Travel

Beberapa waktu terakhir, saya mengalami kondisi yang sangat tidak mengenakkan. Patah hati, begitu mereka menyebutnya.

Sebenarnya, saya sudah bisa memprediksi bakal patah hati. Hal itu ditunjukkan dengan berhari-hari tidak bisa tidur memikirkan sesuatu yang mengganjal. Sesuai perkiraan, hari itu tiba. Begitu kenyataan menghantam, rasa sakit dan perih yang tidak terbayangkan benar-benar terasa.

Apakah setelah itu saya pergi mabuk2an?? Boro-boro!! Ketemu orang aja saya sudah malas bangettt!! Apalagi patah hati melanda sebelum gajian, ku bisa apaaahh…. -__-”

Saya ingat, malam itu saya duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam rosario. Air mata mengalir. Rasa putus asa, marah, sedih, membaur jadi satu. Kacau, tak keru-keruan!

Ajaibnya adalah, setelah itu saya tidur sangat nyenyak! Sangat-sangat nyenyak sampai saya merasa sudah tidur seribu tahun. Selanjutnya, selama sepekan, saya merasakan lima tahapan duka (five stages of grief), mulai dari penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, hingga penerimaan diri. Saya tidak selalu mulus dalam melewati tiap tahapan itu, kadang-kadang ada tahapan yang bercampur, seperti saya merasa marah dan depresi sekaligus, atau saya berada di tahap tawar menawar, tetapi masih merasakan kemarahan.

Kalau kata orang, kemarahan itu seperti menggenggam bara api dan ingin membuat orang lain merasakan hal serupa. Itu benar! Saya sangat marah dn terluka, dn saya sangat ingin membuat orang lain merasakan hal yang sama. Hati saya seperti tersayat-sayat, dan saya ingin orang lain mengalami hal yang sama. Rasa marah itu membuat saya kelelahan, dan saya mulai melepaskan…

Uniknya, suatu hari tiba-tiba saja saya kepikiran banyak tugas-tugas yang belum terlaksana. Kesibukan mengurus hati yang terluka (halah!) membuat banyak pekerjaan tertunda. Saat itu juga saya merasa tercerahkan. Apabila di hadapan saya ada dua titik berwarna hitam dan putih, yang terjadi selama ini enegi saya habis untuk memandang titik hitam (persoalan hidup). Kenapa saya tidak menggeser pandangan saya ke titik putih (peluang hidup).

Seketika saya sadar, masalah saya sebenarnya bukanlah masalah. Masalah saya adalah bagaimana saya berperilaku terhadap masalah tersebut. Memang, saya akui ada masalah atau situasi yang membuat hidup saya kurang enak, tetapi itu tidak pagi menjadi masalah karena fokus saya bergeser untuk mengurusi hal-hal yang lebih berfaedah, hal yang lebih penting dan yang terpenting dalam hidup, seperti mendaftar beasiswa, mempromosikan buku “Pelangi di Timur Tengah”, menyelesaikan peer-peer tulisan dan beberapa karya yang belum terselesaikan.

Saat itu juga saya merasa punya energi besar untuk melakukan sesuatu. Mimpi dan cita-cita saya muncul lagi. Semangat bangkit lagi. Hidup kembali terasa lebih berwarna, lebih menyenangkan. Apakah saya masih merasa marah, sedih, terluka, dan kecewa? Tentu saja! Tetapi, kali ini saya tidak lagi menganggap rasa-rasa itu sebagai musuh. Saya justru merangkul rasa kecewa menjadi bagian hidup, untuk menemani saya melangkah.

Beberapa hari lalu, teman saya bertanya bagaimana keadaan saya. Saya terkejut, karena justru saya merasa punya energi penuh untuk berbuat sesuatu. Saya juga jadi ingat, sebenarnya patah hati tidak sekali ini terjadi. Hampir pada setiap tahapan kehidupan, saya pernah merasa patah hati. Saya tidak hanya bisa melaluinya, tetapi bisa mentramsformasi rasa sakit hati jadi karya.

Waktu kuliah, misalnya, saya sempat patah hati. Kebetulan, ketika itu saya ada perjalanan ke Singapura dan Malaysia. Sepanjang perjalanan, hidup saya berjalan sangat mellow, saya meratapi nasib ini. Kemudian, pengalaman patah hati itu saya tuangkan pada karya tulis dan fotografi yang kemudian dimuat di National Geographic! Ah coba kalau saya tidak patah hati, tidak mungkin artikel saya dimuat dan dibaca banyak orang.

Saya juga jadi ingat teman saya pernah patah hati. Dia lalu mentransformasi rasa kecewa menjadi karya fotografi dan membuat pameran tunggal. Beberapa seniman dan musisi juga mengubah rasa patah hati dan kehilang menjadi karya. Penyanyi Taylor Swift, misalnya, bisa menjadikan pengalaman patah hati putus dari John Mayer menjadi lagu berjudul “Dear, John.” Begitu juga Adele yang dapat Grammy justru setelah dia membuat lagu dari pengalaman patah hatinya.

