.

Putri mengaku sempat menutup diri dari kegiatan keagamaan karena takut dicurigai. Namun, kini, ia memilih jalan tengah, yakni tetap beribadah dengan tenang, tanpa terjebak pada ajakan eksklusif.
Putri dan suaminya juga memutuskan agar anak-anak tidak dimasukkan ke sekolah eksklusif berlabel agama tertentu. Mereka memilih sekolah negeri agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang beragam.

Kalau dulu Putri dikenal sebagai guru, sekarang ia memilih jadi pendidik untuk keluarga sendiri. Dari rumah, ia menjaga agar anak-anak tidak mengulang kesalahan ayahnya dan masuk dalam lingkungan kekerasan. Bukan hanya kepada anak-anak, Putri juga tidak pernah bosan mengingatkan suami agar tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama.

Sementara itu, Munir memilih bersikap terbuka kepada anak-anaknya. ”Saya jelaskan bahwa saya pernah melakukan kesalahan, dan saya menanggung akibatnya. Saya tidak ingin anak-anak mengalami kejadian serupa,” kata Munir, yang kini telah meninggalkan ideologi radikal dan kembali aktif berkegiatan di tengah masyarakat.

Penyangga keluarga

Pengalaman traumatis juga dialami Nurwahidah (38), istri eks narapidana terorisme yang selama lebih dari satu dekade berjuang mempertahankan keluarga, mendidik anak-anaknya, sekaligus menjadi penyangga agar lingkaran radikalisme tidak terus berulang di dalam keluarga.

Nurwahidah bertemu suaminya ketika sama-sama kuliah di Jakarta. Sang suami, sejak masa SMA, sudah mengenal tokoh agama yang menyelipkan ajaran jihad dalam setiap pertemuan keagamaan. Jaringan pertemanan dan lingkungan makin menguatkan keyakinan suaminya untuk masuk dalam tindakan kekerasan.

Sebagai istri muda, Nurwahidah kerap menentang keinginan suaminya untuk ikut berkegiatan di lingkaran tersebut. Namun, suaminya tidak mendengarkan masukan dari Nurwahidah. Sang suami tetap aktif di jaringan radikal.

Puncaknya, pada Juni 2013, suaminya ditangkap Densus 88 Anti Teror di Poso, Sulawesi Tengah, wilayah yang kala itu dikenal rawan konflik. Selama suaminya menjalani hukuman penjara, Nurwahidah menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan ancaman langsung, tetapi tetap berusaha menjaga keluarga tetap utuh.

Kini, suaminya telah bebas dan menyatakan setia ke NKRI. Nurwahidah bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di tengah hidup yang serba menantang, Nurwahidah menemukan makna baru dalam hidupnya, yakni membesarkan anak-anak dengan pemahaman agama yang damai dan moderat. Ia percaya, pengalaman getirnya bisa menjadi pelajaran bagi perempuan lain agar tidak terjebak dalam siklus yang sama.

Sementara itu, Nuraeni (38) menghadapi kenyataan pahit bahwa sang suami terlibat dalam jaringan kekerasan setelah sang suami ditembak mati oleh Densus 88 Anti Teror pada Oktober 2012. Selama ini, Nuraeni tidak mengetahui kegiatan sang suami.

Jaringan terorisme

Nuraeni hanya mengetahui suaminya sering pergi ke luar kota. Setelah penembakan itu, Nuraeni baru mengetahui bahwa suaminya terlibat dalam jaringan terorisme.

Penembakan itu bukan hanya merenggut nyawa suaminya, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya dan anak-anak. Apalagi, ia tidak diperkenankan melihat jenazah suami untuk terakhir kalinya.

Di tengah luka kehilangan sang suami, Nuraeni berusaha berdiri tegak. Ia bertahan dengan berjualan makanan ringan di pasar dan menjadi staf TK. Kini, Nuraeni sudah menikah lagi. Bersama suami dan anak-anaknya, ia tinggal di Kabupaten Bima, NTB.

Nuraeni menyadari bahwa masa depan anak-anaknya harus diselamatkan dari jejak masa lalu ayah mereka. Untuk memutus mata rantai kekerasan dari tingkat keluarga, Nuraeni memilih jalur pendidikan. Ia percaya bahwa dengan belajar, membaca, dan bergaul sehat, anak-anak bisa lepas dari bayang-bayang kekerasan.

”Saya perhatikan, mereka yang terlibat dalam kelompok keras itu tidak suka membaca. Mereka hanya lulusan SD, SMP, atau paling tinggi SMA. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya setinggi-tingginya agar mereka bisa punya banyak bacaan dan tidak terlibat dalam jaringan kekerasan,” kata Nuraeni, dalam wawancara daring, Kamis (14/8/2025).

Dari seorang istri yang dulu tidak tahu-menahu soal pemahaman radikal, kini ia menjadi sosok yang aktif menasihati, mengarahkan, dan memastikan generasi berikutnya tidak mengulang jejak serupa. Selain memastikan pendidikan untuk anak-anaknya, Nuraeni juga kerap mengajak anak-anak dari keluarga radikal di lingkungan rumahnya untuk ke sekolah.

”Dengan mengajak anak-anak sekolah, saya berharap mereka tidak terpengaruh ajaran radikal dari orangtua mereka,” katanya.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia Siti Darojatul Aliah menegaskan, perempuan dalam lingkaran terorisme menempati posisi yang kompleks, yakni sebagai korban, pelaku, sekaligus agen perubahan.

”Perempuan sebagai pelaku juga sebenarnya merupakan korban indoktrinasi dan perekrutan yang berbeda-beda antara kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan ISIS,” kata Siti, di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 65 perempuan divonis terkait pidana terorisme dari tahun 2000 hingga 2023. Sebelumnya, pada periode 2016-2020, tercatat 32 perempuan diduga terlibat jaringan terorisme, meningkat dari 8 perempuan pada 2002-2015. Keterlibatan perempuan ini sering kali melalui modus operandi sederhana, seperti bom bunuh diri atau serangan pisau, bahkan dilakukan bersama anak-anak.

