Travel

Seorang teman menyapa, “cah elek!”
Saya jawab, “blekedes!”

Seorang teman bertanya, “kemana belakangan?”
Saya jawab, “menyapa jalanan.”

Seorang teman berseru “gak percaya!”
Saya jawab, “ya terserah!”

Kini teman saya garuk-garuk kepala
sambil mengintip keluar jendela

Kata teman saya, “Hidungmu, tak pernah kelihatan.”
Jawab saya, “Dunia indah, tak bisa dilewatkan.”

Tanya teman saya, “Ngapain saja kau?”
Jawab saya, “bersendagurau.”

Teman saya mulai uring-uringan
ditakoni tenan, jawab’e ngono

Teman saya menyelidik, “dengan siapa?”
Saya menjawab, “bersama harum semesta”

Teman saya jengah, “hadoooww!!”
Saya menjawab, “HALAH!”

Akhir kata, teman saya berpesan,
“hati-hati di jalan.”

Akhir kata, saya terdiam,
“pasti,” saya pun angkat kaki.

DPN, 2010 ^^
(sabar ya Jon, hahahahaha)

Read more

Lihatlah, lihat: kaki-kaki berserakan di jalan-jalan. Tanpa badan, tanpa kepala. Lihatlah, lihat: kaki-kaki berkejaran di jalan-jalan. Menghindari hujan, menghindari basah dan kuyup.

Kaki saya berjalan lunglai. Menerabas keramaian lampu merah, bergelinding di tengah aspal yang sedang hiruk pikuk dengan jam kerja yang hampir usai.

Di pojokan sana, tukang bakso ramai dengan kaki-kaki kelaparan. Di pojok satunya lagi, tukang seragam laris manis dengan kaki para ibu yang melangkah berat beriringan dengan rengek kaki anak menghendaki baju baru untuk tahun ajaran baru.

Saya tetap berjalan, tanpa badan, tanpa kepala.

Kalau-pun saya punya badan, mungkin tubuh saya kini sama lunglainya dengan kaki. Merunduk rendah-rendah, serendah-rendahnya hingga saya bisa cium lutut saya yang berbunyi kopong dengan perut kosong. Kalau-pun saya punya kepala, mungkin kepala saya kini sedang bergoyang-goyang oleng seperti daun-daun kelapa nyinyir di tepi pantail.

Untunglah untung, tak ada badan, tak ada kepala. Setidaknya hanya kaki yang lunglai, itupun cukup. Janganlah lagi ada derita selain di kedua belah kaki yang berjalan tertatih, bertasbih, setiap pagi -dan (kadang!) bertambah sedih di sore hari.

Hari semakin gelap ketika saya sampai di gang kecil dekat pekarangan. Lampu kuning di ujung sana sudah menyala menandakan kewaspadaan. Siapa saja bisa tewas di gang ini. Anak-anak hingga tua renta. Tertabrak jeruji kereta ataupun pembunuhan berencana. Gang ini selalu ramai di pagi hari, saat semua-semua-nya mengejar matahari dan berangsur sepi saat gelap mulai sergap. Waspadalah, siapa saja bisa renggut kaki anda, juga nyawa anda.

Kaki lunglai saya menginjak kerikil, ini masih bagus. Kadang malah paku atau beling. Kadang berdarah-darah karena tak pernah saya berkenalan dengan sandal, sepatu, ataupun sepatu sandal. Cukuplah saya menyeker seperti kaki-kaki ayam yang kepalanya selalu terpenggal di tukang jagal dekat pasar.

Saya buka pekarangan saya. Hanya ini yang saya dapat hasil menjumpai mereka dalam ruang-ruang kelas. Hasilnya tak seberapa, tak perlulah dibandingkan dengan pengabdian berpuluhan tahun kerja. Toh mereka, istri dan anak-anak saya tak pernah menuntut lebih. Berapa beruntungnya saya!

Kaki istri saya menyapa kedatangan saya dengan menyodorkan segelas teh jahe.