Rasa kecewa, sedih, dan marah, sebenarnya membuat manusia jadi tidak lagi takut kehilangan. We’ve already lost everything baby, mau takut kehilangan apa lagi??

Onkar Kishan Khullar, di TED Talk berjudul “The Power of Breakup”, mengungkap resep patah hati. Pertama, tidak ada lagi rasa takut. Kedua, gunakan energi marah, sedih, kesal, untuk melakukan sesuatu. Ketiga, bebaskan pikiran!

Banyak orang mengira, patah hati selalu identik dengan putus pacaran atau mengalami perceraian. Patah hati juga bisa disebabkan situasi kurang menyenangkan di lingkungan kerja, pendidikan, tempat tinggal, atau adanya krisis pertemanan. Intinya, patah hati enggak melulu soal hubungan romantis (meskipun ini yang paling sering muncul wkwk). Kepergian orang tersayang juga bisa menjadi penyebab patah hati.

Kaisar Mughal Shah Jahan membangun Taj Mahal sebagai mausoleum untuk istri tercintanya, Mumtaz Mahal, yang meninggal dunia saat melahirkan. Berkat rasa kehilangan dan patah hati yang dialami Kaisar Mughal Shah Jahan, sekarang kita mengenal Taj Mahal yang indah dan megah.

Khullar mengatakan, dunia ini tidak digerakkan oleh ahli-ahli agama atau spiritualitas. “Dunia ini bergerak karena ada orang-orang yang merasa tidak puas dalam kehidupannya, dan kemudian mentransformasi pengalaman itu menjadi pusi, buku, fotografi, gerakan-gerakan sosial, bahkan makanan yang terasa sangat enak! Orang-orang itu bersahabat dengan luka, tidak malu mengakui, dan menunjukkan pengalamannya kepada dunia…”

Teruntuk kau yang dilanda patah hati, sekarang pertanyaannya apakah situasi yang kau alami bisa bertranformasi menjadi sesuatu yang lebih berarti?

 

Jakarta, 24 Oktober 2018

Denty Piawai Nastitie

*keterangan foto: Pulau Kelingking, Bali, 2018, difoto oleh Angel Indriani.

Read more

Sri Wahyuni Meraih Perak – Atlet angkat besi putri Indonesia Sri Wahyuni Agustiani saat mengikuti nomor 48 kilogram putri cabang angkat besi pada Asian Games 2018 di Jakarta International Expo (JIEXPO), Jakarta, Senin (20/8/2018). Sri Wahyuni medali perak dalam nomor ini. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Meliput kompetisi angkat besi pada Asian Games 2018 itu susah-susah gampang. Jika hanya terpaku pada penampilan lifter di atas panggung, cerita yang tersaji tak akan jauh berbeda, yakni seputar usaha atlet mengangkat beban dan jumlah angkatan yang dilakukan.

Padahal, ada beragam kisah menarik dari perjuangan atlet dan pelatih untuk meraih medali angkat besi. Kisah dan ”rahasia-rahasia” yang sebenarnya justru tersembunyi di balik kemegahan panggung kejuaraan.

Senin (20/8/2018) merupakan hari pertama kompetisi angkat besi berlangsung di Hall A2, Kemayoran, Jakarta Pusat. Hari itu, ada dua nomor lomba yang dimainkan pada kategori putra dan putri.

Indonesia mengirimkan lifter putri Sri Wahyuni Agustiani dan Yolanda Putri pada kategori 48 kg, sedangkan lifter putra Surahmat bermain pada kategori 56 kg. Perlombaan untuk kelas putri berlangsung pukul 14.00, kemudian kelas putra pukul 17.00.

Lifter Sri Wahyuni Agustiani merupakan andalan Indonesia untuk meraih medali emas.

Saya membayangkan, apabila Sri Wahyuni mendapatkan medali emas, akan banyak wartawan yang mewawancarainya. Berdasarkan pengalaman liputan pada desk olahraga, informasi saat jumpa pers sangat terbatas.

Apalagi, Sri Wahyuni termasuk atlet pendiam.

Apalagi, Sri Wahyuni termasuk atlet pendiam. Saat dimintai komentar, pasti jawabannya pendek-pendek. Karena itu, saya bertekad datang lebih awal agar  mendapatkan kisah yang lebih utuh di balik penampilan atlet.

Saya tiba di JIExpo pukul 10.00, atau empat jam lebih awal dari kompetisi yang bergulir pukul 14.00. Selama satu jam, saya berusaha mendekati orang-orang yang bekerja di balik layar panggung angkat besi. Di antaranya manajer dan tim pelatih serta panitia pelaksana perlombaan.

Kepada manajer sekaligus pelatih kepala tim angkat besi Indonesia, Dirdja Wihardja, saya menanyakan keberadaan lifter Sri Wahyuni dan Yolanda Putri.

Pelatih yang sudah menangani tim Indonesia sejak Asian Games 2006 itu kemudian mengajak saya masuk ke ruang istirahat atlet. Itulah untuk pertama kali saya mengintip suasana di balik panggung angkat besi. Ada perasaan canggung awalnya karena setahu saya ruangan atlet tertutup untuk media.