Siti menjelaskan, dalam jaringan JI, perempuan direkrut bukan untuk aksi kekerasan, melainkan diposisikan sebagai istri para anggota. Mereka kerap tidak mengetahui aktivitas suami, bahkan banyak yang baru menyadari setelah terjadi penangkapan oleh aparat. Sebaliknya, pada jaringan ISIS, perempuan justru menjadi bagian aktif, mendukung bahkan mendorong suami mereka dalam aksi.

Dampak keterlibatan ini, lanjutnya, sangat besar bagi keluarga. Saat suami atau ayah ditangkap aparat, banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma dan kehilangan figur suami atau ayah sebagai tulang punggung keluarga, hingga tekanan sosial dari masyarakat.

Dalam banyak kasus, perempuan yang ditinggalkan harus menanggung peran berlipat ganda, yakni sebagai ibu, bapak, dan individu pencari nafkah. Selain itu, stigma dan diskriminasi juga menjadi beban berat.

Anak-anak kerap mengalami perundungan, sedangkan perempuan yang ditinggalkan harus berpindah-pindah tempat tinggal karena penolakan masyarakat. Kondisi ini berpotensi membuat mereka kembali rentan terhadap ideologi radikal.

Siti juga menyoroti lemahnya program deradikalisasi bagi perempuan. Ia menilai, selama ini pendekatan pemerintah dan lembaga terkait masih berpusat pada sosok laki-laki. Sementara perempuan kurang diperhatikan. Padahal, perempuan punya posisi sentral dalam mencegah dan menanggulangi kasus terorisme.

Untuk itu, Siti mendorong agar program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme lebih sensitif terhadap isu jender serta melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan narasi yang lebih adil terhadap perempuan.

Menurut dia, edukasi di tingkat keluarga dan komunitas harus diperkuat, termasuk memberi peran lebih besar kepada perempuan sebagai agen kontra-narasi. ”Perempuan adalah garda terdepan dalam mencegah ideologi kekerasan. Kalau mereka berdaya, mereka bisa menjadi benteng terkuat bagi keluarga dan masyarakat untuk mencegah paham radikal berkembang,” ujar Siti.

Kisah Putri, Nurwahidah, dan Nuraeni memperlihatkan bahwa di tengah stigma dan luka masa lalu, mereka memilih untuk tetap berdiri, menjaga keluarga agar tak terjerat lingkar yang sama. Dari ruang-ruang domestik yang sederhana, para istri eks narapidana terorisme membuktikan bahwa melawan terorisme bisa dimulai dari lingkar paling kecil, yakni keluarga. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Read more

Keindahan naik gunung terletak bukan semata-mata ketika seorang pendaki mencapai puncak dan melihat pemandangan, melainkan saat ia menoleh ke belakang dan melihat dirinya telah melewati lembah dan jurang kesulitan.” (Eiji Yoshikawa, yang tertuang dalam prolog buku Hari-hari di Bloomsbury)

Kata-kata tersebut dikutip sebagai ungkapan perasaan kebahagiaan dan kepuasan oleh sang penulis, Denty Piawai Nastitie, dalam buku Hari-hari di Bloomsbury (Penerbit Buku Kompas, 2023). Buku ini menceritakan dinamika kehidupan sebagai mahasiswa sekaligus jurnalis di Eropa, yakni Inggris.

Penulis menerima program beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris yang sudah ada sejak 1983. Melalui beasiswa ini, penulis dibiayai mulai dari kebutuhan sehari-hari, tempat tinggal, hingga transportasi. Denty telah menelan sembilan kali pahitnya kegagalan sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa Chevening. Berkat beasiswa Chevening, petualangan menjelajahi kota London dapat dinikmati sambil mengoleksi pengalaman, pengetahuan dan memperluas jaringan.

Buku setebal 250 halaman ini bermula saat penulis berangkat dari Jakarta ke London. Perjalanan diiringi dengan pikiran yang positif dan menyenangkan karena baginya perjalanan kali ini merupakan kesempatan untuk eksplorasi berbagai tempat dan pengalaman baru.

Setelah resmi menerima beasiswa S-2 di SOAS University of London, Denty berangkat di tengah suasana pandemi masih berlangsung. Karena itu, perempuan kelahiran Yogyakarta ini harus singgah di hotel karantina. Pada masa pandemi, singgah di hotel karantina selama 10 hari merupakan kewajiban yang diterapkan di London.

Selama masa karantina, penulis mengisi kesehariannya dengan memotret orang-orang yang sedang berjemur dan berolahraga. Penulis pun dapat membuat foto cerita tentang kehidupan penduduk di London. ”Lenggak-lenggok London” dimuat harian Kompas pada 7 November 2021. Tulisan tersebut menjadi saksi petualangan penulis sebagai mahasiswa di London.

Setelah melewati masa karantina, akhirnya tiba waktunya sebagai mahasiswa di London. Penulis sempat merasa kaget dengan sistem belajar di sana. Perbedaan sistem belajar di sana adalah saat sebelum memulai kelas, mahasiswa diwajibkan untuk membaca materi kuliah. Lalu, jika di Indonesia pekan pertama diisi dengan perkenalan guru dan siswa, di London langsung masuk ke materi kuliah.

Hari demi hari dilewati penulis, hingga tiba masanya penulis mendapatkan tugas pertama dengan nilai 58. Di Inggris, mendapat nilai 58 masuk dalam golongan pass. Meski mentalnya terguncang, penulis perlahan membaca komentar dosen mengenai tugasnya. Komentar dosen tersebut, penulis kurang kritis dalam memahami teori dan tidak berani mengungkapkan pendapat.

Bagi penulis, momen tersebut membuatnya tersadar dengan perbedaan antara tulisan jurnalistik dan akademik. Dalam penulisan akademik, penulis harus fokus pada teori, bukti-bukti, dan argumentasi yang jelas. Seiring berjalannya waktu, meski sistem belajar agak padat, penulis mampu beradaptasi. Baginya, jika orang lain bisa, maka ia juga pasti bisa. Hal itu terbukti dengan nilai kuliah yang meningkat pada tugas akhir dengan nilai distinction atau nilai tertinggi dalam sistem penilaian Inggris.

