Published Works

Sumber tulisan: Universitas Sanata Dharma (usd.ac.id)

Denty Piawai Nastitie, alumnus Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma (USD), pada hari Jumat 8 Februari 2019 menerima penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, atas tulisannya yang inspiratif dengan judul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”, di Restoran Seribu Rasa, Jakarta.

Denty, demikian ia sering disapa, ketika dihubungi via telepon (14/2/18), kembali mengucapkan terima kasih kepada Uni Eropa karena telah memberikan penghargaan terhadap tulisannya yang dimuat di Harian KOMPAS (5/10/2018). “Saya mengucapkan terima kasih banyak buat penghargaan ini kepada Uni Eropa.” ucap Denty. Ia juga kembali mengucapkan terima kasih kepada tempatnya bekerja, Harian KOMPAS, karena telah memberikan ruang baginya untuk menuliskan kisah dan karya jurnalistik yang menarik. “Kepada tempat saya bekerja, Harian KOMPAS, yang sudah memberikan saya ruang buat menuliskan kisah-kisah yang menarik.” sambung Denty.

Denty, dalam tulisannya yang diberi penghargaan oleh Uni Eropa tersebut, hendak menyampaikan kepada publik bahwa kaum disabilitas dan non-disabilitas memiliki hak-hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Hak-hak tersebut dapat berupa aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, dan pendidikan untuk mengembangkan dan menunjukkan potensi yang ada di dalam diri. “Orang-orang disabilitas maupun kita yang non-disabilitas itu sebenarnya punya hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Selama ini, orang-orang dengan kebutuhan khusus itu sering mendapatkan kesulitan dalam beraktivitas sehari-hari karena minimnya aksesibilitas, fasilitas, kesempatan bekerja, kesempatan pendidikan, sehingga sulit membuat mereka berkembang. Kebanyakan orang-orang dengan kebutuhan khusus memilih untuk bersembunyi dari pada menunjukkan potensi diri.” ungkap Denty.

Denty, yang secara intens mengikuti persiapan hingga penyelenggaraan Asian Games dan Asian Para Games 2018, juga menyampaikan bahwa Asian Para Games (6-13/10/2018) telah menunjukkan bahwa ketika kaum disabilitas diberikan kesempatan yang sama seperti ketika kaum non-disabilitas berperan dalam Asian Games (18/8-2/9/2018), kaum disabilitas pun dapat menunjukkan potensi yang ada dalam diri mereka. “Dari Asian Para Games kemarin, kita bisa melihat bahwa orang-orang yang dengan kebutuhan khusus itu, ketika mereka punya mimpi, punya cita-cita, terus diiringi dengan kerja keras, mereka bisa menunjukkan potensi dirinya.” lanjut Denty.

Denty, yang ditugaskan di bidang olahraga Harian KOMPAS sejak 2016, mengungkapkan perasaannya yang senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka ketika tulisannya mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa. “Perasaan saya tentu saja senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka.” ungkap Denty. Namun, Denty yang diangkat menjadi wartawan Harian KOMPAS sejak 2014 memberi catatan terhadap penghargaan yang diberikan oleh Uni Eropa bahwa semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi harus terus menggema dan tidak berhenti. “Buat saya yang lebih penting adalah bagaimana tulisan saya, karya-karya jurnalistik saya, dan teman-teman lainnya yang juga mendapat penghargaan, terutama terkait disabilitas ini, bisa terus menggema. Jadi, jangan sampai begitu Asian Games dan Asian Para Games selesai, semangat kesetaraan dan semangat anti diskriminasi itu berhenti.” tegas Denty.

Denty, yang memulai karirnya dengan magang di Harian KOMPAS sejak lulus dari USD pada 2013, tidak lupa mengucapkan terima kasih untuk pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama kuliah di USD. “Terima kasih juga buat pengalaman-pengalaman selama kuliah di Universitas Sanata Dharma. Saya belajar banyak di Universitas Sanata Dharma, terutama nilai-nilai kemanusiaan dan semangat kesetaraan yang selalu saya dapatkan dari dosen-dosen di Universitas Sanata Dharma.” ucap Denty.

Tidak lupa pula, Denty yang aktif di dalam dan di luar kelas perkuliahan ketika menjadi mahasiswi USD, memberi harapan dan pesan kepada ‘adik-adik’nya yang masih berkuliah di USD dalam mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. “Saya berharap dengan adanya penghargaan ini, mahasiswa-mahasiswi USD bisa memanfaatkan waktu dan kesempatan selama kuliah dengan sebaik-baiknya. Dan, enggak cuma aktif di kelas tetapi juga mencari pengalaman dan ilmu di luar kelas, di organisasi-organisasi yang lain. Karena, pengalaman-pengalaman selama kuliah, baik di kelas maupun di luar kelas, menurut saya akan sangat bermanfaat ketika masuk di dunia kerja.” harap dan pesan Denty. Denty pun melanjutkan harapan dan pesannya bahwa interaksi dengan masyarakat luas adalah ilmu yang tidak boleh dilupakan begitu saja. “Ketika kita kuliah, harus diimbangi dengan banyak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luas, Interaksi kita dengan masyarakat luas itu akan menambah ilmu kita.” lanjut Denty.

(AH & YS)

Read more

Sumber tulisan: Kemenpora
Jakarta: Sebagai perempuan yang berprofesi seorang jurnalis, Denty Piawai Nastitie memiliki cara sendiri dalam memaknai Hari Kartini yang tepat diperingati pada tanggal 21 April. Dengan sebuah karya tulis, Denty ingin perempuan muda Indonesia harus merdeka dan bebas.
“Sosok Kartini masa kini adalah perempuan-perempuan merdeka yang bisa bebas berekspresi, bebas menyatakan pendapat, punya pemikiran terbuka, punya wawasan luas, bisa mengakses pendidikan berkualitas, bisa mengakses layanan kesehatan dan reproduksi berkualitas,” tutur Denty.
Terjun ke dunia jurnalisme bagi Denty bukan tanpa alasan, perempuan yang menyukai fotografi ini mengaku bahwa ia memang gemar menulis. Denty sendiri telah banyak meliput dan menulis kegiatan-kegiatan olahraga baik di dalam maupun di luar negeri.
Salah satu tulisannya yang berjudul “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” bahkan mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa pada tahun 2018, karena dinilai sebagai sebuah karya jurnalistik yang mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dan anti diskriminasi. Bagi Denty, pencapaian yang paling membanggakan adalah ketika tulisan yang Ia buat bisa membawa dampak positif bagi orang lain.
Lewat karya tulisnya Denty konsisten menyuarakan pemikiran-pemikiran dan konsep kebebasan perempuan. Ia kerap menulis artikel berkaitan dengan masalah gender dan diskriminasi. Denty membahas bagaimana atlet-atlet perempuan dihadapkan dengan sikap diskriminatif dari kaumnya sendiri.
Denty tak pernah lupa meluangkan waktu untuk menjalani hobi traveling dan memotret. Pengalaman dan pelajaran yang ia peroleh dalam perjalanannya juga dituangkan dalam blog pribadinya http://rambutkriwil.com. Melalui perjalanan karir dan passionnya Denty menyampaikan bahwa pemikiran tentang kebebasan perempuan baginya bukan retorika semata. Ia berhasil merealisasikannya lewat pilihan yang ia buat, yaitu berkarir sambil menikmati hidup.
Oleh karena itu, perayaan Hari Kartini penting untuk membangun kekuatan sesama perempuan agar dapat saling mendukung dalam berbagai aspek kehidupan.“Kartini masa kini hendaknya mempunyai otoritas penuh terhadap tubuhnya, punya cita-cita dan berdaya mewujudkan cita-cita itu. Perempuan masa kini seharusnya tidak saling berkompetisi, tetapi memanfaatkan energi dan jaringan untuk berkolaborasi membangun negeri,” tambah Denty.
“Perempuan seharusnya dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kualitas diri. Jangan jadikan media sosial sebagai tempat mengeluh. Sosial media akan lebih bermanfaat bila tidak digunakan untuk bertukar gosip atau saling menjatuhkan sesama perempuan. Sebaliknya manfaatkan kemajuan teknologi untuk maju bersama. Misalnya untuk mengembangkan bakat, untuk mengakses pengetahuan berkualitas, untuk membuka jaringan usaha dan lain-lain,” harap Denty.(uci/sin)
Read more

dari Brussels, Belgia

Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga, seperti Olimpiade, juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.

Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban, di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa (UE) menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara di luar UE.