Namun, Pak Dirdja tidak keberatan dengan kehadiran saya. ”Sudah, masuk saja ke ruang atlet, tidak apa-apa,” katanya.

Saya kemudian memberanikan diri masuk ke ruang atlet. Saya melihat ada sekitar enam lifter sedang tiduran di atas matras berwarna hitam. Beberapa atlet menutupi tubuh dengan selimut. Mereka menunggu waktu timbang berat badan sambil tiduran atau bermain telepon pintar.

Di antara para atlet terlihat Sri Wahyuni dan Yolanda Putri. Keduanya memakai jaket berwarna merah dengan tulisan ”Indonesia” di bagian punggungnya.

Kesempatan bertemu lifter sebelum perlombaan dimulai, saya manfaatkan untuk mewawancarai mereka. Agar atlet merasa nyaman, saya sengaja tidak mencatat hasil wawancara pada buku catatan.

Agar mereka tidak merasa sedang diwawancarai, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan hal-hal ringan. Saya juga tidak ingin membuat lifter merasa tertekan sehingga malah akan memengaruhi penampilan mereka di panggung.

Saya juga tidak ingin membuat lifter merasa tertekan.

Di luar dugaan, Sri Wahyuni yang biasanya pendiam kali ini lebih mudah untuk diajak bicara. Dia menjawab pertanyaan saya dengan ramah. Bahkan, Sri Wahyuni tidak menolak diajak foto bareng.

Sri Wahyuni bercerita, dirinya bangun sebelum jam beker berdering. Setelah itu, Sri Wahyuni menjalani shalat Subuh. Dia kemudian hanya membasahi bibir dengan setetes air putih agar tidak kering.

Pagi itu, Sri Wahyuni sengaja tidak sarapan agar berat badannya sesuai kategori lomba. ”Tadi malam saya tidur nyenyak. Pagi ini saya juga bangun dengan segar. Saya sudah siap berkompetisi,” kata Sri Wahyuni, percaya diri.

Kepada Kompas, Sri Wahyuni juga memperlihatkan tasbih yang selalu digenggamnya sejak bangun tidur. Tasbih itu merupakan pemberian ibunya dari Tanah Suci. Tasbih yang sama dibawa Sri Wahyuni ketika tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.

”Tasbih ini berjasa mengantar saya meraih medali perak di Rio. Saya percaya, dalam setiap kejuaraan, ada doa ibu yang mengiringi. Jadi, tasbih ini sudah jalan-jalan, menemani saya ke banyak kejuaraan dunia,” ujarnya.

Adapun Yolanda Putri mengatakan, dirinya tidak menyangka mempunyai kesempatan untuk pertama kali tampil di Asian Games. Apalagi, Yolanda akan bermain pada kategori 48 kg, sama seperti Sri Wahyuni yang selama ini menjadi idolanya.

”Setiap kali latihan, saya selalu memandang poster wajah Sri Wahyuni. Tidak sangka rasanya, saya akan bermain pada kelas yang sama. Saat ini, jumlah angkatan saya memang masih di bawah Sri Wahyuni, tetapi suatu hari saya akan menembus angkatan itu,” tutur lifter berusia 18 tahun itu.

Di ruang istirahat atlet itu pula, saya bertemu dengan mantan lifter nasional Maman Suryaman yang berpengalaman menjadi pelatih Sri Wahyuni ketika lifter putri itu masih duduk di bangku kelas V SD.

Sebelum kompetisi angkat besi dimulai, Maman dan istrinya, Lucky Nurmala, mencium kening Sri Wahyuni untuk memberi doa restu. Mata saya berkaca-kaca melihat momen tersebut.

Mata saya berkaca-kaca melihat momen tersebut.

Maman mengatakan, pertama kali bertemu Sri Wahyuni, badan bocah itu sangat kurus. ”Penampilan Sri Wahyuni dulu culun, rambutnya panjang, badannya kecil. Untuk berlatih saja, dia tidak punya biaya karena ayahnya adalah pedagang bakso keliling. Sekarang Sri Wahyuni jadi lifter kuat. Saya tidak menyangka. Tetapi, saya percaya, kalau ini memang sudah jalan yang ditakdirkan,” ucapnya.

Pada pukul 12.00, Sri Wahyuni masuk ke ruang timbang badan. Sambil menunggu Sri Wahyuni, saya ngobrol-ngobrol dengan mereka yang bekerja sebagai panitia pelaksana perlombaan angkat besi, antara lain Manajer Kompetisi Alamsyah Wijaya, Manajer Arena Sony Kasiran, serta Komite Penelitian dan Pelatihan Federasi Angkat Besi Internasional Aveenash Pandoo.

Pandoo kemudian mengajak saya berkeliling arena kompetisi. Pandoo memperlihatkan tempat duduk jurnalis di dalam arena lomba, ruang kerja jurnalis (venue press centre), hingga ruang konferensi pers.

Ruang rahasia

”Ada satu lagi ruang yang ingin saya tunjukkan, ini ruang rahasia,” katanya. Saya pun sungguh-sungguh tertarik.

