Travel

“Hi, Ann, saya ingin membeli dekorasi natal. Mau ikut?” saya mengirim pesan singkat ke Ann, mahasiswi asal China, sekaligus flatmate saya di London.

“Saya di Angel nih. Kalau kamu mau, saya bisa menunggu kamu di sini,” jawabnya.

Saya melirik jam tangan. Saat itu sudah tengah hari, tapi suasananya masih seperti pukul 06.30 pagi. London memang sering berkabut akhir-akhir ini, tanda datangnya musim dingin. Warna langit jadi abu-abu seperti masih pagi.

Daripada suntuk di rumah, saya memutuskan menyusul Ann yang sedang berada di pusat perbelanjaan Angel, yang jaraknya hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari flat.

Di Angel, Ann dan saya saya membeli dekorasi natal seperti lampu hias, topi santa clause dan bando rusa. Rencananya, dekorasi natal ini akan dipakai untuk menghias dapur. Malam ini, bersama Ann, dan tiga flatmates lainnya, yaitu Camila (Amerika Serikat), David dan Bill (Inggris), kami akan makan malam untuk merayakan natal.

Bill janji masak menu tradisional Inggris. Agar acara makan malam terasa  semakin berkesan saya berinisiatif memasang dekorasi natal. Seusai berbelanja, Ann dan saya melihat seorang pedagang menjual pohon natal. Harganya hanya 5 pounds.

“Gimana kalau kita beli?” kata Ann.

“Kamu mau beli?” saya bertanya. Ann mengangguk.

Akhirnya saya memboyong pohon cemara setinggi satu meter, sementara Ann membawa dekorasi natal. Saya memegang pohon dengan kedua tangan saya. Ukurannya yang besar menutupi badan saya sehingga terlihat seperti pohon hidup yang berjalan. Di saat-saat seperti ini, saya jadi rindu dengan layanan pesan antar di Indonesia. Kalau di Inggris, belanja apapun harus dibawa sendiri. “Saya tidak bisa melihat. Mata saya tertutup pohon,” kata saya.

“Nanti saya kasih aba-aba kembali ke flat,” kata Ann, sambil tertawa.

Di flat, saya dan Ann sibuk menghias pohon natal. Sementara Bill memasak makan malam tradisional khas Inggris, terdiri dari ayam panggang, kentang, gravy, pig in blankets, dan sayur-sayuran, termasuk sproutsyang bentuknya menyerupai wortel dengan warna kuning seperti kentang. Ia juga menyiapkan makan malam penutup berupa menu tradisional Christmas pudding.

Ketika Bill sedang sibuk menyiapkan ayam panggang, David menata meja makan. Ia menyiapkan piring, gelas, garpu, dan pisau makan. Selama tinggal di Inggris, saya menyadari urusan dapur itu bukan hanya milik perempuan. Laki-laki di Inggris banyak yang jago masak, seperti Bill dan David. Untuk urusan kebersihan dan kerapian di dapur, saya juga banyak belajar dari mereka. Setiap kali masak, mereka selalu mencuci peralatan masak dan membersihkan kompor. Setelah semua bersih, baru deh menikmati makanan. Jadi, enggak ada tuh cucian piring menumpuk.

Begitu makanan sudah siap, empat teman dan saya duduk bersama mengelilingi meja makan. “Ini namanya, natalan! Ketika semua orang berkumpul di meja makan,” kata Camila, mahasiswa asal Amerika Serikat keturunan Palestina.

Makan malam diawali dengan menikmati white winesambil melahap aneka camilan sebagai makanan pembuka. Selanjutnya, menikmati hidangan utama yang sangat lengkap terdiri dari karbohidrat, protein, dan sayuran. Rasanya lezat sekali! Apalagi ketika Ann menawari saya sambal yang dia bawa dari China, sempurna sudah!

Saya agak terkejut ketika David menyodori cranberry source untuk campuran makanan utama. “Hah, cranberry sauce untuk makanan utama?” tanya saya polos. Setahu saya, cranberry sauce biasa dipakai untuk olesan roti tawar, bukannya digabung dengan daging dan sayuran. Meski awalnya terasa agak tidak biasa, tapi ternyata cranberry sauce terasa nikmat bercampur dengan salad, ayam panggang, dan sambal. Pedas, asin, asam, manis. Nano-nano rasanya, tapi menyatu sempurna.

Setelah menikmati hidangan utama, saatnya melahap makanan penutup, yaitu cheesecake dan Christmas pudding. Untuk membuat makanan penutup tambah berkesan, Bill menuang brandy di atas pudding. Ia menyalakan korek sehingga muncullah api di atas pudding. Semua orang bersorak takjub dan bahagia.

Sambil menikmati makan malam, teman-teman dan saya membicarakan banyak hal, mulai dari kebiasaan natal di masing-masing negara, makanan favourite, hingga astronomi. Di meja makan, semua membaur seperti keluarga. Warna kulit berbeda-beda, aksen dan intonasi ketika bicara juga punya warna dan coraknya sendiri, tapi natal menyatukan yang berbeda-beda ini menjadi saudara.

Saya jadi teringat tahun lalu, ketika merayakan natal dengan keluarga dalam hati saya membantin: “Mungkin tahun depan saya tidak ada di Indonesia. Mungkin tahun depan saya akan studi di luar negeri dan merayakan natal dengan teman-teman baru.” Kata-kata adalah doa. Kesempatan kuliah di Inggris dan menjalin persahabatan dengan mahasiswa-mahasiswa internasional menjadi kenyataan.

Read more

Negara Indonesia dan Inggris mempunyai banyak kesamaan, salah satunya dalam hal keberagaman agama dan etnis. Keberagaman ini adalah bukti kekayaan manusia, meski tak jarang justru menimbulkan kekerasan dan kekacauan. Untuk mengingatkan pentingnya kerukunan, seorang seniman menggambar mural di Shoreditch, London, yang fenomenal dan membuat daerah ini menjadi terkenal.

Daerah Shoreditchdulunya adalah tempat tinggal kelas pekerja dan termasuk daerah termiskin di London. Kini, Shoreditch menjelma menjadi daerah pertokoan yang unik dan nyentrik. Di daerah ini terdapat banyak pub, kafe, dan restaurant.

Sejak dari Shoreditch Overground Station, karya seni jalanan berupa gambar dan tulisan sudah terlihat. Dari stasiun, apabila belok ke kiri terlihat deretan pertokoan yang menjual barang-barang vintage. Sementara di sebelah kanan, pemandangan karya seni jalanan menemani sepanjang jalur di bawah terowongan dari Braithwaite Street menuju Spitalfields.

Karya seni dibuat dengan berbagai macam teknik, bentuk, dan warna. Ada karya berupa tempelan stiker di halte bus, rambu-rambu jalan, atau pagar. Ada juga deretan kata dan coretan gambar yang saling menumpuk dengan karya lainnya.

Teknik melukis dibuat beraneka macam, ada yang menggunakan cat tembok dan kuas rol, ada pula yang diciptakan dengan menggunakan cat semprot. Sementara karya yang menempel berbentuk tulisan, foto wajah, kartun, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan sejarahnya, lukisan di dinding atau yang biasa disebut mural sudah muncul sejak ribuan tahun lalu. Di Shoreditch, mural dan graffiti muncul pada akhir 1990-an. Dulunya, gambar-gambar di daerah ini dianggap vulgar dan kotor. Lambat laun, satu gambar menggantikan gambar lainnya hingga terciptalah coretan-coretan dinding seperti sekarang.

Karya seni jalanan di Shoreditch menjadi ciri khas daerah tersebut. Karya dibuat seiring pergolakan politik dan kondisi sosial masyarakat lokal maupun internasional. Lukisan-lukisan dinding ini dibuat sebagai ruang komunikasi, serta bentuk eskspresi dan kreativitas.

Jalur yang paling terkenal di Shoreditch bernama Brick Lane, yang merupakan surga karya seni jalanan. Di daerah ini terdapat karya yang cukup terkenal berupa gambar dua orang berwarna hitam dan putih yang bergandengan tangan. Orang yang berwarna hitam dibuat seperti memakai cadar, mewakili komunitas Islam. Sementara orang yang putih mewakili kelompok Kristen Inggris. Mural karya Stik ini menggambarkan persahabatan antara agama.

Karya itu menjadi penting karena di Inggris sering muncul peristiwa diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok minoritas Muslim. Seperti di banyak tempat lainnya, agama selalu dianggap sumber perselisihan. Padahal, kalau mau dirunut, selalu ada hal lain yang melatar belakangi konflik. Di Inggris, konflik terhadap komunitas Islam sudah muncul sejak perang dunia kedua. Saat itu, banyak orang kulit putih yang kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan seusai kembali dari perang. Kedatangan orang-orang Somalia yang beragama Islam dianggap telah merebut peluang masyarakat lokal. Konflik ini, ditambah dengan perubahan iklim politik global, dan dinamika nasional, termasuk meningkatkan Islamophobia, membuat diskriminasi terus berlanjut dan dampaknya bisa dirasakan sampai sekarang.