Hidup sebagai mahasiswa di London tidak selamanya membahagiakan dan berlangsung dengan mulus. Denty hampir menjadi gelandangan karena kesulitan mencari tempat tinggal setelah masa tinggal kontrak di flat mahasiswa berakhir. Beragam aplikasi sewa properti, seperti Zoopla, Spareroom, dan Facebook Market, telah dicoba. Denty bahkan aktif bertanya kepada teman dan kenalan. Namun, dari ratusan pesan yang dikirimkannya kepada landlord, hanya dua pesan penolakan yang diterimanya, sisanya tiada balasan. Ia harus berpindah-pindah sari satu hostel ke hostel lain. Tak hanya itu, ia juga sempat menumpang di tempat tinggal teman seperjuangannya, Mirzca.

Saat menumpang di flat temannya, penulis merasa suasana seperti berada di rumah sendiri, bukan sedang merantau. Hal itu terasa ketika masuk ke dapur, ada kecap, saus tiram, bumbu nasi goreng, pempek, rendang, dan lainnya. Selain itu pula, Mirzca dan kawan lainnya sering masak dan makan bersama sehingga suasana kekeluargaan sangat bisa dirasakan.

Setelah sebulan mengembara tanpa tempat tinggal yang pasti, penulis akhirnya dapat menyewa flat di rumah keturunan Bangladesh. Baginya, tinggal di sana serasa tinggal di rumahnya sendiri. Pemilik rumah begitu terasa hangat karena selalu perhatian.

Salah satu pengalaman menarik yang diulas dalam buku ini adalah ketika penulis menjadi saksi sejarah saat Inggris berkabung. Ratu Elizabeth II meninggal pada 8 September 2022. Setelah informasi tersebut beredar, dimulailah Operasi London Bridge berupa serangkaian prosedur selama sepuluh hari. Operasi tersebut mencakup pengumuman berita kematiannya, masa berkabung, proses pemakaman, hingga rencana pemahkotaan ahli waris takhta selanjutnya.

Perempuan lulusan Universitas Sanata Dharma ini memiliki kesempatan menarik dan menantang. Ia didapuk sebagai reporter televisi untuk melaporkan secara langsung persemayaman dan pemakaman Ratu Elizabeth II.

Penulis sempat merasa terperangah menerima tantangan sebagai reporter televisi. Sebab, saat ditanyakan kesiapannya, waktu menunjukkan pukul 00.05 di Inggris. Denty masih mengenakan piyama dan wajah tanpa polesan make-up. Namun, tak ada waktu untuk memoles wajah, saat itu pula Denty langsung menuju lokasi yang ditunjuk untuk menjabarkan suasana di London kala itu.

Tak hanya itu, pengalaman menantang lainnya saat hari deklarasi putra sulung sang Ratu sebagai Raja Inggris menggantikan kedudukan Ratu Elizabeth II. Nasib kurang baik terjadi pada hari itu saat akan melakukan siaran langsung program Kompas TV. Kereta yang ia tumpangi ternyata mengalami gangguan pada mesin. Walhasi,l Denty harus menunggu kereta selanjutnya. Padahal, dalam waktu kurang dari 30 menit dia harus on air.

Ketika menuju St James Palace, ternyata penulis lupa membawa tripod. Hatinya semakin tidak tenang, selain dikejar waktu, situasi juga tidak kondusif untuk siaran langsung. Penulis memutar otak, hingga akhirnya Green Park dipilih sebagai lokasi untuk siaran langsung.

Lalu, bagaimana dengan tripod sebagai penyangga ponselnya? Tong sampah yang terbuat dari kayu setinggi 1 meter dengan permukaan atas datar dan kokoh dipilih menjadi penyangga laptop sebagai pengganti ponselnya. Siaran langsung berjalan dengan lancar, meski saat melakukan reportase bau sampah ”semerbak” tak dapat dilupakan.

Perempuan yang memiliki lesung pipi ini pernah mendapatkan penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend atas tulisannya yang inspiratif dengan judul ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”.

Meraih penghargaan, mendapatkan beasiswa S-2, hingga merasakan tinggal dan menjadi jurnalis di Inggris merupakan bagian pengalaman hidup yang penuh gejolak. Buku ini ditutup dengan semangatnya bahwa kuliah memang berakhir, tapi hidup harus berjalan. Dengan kekuatan dan keberanian, Denty menyatakan siap untuk menempuh petualangan selanjutnya. Ganbatte kudasai! (LITBANG KOMPAS)

JudulHari-hari di Bloomsbury: Petualangan #studentjournalist di London, Inggris

Penulis: Denty Piawai Nastitie

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit: 2023

Jumlah halaman: xxii + 244 halaman

ISBN: 978-623-160-156-8

Read more

Sumber tulisan: Universitas Sanata Dharma (usd.ac.id)

Denty Piawai Nastitie, alumnus Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (USD), pada hari Jumat 8 Februari 2019 menerima penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, atas tulisannya yang inspiratif dengan judul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”, di Restoran Seribu Rasa, Jakarta.

Denty, demikian ia sering disapa, ketika dihubungi via telepon (14/2/18), kembali mengucapkan terima kasih kepada Uni Eropa karena telah memberikan penghargaan terhadap tulisannya yang dimuat di Harian KOMPAS (5/10/2018). “Saya mengucapkan terima kasih banyak buat penghargaan ini kepada Uni Eropa.” ucap Denty. Ia juga kembali mengucapkan terima kasih kepada tempatnya bekerja, Harian KOMPAS, karena telah memberikan ruang baginya untuk menuliskan kisah dan karya jurnalistik yang menarik. “Kepada tempat saya bekerja, Harian KOMPAS, yang sudah memberikan saya ruang buat menuliskan kisah-kisah yang menarik.” sambung Denty.