Ada tiga rencana kerja UE terkait olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE mem-
bentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.

Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.

Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun 2017-2020. Program yang dibuat, misalnya, pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.

Esteban mengakui, jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Namun, ini masih dalam proses,” katanya.

Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.

Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.

Asian Games

 

Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.

Berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagai informasi, anggaran Kemenpora sebesar Rp 1,951 triliun, jauh dari total belanja negara mencapai Rp 2.439,7 triliun di dalam RAPBN 2019. Adapun anggaran yang dipakai untuk peningkatan prestasi olahraga hanya Rp 986,284 miliar.

Bukan hanya terkait besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, untuk memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.

Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus kepada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.

”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” ucapnya.

Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.

”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima semua lapisan masyarakat,” tuturnya. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 24 April, 2019

Read more

Setelah Indonesia menyelenggarakan pemilu, 17 April lalu, giliran Uni Eropa mengadakan pemilu parlemen Eropa pada 23 Mei 2019. Sebelum seluruh mata dunia tertuju pada pemilu Eropa, Kompas berkesempatan mengintip ruang kerja politikus dan jurnalis di markas UE di Brussels, Belgia.

Ada empat tempat utama yang dikunjungi atas undangan delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam itu, yaitu Kantor Parlemen Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, dan Layanan Tindakan Eksternal Eropa (European External Action Service/EEAS). Hampir semua kantor institusi UE berada di kawasan yang berdekatan di Schuman Roundabout. Dari satu kantor ke kantor lain cukup ditempuh dengan jalan kaki, seperti berada di kawasan Asia Afrika, Jakarta Pusat.

Kantor-kantor itu tidak hanya menjadi tempat kerja pemimpin negara dan politikus dalam menyuarakan kepentingan negaranya, tetapi juga ruang jurnalis berjibaku meliput, mewawancarai narasumber, dan mengabarkan informasi lintas sektor ke seluruh dunia. Untuk membantu kerja jurnalis, Komisi Eropa rutin menggelar konferensi pers. Senin (8/4/2019) itu, konferensi pers membahas kebijakan perlindungan petani sebagai dampak Brexit, kecerdasan buatan, dan potensi gangguan keamanan siber jelang pemilu Eropa.

Hari itu, udara Brussels dingin dengan suhu 4 derajat celsius. Namun, materi konferensi pers yang serius dan melibatkan banyak kepentingan membuat suhu hangat.

Saat konferensi pers, rombongan jurnalis Indonesia ditempatkan di kursi barisan paling belakang bersama jurnalis dari Polandia yang juga sedang melakukan kunjungan kerja. Kami memakai tanda pengenal bertuliskan ”observer”. Di mimbar, staf Uni Eropa mengumumkan kunjungan jurnalis. ”Mari kita sambut kedatangan jurnalis Indonesia,” katanya.

Dengan malu-malu, jurnalis Indonesia berdiri dan melambaikan tangan kepada rekan-rekan jurnalis asing. Siapa saja bisa mengikuti konferensi pers, tetapi hanya jurnalis terakreditasi yang diperkenankan mengajukan pertanyaan.

Untuk meliput kegiatan di Parlemen Eropa, jurnalis juga perlu mengurus akreditasi. Saat ini, terdapat 1.000 jurnalis terakreditasi di lembaga itu. Jumlah ini hampir sama dengan jurnalis peliput kegiatan Pemerintah Amerika Serikat di Gedung Putih, Washington DC, AS. Bedanya, kebanyakan jurnalis di Washington DC berasal dari negara-negara di luar AS, sedangkan di Brussels mayoritas dari negara-negara UE.

Parlemen Eropa mempunyai tim khusus untuk membantu kerja jurnalis. Tim ini bertugas mendampingi jurnalis dan menyediakan informasi berdasarkan fakta. Setiap petugas mempunyai spesialisasi di bidang khusus, seperti hubungan internasional, kesetaraan jender, dan antidiskriminasi. Mereka juga menguasai bahasa asing selain bahasa Inggris.

Jurnalis yang sudah terakreditasi di Parlemen Eropa berhak meliput, menghadiri konferensi pers, mewawancarai narasumber, dan menggunakan fasilitas kerja yang tersedia. Fasilitas di Parlemen Eropa sangat lengkap dan dapat digunakan oleh reporter, jurnalis televisi, dan jurnalis radio. Fasilitas yang disediakan mulai dari rekaman multimedia, infografis, suara, galeri foto, radio, dan studio televisi. Layanan audiovisual juga menyediakan transmisi langsung ke rapat komite dan pleno. Semuanya ini bisa diakses secara gratis.

Parlemen Uni Eropa juga rutin mengadakan konferensi pers yang terbagi menjadi tiga, yaitu menjelang, di antara, dan setelah sidang. Konferensi pers menjelang sidang dilakukan untuk memberikan latar belakang informasi kepada wartawan mengenai materi yang akan diliput. Konferensi di antara sidang untuk memberikan informasi terkini jalannya persidangan. Konferensi pers setelah sidang menginformasikan kesepakatan negara-negara UE.

Selama sidang berlangsung, anggota parlemen dari 28 negara anggota UE dapat berkomunikasi dengan memanfaatkan penerjemahan dalam 24 bahasa. Jurnalis juga bisa menyaksikan jalannya sidang di tempat yang disediakan serta dimanjakan siaran pers dan artikel dalam 24 bahasa.

Juru Bicara Parlemen Eropa Jaume Duch Guillot mengatakan, Uni Eropa menghadapi tantangan lebih serius dari sebelumnya sehingga membutuhkan media independent dan kuat untuk membantu masyarakat memahami isu dan tetap terhubung dengan perwakilan terpilih. “Oleh karena itu, Parlemen Eropa mengutamakan keterbukaan dan kekuatan interaksi dengan masyarakat dengan menyediakan fasilitas dan layanan untuk media,” kata dia. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 21 April 2019

Read more

Sebagai jurnalis olahraga, saya suka heran dengan komentar-komentar nyinyir terkait prestasi perempuan atlet. Beberapa komentar itu, misalnya, “Ih, tuh atlet hormonnya pasti laki-laki, makanya kuat banget larinya,” atau “Busyet, tenaga cowok! Muka dan fisiknya juga cowok banget!! Nggak kelihatan feminim! Pantesan juara!” atau ada juga yang sibuk ngurusin orientasi seksual si atlet, “Gayanya matcho, pasti dia suka cewek. Pasti dia lesbian.” –__–“

Tambah heran karena komentar-komentar itu sering keluar dari sesama perempuan. Saya pikir kejamnya budaya dan pemikiran patriarki sudah mendarah daging hingga anggapan bahwa laki-laki selalu lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, diamini hampir semua lapisan masyarakat, termasuk perempuan.

Itulah sebabnya, ketika ada perempuan atlet berprestasi, dianggapnya apa yang ada pada tubuhnya, seperti hormon, tenaga, dan pikiran, adalah milik laki-laki. Nggak pernah tuu (ato jarang) saya mendengar komentar mengenai laki-laki atlet, yang sukses dalam olahraga yang mengutamakan kelenturan tubuh, seperti senam atau wushu, dinyinyiri bahwa dia mewakili hormon perempuan.

Anggapan bahwa laki-laki lebih hebat, lebih kuat, lebih jago, dari perempuan, membuat masyarakat tidak menghargai perjuangan perempuan atlet sebagai mana mestinya. Bukankah di balik prestasi seorang atlet, ada kerja keras, usaha, disiplin, perjuangan, pengorbanan, tidak hanya ketika latihan, tetapi juga ketika melawan budaya dan pemikiran NGEHE yang biasanya lebih menempatkan perempuan berada di ruang domestik, daripada di ruang publik.

Termasuk ketika ada perempuan atlet yang menikah, hamil, dan melahirkan, mostly prestasinya akan terhambat atau bahkan berhenti sama sekali karena si atlet selanjutnya memutuskan untuk stay di rumah, membesarkan anak, dan merawat suami. Itu memang pilihan si atlet, I know, tetapi bukankah budaya dan pemikiran patriarki, sekali lagi sudah menyusup di sendi-sendi otak sebagian besar masyarakat, termasuk si atlet itu sendiri, sehingga secara sadar-gak-sadar dia akhirnya “mengorbankan” prestasinya demi memenuhi tuntutan peran gender berada di ruang domestik.