Apalagi, sejak ada peristiwa global, seperti serangan 11 September 2001 di New York, ledakan bom 2004 di Madrid, dan ledakan bom 2005 di London, orang-orang Islam yang tinggal di negara-negara barat, sering mengalami pelecehan dan diskriminasi. Karya yang dibuat oleh Stik pada Mei 2010 itu kemudian menjadi oase di tengah padang gurun kemanusiaan. Karya itu cukup ikonik karena membawa pesan penting yaitu harmoni dan integrasi yang menjadi ciri khas negara Inggris. Meski usia gambar sudah lebih dari satu dekade, tapi pesannya tetap relevan hingga kini.

Karya yang ada di Shoreditch banyak yang menonjolkan hiburan dan kreativitas, tapi tak jarang ada karya yang mempunyai pesan mendalam. Karya-karya itu dibuat sebagai sarana menggalang solidaritas. Sejak muncul gerakan Black Live Matters, para seniman juga merespons isu tersebut dengan menciptakan karya di jalanan.

Neequaye Dreph Dsane, atau yang biasa disapa “Dreph”, misalnya, menciptakan serangkaian potret yang menampilkan wanita kulit hitam yang tinggal di lingkungan tempat mural mereka berada. Foto-foto yang digambar bukanlah wajah orang terkenal, tapi masyarakat biasa. Fitur wajah yang digambar sebagain terlibat dalam pendidikan, advokasi, desain, atau karya kreatif dari kelompok masyarakat minoritas. Dari wajah-wajah ini, sang seniman ingin memberi inspirasi mengenai pahlawan sehari-hari yang ada dan tinggal di antara kita.

Ketika mural dan graffiti banyak dihapus di berbagai tempat di dunia, di Shoreditch, keberadaan karya seni jalanan justru dirayakan. Coretan dinding dipelihara sebagai identitas kota, ruang untuk menumpahkan keresahan, panggung seni dan kreativitas, serta sarana menjaga solidaritas sebagai sesama manusia.

Read more

Pe-es-be-be ini bikin saya melakukan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, mulai dari tiba-tiba pindah kos, masak, latihan nyanyi, main ukulele, sampai cat rambut sendiri!!! Kadang-kadang saya bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan kehidupan setelah virus korona berakhir. Tetapi, dari pada memusingkan masa depan, lebih baik menikmati apa yang tersedia, selagi masih bisa. 🙂

Beberapa hari lalu, ibu menelpon untuk memberitahu bahwa keponakan saya yang masih berusia tiga tahun ada di rumah. Sudah tiga pekan terakhir, saya tidak pulang. Saya lebih memilih untuk tinggal di kamar kosan daripada pulang. Saya selalu punya alasan untuk tidak di rumah. Tetapi, begitu tahu keponakan saya di rumah, saya menjadi lemah. Tak bisa menolak, saya memutuskan pulang.

Dalam perjalanan pulang, saya memikirkan apa komentar orang rumah melihat warna rambut saya kuning gonjreng! Ini pertama kali saya mewarnai rambut. Keinginan mengecat rambut tentu sudah ada sejak lama. Tetapi, saya tidak pernah mengeksekusi keinginan itu karena takut orang tua marah. Jangankan mengecat rambut, untuk memotong rambut saja saya selalu berpikir seribu kali karena mempertimbangkan komentar orang rumah.

Saya menyadari bahwa dalam mengambil keputusan seringkali saya lebih condong mempertimbangkan pendapat atau kenyamanan orang lain, di bandingkan diri sendiri. Setiap kali mau memotong atau mewarnai rambut misalnya, saya selalu khawatir dengan pendapat orang lain: Bagaimana kalau ada yang mengatakan potongan rambut saya jelek? Bagaimana kalau potongan atau warna rambut tidak cocok dengan bentuk wajah saya, dengan warna kulit saya?

Tentu ini tidak masalah, toh memotong rambut hanya masalah sepele. Tetapi, kalau ditarik melalui perspektif yang lebih luas, ini menunjukkan dalam membuat keputusan kadang-kadang saya tidak otentik. Tidak menjadi diri sendiri. Tidak membuat keputusan berdasarkan hal yang benar-benar saya inginkan.

Memikirkan pendapat orang tua, membuat saya merasa seram kalau nantinya mereka memarahi penampilan baru dengan rambut berwarna kuning gonjreng! (BTW, niatnya rambut saya mau dicat warna abu-abu, tetapi entah kenapa keluarnya jadi warna kuning! HAHAHAHA).

Ketika saya sampai di rumah, ibu melihat saya dan  langsung beteriak: “Yaaampuuunn!! Itu rambutnya diapainnn??” katanya sambil mencampur adonan nastar di dapur. Sementara itu, ayah saya berkomentar: “Neko-neko wae!” Kakak saya berkomentar: “Koyo wong edan! (Seperti orang gila)” Adapun keponankan saya, Mas Dio, menjerit: “Uti (baca: aunty) rambutnyaaa IJOOOO”. Saya membalas komentar itu: “Ini coklat, bukan IJOOO!” 😀

Beberapa teman dan sepupu menyampaikan reaksi yang berbeda. Sepupu saya mengatakan saya mirip anggota Trio Macan (syit!). Ada pula yang bilang saya seperti bule hunters, mbak-mbak di pinggir Pantai Kuta. Ada juga yang memuji: Cocok, Keren, Nggak Aneh! (WHATT NGGAK ANEH ITU SEMACAM KOMENTAR SETINGKAT DI BAWAH BAGUS, TAPI JUGA ENGGAK JELEK! HAHA). Seorang teman di Bali menelpon. “Aku kaget. Aku lihat kamu nggak seperti biasanya. Kamu gak pernah neko-neko,” katanya dengan nada prihatin.

Komentar-komentar memang berdatangan, kemudian saya berpikir: So what? Saya hanya tertawa menanggapi komentar mereka. Toh apa pun yang dikatakan orang lain, entah itu pujian, celaan, atau bahan bercandaan, tidak akan mengubah warna rambut saya dari kuning menjadi ungu atau oranye.

Ini mungkin sangat berbeda dengan sikap saya beberapa tahun lalu. Selama ini, saya terlalu sering mendengarkan komentar orang lain sehingga jarang mengambil keputusan ekstrem. Untuk memilih model pakaian, potongan rambut, tas dan sepatu, sebisa mungkin saya melakukan dengan hati-hati karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Apalagi untuk keputusan-keputusan lain yang lebih penting seperti memilih pendidikan dan pekerjaan.

Dulu, kalau saya mendengar komentar orang lain yang tidak sesuai harapan, saya mudah tersinggung, marah, keloro-loro (sakit hati). Kini saya sadar, ketika mengambil keputusan dalam kehidupan, dari hal-hal sepele hingga hal besar, paling penting adalah bertanya pada diri sendiri: “Apakan ini yang saya inginkan? Apakah keputusan yang akan saya ambil ini adalah sesuatu yang benar-benar yang saya inginkan?”

Kalau saja apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan “norma masyarakat” seperti ngecat rambut warna gonjreng ini, misalnya, reaksi orang lain hanya terbatas memuji, mengomentari, mencela, atau mungkin tidak peduli sama sekali. Saya rasa sekeras apa pun reaksi orang lain terhadap keputusan yang saya buat, tidak ada yang berani menjambak rambut saya karena warnanya kuning. Ini rambut saya. Beli cat sendiri, ngecat di kosan sendiri pula! 😛

Kadang kita ragu melakukan sesuatu karena takut mendengar omongan orang lain. Itu membuat kita tidak memanfaatkan seluruh potensi. Terlalu memikirkan orang lain, membuat kita hanya memanfaatkan sebagian potensi yang luar biasa. Tentu tidak semua orang senang atau setuju dengan keputusan yang kita buat. Namun, dunia akan adjust (menyesuaikan) dengan setiap keputusan itu.

Virus koronce, mengajarkan bahwa banyak hal yang selama ini saya rasa tidak sanggup dilakukan, ternyata bisa. Hal-hal yang terasa sulit, menjadi lebih ringan. Rasa takut dan ragu, bertransformasi menjadi keberanian dan kepercayaan diri. Hal-hal yang saya khawatirkan, tidak terlalu menakutkan.

Setelah mewarnai rambut, reaksi orang tua ternyata tidak semengerikan yang saya bayangkan. Reaksi orang tua hanya sebentar saja. Mereka juga tidak ambil pusing dengan warna rambut anaknya. Orang tua dan kakak saya lebih sibuk memikirkan, saat Lebaran nanti kita akan masak apa? Siapa yang tugas berbelanja beli ketupat?

Bahagianya menyambut Lebaran, dengan warna rambut baru! 🙂

 

Picture 1 by Theodora Agnes, Picture 2 and 3 by Deri Nugraha

Read more

Beberapa waktu lalu, saya merasa kelelahan luar biasa. Ini bukanlah kelelahan fisik karena akhir-akhir ini aktivitas saya tidak terlalu banyak. Kegiatan liputan tidak begitu padat. Saya juga mengurangi olahraga atau pertemuan-pertemuan yang kurang penting. Dengan situasi aktivitas yang tidak terlalu padat, sudah pasti kelelahan saya ini bukan sekedar fisik, melainkan mental atau psikis.