Selanjutnya, Pandoo mengajak saya ke luar arena kompetisi. Saya membuntuti Pandoo yang berjalan ke arah ruangan kecil di sebelah kanan pintu masuk Hall A.

Begitu pintu dibuka, ternyata ada sejumlah anggota panitia pelaksana yang sedang duduk bersantai sambil menikmati makanan dan minuman. Beberapa anggota panitia pelaksana malah menawari saya untuk minum kopi dan makan camilan.

”Ini namanya ruang VIP,” ucap Pandoo, sambil tertawa.

”Ah, ini lebih cocok disebut kantin,” kata saya, sambil menenggak segelas kopi yang ditawarkan.

Duduk bersama Pandoo

Sekitar pukul 13.00, saya dan Pandoo masuk ke ruang kejuaraan untuk bersiap melihat kompetisi. Saya mendapat keistimewaan duduk di sebelah kanan panggung yang sebenarnya dikhususkan untuk atlet, pelatih, dan tim ofisial.

Mungkin, karena saya duduk bersama Pandoo, tidak ada panitia pelaksana atau sukarelawan yang berani menegur. Saya cukup puas duduk di tempat itu karena lokasinya dekat dengan arena pemanasan di belakang panggung.

Begitu kompetisi dimulai, saya melihat Sri Wahyuni tampil memukau dengan mengumpulkan total angkatan 195 kg (snatch 88 kg, clean and jerk 107 kg). Ini merupakan angkatan terbaik Sri Wahyuni sepanjang menggeluti cabang angkat besi. Jumlah angkatan Sri Wahyuni itu melebihi rekornya di Olimpiade 2016 dengan total angkatan 192 kg (snatch 85 kg, clean and jerk 107 kg).

Sayangnya, jumlah angkatan itu belum cukup mengantar Sri Wahyuni meraih medali emas. Lifter Korea Utara, Ri Song Gum, berjaya dengan angkatan total 199 kg (snatch 87 kg, clean and jerk 112 kg).

Lifter putri Sri Wahyuni Agustiani tak kuasa menahan haru seusai dinobatkan sebagai perempuan terkuat dalam laga angkat besi SEA Games 2013 kelas 48 kg di Stadion Theinphyu, Yangon, Myanmar, Jumat (13/12/2013). Dengan total angkatan seberat 188 kg, Sri Wahyuni menjadi perempuan terkuat di kelas tersebut dan berhak dikalungi medali emas. (KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO)

Meski kalah, saya melihat Sri Wahyuni dan tim pelatih sudah berjuang maksimal dengan mengadu strategi dan kekuatan demi mengalahkan lifter Korut.

Ketika lifter Korut melakukan angkatan 112 kg, Dirdja Wihardja menunjukkan hitungan angkatan pada secarik kertas. ”Kami putuskan mengamankan medali perak dahulu. Pada angkatan kedua, jumlah angkatan Sri Wahyuni akan dinaikkan menjadi 112 kg. Kalau Yuni berhasil, lifter Korut pasti keteteran,” ujarnya di belakang panggung.

Jarang berlomba

Di luar dugaan, beban itu terjatuh sebelum Sri Wahyuni bisa berdiri sempurna. Pelatih putri Supeni mengakui lifter Korut lebih baik. Selama ini, Sri Wahyuni belum pernah melakukan simulasi angkatan pertama di atas 110 kg. Sementara lifter Korut berani memasang jumlah angkatan pertama clean and jerk 112 kg.

Kekuatan Korut memang di luar dugaan. Selama ini, Ri Song Gum jarang mengikuti kejuaraan. Setelah menempati peringkat keempat di Kejuaraan Dunia 2015, Ri Song Gum tidak muncul pada sejumlah kejuaraan internasional. Dia kembali tahun lalu saat menyabet emas Universiade 2017.

Selama ini, Ri Song Gum jarang mengikuti kejuaraan.

Pada kejuaraan yang sama, Sri Wahyuni meraih perunggu. ”Saya memohon maaf kepada masyarakat Indonesia, kali ini belum bisa menyumbang emas. Namun, saya yakin atlet telah melakukan yang terbaik,” ujar Supeni.

Atlet angkat besi Eko Yuli Irawan merayakan keberhasilannya meraih medali emas yang diperoleh dari nomor 62 kilogram putra cabang angkat besi dalam Asian Games 2018 di Jakarta International Expo (JIExpo), Jakarta, Selasa (21/8/2018). Eko Yuli meraih emas dengan nilai total angkatan 311 kilogram. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Eko meraih emas

Keseruan kisah di balik panggung angkat besi juga terjadi keesokan harinya. Selasa (21/8/2018), lifter senior Eko Yuli Irawan berhasil meraih medali emas pada kategori 62 kg.

Setelah dinyatakan meraih emas, Eko bersorak. Wajahnya basah dengan air mata bahagia. Dirdja, beserta pelatih Muljianto, Erwin Abdullah, Rusli, Zulkarnaen, dan Supeni, menghamburkan pelukan ke tubuh Eko. ”Akhirnya kita dapat emas,” kata Eko.

