Meski dicap sebagai penjajah, bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya turut serta menyatukan Indonesia. Demikian pandangan Dr Lilie Suratminto, ahli sastra dan kebudayaan Belanda dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada Sabtu (15/8) sore, dua hari menjelang HUT ke-70 RI, Lilie menelusuri makam-makam Belanda di Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat.
Pria yang kini menjabat Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma itu datang bersama tiga pencinta sejarah, yaitu Agni Malagina Ana (35), pengajar Sastra Tiongkok di UI; Syefri Luwis (30), peneliti sejarah BI; dan Arif Nur Alam, pegiat sosial. Bagi mereka, nisan bukan sekadar prasasti penanda kuburan. Nisan merupakan dokumen sejarah. Selain mengabadikan identitas diri, makam itu sekaligus menyimpan berbagai informasi historis tentang kondisi masyarakat saat si empunya hidup.
Pemakaman umum bernama Kerkhof Laan, yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti, berdiri pada 28 September 1795. Pada 1808, Kerkhof Laan mulai kebanjiran batu nisan pindahan antara lain dari Gereja Baru Belanda (Niuw Hollandsche Kerk) dan Gereja Sion. Tak jauh dari gerbang museum, terdapat batu nisan abad ke-16 dan ke-17 berukuran 1 x 2,2 meter.
Lilie berhenti di depan salah satu batu nisan. Jemarinya bergerak menelusuri ukiran simbol yang terpahat di sana. Pesan-pesan dalam batu nisan tertulis dalam bentuk verbal (inskripsi) dan nonverbal (ikonis).
Pada batu nisan nomor dua tertulis Tuan Pieter Janse van Hoorn. Lilie menjelaskan, Tuan Pieter merupakan ayah Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn, tokoh di balik proses renovasi gedung kantor Gubernur Jenderal VOC yang sekarang difungsikan sebagai Museum Fatahillah atau Museum Jakarta. Batu nisan yang sama juga dipakai Tuan Francois Tack, dikenal sebagai Kapten Tack, menantu Tuan Pieter. Kapten Tack tewas saat mengejar Untung Suropati, rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Tuan Pieter wafat pada 1682. Pada batu nisannya terdapat simbol bintang segi enam yang melambangkan unsur api dan air. ”Bintang segi enam berarti keseimbangan,” kata Lilie.
Relief pada batu nisan merupakan ekspresi latar belakang budaya komunitas pengguna pesan itu semasa hidup. Simbol juga menunjukkan status dan kedudukan seseorang.
Nisan yang ada di Taman Prasasti kebanyakan terbuat dari granit. Batu itu berasal dari Bukit Nadu, India Selatan.
Untuk menyatakan seseorang adalah pejabat yang berkuasa, pada nisan disebutkan kepangkatannya, seperti gouveneur-generaal, directeur generaal, eerste raad, gouverneur, dan schepenen. Untuk menyatakan seseorang bukan pejabat resmi, melainkan mempunyai profesi tertentu disebutkan, misalnya, koopman (saudagar), opperkoopman (saudagar senior), onderkoopman (saudagar junior), protokolist (protokol kenegaraan), dan drost (hakim wilayah).
Untuk jabatan dalam militer disebutkan commandeur, capitien militair, overste, dan vaandrig.
Pada batu nisan nomor 10 tertulis nama Eewout Verhagen. Semasa hidupnya dia adalah pengawas pembangunan gedung pemerintahan dan gereja yang dalam bahasa Belanda abad ke-17 disebut fabryck. Dia merancang dan memimpin pembangunan Portugeesche Buitenkerk (Gereja Sion) sebelum diangkat sebagai anggota kerkfabryck (dewan gereja) pada 1688-1694. Sebagai pengawas, dia harus mencermati setiap pembangunan agar berkualitas bagus.
Salah satu jenis pekerjaan yang cukup bergengsi pada zaman Belanda adalah heemraden, yakni pengawas tanggul dan perairan. Dia bertugas antara lain mengawasi Sungai Ciliwung agar tetap bersih. Orang Belanda yang ketahuan membuang limbah di sungai tidak pada waktu yang ditentukan akan dikenai denda. ”Sayangnya, zaman sekarang petugas perairan dianggap tidak penting. Warga Jakarta kurang memperhatikan lingkungan,” tutur Lilie.
Lilie lalu masuk ke dalam gerbang Museum Taman Prasasti. Dia berjalan di antara nisan, patung malaikat dan dewa-dewi, serta pepohonan yang tumbuh rimbun. Dari 4.600 batu nisan yang ada di Kerkhof Laan, yang tersisa kini berjumlah sekitar 1.500 buah.
Para tokoh sejarah yang makamnya masih ada di Taman Prasasti, antara lain istri Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles (meninggal pada 1814); pendiri sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Arsten/Sekolah Kedokteran Bumi Putra) Dr HF Roll (1867-1935); dan Soe Hok Gie, aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto.
Bagi Lilie, tokoh-tokoh yang dimakamkan di Museum Taman Prasasti memiliki peran membangun kota dan masyarakat Indonesia. Para pemimpin Belanda, misalnya, merencanakan pembangunan kota dengan menyusun rencana tata ruang wilayah. Contohnya pembangunan kawasan Menteng dan Kebayoran Lama tergolong cukup baik karena pemerintah waktu itu menata hunian, drainase, dan tempat pembuangan sampah.
Selain itu, sejumlah tokoh Belanda juga berperan menyatukan bangsa Indonesia, seperti Direktur STOVIA Dr HF Roll. Dia membela mahasiswa STOVIA, di antaranya R Soetomo, yang terancam dikeluarkan dari STOVIA karena mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Organisasi itu menjadi tonggak kebangkitan nasional. Dari organisasi Boedi Oetomo, warga pribumi sadar akan makna nasionalisme dan semangat perjuangan hingga akhirnya Indonesia merdeka.
Perjalanan sore itu berujung di depan dua peti mati di bagian tengah Museum Taman Prasasti. Salah satu peti mati pernah digunakan untuk membaringkan jasad Soekarno, presiden pertama RI. Peti yang satu lagi disiapkan untuk Mohammad Hatta, wakil presiden pertama RI. ”Bung Karno membenci penjajah, tetapi kenapa peti matinya ada di antara batu nisan Belanda?” tanya salah seorang pengunjung.
”Ini menunjukkan, setiap manusia (pada akhir hayatnya) harus berdamai dengan masa lalu. Penjajahan memang meninggalkan luka, tetapi melalui Konferensi Meja Bundar, bangsa Indonesia dan Belanda sepakat berdamai,” tutur Lilie.
Taman Prasasti merupakan salah satu taman pemakaman umum resmi tertua di dunia. Pemakaman ini awalnya dibangun di atas lahan 5,5 hektar. Karena perkembangan kota, luas museum ini menyusut menjadi 1,3 hektar. Bulan depan, Museum Taman Prasasti memasuki usia 220 tahun.
Secara terpisah, pengamat perkotaan Nirwono Joga menuturkan, saatnya menciptakan acara-acara menarik untuk menghidupkan museum ini.
(DENTY PIAWAI NASTITIE)
—-
Tulisan ini dimuat di harian KOMPAS Sabtu, 29 Agustus 2015, halaman 26