Saya ingat suatu hari saya hanya bisa meringkuk di atas tempat tidur, sambil merasakan dada sesak. “I am so tired. The healing process is so tiring, kapan saya bisa bebas dari persaan-perasaan melelahkan ini,” kata saya, sambil meneteskan air mata.

Ketika itu, saya memang sedang dalam masa pemulihan diri. Saya melakukan berbagai cara untuk bisa bangkit dari kenangan buruk masa lalu seperti dengan meditasi, yoga, memasak, membersihkan kamar, menuliskan kata-kata syukur, dan sebagainya… tetapi penyembuhan diri terasa tak berkesudahan.

Setiap hari, saya merasakan mood naik turun. Tentu saja, saya merasa baik-baik saja saat sedang beraktivitas atau bertemu dengan teman-teman pada siang hari. Tetapi, begitu malam hari kembali ke kamar tidur dan merasakan kembali kesendirian, penyiksaan sesungguhnya sedang menanti.

Saya kembali merasakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan. Ada goresan-goresan luka yang terasa perih di dalam relung hati saya. Peristiwa-peristiwa buruk yang telah berlalu kembali muncul di pikiran. Kenangan buruk, hal-hal tidak terselesaikan, serta pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, semakin membenamkan saya pada rasa sedih dan amarah yang mendalam.

Saya sadar, semakin saya marah, semakin saya merasa bersalah. Semakin saya marah, semakin saya menyakiti diri sendiri. Saya menyalahkan orang lain, menyalahkan lingkungan, menyalahkan diri sendiri. Ada pergulatan besar dalam hati saya: Seharusnya saya tidak perlu marah! Seharusnya saya bisa segera melupakan peristiwa ini! Seharusnya saya bisa segera bangkit! Tetapi, kenapa saya masih merasa seperti ini? Bagaimana cara melepaskan diri saya dari perasaan-perasaan menyebalkan ini!

Dalam situasi demikian, saya hanya bisa menangis. Bukan lagi menangis karena saya sedih atau marah, tetapi menangis karena saya merasa tidak mampu melewati  proses penyembuhan ini. Saya menangis karena merasa tidak berdaya. Saya menangis karena merasa tidak mampu menanggung duka. Saya menangis karena saya merasa sendiri.

Pada Sabtu (15/2/2020), pada perayaan ulang tahun Kompas Muda, saya bertemu dengan konselor, Asta Dewanti. Pertemuan dengan pendiri Ada di Kamu itu membuka pandangan saya bahwa tidak ada yang salah dengan perasaan marah, sedih, dan kecewa. Perasaan-perasaan yang selama ini kita anggap negatif itu seharusnya kita rangkul menjadi bagian dari kita, sama seperti ketika kita merasa bahagia, puas, lega. “Perasaan-perasaan itulah yang membentuk kita sebagai manusia biasa,” kata Asta.

Asta menjelaskan, ada tiga proses seseorang untuk menyembuhkan diri. Pertama adalah sadar (aware) terhadap setiap emosi yang dirasakan. Kedua, menerima (accept) bahwa suatu persitiwa pernah terjadi di kehidupan seseorang tanpa kita perlu menghakimi atau menyalahkan diri sendiri. Selanjutnya, adalah proses penyembuhan diri (heal) yang bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti self-reflection dan meditasi.

Kata-kata Asta mencerahkan pikiran saya. Saya sadar kenapa selama ini saya merasakan kelelahan luar biasa dalam proses penyembuhan diri. Lelah itu saya rasakan karena saya berusaha menolak rasa marah, sedih, dan kecewa.

Dalam lubuk hati, saya merasa marah luar biasa. Tetapi, otak saya memerintahkan untuk memaafkan semua peristiwa, dan memaafkan seseorang yang telah meninggalkan luka. Isi kepala dan perasaan yang tidak selaras inilah yang membuat saya merasa lelah sehingga akhirnya justu menghambat proses penyembuhan diri.

Sering kali saya mendengar pernyataan bahwa sebagai manusia, kita harus memaafkan orang lain. Tetapi, ketika kita sedang mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan hati, bagaimana kita bisa memaafkan orang lain? Rasa amarah itu sungguh nyata dan menguasai, kenapa kita justru menolak rasa itu? Kenapa kita menolak memahami diri sendiri?

Saya sadar, selama ini saya memang menuntut diri saya segera bangkit dari keterpurukan. Saya memaksa diri saya untuk mengabaikan rasa marah, sedih, dan kecewa. Tetapi, tubuh dan hati ini tidak bekerja demikian. Ia punya proses penyembuhan diri yang selaras dengan gerak semesta. Tubuh ini mengajak pemiliknya untuk meresapi seluruh emosi, agar ia bisa menyembuhkan diri sendiri.

Setelah mendengar penjelasan Asta, saya mulai merasakan dan merangkul setiap emosi. Setiap kali saya mulai merasa gelisah, sedih dan kecewa, saya menyapa diri sendiri, “Hai Denty, apa yang sedang kamu rasakan? Oh, hari ini kamu sedang marah ya? Iya, saya tahu kamu sedang marah. Kenapa kamu marah? Peristiwa apa yang membuat kamu marah? Bagian mana dari peristiwa itu yang membuat kamu marah? Apa yang hendak kamu sampaikan kepada diri kamu sendiri? Apa yang hendak kamu sampaikan kepada orang lain yang membuat kamu marah?”

Saya berbicara dengan diri sendiri selayaknya sedang berbicara pada sahabat. Saya mendengarkan suara hati, tanpa menghakimi atau menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya, saya mencoba merangkul emosi, dengan penuh kasih sayang. Mengakui setiap rasa tanpa harus membenci.

Malam itu, saya menangis lagi. Tetapi, kali ini bukan menangis karena kelelahan. Saya menangis karena untuk pertama kali saya merasa bisa jujur pada diri sendiri.

“Tidak apa-apa Denty kalau kamu belum bisa memaafkan seseorang yang telah menyakiti hati kamu. Saya mengerti, rasa sedih dan marah itu begitu nyata. Mungkin memang bukan sekarang saatnya kamu memafkan, tetapi suatu hari nanti kamu pasti bisa memaafkan… Bersabarlah… suatu hari nanti, semua ini pasti berlalu,” kata saya.

Keesokan harinya saya bangun seperti biasa, lalu beraktivitas biasa. Ajaibnya, pada malam hari saya justru merasa biasa-biasa saja. Amarah yang membara, tidak lagi singgah di sana. Sedih dan kecewa, juga berkurang. Padahal, biasanya malam adalah waktu yang paling menyiksa karena pikiran-pikiran negatif bermunculan.

Sebelum tidur, saya kembali berdialog dengan diri sendiri: “Gimana kabar kamu Denty? Apakah merasa lebih baik?” Diri saya yang lain menjawab: “Ya, saya merasa lebih baik. Ada suatu peristiwa menyakitkan yang terjadi. Peristiwa itu menjadi bagian dari diri saya, tetapi peristiwa itu tidak lagi menguasai saya.”

Sekarang, setiap kali saya kembali merasakan sedih, marah, dan kecewa… saya tidak menolak perasaan itu. Saya akan menerima perasaan-perasaan itu sebagai bagian dari diri sendiri yang harus dipahami. Setelah mendengar dan memahami diri sendiri, malam itu, saya tidur nyenyak sekali. (Denty Piawai Nastitie)

Read more

Perjalanan memang tidak selamanya mulus. Ada kalanya apa yang kita harapkan tak menjadi kenyataan, atau sebaliknya, apa yang tidak dipikirkan malah memberi kegembiraan. Lalu, pilihannya hanya ada dua: menikmati sebaik-baiknya apa yang kita miliki sambil berharap badai segera berlalu, atau sekedar merutuki nasib yang toh tidak akan membawa kita kemana-mana.

Situasi itu, saya rasakan ketika mendarat di Quenstown, New Zealand, April lalu. Siapa sih yang tidak bahagia membayangkan akan segera menyusuri sungai dan hutan di Negeri Kiwi, bermain dengan biri-biri yang lucu menggemaskan, juga memandang bintang-bintang di bumi the Lord of the Rings. Saking bahagianya, begitu mendarat di Quenstown saya lompat-lompat bahagia.

Teman saya, Narastika, sangat menyadari perubahan suasana hati saya. “Di North Island, muka kamu biasa saja. Begitu mendarat di South Island, girang banget,” kata dia. Hahahahha.

Beberapa hari sebelum mendarat di Quenstown, Narastika dan saya memang sudah menjelajah di Pulau Utara. Beberapa tempat yang dikunjungi adalah Hobbiton Movie Set dan Waitomo Caves. Narastika dan saya juga sempat berjalan-jalan di Auckland.

Bagi saya, tidak ada yang salah dengan perjalanan di Pulau Utara. Semua serba baik-baik dan senang-senang saja. Tetapi, saya lebih tertarik berpetualang di Pulau Selatan karena bersentuhan dengan alam bebas. Berbeda dengan di Pulau Utara, tempat-tempat yang kami kunjungi kebanyakan destinasi favorit turis asing, sehingga somehow membuat saya kurang antusias. Sebaliknya, perjalanan di Pulau Selatan benar-benar bikin saya nggak sabar!