Denty, dalam tulisannya yang diberi penghargaan oleh Uni Eropa tersebut, hendak menyampaikan kepada publik bahwa kaum disabilitas dan non-disabilitas memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Hak-hak tersebut dapat berupa aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, dan pendidikan untuk mengembangkan dan menunjukkan potensi yang ada di dalam diri. “Orang-orang disabilitas maupun kita yang non-disabilitas itu sebenarnya punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini, orang-orang dengan kebutuhan khusus itu sering mendapatkan kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari karena minimnya aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, kesempatan pendidikan, sehingga sulit membuat mereka berkembang. Kebanyakan orang-orang dengan kebutuhan khusus memilih untuk bersembunyi dari pada menunjukkan potensi diri.” ungkap Denty.

Denty, yang secara intens mengikuti persiapan hingga penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games 2018, juga menyampaikan bahwa Asian Para Games (6-13/10/2018) telah menunjukkan bahwa ketika kaum disabilitas diberikan kesempatan yang sama seperti ketika kaum non-disabilitas berperan dalam Asian Games (18/8-2/9/2018), kaum disabilitas pun dapat menunjukkan potensi yang ada dalam diri mereka. “Dari Asian Para Games kemarin, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang dengan kebutuhan khusus itu, ketika mereka punya mimpi, punya cita-cita, terus diiringi dengan kerja keras, mereka bisa menunjukkan potensi dirinya.” lanjut Denty.

Denty, yang ditugaskan di bidang olahraga Harian KOMPAS sejak 2016, mengungkapkan perasaannya yang senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka ketika tulisannya mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa. “Perasaan saya tentu saja senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka.” ungkap Denty. Namun, Denty yang diangkat menjadi wartawan Harian KOMPAS sejak 2014 memberi catatan terhadap penghargaan yang diberikan oleh Uni Eropa bahwa semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi harus terus menggema dan tidak berhenti. “Buat saya yang lebih penting adalah bagaimana tulisan saya, karya-karya jurnalistik saya, dan teman-teman lainnya yang juga mendapat penghargaan, terutama terkait disabilitas ini, bisa terus menggema. Jadi, jangan sampai begitu Asian Games dan Asian Para Games selesai, semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi itu berhenti.” tegas Denty.

Denty, yang memulai karirnya dengan magang di Harian KOMPAS sejak lulus dari USD pada 2013, tidak lupa mengucapkan terima kasih untuk pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama kuliah di USD. “Terima kasih juga buat pengalaman-pengalaman selama kuliah di Universitas Sanata Dharma. Saya belajar banyak di Universitas Sanata Dharma, terutama nilai-nilai kemanusiaan dan semangat kesetaraan yang selalu saya dapatkan dari dosen-dosen di Universitas Sanata Dharma.” ucap Denty.

Tidak lupa pula, Denty yang aktif di dalam dan di luar kelas perkuliahan ketika menjadi mahasiswi USD, memberi harapan dan pesan kepada ‘adik-adik’nya yang masih berkuliah di USD dalam mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. “Saya berharap dengan adanya penghargaan ini, mahasiswa-mahasiswi USD bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan selama kuliah dengan sebaik-baiknya. Dan, enggak cuma aktif di kelas tetapi juga mencari pengalaman dan ilmu di luar kelas, di organisasi-organisasi yang lain. Karena, pengalaman-pengalaman selama kuliah, baik di kelas maupun di luar kelas, menurut saya akan sangat bermanfaat ketika masuk di dunia kerja.” harap dan pesan Denty. Denty pun melanjutkan harapan dan pesannya bahwa interaksi dengan masyarakat luas adalah ilmu yang tidak boleh dilupakan begitu saja. “Ketika kita kuliah, harus diimbangi dengan banyak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas, Interaksi kita dengan masyarakat luas itu akan menambah ilmu kita.” lanjut Denty.

(AH & YS)

Read more

Sumber tulisan: Kemenpora
Jakarta: Sebagai perempuan yang berprofesi seorang jurnalis, Denty Piawai Nastitie memiliki cara sendiri dalam memaknai Hari Kartini yang tepat diperingati pada tanggal 21 April. Dengan sebuah karya tulis, Denty ingin perempuan muda Indonesia harus merdeka dan bebas.
“Sosok Kartini masa kini adalah perempuan-perempuan merdeka yang bisa bebas berekspresi, bebas menyatakan pendapat, punya pemikiran terbuka, punya wawasan luas, bisa mengakses pendidikan berkualitas, bisa mengakses layanan kesehatan dan reproduksi berkualitas,” tutur Denty.
Terjun ke dunia jurnalisme bagi Denty bukan tanpa alasan, perempuan yang menyukai fotografi ini mengaku bahwa ia memang gemar menulis. Denty sendiri telah banyak meliput dan menulis kegiatan-kegiatan olahraga baik di dalam maupun di luar negeri.
Salah satu tulisannya yang berjudul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” bahkan mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa pada tahun 2018, karena dinilai sebagai sebuah karya jurnalistik yang mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dan anti diskriminasi. Bagi Denty, pencapaian yang paling membanggakan adalah ketika tulisan yang Ia buat bisa membawa dampak positif bagi orang lain.
Lewat karya tulisnya Denty konsisten menyuarakan pemikiran-pemikiran dan konsep kebebasan perempuan. Ia kerap menulis artikel berkaitan dengan masalah gender dan diskriminasi. Denty membahas bagaimana atlet-atlet perempuan dihadapkan dengan sikap diskriminatif dari kaumnya sendiri.
Denty tak pernah lupa meluangkan waktu untuk menjalani hobi traveling dan memotret. Pengalaman dan pelajaran yang ia peroleh dalam perjalanannya juga dituangkan dalam blog pribadinya http://rambutkriwil.com. Melalui perjalanan karir dan passionnya Denty menyampaikan bahwa pemikiran tentang kebebasan perempuan baginya bukan retorika semata. Ia berhasil merealisasikannya lewat pilihan yang ia buat, yaitu berkarir sambil menikmati hidup.
Oleh karena itu, perayaan Hari Kartini penting untuk membangun kekuatan sesama perempuan agar dapat saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan.“Kartini masa kini hendaknya mempunyai otoritas penuh terhadap tubuhnya, punya cita-cita dan berdaya mewujudkan cita-cita itu. Perempuan masa kini seharusnya tidak saling berkompetisi, tetapi memanfaatkan energi dan jaringan untuk berkolaborasi membangun negeri,” tambah Denty.
“Perempuan seharusnya dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kualitas diri. Jangan jadikan media sosial sebagai tempat mengeluh. Sosial media akan lebih bermanfaat bila tidak digunakan untuk bertukar gosip atau saling menjatuhkan sesama perempuan. Sebaliknya manfaatkan kemajuan teknologi untuk maju bersama. Misalnya untuk mengembangkan bakat, untuk mengakses pengetahuan berkualitas, untuk membuka jaringan usaha dan lain-lain,” harap Denty.(uci/sin)
Read more

dari Brussels, Belgia

Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga, seperti Olimpiade, juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.

Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban, di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa (UE) menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara di luar UE.

Ada tiga rencana kerja UE terkait olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE mem-
bentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.

Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.

Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun 2017-2020. Program yang dibuat, misalnya, pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.

Esteban mengakui, jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Namun, ini masih dalam proses,” katanya.

Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.

Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.

Asian Games

 

Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.

Berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagai informasi, anggaran Kemenpora sebesar Rp 1,951 triliun, jauh dari total belanja negara mencapai Rp 2.439,7 triliun di dalam RAPBN 2019. Adapun anggaran yang dipakai untuk peningkatan prestasi olahraga hanya Rp 986,284 miliar.

Bukan hanya terkait besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, untuk memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.

Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus kepada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.

”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” ucapnya.

Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.

”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima semua lapisan masyarakat,” tuturnya. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 24 April, 2019

Read more

Setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, 17 April lalu, giliran Uni Eropa mengadakan pemilu parlemen Eropa pada 23 Mei 2019. Sebelum seluruh mata dunia tertuju pada pemilu Eropa, Kompas berkesempatan mengintip ruang kerja politikus dan jurnalis di markas UE di Brussels, Belgia.

Ada empat tempat utama yang dikunjungi atas undangan delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam itu, yaitu Kantor Parlemen Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, dan Layanan Tindakan Eksternal Eropa (European External Action Service/EEAS). Hampir semua kantor institusi UE berada di kawasan yang berdekatan di Schuman Roundabout. Dari satu kantor ke kantor lain cukup ditempuh dengan jalan kaki, seperti berada di kawasan Asia Afrika, Jakarta Pusat.

Kantor-kantor itu tidak hanya menjadi tempat kerja pemimpin negara dan politikus dalam menyuarakan kepentingan negaranya, tetapi juga ruang jurnalis berjibaku meliput, mewawancarai narasumber, dan mengabarkan informasi lintas sektor ke seluruh dunia. Untuk membantu kerja jurnalis, Komisi Eropa rutin menggelar konferensi pers. Senin (8/4/2019) itu, konferensi pers membahas kebijakan perlindungan petani sebagai dampak Brexit, kecerdasan buatan, dan potensi gangguan keamanan siber jelang pemilu Eropa.

Hari itu, udara Brussels dingin dengan suhu 4 derajat celsius. Namun, materi konferensi pers yang serius dan melibatkan banyak kepentingan membuat suhu hangat.

Saat konferensi pers, rombongan jurnalis Indonesia ditempatkan di kursi barisan paling belakang bersama jurnalis dari Polandia yang juga sedang melakukan kunjungan kerja. Kami memakai tanda pengenal bertuliskan ”observer”. Di mimbar, staf Uni Eropa mengumumkan kunjungan jurnalis. ”Mari kita sambut kedatangan jurnalis Indonesia,” katanya.

Dengan malu-malu, jurnalis Indonesia berdiri dan melambaikan tangan kepada rekan-rekan jurnalis asing. Siapa saja bisa mengikuti konferensi pers, tetapi hanya jurnalis terakreditasi yang diperkenankan mengajukan pertanyaan.

Untuk meliput kegiatan di Parlemen Eropa, jurnalis juga perlu mengurus akreditasi. Saat ini, terdapat 1.000 jurnalis terakreditasi di lembaga itu. Jumlah ini hampir sama dengan jurnalis peliput kegiatan Pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih, Washington DC, AS. Bedanya, kebanyakan jurnalis di Washington DC berasal dari negara-negara di luar AS, sedangkan di Brussels mayoritas dari negara-negara UE.

Parlemen Eropa mempunyai tim khusus untuk membantu kerja jurnalis. Tim ini bertugas mendampingi jurnalis dan menyediakan informasi berdasarkan fakta. Setiap petugas mempunyai spesialisasi di bidang khusus, seperti hubungan internasional, kesetaraan jender, dan antidiskriminasi. Mereka juga menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris.

Jurnalis yang sudah terakreditasi di Parlemen Eropa berhak meliput, menghadiri konferensi pers, mewawancarai narasumber, dan menggunakan fasilitas kerja yang tersedia. Fasilitas di Parlemen Eropa sangat lengkap dan dapat digunakan oleh reporter, jurnalis televisi, dan jurnalis radio. Fasilitas yang disediakan mulai dari rekaman multimedia, infografis, suara, galeri foto, radio, dan studio televisi. Layanan audiovisual juga menyediakan transmisi langsung ke rapat komite dan pleno. Semuanya ini bisa diakses secara gratis.

Parlemen Uni Eropa juga rutin mengadakan konferensi pers yang terbagi menjadi tiga, yaitu menjelang, di antara, dan setelah sidang. Konferensi pers menjelang sidang dilakukan untuk memberikan latar belakang informasi kepada wartawan mengenai materi yang akan diliput. Konferensi di antara sidang untuk memberikan informasi terkini jalannya persidangan. Konferensi pers setelah sidang menginformasikan kesepakatan negara-negara UE.

Selama sidang berlangsung, anggota parlemen dari 28 negara anggota UE dapat berkomunikasi dengan memanfaatkan penerjemahan dalam 24 bahasa. Jurnalis juga bisa menyaksikan jalannya sidang di tempat yang disediakan serta dimanjakan siaran pers dan artikel dalam 24 bahasa.