Saya hirup aroma-nya. Aroma teh jahe… Aroma istri saya.. dan Ah, aroma anak-anak saya…

Berangsur-angsur saya rasakan kelopak-kelopak tubuh menyatu di atas kaki saya. Paha, pinggul, pinggang, dada, dan terakhir kepala. Saya mulai mendengar suara-suara. Sapaan renyah anak-anak, juga istri saya. Saya mulai mengecap, sejumput teh di ujung lidah saya, teh yang sama seperti yang saya hirup tadi. Lalu secara perlahan, kedua mata saya terbelah terbuka.

IniLah yang saya jumpai: keluarga saya yang utuh. Istri dengan senyum mengembang, juga anak-anak dengan tawa panjang. Yang saya temui di sini bukan kaki-kaki buntung tak bertuan -tanpa badan, tanpa kepala- yang terus-terusan berdetak-detak di jalan-jalan raya sepanjang hari ada.
“Thanks God, untuk hari ini!” kata saya sebelum terlelap.

DPN, 2010

Read more

Fak. Berapa juta kali sih saya harus bilang, saya bukan peramal. Saya tidak bisa menebak isi hatimu. Baiklah, boleh saya bertanya. Lalu bila tanya dijawab diam (karena diam juga bahasa, katamu) maka diamlah saya dengan sejuta persepsi yang dikalikan.

Malam masih menyisakan dingin dan segudang preman yang bisa menghabisi saya sewaktu-waktu. Sayangnya saya bukan pengecut. Air mata adalah simbol keperawanan karena ibu berkata, pria tak boleh menangis. Saya lebih berani darimu, akan saya buktikan.

Selama sirine ini masih menyala, maka jalan pulang pun terbentang.

*

“Hey gadis manis, ini kota bukan eropa!”

Di depanmu terbentang kompromi. Hadapilah. Tunjukan kebesaran jiwamu yang mampu menampung segala keluh kesah. Sekalipun kamu resah dengan ujung rok-mu yang basah. Jangan menyerah, karena lihat energimu sebesar asa, dan itu harus disebarkan.

“Cup, cup. Saya tahu, kamu butuh tempat untuk menampung duka.”

Ada, tempat itu sungguh ada. Kamu hanya perlu menembus belukar semesta yang menyaringmu dengan endapan-endapan luka. Hahahaha. Saya tertawa waktu itu, ketika melihatmu menyemberutkan bibir. Seperti kamu seratus tahun dulu, yang menangis sendu sendan karena wujudmu masih menjadi hujan.

“Hey, lihatlah! Di sana pelangi masih punya warna.”

Marun, emas, logam, juga warna air dan api. Warna-warna yang kau racik seolah-olah dunia ada di genggaman. Setuju, kata saya waktu itu. Biarkan dunia ada di gengaman. Jangan letak-kan di hati karena itu akan menguasai ragamu.

“Lalu, Bolehkah saya berharap, ada saya di hatimu.”

Biarkan saya menjadi penguasa. Memotong kesepuluh jarimu-pun saya rela, agar rasa-rasa padam. Agar tak ada lagi jiwa yang tersihir pancaran bola matamu yang meredup, mekar, meredup, dan mekar berganti-gantian sesuai irama hati.

*

Ziing. Kamu menatap saya dingin. “MATI KUTU!” Hentakmu pada dinding-dinding. Katamu adalah kutukan untuk hari-hariku selanjutnya. Sungguh, malam-pun masih menyisakan satu-dua ragu. Kalau begitu, hari esok masih ada, masih ada untuk segera diselesaikan. Selamat malam.

Read more

Ini kali tiada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlaut
Gerimis mempercepat kelam.

Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyusur semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap

Written by. Chairil Anwar
Picture by. Piawai-Nastitie on Tedy’s Bar Beach-Kupang

Read more

Dulu, saya pernah menonton tayangan Kick Andy di Metro TV yang menampilkan Mama Gizela sebagai bintang tamunya. Beliau adalah seorang suster biarawan dari Jerman yang mendedikasi hidupnya untuk merawat dan menyembuhkan orang-orang dengan penyakit kusta di pulau Alor. Saat itulah untuk pertama kalinya saya kalinya saya melihat keindahan pulau Alor dengan lautnya yang begitu jernih, angin bertiup sejuk, matahari bersinar terang, dan sejumlah anak-anak dengan riang gebira bermain sampan hingga tengah lautan. Tak sangka, ada tempat seperti ini di pelosok Indonesia. 