Foto perjalanan di South Island

Semangat 45 untuk segera menjelajah di South Island, berubah drastis jadi penuh ketidakpastian ketika saya menyadari koper yang saya bawa dari Jakarta tidak keluar dari baggage claim. Hilang! Lenyap! Nggak tahu di mana! Sialan! Perasaan gembira langsung beralih menjadi bingung, merasa tidak aman, marah, juga sedih. Narastika dan saya segera melapor kepada maskapai penerbangan.

Maskapai berjanji akan mencari koper itu dan kalau ketemu akan mengirimkan ke penginapan. “Tetapi nggak mungkin malam ini, ya, karena sudah nggak ada penerbangan,” kata si mas-mas dari maskapai penerbangan yang mukanya datar kayak setrikaan. WHAT?!!

 

 

 

Saking terkejutnya, saya tidak sempat meminta kompensasi dari kemalangan ini kepada petugas itu. Hidup penuh ketidakpastian dan keterbatasan baru terasa ketika untuk membeli sikat gigi saja, saya harus merogoh kocek pribadi sampai Rp 70 ribu. “Ah, ini mah di Indomart juga paling mahal 10 rb,” kata saya kesal, dalam hati. Saya juga harus membeli satu stel pakaian baru. Untuk jaket, terpaksa mengandalkan yang menempel di badan. “Nanti kamu pinjem sampo dan sabun aku aja. Kalau mau pakai tabir surya aku juga ada. Nggak usah beli,” kata Narastika, melihat wajah melas saya.

Dari peristiwa ini, saya sadar manusia itu sangat mood-swing. Perasaan-perasaan kita mudah terpengaruh dengan apa yang kita miliki. Ketika saya mempunyai koper, misalnya, saya merasa hidup aman dan nyaman karena saya tahu apa pun yang saya butuhkan ada di dalam kotak ajaib itu. Saya tidak akan takut kedinginan karena saya tahu telah menyimpan pakaian tebal dan sarung tangan di dalam koper. Saat saya ngantuk, saya mempunyai piyama yang nyaman dipakai. Di dalam koper juga ada peralatan mandi yang bisa membuat saya segar setiap waktu.

Tetapi, begitu saya kehilangan barang itu, semua terasa tidak ada artinya. Hidup penuh ketidakpastian. Saya jadi merasa takut beraktivitas karena tidak membawa barang-barang yang dibutuhkan. Perasaan tidak nyaman dan tidak aman ini membuat saya harus menolak ajakan Erika, teman dari Perancis, yang mengajak tracking di Queenstown.

Erika, Narastika, dan saya 😀

Ketika Erika mengajak mendaki bukit, saya jadi berpikir ulang seribu kali. Banyak pertanyaan muncul di kepala, seperti bagaimana kalau hujan dan pakaian saya basah, bagaimana kalau nanti saya kedinginan padahal saya nggak punya baju berlapis yang cukup? Bagaimana kalau ini… kalau itu… dengan perasaan-perasaan tak menentu, akhirnya saya menolak perjalanan ke bukit. Narastika dan saya akhirnya hanya berjalan-jalan santai saja di sekitar penginapan.

Sebagai manusia, sepertinya memang kita tidak pernah siap untuk hidup tidak nyaman. Apalagi, kalau hidup dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, bukannya hidup lebih tenang, hampir setiap hari kita justru dihadapkan pada perasaan takut gagal, takut jatuh, takut tidak mempunyai tempat tinggal, takut tidur yang biasanya di atas kasur empuk berubah menjadi di atas tikar, takut uang tabungan habis, takut kelak tidak bisa membayar uang sekolah anak-anak, takut nggak bisa makan enak lagi, takut nggak bisa liburan sama teman-teman segank, takut nggak punya teman, takut hidup dan mati seorang diri tanpa teman menemani, takut nggak bisa eksis di acara-acara hits.

Kemudian rasa takut itu dilawan dengan bekerja lebih keras. Tujuannya cuma satu, agar punya penghasilan yang lebih besar, sehingga bisa membayar tempat tinggal, mengisi saldo tabungan agar punya uang untuk liburan, agar bisa traktir pacar makan enak, agar bisa bayar sekolah anak, agar bisa bawa orang tua mengunjungi tempat yang diinginkan. Kerja lebih keras lagi, lagi, dan lagi, karena bukankah setiap individu bertanggung jawab atas kesejahteraannya masing-masing, lalu kesibukan membuat lupa menikmati apa yang dimiliki. Lupa mensyukuri semua pengalaman suka dan duka yang tersaji. 🙁

Di tengah segala kepanikan, saya berusaha menikmati sebaik-baiknya perjalanan. Apalagi, sebelum tidur, ibu saya mengirim pesan: “Gimana kopernya? Tenang saja… Berdoa. Nikmati perjalanan,” tulis ibu. Nyes, rasanya! Iya jugaa yaa.. kenapa saya jadi nggak menikmati perjalanan gini? 🙁

Menyadari hal ini, saya berusaha tetap tenang meski hidup tanpa koper menemani. Saya jadi teringat kalimat: Tuhan tak pernah janji langit selalu biru, tetapi dia berjanji akan selalu menyertai. *mendadak relijius hahahha* Jadi apa pun yang terjadi, terjadilah… Saya berusaha ikhlas… Saya nggak mau bohong, sejatinya mulut ini nggak tahan untuk tidak mengumpat, serta pengen nangis sambil garuk-garuk aspal (KENAPAA KOPER GUE ILAANG WOYY KENAPAA), tetapi sesungguhnya hati ini sudah legowo kok. Saya tahu, situasi terburuknya adalah koper saya benar-benar hilang dan saya benar-benar hidup nelangsa di negeri orang. HAHAHA.

Keesokan harinya, sambil menunggu koper, Erika, Narastika, dan saya, jalan-jalan ke Glenorchy! (((Gaisss… asli tempat ini indah banget!! Instagramable cuyyyy!!!))) Glenorchy terletak di utara Danau Wakatipu, sekitar 45 menit dari Quenstown. Situs perjalanan Newzealand.com mendeskripsikan tempat ini sebagai: pintu masuk menuju jalur lintas alam dan keajaiban Middle-earth. Magical! Bentangan alam Glenorchy yang spektakuler menjadi lokasi utama shooting film trilogi The Lord of the Rings dan Narnia.

Erika, Narastika, dan saya, menyusuri jalur lintas alam. Kebetulan ketika itu gerimis membasahi rumput, tanah, dan pepohonan. Senang sekali bisa berjalan kaki dengan aroma tanah basah. Langit berwarna abu-abu, tetapi tidak membuat hati menjadi kelabu 🙂 Sejauh mata memandang, terlihat bentang alam yang memanjakan sanubari. Percakapan-percakapan dengan Erika dan Narastika, menjadi penghibur hati yang resah. Pertemuan dengan penduduk lokal yang sedang berkuda atau berjalan-jalan santai seperti kami, memberikan pengalaman yang menyenangkan. Dengan segala yang sudah diberikan alam dan kehidupan, nikmat mana yang hendak kau dustakan, Ferguzoooo!!!

Menjelang senja, Erika, Narastika, dan saya, kembali ke penginapan. Di hostel, saya melihat koper pink yang dinanti-nantikan sudah datang. Aaaaaahhhh senang sekali!!! Sesuatu yang biasa saja, terasa menjadi sangat berharga! Selanjutnya, kawan-kawan dan saya merayakan malam dengan makan pizza lezat yang dinikmati bersama-sama di dekat tungku api yang hangat. Terima kasih perjalanan yang memberi banyak perjalanan berharga 🙂

Jakarta, 21 September 2019

Denty Piawai Nastitie

Foto2 oleh: Narastika (silakan gais yang mau kenalan ^^,)

Ps: kehilangan koper membuat saya ingat seorang teman yang pernah kehilangan koper saat perjalanan ke Inggris. Saat itu, koper dia kebawa penumpang lain sampai Bahrain

((I feel you, Yog! HAHAHAHHAHA)

Baca kisah sebelumnya: Extrovert vs Introvert, Kepribadian yang Tertukar

[instagram-feed]

Read more

Beberapa hari lalu, saya menjalani tes kepribadian. Hasilnya, ada perubahan kepribadian dengan hasil tes lima tahun lalu, yaitu dari extrovert menjadi introvert. Artinya, kalau dulu saya lebih menyukai lingkungan yang interaktif, senang bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara, kini saya lebih senang menyendiri. Kalau dulu saya suka kumpul-kumpul, saya – yang sekarang – merasa nyaman duduk sendirian dalam ruang yang ramai sambil minum kopi, membaca buku atau majalah.

Perubahan ini, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Saya mulai menyadari perubahan kepribadian ketika sedang traveling ke New Zealand, bersama sahabat saya, Narastika.

Seperti pengalaman-pengalaman traveling sebelumnya, Narastika dan saya lebih suka tinggal di hostel daripada di hotel karena tersedia lebih banyak kesempatan bertemu teman baru. Di hostel, setiap hari adalah kejutan, entah itu suasana kamarnya, atau pertemuan dengan orang-orang tidak terduga. Tidak jarang, pertemuan dengan teman baru di hostel berakhir dengan pengalaman seru menjelajah bersama di tempat-tempat yang menarik.