((Awal Januari lalu, saya menulis artikel tentang mendesaknya regenerasi atlet dayung mengingat sejumlah pedayung Indonesia, terutama pedayung putri, banyak yang mengundurkan diri dari pelatnas karena menikah. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/11/pedayung-yunior-dipanggil-ke-pelatnas/Tuntutan regenerasi juga mendesak di tim angkat besi karena salah satu lifter putri andalan Indonesia untuk Olimpiade Tokyo 2020 menikah dan selanjutnya cuti dari pelatnas karena tengah mengandung. Baca artikel:https://kompas.id/baca/olahraga/2019/01/07/tuntutan-regenerasi-atlet-mendesak/))

Sekarang bandingkan dengan laki-laki atlet, berapa banyak yang mengundurkan diri dari pemusatan latihan karena menikah?? Banyak laki-laki, malah beranggapan dengan berkeluarga mereka lebih fokus untuk mengembangkan diri. Artinya adalah, selain kemauan keras dari si atlet untuk berprestasi, serta dukungan fasilitas latihan dari federasi olahraga dan pemerintah, dibutuhkan lingkungan yang menunjang untuk membuat seorang atlet mencapai puncak penampilannya.

Atlet yang saya suka, yang sudah mendobrak pemikiran-pemikiran patriarki, salah satunya Serena Williams. Saat dia mengandung, Serena tetap bermain tenis bahkan menjadi juara di Australia Terbuka. Setelah melahirkan sekali pun, dia tetap berlaga. Masih inget ‘kan dengan foto Serena bertanding, sementara suami dan anaknya duduk di pinggir lapangan memberi dukungan? 🙂

Serena mengatakan, my power is sexy!! But once again, lagi-lagi sering dibilangnya: Serena mah cowok, hormon cowok, muka juga cowok. Duhh plis, kenapa kita nggak pernah menghargai perjuangan perempuan sebagaimana adanya?? (Garuk-garuk tembok!)

Sebagai jurnalis olahraga, — selain heran dengan pemikiran-pemikiran lawas yang meremehkan peran perempuan — saya bersyukur karena baru-baru ini mendapatkan penghargaan dari Uni Eropa karena tulisan saya “Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan” dinilai telah menunjukkan keterampilan jurnalistik yang sangat baik, dibuat dengan penelitian mendalam, dan menceritakan kisah-kisah menawan. Tulisan saya bersama empat jurnalis lainnya dianggap relevan dalam usaha meningkatkan kesadaran publik di Indonesia tentang universalitas hak asasi manusia dan mempunyai relevansi dengan nilai-nilainya, yaitu non-diskriminasi, kesetaraan gender, toleransi dan keragaman.

Artikel saya juga dinilai punya peran penting dalam meningkatkan kesadaran bagi warga negara dan pemerintah untuk mengambil langkah yang berarti untuk memerangi diskriminasi dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia untuk semua warga. Pengumuman pengharagaan: https://eu4wartawan.id Beberapa artikel terkait penghargaan:https://kompas.id/baca/utama/2019/02/08/suarakan-kesetaraan-bagi-difabel-wartawati-kompas-raih-penghargaan/ada juga di web kampushttps://www.usd.ac.id/berita.php?id=3904&fbclid=IwAR2Jfp4x8LZkEyJlBbuwHzXbrmXhxJn_q7JWkGDIH73zJd0ERHUhrFvsmjQ

Ini adalah pengharagaan saya pertama setelah MH Thamrin (2016) dan pengharagaan sebagai penulis travel terbaik dari Kementerian Pariwisata (2015). Tentu saja, saya merasa senang, bangga, terharu, dan tidak menyangka dengan pengharagaan ini. Penghargaan ini penting untuk “faktor pendukung” di sekeliling saya yang sudah memberikan ruang saya untuk berkarya, mulai dari tempat saya bekerja di harian KOMPAS, juga keluarga yang akhirnya nyerah dan mengizinkan saya pergi-pagi-pulang-pagi atas nama cinta kerjaan. Hahahha. Karya dan penghargaan ini saya dedikasian untuk KALEAN!! Juga untuk countless narsum yang sudah rela saya kontak gak kenal waktu demi lahirnya karya ini.

Minggu lalu, saya bertemu teman yang bertanya, gimana sih caranya bisa pengharagaan?? “Gue suka malas ikut-ikut lomba, tapi akhirnya suka bete sendiri kalau lihat ada teman yang bisa menang lomba karya atau dapat penghargaan,” kata dia.

Kalau gitu jawabannya jelas! Pertama, jangan malas, termasuk jangan malas ikutan lomba jurnalistik. Karya sebagus apa pun gak akan menang lomba kalau dewan juri gak lihat atau baca karya itu. (Kecuali ada kasus lain, seperti punya gebetan super baik hati yang mengirimkan karya kita ke suatu lomba secara diam-diam, trus kita bisa TERKEJYUT MANTJA karena tiba-tiba saja menang lomba… atau mungkin emang ada dewan juri yang mau ngulik-ngulik media massa untuk mencari penulis yang layak diberi pengharagaan – saya pernah sekali mengalami hal itu, nggak ikutan lomba tau-tau dapat hadiah hehehe). Kedua, jangan malas berkarya! Kalau suka menulis, maka menulislah. Kalau suka memotret, maka memotetlah! Kalu suka sama seseorang, uangkapkanlah! (*Ehhh… gimanaa… hahhaa) Lebih baik punya ide sederhana tapi berwujud karya, dari pada ide briliant tapi masih di angan-angan. Demikian random thought malam ini.

 

Jakarta, pas tanggal tua ditulis menggunakan hendpon jadul.

 

Denty Piawai Nastitie

(Foto2: Grandyos Zafna)

Read more

Asian Games 2018 baru saja berakhir. Kenangan akan penyelenggaraan pesta olahraga antarnegara se-Asia itu tidak hanya meninggalkan kesan bagi atlet, pelatih, relawan, dan penonton, tetapi juga membekas bagi jurnalis dan fotografer yang selama dua pekan penuh meliput kegiatan ini.

Bagi pewarta, mengabadikan peristiwa bersejarah Asian Games pada 18 Agustus-2 September 2018 menjadi kebanggaan serta menciptakan persahabatan antarrekan seprofesi yang tak mengenal batas geografis, bahasa, suku, agama, warna kulit, atau warna bendera negara sekalipun.

Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) mencatat, ada 11.000 orang dengan akreditasi penyiar (broadcaster), jurnalis, dan fotografer dari 47 negara datang ke Indonesia. Mereka bertugas menggaungkan semangat Asian Games ke seluruh dunia. Penyiar dan jurnalis berjibaku meliput kejuaraan yang tersebar di arena Jakarta, Palembang, Jawa Barat, dan Banten.

Untuk mengabarkan berbagai peristiwa dan seluk-beluk Asian Games, ribuan awak media ”berkantor” di Main Press Center (MPC) dan International Broadcast Center (IBC) yang berada di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan. Ruang kerja juga tersedia di setiap arena pertandingan.

Tribune media di Stadion Utama Gelora Bung Karno. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Di MPC, fasilitas yang tersedia antara lain kabel LAN, Wi-Fi, soket listrik, data, komputer, layar lebar untuk menyaksikan pertandingan, termasuk makanan. MPC terdiri atas dua lantai. Di bagian bawah ada lobi dengan sofa-sofa empuk, ruang kerja, dan ruang makan. Sementara lantai atas merupakan ruang konferensi pers, ruang pertemuan, dan beberapa ruang khusus kantor media asing.

Biasanya, setelah meliput pertandingan olahraga, jurnalis akan berdatangan dan berkumpul di MPC. Di tempat inilah, awak media menulis, mengirimkan foto-foto, mengedit berita, juga beristirahat, melepas penat, dan bercengkerama dengan teman-teman dari sejumlah media.

Di MPC, adakalanya jurnalis bekerja sangat serius untuk melaporkan berbagai peristiwa sesuai tenggat. Saat deadline, wajah-wajah para pewarta seperti ”senggol-bacok”. Apalagi, kalau pertandingan selesai larut malam, semua fokus pada tugas masing-masing. Begitu berita dan foto-foto sudah dikirimkan, lega rasanya. Inilah saatnya untuk bercengkerama dan melepas kepenatan.

Biasanya, begitu selesai mengirimkan berita, saya akan menikmati makanan dan minuman di ruang yang sudah disediakan. Di ruang makan inilah, kadang-kadang saya berkenalan dengan teman dari media lain.

Suatu hari, setelah meliput pembukaan Asian Games, saya berkenalan dengan Hirata Jun dan Sato Yuki dari kantor berita Kyodo, Jepang.