Keberhasilan Eko menjadi pemuas dahaga tim angkat besi yang rindu medali emas. Sepanjang keikutsertaan Indonesia sejak Asian Games, negeri ini baru mengoleksi 7 perak dan 15 perunggu.

Di tingkat Olimpiade, Indonesia juga selalu menyumbang medali sejak Sydney 2000. Namun, emas selalu lepas dari genggaman.

Setelah dinyatakan menang, Eko Yuli Irawan tidak larut dalam kegembiraan. Ia justru menghampiri dan menepuk pundak Trinh Van Vinh, rival terberatnya, yang duduk lesu karena kecewa. Di balik kemegahan panggung angkat besi, keduanya pun berpelukan.

Eko mengatakan, dirinya tidak menaruh perasaan dendam meski lawan pernah mengalahkannya di SEA Games 2017. ”Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami berteman,” ujar Eko.

Di atas panggung, kami lawan. Tetapi di bawah, kami berteman.

Melalui tindakannya, sesungguhnya Eko menunjukkan diri sebagai juara sejati yang selalu menghargai siapa pun lawan yang dihadapi.

 

Selain cerita bahagia, di balik panggung angkat besi juga menyimpan kisah duka dan nestapa. Hal itu terjadi ketika lifter Triyatno bermain pada kategori lomba 69 kg.

Lifter senior ini sebenarnya punya peluang meraih medali. Namun, kesempatan itu hilang karena Triyatno terlambat naik ke atas panggung untuk melakukan angkatan pertama clean and jerk.

Namun, kesempatan itu hilang karena Triyatno terlambat naik ke atas panggung.

Berdasarkan aturan, begitu ada lifter yang selesai melakukan angkatan, lifter selanjutnya hanya punya waktu 60 detik untuk naik ke atas panggung. Pembawa acara sudah memanggil nama Triyatno beberapa kali. Namun, peraih perak Olimpiade London 2012 dan perunggu Beijing 2008 itu masih pemanasan di belakang panggung.

Triyatno mengatakan, ada komunikasi yang terlewat dengan tim pelatih. ”Ada miscommunication, tadi pelatih pergi ke toilet. Ketika saya berjalan (ke panggung), sudah terlambat,” ujar Triyatno.

Setelah kehilangan kesempatan melakukan angkatan pertama, Triyatno berusaha mendekati total angkatan lawan dengan mengangkat 182 kg pada kesempatan kedua. Pada usaha ketiga, Triyatno kehilangan konsentrasi sehingga gagal menaikkan angkatan menjadi 185 kg.

Kepada Kompas, Triyatno pernah mengatakan, dirinya sudah beberapa kali menelan kekecewaan pada PB PABBSI yang membina lifter elite.

Triyatno pernah melewatkan kesempatan tampil di SEA Games 2017 karena kelas andalannya diisi atlet lain. Situasi serupa pernah terjadi menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Berusaha tidak terpengaruh dengan situasi yang ada, kali ini Triyatno ingin membuktikan dirinya layak mengisi kelas 69 kg.

Namun, ternyata, nasib berkata lain. Kesempatan meraih medali Asian Games pun hilang dari genggaman.

”Saya yakin, Triyatno bisa mengangkat beban. Tetapi, itulah olahraga. Kadang kala, apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Manajer dan pelatih seharusnya bisa mengelola faktor nonteknis agar atlet bisa tampil maksimal,” tutur Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono.

Kepada Alamsyah Wijaya dan Aveenash Pandoo, saya mengatakan bahwa saya bersedih dengan nasib yang dialami Triyatno.

”Hati kami hancur lebih dalam. Triyatno sebenarnya punya kesempatan untuk setidaknya membawa pulang medali perak,” kata Pandoo.

Terakhir kali Kompas mengunjungi ruang pemanasan di balik panggung angkat besi, Kamis (23/8/2018), tempat itu sudah ditutupi partisi setinggi sekitar 4 meter.

Di depan pintu ruang pemanasan, dua petugas jaga. Petugas hanya mengizinkan pelatih dengan tanda khusus untuk masuk ke ruang pemanasan.

Gerak saya di belakang panggung angkat besi pun jadi tidak sebebas biasanya. Tetapi, saya yakin, di balik panggung angkat besi masih banyak kisah suka dan duka yang tersimpan. Masih ada kisah-kisah ”rahasia” yang kelak akan kembali saya ungkap. (Denty Piawai Nastitie)

 

Tulisan ini dimuat di: https://kompas.id/baca/di-balik-berita/2018/08/24/rahasia-di-balik-panggung-angkat-besi/ (24 Agustus 2018)

Read more

Matahari bersinar terik ketika perahu dengan muatan sekitar 200 orang mengarungi Sungai Chao Phraya yang membelah kota Bangkok dan menjadi urat nadi transportasi orang Thailand pada masa silam. Pelayaran dengan perahu membawa penumpang melihat rumah-rumah sederhana yang berdiri kokoh diapit situs-situs bersejarah dan bangunan-bangunan mewah. Sebuah petualangan unik untuk menikmati kota metropolitan Bangkok, selain dengan berbelanja!