Dalam perjalaan ke New Zealand ini, beberapa bulan lalu, saya mulai menyadari bahwa saya mengalami perubahan kepribadian. Beberapa tahun lalu, ketika Narastika dan saya traveling ke Singapura, Jepang, Malaysia, dan Inggris, saya punya kepribadian antusias, mudah bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara. Saya sama sekali tidak takut tuh untuk menyapa orang baru, mengajak jalan-jalan orang baru (kebanyakan sih bule, hahahha).

Hudson, saya, Narastika, dan Thiago, 10 kilogram yang lalu

Contohnya di Malaysia, saya sempat jalan seharian penuh bersama orang yang baru saya kenal, yaitu Thiago, traveler bule asal Sao Paulo, Brazil. Ketika itu, Narastika dan saya sedang jalan-jalan di Georgetown, Malaysia. Tiba-tiba, Narastika sakit dan memutuskan kembali ke hostel. Saking cueknya, di hostel saya melihat ada cowok bule lagi pakai sepatu. Lalu, saya tanya: “Kamu mau ke mana?” Cowok itu bilang mau ke toko, cari sendal jepit.

Dia lalu tanya balik: “Kamu mau kemana?” Saya langsung memberi tahu dia, kalau saya mau membeli makan siang, tetapi teman saya sedang sakit. Lalu, dengan super cueknya, saya berkata: “Kamu mau gak makan siang dengan saya? Nanti saya temanin kamu beli sendal jepit!!” Wkakkakakak. Lalu, begitu saja Thiago dan saya jalan bersama seharian penuh.

Keesokan harinya, saat Narastika sudah sembuh dan kami mau jalan-jalan, Thiago malah minta ikut jalan bareng. Ketika itu, ada teman lain yang juga bergabung, dan teman itu benar-benar baru saya kenal, yaitu Hudson dari Singapura. Narastika heran kenapa saya bisa dengan mudah bergaul dengan orang baru, bahkan sampai bule-bule yang baru saya kenal itu kayak kecantol mau aja diajak jalan-jalan padahal baru kenal. Wakakkakakk.

Sikap saya yang mudah bergaul dengan orang lain, sebenarnya sangat bertolak belakang dengan sikap Narastika beberapa tahun lalu yang tidak semudah itu menyapa orang lain. Kata Narastika, dia takut berkenalan dengan orang asing, karena bisa jadi orang itu jahat atau punya hobi suka culik orang, wkwk. Pemikiran yang sama sekali tidak muncul di benak saya.

Anehnya, ketika perjalanan ke New Zealand, Mei lalu, Narastika dan saya seperti bertukar kepribadian. Narastika menjadi orang yang lebih mudah bergaul, lebih mudah menyapa orang lain, dan aktif ngajak orang lain ngobrol orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Misalnya, saat kami roadtrip bersama bule asal Perancis, Erika, dalam perjalanan Narastika bertanya ke Erika: “Kamu suka mendengarkan musik apa?”, “Kamu suka nonton drama series gak di Perancis?”

Narastika, saya, Ryan, dan Erika… tiga di antara empat orang ini introvert, tebak yang mana saja… 😀

Sikap mudah bergaul itu, sangat membantu kami menemukan teman perjalanan, dan menambah pengalaman perjalanan. Sementara saya jadi lebih suka mengamati orang lain, menghabiskan waktu sendiri, dan agak kesulitan memulai percakapan dengan orang baru. Ketika ngobrol dengan Narastika mengenai hal ini, saya menemukan beberapa hal yang mempengaruhi perubahan kepriabdian dan sikap seseorang. Hal paling mendasar adalah lingkungan, keseharian, dan pergaulan seseorang (meski bukan satu-satunya faktor perubahan).

Narastika mengatakan, kepribadiannya berkembang pesat ketika dua tahun lalu dia memutuskan pindah dari Indonesia ke Australia. “Teman-teman aku kebanyakan bule. Aku ‘kan orang baru, kalau aku tidak mengajak ngobrol mereka duluan, aku akan sulit punya teman. Mereka nggak akan mau ngajak aku nongkrong kalau aku enggak ngobrol dengan mereka duluan,” ujarnya.

Sejak Narastika mengambil keputusan besar tinggal di Australia, saya sangat salut dengan keberaniannya meninggalkan zona nyaman demi mewujudkan cita-cita tinggal di negara kangguru. Keputusan itu rupanya telah membentuk siapa Narastika sekarang. 🙂

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, rupanya juga mempengaruhi kepribadian saya sekarang. Lima tahun lalu, saat baru lulus kuliah, saya adalah tipe manusia yang sama sekali nggak punya rasa takut. Saya ingin mengecap sebanyak-banyaknya pengalaman hidup, berkenalan dengan sebanyak-banyaknya orang, dan mengunjungi sebanyak-banyaknya tempat. Jadi, apa pun saya lakukan agar saya bisa dapat pengalaman, termasuk berani untuk spik-spik dengan orang yang baru dikenal 😛

Setelah saya bekerja dan tinggal di Jakarta, kejamnya Ibu Kota membentuk kepribadian saya. Hampir setiap hari, saya bertemu orang baru, mostly sih untuk kepentingan pekerjaan. Saking seringnya ketemu orang, kadang-kadang di waktu libur saya nggak pengen ketemu siapa-siapa. Kalau ada teman yang ngajak nongkrong, saya selalu tanya: “Ada siapa aja yang ikutan?”

Biasanya, saya akan menolak ajakan nongkrong kalau ternyata yang datang kebanyakan adalah orang-orang baru. Pertemuan dengan orang baru itu membutuhkan energi untuk membuka diri dan kerelaan untuk memahami orang lain. Rasanya, kesibukan dan kepenatan dengan aktivitas sehari-hari sering membuat saya enggan berkenalan dengan orang baru. 🙁 🙁

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, di Jakarta, juga membentuk saya menjadi orang yang lebih pemikir, penuh pertimbangan, dan pendiam. Saya lebih suka mengamati, daripada terlibat dalam suatu aktivitas. Saya sadar, lingkungan, keseharian, dan pergaulan bukan satu-satunya faktor perubahan kepribadian seseorang. Perubahan dari extrovert ke introvert dapat disebabkan banyak hal lain, seperti tekanan hidup, pengalaman pahit, kesedihan mendalam, dan masih banyak lagi (hayoo tebak apa yang mempengaruhi perubahan kepribadian saya?? … kayaknya gabungan ini semua Ahahhaha).

Sebenarnya, saya merasa cukup menyesal dengan perubahan kepribadian ini. Kesempatan saya untuk mengenal orang lain menjadi tidak sebesar sebelumnya. Kesempatan saya untuk merasakan pengalaman-pengalaman luar biasa juga mungkin saja berkurang.

Dent, aku tuh masih introvert. Aku suka cape jiwa kalo abis ngobrol ama orang,” kata Narastika.

Benar juga yaa… bukankah tidak ada individu yang benar-benar memiliki satu tipe kepribadian saja, yang ada hanya dominasi, dan/atau kecenderungan satu atau kombinasi tipe kepribadian. Mungkin lima tahun lalu saat saya menjalani tes kepribadian sisi extrovert saya lebih kental. Lalu, dalam tes kedua ini justru kepribadian saya didominasi oleh sisi sebaliknya. Lagian, kepribadian extrovert atau introvert juga bukan tentang salah atau benar, atau sifat mana yang lebih baik, karena kedua kepribadian itu saling mengisi, saling melengkapi. 

Sekarang, saya sadar bahwa kepribadian setiap manusia bisa berubah. Hasil studi ini membuat saya kembali merenungkan makna keberadaan saya dan bagaimana saya bersikap selanjutnya. Kalau dulu saya bisa mudah berbagaul dengan orang lain, kenapa sekarang sulit? Menjadi seorang pemikir, pendiam, dan penuh pertimbangan, juga tidak buruk, karena mungkin ini bermanfaat agar saya bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Hal terpenting, saya sadar, rupanya saya harus terus belajar, untuk tidak puas dengan diri sendiri, saya harus belajar terus untuk mengenal diri sendiri dan mengenal orang lain dengan lebih baik.  

Terima kasih New Zealand atas pelajaran yang berharga, terima kasih Narastika untuk pengalaman-pengalaman yang berkesan!! *mewek* 🙂

 

Salam, Denty Piawai Nastitie

(Foto 1, 5, dan 6, diambil di Milford Sound, cerita menyusul yaa… Stay tuned!)

Cerita sebelumnya: Welcome to Auckland!

[instagram-feed]

Read more

Malam pertama di Auckland, saya bermimpi sebuah kisah yang membuat resah: m e n i k a h !

Saya melihat diri saya mengenakan gaun panjang berwarna putih, berdiri di tengah altar gereja. Di hadapan saya ada pastur yang hendak memberkati pernikahan, di sebelah saya ada calon suami, dan di belakang saya ada orang tua dan calon mertua. Dalam mimpi itu, saya banyak tersenyum menyambut moment indah dalam hidup. 