Juru Bicara Parlemen Eropa Jaume Duch Guillot mengatakan, Uni Eropa menghadapi tantangan lebih serius dari sebelumnya sehingga membutuhkan media independent dan kuat untuk membantu masyarakat memahami isu dan tetap terhubung dengan perwakilan terpilih. “Oleh karena itu, Parlemen Eropa mengutamakan keterbukaan dan kekuatan interaksi dengan masyarakat dengan menyediakan fasilitas dan layanan untuk media,” kata dia. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 21 April 2019

Read more

Sebagai jurnalis olahraga, saya suka heran dengan komentar-komentar nyinyir terkait prestasi perempuan atlet. Beberapa komentar itu, misalnya, “Ih, tuh atlet hormonnya pasti laki-laki, makanya kuat banget larinya,” atau “Busyet, tenaga cowok! Muka dan fisiknya juga cowok banget!! Nggak kelihatan feminim! Pantesan juara!” atau ada juga yang sibuk ngurusin orientasi seksual si atlet, “Gayanya matcho, pasti dia suka cewek. Pasti dia lesbian.” –__–“

Tambah heran karena komentar-komentar itu sering keluar dari sesama perempuan. Saya pikir kejamnya budaya dan pemikiran patriarki sudah mendarah daging hingga anggapan bahwa laki-laki selalu lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, diamini hampir semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan.

Itulah sebabnya, ketika ada perempuan atlet berprestasi, dianggapnya apa yang ada pada tubuhnya, seperti hormon, tenaga, dan pikiran, adalah milik laki-laki. Nggak pernah tuu (ato jarang) saya mendengar komentar mengenai laki-laki atlet, yang sukses dalam olahraga yang mengutamakan kelenturan tubuh, seperti senam atau wushu, dinyinyiri bahwa dia mewakili hormon perempuan.

Anggapan bahwa laki-laki lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, dari perempuan, membuat masyarakat tidak menghargai perjuangan perempuan atlet sebagai mana mestinya. Bukankah di balik prestasi seorang atlet, ada kerja keras, usaha, disiplin, perjuangan, pengorbanan, tidak hanya ketika latihan, tetapi juga ketika melawan budaya dan pemikiran NGEHE yang biasanya lebih menempatkan perempuan berada di ruang domestik, daripada di ruang publik.

Termasuk ketika ada perempuan atlet yang menikah, hamil, dan melahirkan, mostly prestasinya akan terhambat atau bahkan berhenti sama sekali karena si atlet selanjutnya memutuskan untuk stay di rumah, membesarkan anak, dan merawat suami. Itu memang pilihan si atlet, I know, tetapi bukankah budaya dan pemikiran patriarki, sekali lagi sudah menyusup di sendi-sendi otak sebagian besar masyarakat, termasuk si atlet itu sendiri, sehingga secara sadar-gak-sadar dia akhirnya “mengorbankan” prestasinya demi memenuhi tuntutan peran gender berada di ruang domestik.

((Awal Januari lalu, saya menulis artikel tentang mendesaknya regenerasi atlet dayung mengingat sejumlah pedayung Indonesia, terutama pedayung putri, banyak yang mengundurkan diri dari pelatnas karena menikah. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/11/pedayung-yunior-dipanggil-ke-pelatnas/Tuntutan regenerasi juga mendesak di tim angkat besi karena salah satu lifter putri andalan Indonesia untuk Olimpiade Tokyo 2020 menikah dan selanjutnya cuti dari pelatnas karena tengah mengandung. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/07/tuntutan-regenerasi-atlet-mendesak/))

Sekarang bandingkan dengan laki-laki atlet, berapa banyak yang mengundurkan diri dari pemusatan latihan karena menikah?? Banyak laki-laki, malah beranggapan dengan berkeluarga mereka lebih fokus untuk mengembangkan diri. Artinya adalah, selain kemauan keras dari si atlet untuk berprestasi, serta dukungan fasilitas latihan dari federasi olahraga dan pemerintah, dibutuhkan lingkungan yang menunjang untuk membuat seorang atlet mencapai puncak penampilannya.

Atlet yang saya suka, yang sudah mendobrak pemikiran-pemikiran patriarki, salah satunya Serena Williams. Saat dia mengandung, Serena tetap bermain tenis bahkan menjadi juara di Australia Terbuka. Setelah melahirkan sekali pun, dia tetap berlaga. Masih inget ‘kan dengan foto Serena bertanding, sementara suami dan anaknya duduk di pinggir lapangan memberi dukungan? 🙂

Serena mengatakan, my power is sexy!! But once again, lagi-lagi sering dibilangnya: Serena mah cowok, hormon cowok, muka juga cowok. Duhh plis, kenapa kita nggak pernah menghargai perjuangan perempuan sebagaimana adanya?? (Garuk-garuk tembok!)

Sebagai jurnalis olahraga, — selain heran dengan pemikiran-pemikiran lawas yang meremehkan peran perempuan — saya bersyukur karena baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa karena tulisan saya “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” dinilai telah menunjukkan keterampilan jurnalistik yang sangat baik, dibuat dengan penelitian mendalam, dan menceritakan kisah-kisah menawan. Tulisan saya bersama empat jurnalis lainnya dianggap relevan dalam usaha meningkatkan kesadaran publik di Indonesia tentang universalitas hak asasi manusia dan mempunyai relevansi dengan nilai-nilainya, yaitu non-diskriminasi, kesetaraan gender, toleransi dan keragaman.