Saat itu, Jun (yang kemudian namanya dipelesetkan menjadi Junaedi) dan Sato mengomentari betapa lucunya maskot Asian Games. Saking sukanya pada maskot Asian Games, Jun dan Sato serta Ed Sha Restian (jurnalis Kyodo) berkali-kali foto bareng dengan boneka raksasa Bhin-bhin, Atung, dan Kaka, yang berada di depan MPC.

Tiga maskot Asian Games 2018 mengikuti defile saat upacara pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8/2018). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Mereka lalu menunjukkan hasil foto dengan aneka pose, seperti memeluk dan bersandar pada boneka yang merepresentasikan tiga hewan khas Indonesia itu.

”Bukannya maskot Olimpiade Tokyo 2020 lebih keren, ya?” tanya saya, teringat pada maskot bernama Miraitowa dan Someity yang akan dipakai pada penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Jepang.

Dengan kompak, Jun dan Sato menggeleng. ”No! No!” kata mereka. ”Maskot Jepang itu karakter rekayasa, tidak lucu. Lebih bagus maskot Asian Games,” kata Jun. Dalam hati, saya berkata: rumput tetangga memang lebih indah. Ketika banyak orang Indonesia mengatakan maskot Olimpiade 2020 keren, orang-orang Jepang ini malah mengagumi maskot Indonesia! Aneh, he-he-he….

Melalui perkenalan dan interaksi dengan jurnalis-jurnalis asing, banyak hal yang dapat dipelajari. Saya mencermati, jurnalis dan fotografer dari media asal Jepang, Korea, dan China bekerja sangat maksimal. Setiap hari mereka selalu datang ke arena pertandingan lebih awal dari jadwal. Hal ini berbeda sekali dengan karakter warga negara Indonesia yang serba ngaret.

Ketika meliput babak semifinal bulu tangkis, hampir saya tidak dapat tempat duduk karena tribune media sudah penuh wartawan. Padahal, pertandingan pertama pukul 12.00 belum dimulai. Ternyata, sejumlah media asing datang 60-90 menit sebelum laga dimulai sehingga mereka bisa mendapatkan posisi strategis untuk menyaksikan pertandingan.

Selain disiplin soal waktu, jurnalis asing juga tertib menjaga kerapian dan kebersihan. Setiap selesai bekerja, jurnalis Jepang dan Korea akan membersihkan meja sehingga tidak ada sampah yang berserakan. Kursi yang sudah dipakai juga akan dirapikan sebelum mereka meninggalkan ruangan.

Selain itu, mereka sangat perhatian pada teman-temannya. Saat mengambil minuman dingin, misalnya, mereka akan mengambil dua botol, satu untuk diri sendiri dan satu lagi untuk teman yang duduk di sebelahnya.

”Sesungguhnya, melihat mereka bekerja memberi banyak pelajaran berharga. Kadang-kadang jadi malu dengan sikap kerja diri sendiri,” kata Nuris Andi Prastiyo, jurnalis Jawa Pos.

Untuk mengabadikan momen Asian Games, kantor berita Kyodo, Jepang, mengirimkan sekitar 60 awak media yang semuanya merupakan orang Jepang. Mereka terdiri dari reporter, fotografer, tim grafis, dan tata letak. Selama berada di Indonesia, orang-orang Jepang ini tinggal di hotel yang berada di kawasan Blok M. Mereka juga menyewa ruang kerja di MPC.

Sagisawa Iori, fotografer asal kantor berita Kyodo, mengatakan, dirinya mendapat banyak kesan manis selama liputan di Indonesia. ”Di sini panas dan banyak nyamuk. Tetapi orang-orang Indonesia sangat ramah, baik hati, dan mereka selalu tersenyum sepanjang hari,” katanya.

Selama berada di Indonesia, Iori bertugas memotret di Stadion Akuatik GBK. Ia mengabadikan antara lain perlombaan renang, polo air, loncat indah, serta renang artistik. Biasanya, setelah memotret, Iori akan kembali ke MPC untuk mengirimkan foto-foto.

Menurut Iori, udara di MPC sangat dingin, dia sering kali merasa beku di ruang kerja. Namun, makanan dan kopi yang tersedia sangat lezat. ”Secara keseluruhan, saya menikmati berada di Indonesia,” ujarnya.

Interaksi dengan jurnalis asing sebenarnya tidak selalu manis. Adakalanya jurnalis nasional harus tarik urat dengan rekan satu profesi dari negara lain.

Wartawan Kompas, Denty Piawai Nastitie, bersama wartawan foto Jepang, Sato Yuki. (KYODO NEWS/ TANAKA YUSUKE)

Ketika meliput upacara pembukaan Asian Games di Stadion Utama GBK, misalnya, beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan karena mereka menyerobot tempat duduk di bagian tribune media.

Beberapa jurnalis nasional harus bersitegang dengan wartawan dari negara-negara Asia Selatan.

”Heran! Padahal sudah ada nomor kursi di tiket masuk. Masih aja nyerobot kursi orang lain,” kata seorang teman, meluapkan kekesalannya.

Saya pernah merasakan kekesalan serupa ketika bertugas pada upacara penutupan. Kursi yang seharusnya menjadi hak saya diisi wartawan lain. Untunglah, setelah saya menyatakan keberatan, jurnalis asing itu bersedia pindah. Namun, masalah lain muncul ketika fotografer Jepang dari Asahi Shimbun yang duduk di sebelah saya menaruh barang-barang berserakan di meja.

Pada satu sisi, saya memahami bahwa fotografer itu membutuhkan meja yang luas untuk menaruh empat kamera dengan lensa-lensa besar. Namun, pada sisi lain, saya juga membutuhkan meja untuk meletakkan komputer jinjing sehingga bisa bekerja dengan nyaman.

Kepada fotografer itu, saya meminta agar ia sedikit bergeser dan merapikan barang-barangnya. Dia lalu meminta maaf karena ketidaknyamanan itu dan segera menggeser barang-barangnya.

Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana.

Selesai meliput penutupan Asian Games di Stadion Utama GBK, saya kembali bertemu dengan Sato dan beberapa rekan jurnalis dari kantor berita Kyodo. Kami bahkan berfoto bareng untuk mengabadikan kenangan terlibat dalam momen bersejarah ini.

Dalam perjalanan kembali ke MPC, Sato bertanya, apakah saya akan meliput Olimpiade Tokyo 2020. ”Saya harap kamu datang ke Tokyo. Saya akan menunggu kamu di sana,” ujarnya.

Sato kemudian memberikan pin sebagai kenang-kenangan dan tanda persahabatan antarbangsa. ”Arigato!” kata saya, mengucapkan terima kasih. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/09/09/menjalin-persahabatan-dengan-jurnalis-asing-di-sela-asian-games-2018/ tanggal 9 September 2018

 

Read more

Pertemuan saya dengan Winarni (42) terjadi tidak sengaja. Pada Jumat (27/7/2018) sore, saya datang ke pelatnas angkat besi di Mess Perwira AL Kwini, Jakarta Pusat, untuk melihat persiapan akhir tim angkat besi Indonesia menjelang Asian Games 2018.

Di sana, saya bertemu dengan trio atlet Olimpiade Sydney 2000 yang sedang memberi motivasi kepada atlet. Trio Olimpian itu adalah peraih medali perunggu angkat besi pada Olimpiade Sydney 2000, Sri Indriyani (kelas 48 kilogram) dan Winarni (53 kg), serta atlet tenis meja Ismu Harinto.

Kesempatan itu saya gunakan untuk mewancarai para Olimpian mengenai pengalaman mereka menghadapi kejuaraan besar dan bagaimana para atlet mengatasi tekanan mental.

Di sela-sela wawancara itu, sejumlah pelatih dan atlet menanyakan kabar anak Winarni, yang juga merupakan juara dunia angkat besi pertama Indonesia pada 1997. “Memang sakit apa Mbak anaknya?” tanya saya, kepada Winarni, yang juga meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney 2000.

Mulanya Winarni tidak mau menjawab. Untuk menghormati privasi narasumber, saya tidak terlalu mendesak dan menuntut jawaban.

Setelah latihan selesai, saya bersiap-siap meninggalkan tempat pelatnas. Ketika itulah, seseorang memberi tahu bahwa anak Winarni sakit parah dan membutuhkan biaya hingga ratusan juta untuk biaya pengobatan. “Winarni berniat jual rumah untuk kesembuhan anaknya,” ujarnya.

Hah, serius? Separah itu sakitnya?” tanya saya, tidak percaya.