Kemudian, saya melihat pastur mulai memberikan berkat pernikahan kepada calon suami dan saya. Di situ, saya mulai panik. Raut wajah mulai nggak tenang, khawatir. Pastur yang menyadari perubahan wajah saya, bertanya: “Loh, kamu kenapa? Kamu yakin ‘kan mau menikah? Kamu yakin ‘kan dengan calon suami kamu?”

Saya gelagapan. Celinguk kiri dan kanan. Orang tua dan calon suami mulai’ nggak tenang. Setelah menarik nafas panjang, saya memutuskan akan menyampaikan hal jujur kepada diri sendiri, calon suami, dan keluarga.

Di hadapan orang-orang dekat, saya curhat. Saya sampaikan bahwa saya mencintai calon suami saya.

“Dia orang yang sangat baik, penyayang, dan perhatian,” kata saya.

“Lalu, kenapa kamu kelihatan tidak yakin begitu?” pastur bertanya.

“Hmm… saya masih ragu, bagaimana kalau tiba-tiba dia beruhah,” kata saya. “Pernikahan akan mengikat saya seumur hidup. Apakah setelah saya menikah, saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya suka sama seperti sebelumnya? Apakah setelah saya menikah, saya masih mempunyai kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan diri? Saya yakin prioritas hidup saya akan berubah seiring waktu, tetapi apakah dengan prioritas hidup baru ini saya akan bahagia? Apakah suami saya tetap akan menjadi sosok yang baik, penyayang, dan perhatian, seperti ketika pacaran… Apakah pernikahan ini akan membuat saya bahagia?”

Pastur kebingungan. Kalau nggak yakin nikah, ngapain nikah nih orang! Mungkin ia berpikir demikan. Lalu, pastur menawarkan agar suami dan saya membuat janji pranikah sebagai jalan tengah.

Dalam janji pranikah itu saya menuliskan beberapa hal, seperti:

— suami dan istri saling mendukung untuk bebas berekspresi dan berpendapat

— suami memberi keleluasaan kepada istri, begitu juga sebaliknya, untuk berkembang sesuai minat, karakter, dan kepribadian

— pernikahan harus mendukung kesetaraan jender dan pembagian peran yang didasarkan kesepakatan bersama

— suami dan istri harus menjaga kesetiaan dan komitmen pernikahan, serta tidak ada kekerasan dalam pernikahan

Calon suami menunduk, membaca janji pranikah itu. Dia lalu menatap mata saya. Dia menyatakan bahwa menolak menandatangi janji itu. Katanya, “Saya tidak akan melarang kamu berkembang. Saya tidak akan membatasi diri kamu untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, saya tidak mau menandatangi surat ini. Saya merasa kamu tidak mengenal dan mempercayai saya,” ujarnya.

Kata-kata calon suami saya, membuat saya sedih, kecewa,… dan patah hati. Ada ruang kosong di hati …

Saya merasa, calon suami dan saya memang ternyata belum saling mengenal. Saya merasa memang sebenarnya belum terlalu yakin… kepada diri sendiri, kepada calon suami, juga kepada pernikahan. Saya cukup sedih mengapa calon suami menolak menandatangani janji pranikah ini… sesuatu, yang mungkin bagi saya menjadi bukti keseriusannya.

 

Keringat dingin mulai membanjiri kening… saya gelisah.

 

Lalu,

terbangun.

 

Saya mulai menyadari bahwa sedang tidak berada di altar gereja. Bukannya mengenakan gaun nikah, saya sedang memakai piyama. Saya sedang berbaring di bunk-bed, dan di sebelah saya tidak ada calon suami. Saya terbangun, merasakan ruang tempat saya menginap, di sebuah hostel di Auckland, cukup senyap… lampu kamar padam, di balik jendela kamar saya melihat kendaraan melintas dengan lampu depan menyala.

Saya melirik ponsel, terlihat waktu menunjukkan pukul 03.30 waktu Auckland. Saya punya waktu beberapa jam untuk istirahat, sebelum pagi ini mulai melakukan penjelajahan pertama ke Hobbiton dan Glowworm Cave.

Saya menghela nafas panjang, menenangkan diri. Terbayang wajah seseorang yang sedang dekat dengan saya, apa yang sedang dia lakukan di Jakarta? Apa yang dia rasakan? Bagaimana kalau dia tahu, dia muncul dalam mimpi saya (mimpi yang tidak terlalu indah, sebenarnya…)?

Saya mulai merenungkan, perjalanan ke Selandia Baru, ini tidak sekedar menikmati alam atau melakukan aktivitas-aktivitas seru dan menantang. Perjalan ini juga tentang bagaimana merenungkan kembali beberapa aspek kehidupan, seperti pekerjaan, dan juga pernikahan. Rupanya, cukup banyak hal yang mengganjal pikiran.

Saat sedang memikirkan hal ini, notifikasi telepon genggam memberikan signal pesan di DM Instagram. Seorang kawan menuliskan, “Bagaimana Auckland? Semoga perjalanan lo menyenangkan!”

Ahh… benar juga… jauh-jauh ke Auckland, saya ini ingin jalan-jalan, tetapi kenapa saya malah merasa rumit dengan banyak beban di pikiran. Bukankah seharusnya saya menikmati perjalan ini semaksimal mungkin! Saya kemudian memejamkan mata… kembali merehatkan diri untuk menyambut perjalanan di tanah the Lord of the Rings.

 

Auckland, 7 Mei 2019

Denty Piawai Nastitie

Ps: Foto bersama sahabat saya Narastika saat jalan-jalan di Auckland. Saya yakin, mimpi ini muncul karena sesaat sebelum tidur saya membicarakan banyak hal dengan Narastika, termasuk membicarakan pernikahan! Hahahhaha! Sialan, Tik, sampai kebawa mimpi!! LOL

Read more

Tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan pada hari kedua kunjungan di Danau Tekapo, Selandia Baru. Cuaca buruk membuat rencana Narastika dan saya untuk mendaki gunung Mt John berantakan. Selain karena jalur trekking menuju Mt John ditutup demi keselamatan, shuttle bus yang seharusnya mengantar pengunjung dari penginapan ke gerbang pendakian juga tidak beroperasi.

“Kita bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga. Ada halangan ganda yang menimpa sekaligus,” kata Narastika, kecewa.

Prakiraan cuaca memamng sudah memperingatkan bahwa sepanjang hari ini akan hujan deras. Sejak bangun tidur, tanda-tanda cuaca buruk sudah terasa. Warna langit yang sehari sebelumnya cerah, berubah menjadi abu-abu. Warna langit yang kelabu, membuat hati ini juga ikut kelabu. Padahal, sepanjang malam saya sudah membayangkan asyiknya menyusuri Mt John sambil menghirup udara segar, menikmati pemandangan Danau Tekapo, Pegunungan Alpen Selatan, dan dataran Mackenzie Basin.

Namanya manusia, selalu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Saya memang merasa kecewa batal naik gunung, tetapi di sisi lain saya juga merasa beruntung karena tidak membawa perlengkapan mendaki yang cukup memadai. Terbayang bagaimana repotnya di tengah jalan apabila hujan deras tiba-tiba menerjang. Tidak hanya repot karena harus melangkah dengan tubuh basah, keselamatan juga bisa terancam! Mungkin inilah cara alam mengingatkan manusia bahwa tak semua perjalanan perlu dipaksakan.

Untuk mengobati kecewa, Narastika dan saya jalan-jalan di sekitar danau. Kalau tiba-tiba ada badai, kami bisa sewaktu-waktu kembali ke penginapan. Narastika dan saya juga berencana kembali ke Gereja Gembala Baik (the Church of the Good Shepherd).

Gereja Gembala Baik (the Church of the Good Shepherd) merupakan satu-satunya gereja di Danau Tekapo dan menjadi tempat ibadah bagi penduduk setempat. Gereja yang dibuka pada 1935 ini dirancang oleh arsitek R.S.D. Harman, berdasarkan sketsa oleh seniman lokal, Esther Hope.

Gereja ini terletak di tepi Danau Tekapo dan di antara pegunungan Alpen Selatan. Gereja yang dibangun sebagai peringatan bagi perintis di wilayah Mackenzie ini sangat unik karena terbuat dari fasad batu di pesisir Danau Tekapo. Semak-semak matagouri juga dibiarkan tumbuh di halaman gereja, memberikan kesan perjalanan ke masa lalu.

Papan informasi di depan bangunan gereja menuliskan bahwa Gereja Gembala Baik dibangun dengan menonjolkan ciri kekuatan dan kesederhanaan. Gereja ini bisa digunakan siapa saja dari berbagai bangsa dan agama, untuk bermeditasi, berdoa, atau sekedar duduk hening.

Saya berkeliling mengamati bangunan-bangunan gereja. Karena pintu gereja tertutup rapat, pengunjung tidak bisa masuk ke dalam. Penasaran, saya sempat mengintip melalui lubang kunci dan melihat suasana di dalam gereja, seperti kursi-kursi usang dan salib di tengah altar.