Artikel saya juga dinilai punya peran penting dalam meningkatkan kesadaran bagi warga negara dan pemerintah untuk mengambil langkah yang berarti untuk memerangi diskriminasi dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia untuk semua warga. Pengumuman pengharagaan: https://eu4wartawan.id Beberapa artikel terkait penghargaan:https://kompas.id/baca/utama/2019/02/08/suarakan-kesetaraan-bagi-difabel-wartawati-kompas-raih-penghargaan/ada juga di web kampushttps://www.usd.ac.id/berita.php?id=3904&fbclid=IwAR2Jfp4x8LZkEyJlBbuwHzXbrmXhxJn_q7JWkGDIH73zJd0ERHUhrFvsmjQ

Ini adalah pengharagaan saya pertama setelah MH Thamrin (2016) dan pengharagaan sebagai penulis travel terbaik dari Kementerian Pariwisata (2015). Tentu saja, saya merasa senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka dengan pengharagaan ini. Penghargaan ini penting untuk “faktor pendukung” di sekeliling saya yang sudah memberikan ruang saya untuk berkarya, mulai dari tempat saya bekerja di harian KOMPAS, juga keluarga yang akhirnya nyerah dan mengizinkan saya pergi-pagi-pulang-pagi atas nama cinta kerjaan. Hahahha. Karya dan penghargaan ini saya dedikasian untuk KALEAN!! Juga untuk countless narsum yang sudah rela saya kontak gak kenal waktu demi lahirnya karya ini.

Minggu lalu, saya bertemu teman yang bertanya, gimana sih caranya bisa pengharagaan?? “Gue suka malas ikut-ikut lomba, tapi akhirnya suka bete sendiri kalau lihat ada teman yang bisa menang lomba karya atau dapat penghargaan,” kata dia.

Kalau gitu jawabannya jelas! Pertama, jangan malas, termasuk jangan malas ikutan lomba jurnalistik. Karya sebagus apa pun gak akan menang lomba kalau dewan juri gak lihat atau baca karya itu. (Kecuali ada kasus lain, seperti punya gebetan super baik hati yang mengirimkan karya kita ke suatu lomba secara diam-diam, trus kita bisa TERKEJYUT MANTJA karena tiba-tiba saja menang lomba… atau mungkin emang ada dewan juri yang mau ngulik-ngulik media massa untuk mencari penulis yang layak diberi pengharagaan – saya pernah sekali mengalami hal itu, nggak ikutan lomba tau-tau dapat hadiah hehehe). Kedua, jangan malas berkarya! Kalau suka menulis, maka menulislah. Kalau suka memotret, maka memotetlah! Kalu suka sama seseorang, uangkapkanlah! (*Ehhh… gimanaa… hahhaa) Lebih baik punya ide sederhana tapi berwujud karya, dari pada ide briliant tapi masih di angan-angan. Demikian random thought malam ini.

 

Jakarta, pas tanggal tua ditulis menggunakan hendpon jadul.

 

Denty Piawai Nastitie

(Foto2: Grandyos Zafna)

Read more

Asian Games 2018 baru saja berakhir. Kenangan akan penyelenggaraan pesta olahraga antarnegara se-Asia itu tidak hanya meninggalkan kesan bagi atlet, pelatih, relawan, dan penonton, tetapi juga membekas bagi jurnalis dan fotografer yang selama dua pekan penuh meliput kegiatan ini.

Bagi pewarta, mengabadikan peristiwa bersejarah Asian Games pada 18 Agustus-2 September 2018 menjadi kebanggaan serta menciptakan persahabatan antarrekan seprofesi yang tak mengenal batas geografis, bahasa, suku, agama, warna kulit, atau warna bendera negara sekalipun.

Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) mencatat, ada 11.000 orang dengan akreditasi penyiar (broadcaster), jurnalis, dan fotografer dari 47 negara datang ke Indonesia. Mereka bertugas menggaungkan semangat Asian Games ke seluruh dunia. Penyiar dan jurnalis berjibaku meliput kejuaraan yang tersebar di arena Jakarta, Palembang, Jawa Barat, dan Banten.

Untuk mengabarkan berbagai peristiwa dan seluk-beluk Asian Games, ribuan awak media ”berkantor” di Main Press Center (MPC) dan International Broadcast Center (IBC) yang berada di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan. Ruang kerja juga tersedia di setiap arena pertandingan.

Tribune media di Stadion Utama Gelora Bung Karno. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Di MPC, fasilitas yang tersedia antara lain kabel LAN, Wi-Fi, soket listrik, data, komputer, layar lebar untuk menyaksikan pertandingan, termasuk makanan. MPC terdiri atas dua lantai. Di bagian bawah ada lobi dengan sofa-sofa empuk, ruang kerja, dan ruang makan. Sementara lantai atas merupakan ruang konferensi pers, ruang pertemuan, dan beberapa ruang khusus kantor media asing.

Biasanya, setelah meliput pertandingan olahraga, jurnalis akan berdatangan dan berkumpul di MPC. Di tempat inilah, awak media menulis, mengirimkan foto-foto, mengedit berita, juga beristirahat, melepas penat, dan bercengkerama dengan teman-teman dari sejumlah media.

Di MPC, adakalanya jurnalis bekerja sangat serius untuk melaporkan berbagai peristiwa sesuai tenggat. Saat deadline, wajah-wajah para pewarta seperti ”senggol-bacok”. Apalagi, kalau pertandingan selesai larut malam, semua fokus pada tugas masing-masing. Begitu berita dan foto-foto sudah dikirimkan, lega rasanya. Inilah saatnya untuk bercengkerama dan melepas kepenatan.

Biasanya, begitu selesai mengirimkan berita, saya akan menikmati makanan dan minuman di ruang yang sudah disediakan. Di ruang makan inilah, kadang-kadang saya berkenalan dengan teman dari media lain.

Suatu hari, setelah meliput pembukaan Asian Games, saya berkenalan dengan Hirata Jun dan Sato Yuki dari kantor berita Kyodo, Jepang.

Saat itu, Jun (yang kemudian namanya dipelesetkan menjadi Junaedi) dan Sato mengomentari betapa lucunya maskot Asian Games. Saking sukanya pada maskot Asian Games, Jun dan Sato serta Ed Sha Restian (jurnalis Kyodo) berkali-kali foto bareng dengan boneka raksasa Bhin-bhin, Atung, dan Kaka, yang berada di depan MPC.

Tiga maskot Asian Games 2018 mengikuti defile saat upacara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8/2018). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Mereka lalu menunjukkan hasil foto dengan aneka pose, seperti memeluk dan bersandar pada boneka yang merepresentasikan tiga hewan khas Indonesia itu.