Saya kemudian kembali mendekati Winarni untuk menanyakan kondisi anaknya. Ketika ditanya, Winarni langsung menangis. “Saya tidak mau bercerita tentang anak saya. Kalau ditanya (tentang anak), saya pasti menangis. Lagian kalau saya sudah cerita, memang ada yang mau membantu?” kata Winarni, sambil berurai air mata.

Kata-kata Winarni menyayat hati saya. Sebagai jurnalis, sejujurnya saya sempat merasa sanksi apakah tulisan saya akan berdampak untuk narasumber. Namun, sesegera mungkin saya tepis pikiran tersebut. Saya meyakinkan diri sendiri bahwa untaian kata mempunyai kekuatan untuk menggerakkan hati manusia.

Saya selalu percaya bahwa karya jurnalistik mempunyai nasibnya sendiri, entah itu bernasib buruk, misalnya, dengan tidak dimuatnya sebuah tulisan, atau bisa juga bernasib baik dengan dimuatnya tulisan dan membawa manfaat bagi banyak orang. “Mudah-mudahan kali ini memberi manfaat,” kata saya dalam hati.

Kepada Winarni, saya sampaikan bahwa saya tidak berjanji karya jurnalistik yang akan saya buat bisa menolongnya. “Mungkin saja (tulisan) menjadi jalan, mungkin juga bukan jalan. Tetapi, kenapa tidak kita coba? Bukankah kita tidak boleh putus harapan, dan mencoba segala hal untuk menolong kesembuhan putra Ibu?”

Peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 Winarni (kanan) mengamati lifter Syarah Anggraini yang sedang berlatih untuk Asian Games 2018 di pelatnas angkat besi, Jakarta, Sabtu (28/7/2018. Tampil tenang dan percaya diri diharapkan jadi kunci kesuksesan atlet.
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE (DNA)

Sesaat, Winarni terdiam. Dia menarik nafas panjang, kemudian mulai menceritakan nasib putra bungsunya, Achmad Fariz Taufik (2,5), yang terlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus atau kondisi tidak berkembangnya usus pada janin. Kondisi itu membuat Fariz tidak bisa menelan makanan dan minuman. Ia hanya bisa menjilat makanan, tetapi tidak boleh memasukkan makanan ke mulut. Selain kelainan itu, Fariz juga menderita gangguan jantung dan paru-paru.

Ketika masih berusia kurang dari 30 hari, Fariz sudah menjalani dua kali operasi, yaitu operasi untuk melubangi tenggorokannya sebagai jalan keluar air liur, serta operasi untuk membuat jalan makan di perut. Melalui jalan makan itu, susu disuntikkan setiap 1,5 jam tiap hari.

Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam.

Pernah suatu ketika Fariz meminta makan karena melihat kakak-kakanya menyantap makan siang. Akhirnya, Winarni mengizinkan Fariz menjilat makanan. “Jangan ditelan ya, Nak,” kata Winarni.

Winarni menuturkan, kalau sampai ada makanan atau cairan yang masuk ke tenggorokan anaknya, efek yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya karena benda itu bisa masuk ke organ tubuh lainnya.

Fariz pernah dirawat di RSCM selama tiga bulan. Ketika Fariz dirawat di RSCM, Winarni harus memompa jantung anaknya selama 24 jam. “Ketika itu, perawat tidak ada yang mau mengambil risiko karena kalau memompa jantung terlalu kencang bisa mengakibatkan jantungnya pecah. Kalau terlalu lambat, paru-paru pecah. Akhirnya saya sebagai ibu memompa jantung anak saya dengan tangan saya sendiri,” ujarnya.

Berita di Kompas saat Winarni juara dunia angkat besi pada 1997, terbit pada edisi 8 Desember 1997, halaman 16.

Keterbatasan biaya membuat Winarni kesulitan mengobati anaknya. Ketika Fariz menjalani operasi, Winarni dan suaminya harus tidur di emperan rumah sakit selama tiga bulan karena tak mampu menyewa kamar untuk bermalam. Setiap hari Winarni kepanasan dan kehujanan demi menantikan kesembuhan anaknya.

Winarni menceritakan kisah itu sambil terus terus-terusan menangis. Saya sampai harus mematikan perekam suara beberapa kali untuk menenangkan dia. Kata Winarni, dia tidak pernah menceritakan kondisi anaknya secara detail kepada orang lain, apalagi sampai diwawancarai seorang jurnalis. “Tetapi, beban ini tidak bisa saya tanggung sendirian,” kata Winarni.

Ketika mewawancarai narasumber, sebenarnya saya mudah tersentuh. Namun, kedalaman kesedihan Winarni membuat saya hanya bisa berdiam diri. Saya teringat keponakan saya yang berusia delapan bulan. Tidak tega rasanya membayangkan seorang bocah harus melalui perjuangan hidup yang begitu berat. Cerita Winarni juga membuat saya berkaca pada diri sendiri. Ketika setiap hari saya bisa menikmati kelezatan makan dan minum, ada anak yang tak bisa menelan setetes pun ASI.

Winarni mengatakan, ketika dirinya masih menjadi atlet, ibunya selalu berdoa siang dan malam agar dirinya menjadi juara dunia. “Sekarang saya sudah menjadi juara. Sekarang saatnya saya berdoa siang dan malam dan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Fariz,” kata dia.

Keesokan harinya, saya kembali ke pelatnas angkat besi. Saya masih melihat Winarni menangis dan saya kembali berusaha menenangkannya. Saya sampaikan bahwa saya memerlukan data-data pendukung. Namun, karena ini berkaitan dengan istilah medis, saya perlu Winarni menjelaskan secara rinci. “Saya mohon Ibu Winarni jangan menangis dulu, yaa. Penjelasan Ibu sangat penting untuk tulisan ini,” kata saya.

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, saya baru berani menulis kisah Winarni dengan judul: “Mantan Atlet Angkat Besi: Juara Dunia Berjuang demi Kesembuhan Anak”. Tulisan itu dimuat di Kompas, Minggu (29/7/2018).

Siapa sangka, setelah dimuat, tulisan tersebut ramai dibicarakan warganet. Melalui Twitter, foto kliping tulisan itu dibagikan oleh penulis dan konsultan kreatif Maman Suherman. Dalam cuitannya, Maman menuliskan pada kolom komentar, ”Pak Presiden @jokowi, Pak Menpora @KEMENPORA_RI, bisakah mantan juara dunia dan peraih perunggu Olimpiade Sydney 2000 ini dibantu? Terimakasih. @hariankompas”. Cuitan tersebut telah dibagikan ulang hingga lebih dari 2.000 kali, disukai lebih dari 1.000 orang, serta mendapat komentar dari ratusan warganet.

Pada Minggu siang, Media Relation dari platform penggalangan dana digital Kitabisa.com, Alvi Anugerah, menghubungi saya. Alvi menyampaikan bahwa Maman Suherman berencana membuat penggalangan dana untuk Winarni dan anaknya Fariz. Hal itu dilakukan karena banyak warganet yang tertarik untuk membantu, salah satunya dari mantan Wakil Menteri Perdagangan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II Bayu Krisnamurthi.

Pada hari yang sama, halaman penggalangan dana pun diluncurkan. Kurang dari dua hari, penggalangan dana sudah menembus Rp 100.000.000 dari target Rp 300.000.000. Dalam satu pekan, atau pada Rabu (8/8/2018) pukul 12.00, donasi terkumpul melalui http://kitabisa.com/atletangkatbesi mencapai Rp 267.537.523 dari 1.388 donatur.

Masyarakat urunan membantu, mulai dari yang nilainya puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Masyarakat juga membantu dengan menyebarkan link donasi sehingga aksi penggalangan dana semakin tersebar. Di antara masyarakat yang menolong ada juga penyanyi Raisa.

Donasi untuk Winarni yang terkumpul pada https://kitabisa.com/atletangkatbesi itu belum termasuk bantuan dari PT Toyota Astra Motor yang menyumbang Rp 80 juta dengan cara membeli foto ”Ajang Pacu Jawi” karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, saat lelang foto pada pembukaan Festival Fotografi Kompas (FFK) di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (31/7/2018) malam. Dato Sri Tahir dari Mayapada Group juga menyumbang Rp 50 juta. Winarni juga mendapat bantuan Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta, serta dari pengunjung festival Rp 4,27 juta dan 100 dollar AS.