Selanjutnya, saya berjalan ke belakang gereja. Pada sebuah batu besar, saya duduk memandang hamparan Danau Tekapo. Cuaca mendung sepertinya membuat suasana hati juga ikut mendung. Apalagi, siang itu tidak banyak penjunjung di Gereja Gembala Baik. Suasana gereja itu terasa sepi, perasaan yang sering membuat manusia merasa tidak nyaman. 

Setelah duduk sekitar 30 menit, Narastika dan saya berniat meninggalkan gereja. Saat melangkah ke luar gerbang gereja, saya melihat seorang perempuan datang. Dia berjalan tergopoh-gopoh ke depan gereja. Dia menggengam kunci berwarna kuning keemasan. Rupanya, dia adalah petugas gereja. “Mau masuk?” ujarnya, sambil membuka pintu gereja.

Saya mengangguk.

Setelah pintu terbuka, saya segera masuk ke dalam gereja. Pandangan mata saya langsung tertuju ke arah jendela kaca bening di altar yang membingkai indah danau dan pegunungan. Melalui kaca terlihat pemandangan Pulau Motuariki yang dikelilingi pohon pinus. Hamparan pegunungan, danau, hutan, dan jalur setapak yang berkelok-kelok terlihat dari kaca gereja. Pemandangan itu bersanding dengan altar dan kayu salib sederhana. 

Suasana di dalam Gereja Gembala Baik ini seolah ingin menggambarkan bahwa Pemilik Alam Semesta senantiasa mengiringi perjalanan manusia… Saya meluangkan waktu duduk di dalam gereja yang damai, memandang altar dan mengenang berbagai perjalan yang sudah dilalui… perjalanan panjang, yang kadang terasa melelahkan. 

Dalam keheningan, saya merasakan betapa baiknya alam terhadap hidup ini. Tentu saja, ada kalanya saya merasa sendiri, ada kalanya saya merasa tak pasti. Tetapi, di gereja ini saya merasakan kekuatan yang menggerakkan hati dan pikiran untuk terus melangkah… melanjutkan perjalanan, menghadapi setiap jalan bergelombang, bercabang, naik, dan turun… 

“Jangan takut melangkah… bersama Dia, Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan,” suara berbisik, di relung hati. 

Tiba-tiba saja bulu kuduk terasa merinding, air mata menetes. Terharu. Lega. Bersyukur. Musik gregorian mengalun pelan, menambah suasana magis. 

Bagi saya, Gereja Gembala Baik merupakan tempat ibadah dengan pemandangan paling spektakuler yang pernah saya kunjungi. Di dalam gereja saya sadar mengapa tempat ini layak dijadikan rumah bagi para peziarah dan pelancong dari berbagai daerah. 

 

 

Foto-foto oleh: Longina Narastika

Baca kisah lainnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

Baca kisah lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo

[instagram-feed]

Read more

Sejak berabad-abad lalu, langit, beserta benda-benda langit, dan pergerakan benda-benda langit, mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan memahami langit, manusia mencoba mengerti fenomena-fenomena alam, mempelajari perkembangan semesta, dan berujung pada pemahaman terhadap diri sendiri. Maka, saat seseorang sedang memandang langit, kemungkinan besar dia tidak sekedar menikmati keindahannya, tetapi juga berusaha menangkap makna keberadaannya di dunia.

Saking pentingnya langit, di Danau Tekapo, Selandia Baru, sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, penghuni pertama Suku Maori, telah mengembangkan sistem penerangan khusus untuk melestarikan kejernihan langit malam. Sistem penerangan yang dikembangkan di daerah Cekungan Mackenzie itu berhasil meminimalisir polusi cahaya dan mempertahankan kejernihan langit.

Berada di daerah dataran tinggi dan di antara pegunungan, juga memaksa awan rendah terbang jauh sehingga langit menjadi lebih cerah. Secara turun temurun, daerah yang termasuk dalam Cagar Langit Gelap Internasional Aoraki Mackenzie (Aoraki Mackenzie International Dark Sky Reserve) ini pun menjelma menjadi salah satu tempat terbaik untuk mengamati gugusan bintang di langit.

Keunikan itulah yang membuat Narastika dan saya tertarik untuk mengamati langit dan berburu gugus bintang (stargazing) di Danau Tekapo. Di sini, ada banyak pilihan paket wisata yang menawarkan kegiatan pengamatan gugus bintang. Beberapa wisata stargazing juga dikemas sekaligus dengan paket makan malam, mandi air hangat, dan workshop memotret gugus bintang. Harga paket wisata ini bervariasi. Salah satunya menawarkan paket stargazing selama dua jam seharga 186 NZD (sekitar Rp 1.860.000).

Setelah dipikir-pikir, banyak artikel di internet yang menjelaskan tentang gugus bintang dan bagaimana memotret gugus bintang.  Selain itu, ada banyak pilihan aplikasi di telepon genggam yang dapat menunjukkan nama-nama rasi bintang yang terhampar di langit. Jadi, untuk memahami langit dan segala isinya (baca: berhemat), Narastika dan saya memutuskan tidak ikut paket wisata.

Hari itu, langit Tekapo sedang cerah. Sebelum mulai stargazing, Narastika dan saya berencana menyusuri Danau Tekapo yang airnya berwarna biru kehijauan. “Siap-siap bawa pakaian hangat yaa… Sepertinya kita akan pulang larut malam,” kata Narastika. 

Selanjutnya, saya memasukkan lima lapis pakaian ke dalam ransel. Saya juga membawa kamera, tripod, dan batere kamera cadangan. Langit sedang cerah, tak sabar rasanya bisa melihat Bima Sakti! Setelah semua siap, petualangan dimulai!

Narastika dan saya berjalan menyusuri pinggir Danau Tekapo. Dari kejauhan terlihat pegunungan Soutern Alps berpuncak salju. Terlihat juga deretan hutan cemara. Burung-burung terbang bebas. Angin berhembus sejuk. 

Menjelang matahari tenggelam, saya mengunjungi gereja ikonik, the Church of the Good Shepherd. Gereja ini sangat unik karena terbuat dari tumpukan batu. Gereja yang dibangun pada 1935 ini dirancang untuk memberikan kesan kekuatan dan kesederhanaan.

Baru saja hendak menikmati keindahan bangunan gereja, petugas meminta semua pengunjung keluar dari halaman karena waktu berkunjung sudah habis. Setiap hari, halaman gereja memang hanya dibuka pada pukul 08.00 – 17.00. 

Sebenarnya, saya sempat kecewa karena hanya sebentar berada di gereja. Tetapi, mau bilang apa. Saya hanya pengunjung di tempat ini, tentu saja, saya harus mematuhi aturan setempat.

Setelah menutup dan menggembok pagar gereja, petugas itu menghampiri saya. Mulanya, saya pikir saya akan dimarahi karena terlalu lama berada di halaman gereja. Tetapi, prasangka itu buyar setelah petugas tersenyum ramah. “Nanti malam, kamu ke belakang gereja. Kamu bisa lihat Milkyway dari sana,” katanya.

Narastika dan saya saling memandang, terkejut sekaligus senang. Wah, baik sekali petugas itu memberi tahu lokasi terbaik melihat gugusan bintang!! Mungkin dia kasihan melihat kami berdua yang belum puas berada di halaman gereja. Alhamdulilove… 🙂 

Sekitar pukul 7 malam, proses memotret gugus bintang dimulai. Narastika dan saya berjalan ke arah belakang gereja. Beberapa kali saya tersandung kerikil karena tidak bisa melihat jalur perjalanan yang gelap gulita. Narastika dan saya mengandalkan cahaya dari telepon genggam untuk menerangi jalur.

Begitu mendapatkan spot yang asik, Narastika dan saya mulai memotret.

Malam itu, langit gelap tak berawan. Terlihat rasi bintang berkilauan di atas sana. Saya berusaha mengabadikan keindahan langit malam dengan menggunakan kamera mirorlessUntuk mendapatkan hasil maksimal, saya mengubah pengaturan kamera menjadi manual. Saya mengatur bukaan diafragma, kecepatan rana, juga ISO. 

Setelah beberapa kali memotret, foto yang dihasilkan terlalu terlalu gelap!

Setelah dicoba lagi, hasilnya terlalu terang!

Selanjutnya, saya mendapatkan racikan pengaturan kamera sesuai, tiba-tiba ada seseorang melintas sambil membawa lampu sehingga menciptakan garis gelombang berwarna di foto. “Ah, siaul!” kata saya.

“Ayo, coba lagi!” kata Nararstika, memberi semangat.

Saya kemudian mencoba mengubah pengaturan kamera, dan meminta bantuan Narastika untuk menambahkan cahaya ke arah gereja dengan menggunakan cahaya telepon genggam. Setelah berkali-kali dicoba, akhirnya, pengaturan cahaya yang lumayan pas mulai ditemukan!

Cahaya itu berasal dari headlamp yang diarahkan ke beberapa bagian gereja sehingga ada terang yang merata. Di samping itu, taburan bintang yang membentuk Bima Sakti juga terlihat. Ada samar tipis yang menunjukkan semburat warna ungu, biru, kuning, dan merah di langit. Yeaay!! Berhasil!!” Narastika dan saya bersorak gembira.