Selama hampir dua pekan, pada pertengahan Mei lalu, saya bertugas meliput kejuaraan bulu tangkis beregu Piala Thomas dan Uber di Bangkok, Thailand. Menjelang berakhirnya penugasan, seorang rekan jurnalis mengajak saya menghabiskan waktu luang dengan berbelanja di Mah Boon Khrong Center (lebih dikenal dengan MBK Center).

MBK Center merupakan pusat perbelanjaan yang terkenal di Bangkok, yang terhubung dengan pusat perbelanjaan lainnya, yaitu Siam Discovery dan Siam Paragon. Dengan ketinggian delapan tingkat, pusat perbelanjaan ini berisi sekitar 2.000 toko dan restaurant. Beragam benda dan pernak-pernik dijual di sana, mulai dari pakaian, alas kaki, make-up, hingga sarung bantal dan bed-cover.

Duh, ngapain yaa ke MBK Center?” tanya saya.

Belanja, dong… Di sana barangnya murah-murah,” jawab teman saya.

Begitu sampai di MBK Center, sesungguhnya saya kurang terkesan karena suasananya mirip dengan pusat grosir yang banyak bertebaran di Jakarta. Dalam hati muncul pertanyaan: “Masa jauh-jauh ke Bangkok, jalan-jalannya ke ITC juga… Apakah Bangkok memang hanya terkenal untuk berbelanja, atau sebenarnya ada tempat wisata lain yang menyenangkan?”

Berbekal panduan situs-situs perjalanan di internet, seperti TripAdvisor, rome2rio.com, dan getyourguide.com, bersama wartawan The Jakarta Post, Ramadani Saputra, saya menjelajahi sisi lain Bangkok! Tujuannya adalah mengunjungi kuil yang menjadi ikon kota Bangkok, yaitu Wat Arun dan Wat Pho, di mana pengunjung bisa melihat patung Buddha dengan posisi sedang tertidur, atau biasa disebut dengan patung Sleeping Buddha.

Kedua kuil tersebut terletak tidak terlalu jauh dari MBK Center, hanya sekitar 7,7 kilometer dan dapat ditempuh dengan berbagai moda transportasi darat, seperti taksi, bus, ataupun tuk-tuk (becak khas Thailand). Di depan MBK Center, beberapa pengemudi tuk-tuk menawari Dani dan saya perjalanan dengan tarif 150 THB (sekitar Rp 70.000). Saya berusaha menawar, tetapi tidak ada pengemudi yang bersedia menurunkan harga.

Kemudian muncul ide untuk naik kereta melayang BTS Skytrain. Dengar-dengar, BTS Skytrain merupakan sistem transportasi paling nyaman dan cepat di Bangkok. Dengan naik kereta layang, wisatawan tidak perlu tertahan berjam-jam di antara kemacetan jalan raya Bangkok.

Gimana, setuju gak naik BTS Skytrain?” tanya saya. Dani menganggukkan kepala.

Saat berada di stasiun Stasiun Museum Nasional, yang berada di dekat MBK Center, saya sempat bingung karena tak ada petugas yang berbicara dalam bahasa Inggris. Selain itu, kebanyakan petunjuk arah tertulis dalam huruf Thailand.

Sekali lagi, beruntunglah sejumlah situs perjalanan menjelaskan rute perjalanan dengan rinci. Selama berada di Thailand, sesungguhnya saya merasa seperti tokoh animasi televisi anak-anak, Dora The Explorer. Kalau Dora bertanya pada peta yang muncul dari tas merahnya, saya harus berkali-kali mengecek situs perjalanan melalui telepon genggam untuk mendapatkan petunjuk jalan.

Oleh situs perjalanan TripAdvisor, saya diarahkan naik BTS Skytrain dari Stasiun Museum Nasional ke Stasiun Saphan Taksin. Kemudian, saya berjalan kaki ke pelabuhan Sathorn Pier. Dari sana, saya naik perahu ke Tha Thien, kemudian tinggal berjalan kaki ke Wat Arun.

Biaya perjalanan dengan menggunakan BTS Skytrain dan perahu sebesar 90 THB (sekitar Rp 41.000) per orang. Meskipun lebih mahal dari pada naik tuk-tuk, ada pengalaman berharga yang didapatkan, yaitu mencicipi perjalanan dengan menggunakan kereta layang dan perahu.

Dari perjalanan ini, saya memahami bahwa kualitas pelayanan transportasi publik di Bangkok seperti kereta layang dan MRT terkelola dengan baik. Buktinya, kedatangan dan kepergiaan kereta tak pernah meleset dari jadwal, kondisi stasiun dan kereta sangat modern dan bersih, halte dan stasiun juga saling terhubung sehingga memudahkan penumpang yang ingin berganti moda transportasi.

Hal yang juga mengesankan adalah perilaku para penumpang tertib! Tak peduli sepadat apapun kondisi stasiun, penumpang selalu mengantre ketika masuk atau keluar kereta. Para penumpang juga tidak pernah menyerobot menguasai kursi prioritas. Ah, kondisi seperti ini membuat saya mau-tak-mau membandingkan dengan kondisi di Jakarta, tempat saya melewatkan banyak hari-hari!