Di luar bantuan donasi, beberapa warganet berencana mengunjungi Fariz saat bocah itu dioperasi. Ada juga masyarakat yang menghubungi untuk mengajak Winarni masuk dalam supporting group WhatsApp, yang berisikan 21 orang tua dengan anak yangterlahir dengan kelainan bawaan atresia esofagus. “Melalui grup ini, kami saling mendukung untuk memberikan kekuatan mental kepada orang tua dengan anak-anak hebat,” kata salah satu anggota grup.

Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria.

Mendapat berbagai uluran bantuan dari masyarakat, Winarni merasa sangat bahagia. “Beberapa hari lalu saya bingung bagaimana membeli susu untuk Fariz, tetapi sekarang masyarakat banyak membantu. Dulu, saya juga merasa sendirian, tetapi sekarang banyak teman-teman yang datang memberi dukungan,” katanya.

Pada Selasa (7/8/2018) kemarin, Fariz dibawa dengan menggunakan kapal laut dari Lampung ke Jakarta untuk konsultasi dengan dokter anak, dokter nutrisi, dan dokter bedah di RSCM dan RSPI. Rencananya, apabila kondisi Fariz stabil, bocah itu akan segera dioperasi untuk menarik usus besar dari ke tenggorokan sebagai jalur makan.

Winarni mengatakan, bantuan masyarakat membuat Fariz lebih ceria. “Kalau sebelumnya Fariz selalu murung dan pendiam, sekarang dia lebih ceria. Setiap hari dia berlarian dan mudah tertawa. Sepertinya Fariz tahu sebagian beban orang tuanya sudah terangkat sehingga hal itu mempengaruhi mood Fariz,” kata Winarni.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi bediri di samping foto karya fotografer Kompas, Yuniadhi Agung, yang dilelang untuk membantu Winarni, Selasa (31/7/2018). (KOMPAS/FRANSISKUS WISNU W DANY)

Maman Suherman mengatakan, bantuan yang mengalir untuk Winarni tidak lepas dari kekuatan pena yang telah menggerakkan hati manusia. “Terimakasih, dirimu sudah menjadi pembuka jalan. Kekuatan pena….” tulis Maman Suherman melalui pesan WhatsApp, pekan lalu.

Maman mengatakan, ini merupakan pertama kali dirinya menjadi inisiator penggalangan dana. “Saya terdorong oleh berita di Kompas,” katanya. Duta Literasi Iluni UI dan Sahabat Literasi Kemendikbud ini mengatakan, Indonesia berutang budi dan rasa terhadap Winarni. “Berkat perjuangan Winarni dulu kita merasa bangga mempunyai juara dunia pertama untuk Indonesia. Sekarang, biarkan kita berjuang untuk Winarni,” kata Maman.

Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, penggalangan dana untuk Winarni dilakukan sebagai respons terhadap pemberitaan Kompas pada Minggu (29/7/2018). Setelah berita mengenai perjuangan Winarni dan anaknya dimuat, masyarakat tergerak untuk berdonasi. ”Jurnalisme tidak hanya bertugas membagikan informasi, tetapi juga harus mampu menggerakkan hati orang lain. Membangkitkan empati dan solidaritas,” ujar Budiman, Selasa malam, dalam pembukaan Festival Fotografi Kompas.

Sebagai jurnalis yang memberitakan kisah ini, muncul perasaan bahagia. Saya tersentuh karena sebuah tulisan ternyata bisa menjadi jalan dan menggerakkan hati manusia. Saya juga sadar, sebuah kebaikan bisa menular pada kebaikan-kebaikan selanjutnya.

Saya teringat Winarni sudah hampir putus harapan. Tetapi, masyarakat datang memberi pertolongan. Uluran tangan masyarakat telah menumbuhkan kembali harapan bagi Winarni dan keluarga.

(Tulisan ini dimuat di https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/09/ketika-kekuatan-pena-menggerakkan-hati-manusia/ tanggal 9 Agustus 2018)

 

Keterangan cover:

Winarni, lifter juara dunia angkat besi 1997 dan peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000 (kiri) menerima bantuan dari hasil lelang foto dari Executive General Manager PT Toyota Astra Motor Fransiscus Soerjopranoto senilai Rp 80 juta disaksikan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, dan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Gatot S Dewabroto (kanan) pada penutupan acara Festival Fotografi Kompas Sportscapes di Bentara Budaya Jakarta, Minggu (5/8/2018) malam. Selain itu, Winarni juga menerima bantuan untuk pengobatan putranya Achmad Fariz Taufik dari filantropis Datuk Sri Tahir senilai Rp 50 juta, Dana Kemanusiaan Kompas Rp 10 juta serta sumbangan dari pengunjung festival senilai Rp 4,2 juta dan 100 dollar AS. (KOMPAS/Priyombodo)

Read more

Nun jauh di pelosok Desa Masalili, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, kegiatan menenun sudah menjadi kegiatan turun-temurun. Kerajinan itu bertahan berkat kegigihan para perempuan, salah satunya Wa Opa (48). Ia menjaga tradisi itu demi kesejahteraan warga sekaligus menyokong pendidikan generasi muda.

”Bisa dibilang, selama ini saya hidup dalam kemiskinan. Akan tetapi, melalui kain tenun, saya bisa sekolah. Saya berharap tradisi menenun di Desa Masalili tetap lestari. Karena melalui tenun, ada kesempatan hidup lebih baik,” tuturnya saat ditemui, awal Maret lalu.

Masalili berada sekitar 8 kilometer dari Kota Raha, Kabupaten Muna. Perjalanan menuju desa itu tidak mudah, menembus jalur yang berkelok-kelok, berbatu, dan berlubang. Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah kayu warga. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki.

Di Masalili, ada kegiatan menenun hampir di setiap rumah. Itu memang pekerjaan harian warga yang terampil menenun. Dari 1.200 penghuni desa, 242 orang adalah petenun. Kebanyakan adalah remaja perempuan putus sekolah dan ibu rumah tangga.

Wa Opa membantu orangtua menenun sejak kanak-kanak. ”Ibu saya petenun. Awalnya saya membantu memintal benang,” ujarnya.

Agar kain tenun buatan ibunya laku terjual, Wa Opa kecil akan berlari menghampiri setiap mobil yang melintas di desa. Biasanya di dalam mobil itu ada orang asing yang datang untuk melakukan penelitian di goa alam Liang Kabori dan Metanduno.

Goa yang terkenal dengan lukisan dinding zaman prasejarah itu berada di perbatasan Desa Bolo dan Desa Masalili. ”Begitu melihat orang asing, saya menawarkan kain tenun. Uang dipakai untuk membeli peralatan sekolah,” kenangnya.

Ketika itu, menenun selembar kain bisa makan waktu satu tahun. Proses itu dimulai dengan menanam kapas. Dengan alat bernama kangia, perajin memintal serat-serat kapas.

Helaian serat itu ditata membentuk benang yang berjejer rapat. Helaian dibuat sepanjang 65-70 cm. Proses ini disebut menghani (de-soro). Perajin lantas merancang motif dan membuat komposisi warna (kabekasi) dengan limbah kayu.

Jika semua siap, barulah proses menenun dimulai. Mengingat proses panjang ini, wajar saja jika selembar kain tenun dianggap menggambarkan ketulusan dan keteguhan hati pembuatnya. ”Menenun itu harus tekun. Kalau terburu-buru, benang bisa terputus,” ujar Opa.

Inspirasi dari alam

Wa Opa mendapat inspirasi warna dan motif tenun dari pemandangan alam. Biasanya dia mengamati tanaman di hutan. ”Saya membuat gradasi warna kain tenun sesuai dengan warna bunga dan daun-daun,” ujar pendiri kelompok usaha tenun ”Baru Mekar” itu.

Proses menenun yang dilakukan selaras dengan keindahan alam membuat kain tenun dari Desa Masalili memiliki kekhasan warna alami. Coraknya pun beragam sehingga bisa dikenakan semua kelompok, mulai dari bangsawan hingga rakyat biasa. Pemakaian sarung tenun laki-laki dan perempuan juga berbeda. Meski helaian benang ditenun secara tradisional, hasilnya cukup kuat dan bagus.

Sejak tanaman kapas sulit ditemui, perajin tenun di Desa Masalili beralih menggunakan benang biasa. Kini, proses pembuatan kain tenun juga lebih cepat karena menggunakan peralatan modern.

Para petenun di Desa Masalili kini menghadapi soal lebih serius, yaitu kekurangan modal. Promosi pun berjalan lamban. Pemasaran masih berjalan secara konvensional, yaitu dari mulut ke mulut. Pasar kain tenun pun sering kali sepi.