”Bukannya maskot Olimpiade Tokyo 2020 lebih keren, ya?” tanya saya, teringat pada maskot bernama Miraitowa dan Someity yang akan dipakai pada penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Jepang.

Dengan kompak, Jun dan Sato menggeleng. ”No! No!” kata mereka. ”Maskot Jepang itu karakter rekayasa, tidak lucu. Lebih bagus maskot Asian Games,” kata Jun. Dalam hati, saya berkata: rumput tetangga memang lebih indah. Ketika banyak orang Indonesia mengatakan maskot Olimpiade 2020 keren, orang-orang Jepang ini malah mengagumi maskot Indonesia! Aneh, he-he-he….

Melalui perkenalan dan interaksi dengan jurnalis-jurnalis asing, banyak hal yang dapat dipelajari. Saya mencermati, jurnalis dan fotografer dari media asal Jepang, Korea, dan China bekerja sangat maksimal. Setiap hari mereka selalu datang ke arena pertandingan lebih awal dari jadwal. Hal ini berbeda sekali dengan karakter warga negara Indonesia yang serba ngaret.

Ketika meliput babak semifinal bulu tangkis, hampir saya tidak dapat tempat duduk karena tribune media sudah penuh wartawan. Padahal, pertandingan pertama pukul 12.00 belum dimulai. Ternyata, sejumlah media asing datang 60-90 menit sebelum laga dimulai sehingga mereka bisa mendapatkan posisi strategis untuk menyaksikan pertandingan.

Selain disiplin soal waktu, jurnalis asing juga tertib menjaga kerapian dan kebersihan. Setiap selesai bekerja, jurnalis Jepang dan Korea akan membersihkan meja sehingga tidak ada sampah yang berserakan. Kursi yang sudah dipakai juga akan dirapikan sebelum mereka meninggalkan ruangan.

Selain itu, mereka sangat perhatian pada teman-temannya. Saat mengambil minuman dingin, misalnya, mereka akan mengambil dua botol, satu untuk diri sendiri dan satu lagi untuk teman yang duduk di sebelahnya.

”Sesungguhnya, melihat mereka bekerja memberi banyak pelajaran berharga. Kadang-kadang jadi malu dengan sikap kerja diri sendiri,” kata Nuris Andi Prastiyo, jurnalis Jawa Pos.

Untuk mengabadikan momen Asian Games, kantor berita Kyodo, Jepang, mengirimkan sekitar 60 awak media yang semuanya merupakan orang Jepang. Mereka terdiri dari reporter, fotografer, tim grafis, dan tata letak. Selama berada di Indonesia, orang-orang Jepang ini tinggal di hotel yang berada di kawasan Blok M. Mereka juga menyewa ruang kerja di MPC.

Sagisawa Iori, fotografer asal kantor berita Kyodo, mengatakan, dirinya mendapat banyak kesan manis selama liputan di Indonesia. ”Di sini panas dan banyak nyamuk. Tetapi orang-orang Indonesia sangat ramah, baik hati, dan mereka selalu tersenyum sepanjang hari,” katanya.

Selama berada di Indonesia, Iori bertugas memotret di Stadion Akuatik GBK. Ia mengabadikan antara lain perlombaan renang, polo air, loncat indah, serta renang artistik. Biasanya, setelah memotret, Iori akan kembali ke MPC untuk mengirimkan foto-foto.

Menurut Iori, udara di MPC sangat dingin, dia sering kali merasa beku di ruang kerja. Namun, makanan dan kopi yang tersedia sangat lezat. ”Secara keseluruhan, saya menikmati berada di Indonesia,” ujarnya.

Interaksi dengan jurnalis asing sebenarnya tidak selalu manis. Adakalanya jurnalis nasional harus tarik urat dengan rekan satu profesi dari negara lain.

Wartawan Kompas, Denty Piawai Nastitie, bersama wartawan foto Jepang, Sato Yuki. (KYODO NEWS/ TANAKA YUSUKE)

Ketika meliput upacara pembukaan Asian Games di Stadion Utama GBK, misalnya, beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan karena mereka menyerobot tempat duduk di bagian tribune media.

Beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan.

”Heran! Padahal sudah ada nomor kursi di tiket masuk. Masih aja nyerobot kursi orang lain,” kata seorang teman, meluapkan kekesalannya.

Saya pernah merasakan kekesalan serupa ketika bertugas pada upacara penutupan. Kursi yang seharusnya menjadi hak saya diisi wartawan lain. Untunglah, setelah saya menyatakan keberatan, jurnalis asing itu bersedia pindah. Namun, masalah lain muncul ketika fotografer Jepang dari Asahi Shimbun yang duduk di sebelah saya menaruh barang-barang berserakan di meja.

Pada satu sisi, saya memahami bahwa fotografer itu membutuhkan meja yang luas untuk menaruh empat kamera dengan lensa-lensa besar. Namun, pada sisi lain, saya juga membutuhkan meja untuk meletakkan komputer jinjing sehingga bisa bekerja dengan nyaman.

Kepada fotografer itu, saya meminta agar ia sedikit bergeser dan merapikan barang-barangnya. Dia lalu meminta maaf karena ketidaknyamanan itu dan segera menggeser barang-barangnya.

Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana.

Selesai meliput penutupan Asian Games di Stadion Utama GBK, saya kembali bertemu dengan Sato dan beberapa rekan jurnalis dari kantor berita Kyodo. Kami bahkan berfoto bareng untuk mengabadikan kenangan terlibat dalam momen bersejarah ini.

Dalam perjalanan kembali ke MPC, Sato bertanya, apakah saya akan meliput Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana,” ujarnya.

Sato kemudian memberikan pin sebagai kenang-kenangan dan tanda persahabatan antarbangsa. ”Arigato!” kata saya, mengucapkan terima kasih. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/09/09/menjalin-persahabatan-dengan-jurnalis-asing-di-sela-asian-games-2018/ tanggal 9 September 2018

 

Read more