Di Sungai Chao Phraya saya melihat rumah-rumah sederhana dapat berdiri berdampingan dengan perkantoran dan apartemen mewah, perkampungan China yang unik dan legendaris, serta berbagai kuil. Di antara pepohonan, saya juga melihat atap Istana Raja yang megah.

Saya jadi ingat, seorang pengamat tata kota pernah mengatakan, diperlukan kepedulian untuk membangun kota sekaligus merawat situs-situs bersejarah sebagai identitas dan ciri khas kota itu.

Sebuah kota, selayaknya manusia yang senantiasa hidup bersama jalinan pengalaman masa lalu. Terlepas dari kenangan yang dapat dimaknai baik atau buruk, pengalaman-pengalaman itu yang membawa kita ke mana kita sekarang.

Setelah puas berkunjung ke Wat Arun dan Wat Pho, Dani dan saya naik taksi menuju penginapan di Muang Thong Thani. Pengemudi taksi yang membawa kami bertanya: “Kenapa kalian naik perahu ke Wat Arun? Kenapa tidak naik bus atau taksi dari MBK Center, yang lebih cepat dan murah?”

Dani dan saya tertawa. Kami baru sadar bahwa perjalanan menyusuri Sungai Chao Phraya hanyalah “gimmick” belaka untuk menghidupkan atraksi wisata di Bangkok. Ada perasaan ganjil sebenarnya, untuk apa susah-susah membelah sungai kalau ada perjalanan darat yang lebih mudah?

Sejujurnya, kontur Sungai Chao Phraya yang panjang dan berkelok-kelok tak berbeda jauh dengan belasan sungai yang membelah kota Jakarta. Perbedaannya mungkin terletak pada sungai mana yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menjadi magnet wisata. Sepanjang jalan menuju penginapan saya bertanya-tanya, seandainya saja Kali Angke bisa dijadikan atraksi wisata, apakah pelayanan kepada penumpang bisa profesional seperti yang ada di Bangkok?

Ngomong-ngomong, kalau saya mau naik bus ke penginapan apa bisa?” saya bertanya kepada pengemudi bus.

Tentu bisa. Tetapi, saya tidak tahu kamu harus naik bus nomor berapa, atau jam berapa. Sepertinya, hanya sopir bus dan Tuhan yang tahu kapan bus beroperasi,” jawab sopir taksi.

Sekali lagi, Dani dan saya tertawa. Ah, ternyata terkait bus umum, Bangkok dan Jakarta sama saja!

Hanya membutuhkan waktu sekitar enam jam untuk menjelajahi kota Bangkok dan melihat-lihat keunikan Wat Arun dan Wat Pho. Kelestarian kuil bersejarah di tengah kota canggih Bangkok menyadarkan bahwa masa lalu dan masa depan seperti garis perjalanan yang saling bersinggungan dan tak pernah saling meninggalkan.

Selama mengunjungi di situs-situ sejarah yang kaya nilai budaya itu, saya berinteraksi dengan masyarakat lokal, berfoto-foto, dan juga berbelanja oleh-oleh di pedagang eceran yang berada di sekitar pusat wisata. Harga empat gantungan kunci di sebuah toko kelontong di Wat Pho hanya 100 THB (Rp 46.000). Harga yang sama untuk sebuah gantungan kunci di MBK Center (dalam hati menjerit: tuhhkaannn, semurah apa pun berbelanja di ruang ber-AC ternyata lebih murah berbelanja langsung di UMKM).

Dari pengalaman ini saya semakin yakin bahwa atraksi wisata di Bangkok memang tidak hanya berbelanja!

Seorang teman dari Perancis mengatakan, dirinya menikmati banyak kegiatan seru (selain berbelanja) selama berada di Thailand, seperti belajar makan dengan sumpit, mencoba mengemudikantuk-tuk, dan menikmati segelar bir dingin di rooftop hotel. Pengalaman perjalanan itu memang unik, beragam, dan tak terbatas, tinggal bagaimana seorang pejalan dapat memetik suatu peristiwa dan mengukirnya dalam ruang bernama kenangan. (Denty Piawai Nastitie)

Read more

Chiang Mai, atau Chieng Mai, adalah kota kedua terbesar di Thailand, setelah Bangkok. Sekilas, suasana di Chiang Mai mengingatkan saya pada Kota Magelang, di Jawa Tengah.

Karena berada di daerah pegunungan, udara di kedua kota ini terasa sama-sama sejuk dan segar, juga relatif jauh dari kebisingan kota. Selain itu, penduduk di Chiang Mai dan Magelang sama-sama ramah, dan kedua kota ini mempunyai situs-situs religius yang membuat pengunjung seperti menyusuri lorong waktu dan menikmati wisata batiniah (cocok banget daah buat yang sering galau dan pengen cari tempat untuk menenangkan jiwa :p).