Selain memotret gugus bintang, saya juga berusaha memahami susunan bintang dengan menggunakan aplikasi di telepon genggam. Sayangnya, tak sampai 10 menit digunakan, tiba-tiba saja telepon genggam itu mati. Saya berusaha menyalakan kembali, tetapi sia-sia. Rupanya, telepon genggam saya tidak suka dingin. Telepon genggam itu langsung menggigil di antara suhu tiga derajat selsius. Saking dinginnya, telepon genggam pun padam!

Semakin malam, udara dingin juga semakin menusuk tulang, dan membuat kaku jari-jari tangan dan kaki. Tiba-tiba saja, saya merasa takut mati! Ditambah lagi, badan saya terasa sulit digerakkan karena kedingian. Bahkan, untuk memencet shutter count kamera jari-jari ini diajak sulit berkompromi. Untuk berbicara juga sulitnya setengah mati karena bibir terasa beku. Akhirnya, sekitar pukul 11 malam, Narastika dan saya menyerah! Kami memutuskan kembali ke penginapan karena sudah tidak tahan dingin!  

Bagi saya, memotret gugus bintang di Danau Tekapo memberi banyak pelajaran berarti. Pertama, saat hendak memotret tentukan lokasi terbaik untuk mengambil gambar. Caranya, bisa dengan riset atau bertanya kepada penduduk lokal. Saya beruntung karena kebetulan dapat informasi dari penjaga gereja, kalau tidak entah sudah memotret random di mana. Kedua, siapkan peralatan memotret agar siap digunakan. Jangan sampai batere kamera atau telepon genggam yang hendak digunakan tiba-tiba rusak seperti milik saya. Ketiga, siapkan pakaian dingin yang cukup. Tidak mau kan kalau jadi headline berita di koran lokal: “Viral! Wisatawan asal Indonesia Ini Tewas Kedinginan saat Memotret Bintang di Danau Tekapo” atau “Inilah Akhir Mengenaskan Wisatawan asal Indonesia usai Memotret Bintang” 😀 😀 Wahahhaha… *bercandaan receh sama Tika niihh*

 

Begitu sampai kamar, saya menutupi seluruh bagian tubuh dengan berlapis-lapis selimut tebal.

Saya berusaha memejamkan mata. Di balik kelopak mata yang tertutup, tak terasa gelap pun jatuh….


Diujung malam…
menuju pagi yang dingin…

 

 

Terima kasih Danau Tekapo, untuk langit yang cerah 🙂

Baca lainnya: Dari Queenstown ke Danau Tekapo

[instagram-feed]

Read more

Bagi pecinta alam, Tekapo adalah tanah impian. Selain langit bertabur bintang, tempat ini juga menyajikan pemandangan indah berupa jajaran pegunungan Alpen Selatan yang berpuncak salju, hamparan danau berwarna biru-kehijauan, juga bangunan Gereja Gembala Baik ( the Church of the Good Shepherd) yang ikonik.

Danau Tekapo terletak di daerah Cekungan Mackenzie, atau cekungan antarbintang elips yang terletak di Distrik Mackenzie dan Waitaki, di dekat pusat Pulau Selatan Selandia Baru. Di daerah ini ada tiga danau besar, yaitu adalah Tekapo, Pukaki, dan Ohau. Warna Danau Tekapo yang unik terbentuk dari erosi batuan sedimen glasial dari Alpen Selatan dan Gunung Aoraki (Mt Cook). Berasal dari es yang mencair membuat air Danau Tekapo dingin  banget, sekitar 8-10 derajat selsius.

Ada dua cara untuk menuju Tekapo, yaitu dari kota Queenstown (berjarak sekitar 256 km) dan Christchurch (227 km). Saya menempuh perjalanan dari Queenstown ke Tekapo selama sekitar empat jam perjalanan menggunakan Intercity Bus. Berdasarkan jadwal, bus berangkat pukul 08.00. 

“Kita cari penginapan yang dekat dengan halte, yuk! Biar tidak terlambat,” kata Narastika, teman saya, beberapa hari sebelum berangkat ke Tekapo.

Setuju! Kalau perlu, ‘nggak usah mandi. Begitu bangun tidur, kita langsung tancap gas,” kata saya.

Saya ingat, suatu hari, dalam perjalanan dari Auckland ke Hobbiton, ada dua penumpang bus yang ditinggal di tengah jalan karena terlambat. Kendaraan antar kota di Selandia Baru memang terkenal tepat waktu. Dalam perjalanan antar kota, bus berhenti selama 10 menit di sejumlah titik istirahat seperti pertokoan atau toilet umum. Tetapi, hingga waktu ditentukan, dua penumpang tadi tidak juga menampakkan diri. Akhirnya, supir meninggalkan mereka begitu saja di tengah jalan.

Belajar dari pengalaman tersebut, selama di Selandia Baru, saya berusaha selalu tepat waktu. Tidak terima rasanya kalau harus ketinggalan bus, padahal sudah bayar puluhan dollar sejak jauh-jauh hari!

 

Bus Intercity membawa penumpang dari Queenstown ke Danau Tekapo. (c) Denty Piawai Nastitie

Sekitar pukul 07.30, Narastika dan saya berjalan ke halte bus. Begitu sampai di sana, beberapa penumpang sudah menunggu. Penumpang mengenakan baju dan jaket berlapis untuk menghalau dingin. Saat itu, udara sekitar 4-6 derajat selsius. Tubuh menggigil. Ternyata, saya bukan satu-satunya orang yang rela bangun lebih awal demi naik bus tepat waktu.

Menjelang pukul 08.00, bus jurusan Queenstown-Danau Tekapo-Christchurch tiba. Belasan penumpang segera membentuk antrean dan secara tertib masuk ke dalam bus. Kendaraan ini sepertinya memang dirancang untuk para pelancong. Bus Intercity dibuat dengan jendela-jendela lebar untuk memudahkan penumpang menikmati panorama alam.

Dengan menggunakan microfon, pengemudi bus, merangkap sebagai pemandu wisata, menjelaskan nama-nama gunung dan danau yang dilewati. Supir bus juga menjelaskan kebudayaan, keberagaman masyarakat, keanekaragaman flora dan fauna, serta makanan-makanan khas yang ada di Selandia Baru.

Berdasarkan penjelasan pengemudi, dari 4,4 juta penduduk Selandia baru, sekitar 70 persen merupakan keturunan Eropa, 15 persen adalah suku asli Maori, sisanya orang-orang Asia dan kepulauan Pasifik, non-Maori. Sebagian besar penduduk tinggal di kota besar seperti Auckland dan Queenstown. Tak banyak orang yang tinggal di daerah pegunungan. Kalau pun ada, biasanya mereka adalah peternak. Di desa-desa yang dilewati, terlihat sekali sangat minim penduduk. Desanya sepi. Tidak banyak orang berlalu-lalang, atau kendaraan melintas. Bahkan saya sempat foto-foto di tengah jalan desa saking minimnya kendaan yang lewat.

Maka banyak orang mengatakan, Selandia Baru lebih banyak dihuni domba dan sapi dari pada manusia. 😀 😀

Perjalanan melewati jalur bergelombang dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan, penumpang disuguhi pemandangan alam berupa pegunungan berpuncak salju dan hamparan danau berwarna biru-kehijauan yang menawan. Sungguh, tak henti-hentinya saya terpukau memandang indahnya pemandangan alam yang tersaji di depan mata. Pemandangan sepanjang perjalanan ini membuat rasa kantuk lenyap.

Saat melintasi Danau Pukaki, bus berhenti. Pengemudi memberi kesempatan penumpang untuk berfoto dan menikmati pemandangan danau yang sangat menarik dengan air berwarna biru. Saya melihat warna danau ini seperti kolam renang. Tetapi, saat diliat dari dekat, ternyata airnya jernih. Batu-batuan dan kerikil yang ada di sekitar danau dengan mudah terlihat.

“Denty, ayo!” teriak Narastika.  Dari kejauhan, supir bus memencet klakson. Rupanya, saya menjadi satu-satunya penumpang yang belum naik ke bus. Sesegera mungkin, saya mengeluarkan kamera dan memotret pemandangan di Danau Pukaki. Klik! 

Danau Pukaki, Selandia Baru. (c) Denty Piawai Nastitie

Makan siang sambil menikmati pemandangan alam. (c) Denty Piawai Nastitie

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, tidak terasa akhirnya sampai juga di Danau Tekapo. Begitu sampai, Narastika dan saya menyantap makan siang di restaurant Jepang. Restaurant ini menyajikan makanan khas Negeri Matahari Terbit, seperti sushi, ramen, dan paket nasi bento. Saya memesan paket makan siang berupa nasi dengan potongan ayam goreng terayaki, telur, salad, asinan, dan sup miso. Acara makan siang bertambah nikmat karena dilakukan sambil menikmati pemandangan alam.

Setelah makan siang dan menaruh barang-barang bawaan di penginapan, Narastika dan saya memulai petualangan di Tekapo. “Sebaiknya, kita bawa barang-barang yang dibutuhkan hingga larut malam. Langit sedang bagus, kita bisa stargazing malam ini,” ujar Narastika. [Bersambung…]

Baca selanjutnya: Berburu Gugus Bintang di Langit Tekapo

[instagram-feed]

Read more