Semua serba tak diduga. Bergabung dengan Youth Advisory Panel UNFPA (Lembaga Kependudukan PBB) memungkinkan saya untuk berangkat ke Alor. Senang rasanya bisa menikmati pulau Alor. Dan yang lebih membuat saya gembira, saya memiliki kesempatan untuk berjumpa dengan Mama Putih (sapaan akrab Mama Gizela). 

Perjumpaan terjadi di siang hari yang terik di Panti Asuhan Damian –diambil dari nama Damian, “Bapa Orang Dengan Penyakit Kusta” asal Belgia. Di tempat itulah Mama Gizela mencurahkan cintanya untuk anak-anak yatim piatu dan janda-janda. Di tempat itu pula Mama Putih biasa menyembuhkan orang-orang Kusta.

Perjumpaan yang hanya sesaat ini meninggalkan kesan tersendiri bagi saya. Kesederhanaan, keuletan, dan cinta yang begitu nyata sungguh sebuah contoh yang baik untuk tak menyerah melakukan perjuangan kemanusiaan.

Read more

–>

Anda harus merasakan teriknya Kupang yang gersang untuk memahami betapa air terjun oenesu dapat sangat diminati anak-anak ini sepulang sekolah. Kupang sungguh gersang: pohon-pohon kering, panas matahari membakar kulit, dahaga haus sungguh menyiksa di bulan puasa, maka melompat dari ketinggian air terjun +/- 100m dan bermain-main air di sekitarnya menjadi jalan keluar untuk mendapatkan kesegaran baru.

Read more

Dinding undeground London berteriak sepi.
Dia hanya mendengar derap langkah kaki.
Dia hanya mendengar auman lorong panjang dari mancung kereta super cepat.
Dia hanya mendengar gesekan tubuh manusia yang sedang bercumbu dengan kopi, buku, atau roti mentah bawah tanah.
Sedih, tak ada yang mendengar teriakan sepi dinding undeground London. Semakin banyak orang berlalu-lalang datang dan pergi, semakin banyak orang tak peduli. Sekalipun dia bertambah kotor hitam pekat karena asap. Atau sekalipun dia bertambah pucat karena panas, dingin, yang dibawa manusia, hujan, dan matahari.
___

August 2010, all pictures was taken on the way from Luton to London, UK
It was a great journey with great team called “Global Xchange”
My pleasure to see u, guys!

Read more

Saya tidak tahu siapa itu Patricia Poole atau Terry, atau nama-nama lain yang tercetak dalam bangku taman sekitar Dunstable Downs. Satu hal yang saya tahu pasti, mereka, siapapun itu.. yang nama-nya tercetak di sana, sangat mencintai dunstable downs semasa hidupnya sehingga terekamlah kehadiran mereka di sana untuk menemani orang-orang yang rindu akan sunyi.

Bagi saya, Dunstable Downs memang sunyi dengan keleluasaan alam pandangnya. Di bawah sana, hamparan hijau bukit-bukit yang luas tak terbatas. Tidak terlalu banyak orang di sana. Saya menjumpai seorang ibu yang sedang jogging bersama 2 anjing-nya, beberapa remaja yang sedang memotret, dan seorang anak yang coba menerbangkan layang-layang. Di belakangnya, sang ayah mengerjar langkah kaki gadis kecil itu dengan sabar. Sesekali gadis kecil itu merajuk ayahnya agar terus membantunya menerbangkan layangan. Sang ayah nampak kelelahan, tapi tetap memenuhi permintaan gadis kecil itu. Ah… Saya jadi ingat ayah saya yang saat itu sedang berbaring di Rumah Sakit 🙁


Kalau kita beruntung mendapati cuaca cerah, ada glade -pesawat tanpa mesin- yang terbang mengitari bukit. Lebih beruntung lagi kalau kita cukup kaya dengan 40 pounds di kantong celana, kita bisa menjadi pengendara glade tersebut dan merasakan sensasinya melayang-layang di udara.