Satu-satunya kelompok usaha masyarakat, yaitu badan usaha milik desa, hanya mampu menampung 10-15 kain tenun per bulan untuk dijual kembali. Padahal, petenun di Masalili mampu memproduksi ratusan lembar kain tenun setiap bulan.

Agar kegiatan menenun di Desa Masalili tetap lestari, Wa Opa membantu memberikan modal benang untuk para perajin. ”Setelah benang selesai ditenun, mereka kembali kepada saya. Saya tidak memberi upah, tetapi membeli kain tenun dari para perajin dengan mengurangi harga bahan baku,” ujarnya.

Kain tenun hasil perajin di Desa Masalili itu kemudian dipasarkan. Soal harga bervariasi, bergantung pada motif dan bahannya. Paling murah selembar kain dijual Rp 100.000. Ada pula satu kain tenun yang dihargai jutaan rupiah karena terbuat dari benang dengan pewarna alami.

Dalam sebulan, Opa bisa menjual 50-100 lembar kain. Untungnya tipis. Itu pun kain kerap menumpuk di rumahnya lantaran pembeli pasang surut.

Untuk pendidikan

Saat ini, Wa Opa bekerja sama dengan puluhan petenun yang bekerja keras demi pendidikan anak-anak. Bulan April ini, ada 10 petenun yang membutuhkan uang untuk wisuda anak-anak mereka yang kuliah di sejumlah kota. ”Sejak beberapa bulan lalu, para perajin sudah menenun kain agar punya ongkos hadir di acara wisuda. Meski sepi pembeli, saya berusaha tetap menerima hasil menenun perajin karena dengan cara itu anak-anak mereka bisa sekolah dan kuliah,” tuturnya.

Dia juga memberi modal benang agar para perajin dapat menenun kain untuk dikenakan saat anak mereka wisuda. ”Saya ingin para perajin dapat tampil pantas dengan kain tenun buatan sendiri di acara wisuda,” katanya.

Saat menghidupi denyut tenun di Desa Masalili, Wa Opa sering menghadapi penolakan dari masyarakat. ”Saya bahkan sering dilempar barang karena banyak suami dari para petenun yang hobi mabuk,” katanya.

Wa Opa lalu mengakali kondisi itu dengan bertemu para lelaki saat tidak mabuk. Wa Opa menjelaskan, dengan menenun perekonomian masyarakat meningkat. Anak-anak juga bisa bersekolah. ”Seharusnya orangtua malu mempunyai anak sarjana, tetapi mereka masih mempertahankan cara hidup lama. Seiring berjalannya waktu, pola pikir laki-laki mulai berubah,” katanya.

Selain memasarkan kain tenun, Wa Opa juga membuka tempat pelatihan menenun untuk anak-anak dan remaja. Saat Kompas berkunjung ke rumah Wa Opa, ada tiga anak berusia 9-11 tahun yang sedang tekun menenun kain. Wa Opa mengamati sambil sesekali memberi pengarahan agar hasil tenun rapi dan indah.

Sadar lukisan-lukisan dinding di Goa Liang Kabori dan Metanduno yang sudah berusia ribuan tahun menjadi ciri khas Kabupaten Muna, Wa Opa membuat kain tenun bermotifkan lukisan dinding goa. Tahun 2016 lalu, kain itu dibeli warga negara Belanda.

Wa Opa berencana kembali menenun motif lukisan dinding agar kain tenun Muna bisa mendunia. Sekalipun penjualan tenun pasang surut, perempuan itu bertekad terus mengembangkan kain tenun untuk mempertahankan tradisi sekaligus memastikan kegiatan itu menjadi ladang rezeki untuk warga. (OLEH DENTY PIAWAI NASTITIE)

WA OPA

♦ Lahir: Masalili, 31 Desember 1969

♦ Pendidikan: SMKN 1 RAHA

♦ Pameran:

– Gelar Tenun Tradisional Indonesia, 27 September-1 Oktober 2006

– Pembukaan Pameran Perayaan 2 Tahun Cita Tenun Indonesia oleh Ibu Ani Yudhoyono (Jakarta, 27-29 Agustus 2010)

– Jakarta International Handicraft Trade Fair (Inacraft) 2010

– Pameran dan Seminar Cahaya Timur Indonesia (Jakarta, 1-4 Oktober 2013)

♦ Penghargaan:

– Perajin tenun terbaik dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah Sultra (Maret 2017)

Ket: Tulisan dimuat di harian KOMPAS, Rabu, 27 Maret 2017

Read more

KOMPAS(Nasional) – Senin, 01 Aug 2016   Halaman: 01, 15   Penulis: IYA; NIC; Denty Piawai Nastitie   Ukuran: 5367   Foto: 1   Pengindex: pik.fadhlan
Olimpiade 2016
Kasih Ibu Antar Maria Londa ke Rio de Janeiro
Oleh DENTY PIAWAI NASTITIE
 
”Bawalah bekal ini untuk mengobati rasa rindumu pada Tanah Air.” Itulah pesan sang ibu kepada atlet lompat jauh terbaik Indonesia, Maria Natalia Londa (26), sesaat sebelum terbang selama 32 jam perjalanan menuju Rio de Janeiro, Brasil, Rabu (27/7) malam. Dengan sekantong keripik tempe buatan bundanya, Maria meluncur ke ”medan perang” untuk membela ”Merah Putih” di ajang olahraga akbar sedunia, Olimpiade 2016.
Maria menjadi salah seorang dari 28 atlet Indonesia yang tampil di Rio 2016. Lulusan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP PGRI Bali itu adalah atlet pertama Indonesia yang meraih tiket Olimpiade Rio 2016 setelah mencapai Limit A kualifikasi dengan jarak lompatan 6,70 meter di SEA Games Singapura 2015.
Agar tampil optimal di Rio, Maria berlatih keras, menjaga pola istirahat, dan mengatur asupan nutrisi. Putri pertama dari tiga bersaudara itu sebenarnya pantang makan makanan pedas dan gorengan karena bisa memengaruhi pemulihan tubuh. Namun, ibunya, Anastasia Ariningsih, tetap memasak makanan kesukaan Maria.
”Kata ibu, makanan ini awet sehingga bisa saya makan setelah berlomba. Dengan membawa keripik tempe, saya merasa tenang karena seperti dekat dengan Indonesia,” ujar peraih dua medali emas, untuk nomor lompat jauh dan lompat jangkit SEA Games 2013, dan medali emas Asian Games 2014 itu.
Dukungan ibunya, juga almarhum ayah, Kamilius Kasi, dan keluarga besarnya, merupakan suntikan semangat terbesar dalam hidupnya untuk sukses tampil di Brasil. Sebelum bertolak ke Rio, menurut Maria, ibunya tidak berpesan banyak. Anastasia hanya meminta Maria menjaga diri karena khawatir dengan keamanan di Brasil.
Selain berlaga, Maria menjadi pembawa bendera merah putih pada pembukaan Olimpiade 2016. Sebelum berlomba, ia juga berziarah ke makam ayahnya dan berdoa di gereja. ”Sekarang saya benar-benar siap berlomba. Mendapat tiket menuju Olimpiade sangat sulit. Saya tak akan menyia-nyiakan kesempatan,” katanya.
Pelatih Maria, I Ketut Pageh, mengatakan, atlet asuhannya itu cukup rileks dan percaya diri menjelang tampil di Rio. Meski akan melalui perjalanan panjang melintasi zona waktu, Maria tetap semangat. ”Dia lebih khawatir pelatihnya mabuk perjalanan daripada khawatir dengan dirinya sendiri,” ujar Pageh.
Pebulu tangkis ganda campuran Praveen Jordan juga selalu pulang ke rumah, berkumpul dengan ibu dan kedua adiknya saat libur latihan di pelatnas Cipayung, Sabtu sore hingga Minggu. Waktu istirahat itu dipakai untuk melepas kejenuhan.
Praveen pun membuat aturan tak berbicara soal bulu tangkis saat di rumah. ”Kalau sama mama bisa ngobrol apa pun. Obrolan emak-emak sampai gosip,” katanya lagi.
Pemain yang menjuarai All England 2016 bersama Debby Susanto itu selalu kangen saat bersama keluarga, terutama untuk menikmati masakan ibu, khususnya ikan goreng bumbu balado. ”Enak banget masakannya. Pulang juga mau makan ikan,” kata pemain dengan panggilan Ucok ini, pekan lalu.
Hendra Setiawan, yang sudah berkeluarga dan memiliki anak kembar, mempunyai menu khusus yang dibuat ibunya atau mertuanya saat mereka berkunjung ke rumahnya. ”Nasi tim ayam,” ujar Hendra. ”Itu salah satu menu khas orang Tionghoa. Katanya itu menu sehat. Saya percaya saja. Nasi tim buatan mama dan mertua saya enak. Istri saya bisa masak, tapi kalau nasi tim ayam harus dibuat oleh ahlinya, ha-ha-ha…,” katanya.
Tangis sang ibu
Di atletik, selain Maria, Indonesia juga akan mengirimkan sprinter jarak 100 meter, Sudirman Hadi, yang lolos melalui wild card dalam program universalitas. ”Saat mendapat kabar lolos ke Olimpiade, saya menelepon orangtua. Ibu saya menangis,” kata atlet asal Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu.
Sudirman senang akan tampil di Olimpiade. Sejak pekan lalu, dia mengurangi porsi latihan. Pada pagi dan sore, dia berlatih ringan untuk menjaga kondisi. Di Rio, ia akan bersaing dengan pelari top seperti Usain Bolt, pelari Jamaika pemegang rekor dunia lari 100 meter.
Demi bersiap ke Rio, ia tidak pulang kampung ke Nipah, Lombok Utara, yang harus ditempuh sekitar 90 menit perjalanan dari Mataram, ibu kota NTB, mengingat ia harus tampil di Kejuaraan Thailand Terbuka, pada 4-7 Juli. Jadwal kejuaraan itu mepet dengan Lebaran 2016.
Ia memahami, tampil di Thailand Terbuka saat Lebaran jadi konsekuensinya sebagai atlet. Yang mengesankan, meski harus berlari saat puasa, dia meraih medali perak, setelah menyelesaikan 100 meter dengan waktu 10,57 detik di final.
Ibarat berkah dari kesabarannya tak berlebaran di kampung halaman, sehari setelah pulang dari Bangkok, Thailand, Sabtu (9/7) malam, ia menerima kabar soal kepastiannya berlaga di Olimpiade 2016. ”Saya dikabari pelatih saya, Agustinus Ngamel, bahwa saya yang akan mengisi satu kuota atlet putra Indonesia yang diberikan IAAF,” ujarnya.
”Tentu saja berita itu membuat saya tak bisa tidur semalaman. Gelisah bercampur senang karena bisa tampil di Olimpiade. Saya sadar, saya ini belum pernah membela Indonesia di SEA Games, apalagi Asian Games, tetapi bisa langsung turun di Olimpiade. Tentu itu wujud dari impian yang tidak pernah saya angankan,” ungkap Sudirman.
Peran orangtua seperti ibunda Maria Londa, Anastasia Ariningsih, yang memasak keripik tempe untuk anaknya, tak kalah besar dibandingkan unsur lain dalam persiapan atlet.
(IYA/NIC)

 

Read more

Jakarta itu kejam. Itu yang tertanam dalam benak Bagus Firdaus (19) alias Daus. ”Yang benar bisa jadi salah. Polisi yang harusnya melindungi malah menganiaya,” kata eks pengamen yang diduga menjadi korban salah tangkap, Jumat (14/8).

Anak keenam dari tujuh bersaudara itu tersangkut kasus pembunuhan pengamen, Dicky Maulana (18), di kolong Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, Juni 2013. Saat itu, bersama teman-teman sesama pengamen Cipulir, dia menemukan Dicky dalam kondisi sekarat. ”Saya membelikan minuman. Setelah itu, saya tidur. Baru bangun saat polisi datang,” kata Daus didampingi kakaknya, Erni Sugiarti (21) dan Anisah (25).
Oleh polisi, Daus dibawa ke Markas Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan. ”Saya dipukul dan disetrum. Polisi menyuruh saya mengaku sudah membunuh Dicky,” kata Daus.
Keesokan harinya, dia diminta menandatangani surat berita acara pemeriksaan. ”Saya tidak tahu apa isinya, hanya diminta tanda tangan,” kata Daus. Setelah itu, dia dan lima rekannya, yaitu AS (18), NP (23), F (13), APS (14), dan FP (16), ditahan. Surat penahanan lalu dikirimkan kepada keluarga.
Namun, kemudian ada Iyan (18) yang mengaku sebagai salah satu pembunuh Dicky. ”Saya yang bersalah dan sempat terbayang-bayang (kejadian itu). Pengin ngaku, tapi masih takut. Ya, (saya) kabur meski tertangkap juga. Mereka (anak-anak) itu tidak bersalah,” kata Iyan. (Kompas, 18 November 2013).
Menurut Iyan, pembunuh Dicky ialah Khairudin Hamzah alias Brengos, Jubaidi alias Jubai, dan dirinya. Pembunuhan dilatarbelakangi keinginan menguasai sepeda motor korban. Selain itu, pelaku juga kesal karena Dicky yang pengamen baru dianggap kurang sopan.
Namun, nasi sudah jadi bubur. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap empat dari enam terdakwa. Hakim memutuskan empat anak di bawah umur itu dipenjara 3-4 tahun.
Dua terdakwa lain yang sudah dewasa menghirup udara bebas setelah setahun mendekam di penjara. Mereka dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena belakangan dakwaan tak terbukti. Pembunuh asli muncul di persidangan.
Kini, Daus berstatus bebas bersyarat. Tiga rekannya masih ditahan di Rumah Tahanan Anak Tangerang. Tinggal di rumah dan menjalani wajib lapor, penggemar komik Naruto ini berharap permohonan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya dikabulkan dan namanya dipulihkan.
Kasus lain yang menonjol ialah Dedi (34), tukang ojek yang dipenjara selama 10 bulan atas sangkaan pembunuhan sopir angkot Mikrolet 06A bernama M Ronal di depan Pusat Grosir Cililitan, Jakarta Timur, padahal bukan dia pembunuhnya.
Sudah 13 korban
Romy Leo Rinaldo, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mencatat, dalam dua tahun setidaknya ada 13 korban salah tangkap yang ditangani LBH Jakarta. ”Tukang ojek, pengamen, sopir angkot adalah kelompok rentan. Mereka buta hukum dan berasal dari golongan kurang mampu sehingga tak memiliki akses terhadap perlindungan ujar Romy.
Romy menjelaskan, ada banyak celah dalam penegakan hukum. Dalam penyelidikan dan penyidikan, polisi bisa menangkap tersangka tanpa surat perintah. Di kantor polisi, aparat menekan seseorang untuk mengakui sesuatu yang tak pernah dia perbuat tanpa ada pendampingan dan perlindungan hukum. Celah itu berlanjut ke tingkat pemeriksaan berkas di kejaksaan dan proses di pengadilan.
”Kasus terjadi di Ibu Kota yang seharusnya pengawasan terhadap hukum sangat ketat,” kata Romy.
Pemeriksaan internal
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengatakan, terminologi polisi salah tangkap atau tidak itu ada dalam praperadilan. Dipastikan polisi salah tangkap jika PN yang memroses praperadilan menerima gugatan penggugat (orang yang ditangkap polisi). Jika PN menolak, berarti polisi tidak salah tangkap.
”Dalam kasus pengeroyokan dengan korban Rinaldo, praperadilan yang dimohon tersangka Dedi ditolak hakim. Ini artinya polisi tidak salah tangkap dia,” kata Tito.
Dalam kasus pembunuhan Dicky, tersangka atau terpidana Daus dapat melakukan PK. Tito memastikan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan internal jika kasus sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan isi putusan MA itu membatalkan putusan PN dan menyatakan para terdakwa tidak bersalah. Artinya, telah terjadi peradilan sesat atas para terdakwa tersebut.
”Kalau terjadi peradilan sesat, tidak bisa semua kesalahan dilimpahkan ke polisi. Sebab, ada tiga instansi yang terlibat dan bertanggung jawab, yaitu polisi di tingkat penyidikan, jaksa di tingkat penuntutan, dan hakim di tingkat peradilan/penghukuman. Prinsipnya, kalau putusan sudah inkracht dan terjadi peradilan sesat, baru ada pemeriksaan internal terhadap penyidik,” katanya.
Peradilan sesat, kata Tito, bisa saja terjadi, misalnya karena penyidik polisi, jaksa penuntut, atau hakim tidak profesional dalam bertugas.
(Denty Piawai Nastitie/Ratih Prahesti S/B01)
—–
Tulisan ini dimuat harian KOMPAS, Selasa, 25 Agustus 2015, halaman 25
Read more