Saat itu sudah sore, untuk pertama kali-nya saya tiba di Dunstable Downs. Hujan sedang sedikit-sedikit membasahi tanah. Kekuatan pikat cerita dari seorang teman yang pernah berkunjung berhasil menarik saya untuk berkunjung ke bukit indah itu. Bedanya, teman saya naik mobil sedangkan saya harus berjalan kaki.

Bersama salah seorang teman, Jordan Trenchfield, kami naik bus antar kota (Luton-Dunstable) dilanjutkan bis ke arah Dunstable Downs. Sebenarnya saya lupa nama jalannya apa. Waktu itu kami melihat di peta dan memilih jalur bis yang paling dekat dengan Dunstable Downs sehingga saya lupa menghapal nama jalannya. Setelah ini kami harus berjalan kaki sejauh 14 miles melintasi jalan aspal yang berliku, menanjak, dan banyak dilintasi mobil berkecepatan tinggi.


Ah, sial. Beberapa kali saya hampir saja keserempet.


Tidak ada pilihan lain, tetap berjalan tanpa complaining atau menjumpai nothing. Saya memilih yang pertama. Jordan, akhirnya ikut melangkah juga walau disertai sumpah serapah selama perjalanan. Ini pertama kali-nya dia berjalan kaki ke Dunstable Downs, sekaligus perjalanan paling panjang baginya.

Dia pikir saya gila, tapi memang inilah saya. Harus ada yang dibayar untuk sebuah akhir yang sempurna. Jordan terpaksa mengikuti kemauan saya. Yes! Yes! Hahahaha.


Saya katakan pada Jordan: “Its okay, keep walking, keep trying for something big!”


Dan kami-pun terus berjalan hingga sampai di sana.


*


Hasil yang kami jumpai sepadan dengan usaha yang kami lakukan. Saya menjumpai Dunstable Downs berwarna hijau dengan kabut putih yang begitu indah….. Udara sore itu sejuk, cukup menyenangkan.
Saya menoleh ke arah Jordan. Dia pun terpana memandang Dunstable Downs. Mata-nya terbelalak, “Wow…” katanya. Kami tidak terlalu lama menikmati Dunstable Downs karena sesuai perhitungan, kami harus mengejar jadwal bis terakhir. Selain itu udara semakin dingin sehingga rasa-nya terlalu memaksa jika kami tetap bertahan di sana dalam balutan jaket yang tipis ini.
Dalam perjalanan pulang, Jordan berkata berkata: terimakasih untuk mengajari saya hal penting, berhenti mengeluh dan tetap tersenyum.. seperti apa yang selalu kamu lakukan.
Jordan, Jordan…..  kapan-kapan kita jalan lagi, ya? 🙂 🙂
_

Pendakian Dunstable Downs saya lakukan pada bulan Agustus, 2010. Saat itu saya bergabung dalam program Global Xchange (GX) – British Council. Jordan adalah salah seorang volunteer dari total 17 orang (7 orang Inggris dan 10 orang Indonesia) volunteer GX.

Pendakian ini salah satu pengalaman indah selama saya tinggal di Inggris. Saya ingat sekali kami berlari membeli makanan dan pulsa sebelum naik bis. Bis selalu datang tepat waktu dan kami hanya memiliki waktu 2 menit untuk belanja kebutuhan sebelum akhirnya bis datang. Sambil ngos-ngosan, akhirnya kami bisa masuk bis. Sesaat sebelum bis itu berjalan.

Cerita paling kocak adalah saat kami turun dari Dunstable Downs. Saat itu karena sudah kelelahan berjalan, kami memutuskan untuk menumpang mobil yang melintas, tapi mereka semua menolak. Emang agak aneh sih memberi tumpangan orang asing. Lalu tidak sengaja kami melihat “mobil goyang” yang lagi asik di pojokan jalan. Hahahaha.

Saya katakan pada Jordan, “Biasanya, 2 manusia yang habis “asik-asik-an” akan menjadi lebih bahagia. Orang bahagia biasanya jadi baik. Kalau mereka baik, pasti mereka mau memberi kita tumpangan.”

Jordan tertawa, tapi kata-kata saya terbukti.

Read more