Perjalanan saya di Chiang Mai, yang hanya dua hari, memang tak dapat menggambarkan kota ini secara keseluruhan. Tetapi, dalam dua hari itu, saya merasa diperkaya dengan berbagai pengalaman perjalanan. Belum puas memang, namanya juga manusia kapan sih pernah puas! 

Maka, pada hari terakhir di Chiang Mai, sebenarnya tidak banyak hal yang saya lakukan. Saya hanya ingin menikmati pusat kota ini, agar bisa menyerap detil-detil kota sebelum esok hari berpindah ke tempat lain.

Setelah pada pagi-siang hari menjelajahi candi Doi Suthep, siang-sore saya hanya leyeh-leyeh di hostel, malam harinya saya ke Chiang Mai Night Bazaar. Di tempat itu, saya berbelanja oleh-oleh dan menikmati makan malam berupa mi rebus dan potongan daging seafood. Menjelang pukul sembilan malam, saya membeli segelas bir lokal seharga 80 bath, kemudian duduk di sudut pasar sambil menikmati pertunjukan musik.

Saat bersiap meninggalkan Night Bazaar, saya melihat seseorang (perempuan?) terlihat nyentrik dengan rambut berwarna merah menyala, mini dress putih dengan sepatu booth dengan high heels, dan tak lupa, make-up tebal! Weew! Ladyboy!

Jujur saja, saya memang penasaran ingin berjumpa ladyboy yang kata orang-orang sangat cantik dan mudah dijumpai di Thailand. Saking banyaknya ladyboy di Thailand, sering kali teman-teman saya bergurau: “Jangan-jangan itu ladyboy!” saat berpapasan dengan perempuan cantik ala kutilang alias kurus, tinggi, dan langsing di ruang publik.

Tetapi yahh, kita ‘kan nggak pernah tahu masa lalu seseorang… we can’t never never really know someone’s past life (kalaupun tahu orang itu ladyboy atau bukan, buat apaaa hahaha). 

Di Chiang Mai, saya berjumpa dengan ladyboy entertainers… mereka berdandan super heboh memang karena ingin tampil pada sebuah pertunjukan.

Semula, saya pikir ladyboy entertainers banyak berada di Bangkok, atau daerah wisata pesisir seperti Phuket dan Pattaya. Perjumpaan dengan ladyboy entertainers di Chiang Mai yang merupakan daerah pedesaan, sesungguhnya di luar ekspektasi saya.

Saya segera berjalan menghampiri seseorang dengan rambut merah menyala itu, ingin melihat ladyboy dari dekat. Di Thailand, ladyboy sering disebut dengan istilah kathoey. Begitu tahu saya datang, kathoey itu menunjukkan brosur bertuliskan Cabaret Show.

Jam berapa Cabaret Show mulai?” saya bertanya. “15 menit lagi,” jawabnya.

Sesaat, saya mempertimbangkan untuk menyaksikan penampilan cabaret show seharga 350 THB (sekitar Rp 170.000). Worthy kaah? Hmmm… Tetapi, bukankah kesempatan tak datang dua kali. Mungkin, menyaksikan ladyboy adalah cara yang tepat untuk mengakhiri perjalanan di Chiang Mai. Nanti dapat minum gratis!” kata ladyboy itu, menarik perhatian saya. Saya sepakat!

Menjelang pukul 21.30, orang-orang asing mulai berdatangan. Bar yang dipakai untuk Cabaret Show, yang mulanya hanya berisi kursi-kursi kosong, mendadak penuh dengan para wisatawan. Mereka datang berpasangan, atau berkelompok. Sepertinya hanya saya yang solo traveler.

Linly, manajer operasional Cabaret Show, mengarahkan saya duduk di bagian tengah bar. Sebuah tempat yang oke untuk motret pertunjukan, sebenarnya. Tetapi, saat saya menoleh, ada seorang pria berusia 40 tahun-an, yang duduk seorang diri. “Ah sial, duduk dekat om-om, malas banget!!” kata saya, dalam hati.

Saya segera berdiri, untuk mencari tempat lain. Sempat agak bingung karena bar sudah hampir penuh. Sebagian lampu sudah mulai dipadamkan sehingga suasana jadi remang-remang. Saya benar-benar kayak anak ilang karena bingung mau duduk di mana.

Saat itulah, Gaby, seorang perempuan Amerika Serikat (yang duduk bersama pasangannya Jeff) menawarkan tempat duduk kosong di sebelahnya untuk saya. “Di sini saja!” kata dia. Ahh, baik sekali pasangan ini!

Selama sekitar satu setengah jam menyaksikan ladyboy, saya merasa benar-benar terhibur. Sebelum pertunjukan dimulai, saya sudah ketawa-ketawa sendiri melihat aksi para kathoey itu menyambut pengunjung-pengunjung cowok datang.

Kathoey dengan pakaian sexy dan make up tebal (dan tentu saja warna lipstik merah menyala) menyambut kedatangan cowok dengan mencium pipi mereka! Beberapa cowok terlihat jijik dan malu-malu, sebagian lainnya malah senang dan minta dicium lagi! HAHAHAHA. 

Sempat kecewa sih, kenapa yang dicium hanya cowok-cowok yaaa… kalau ini cara mereka menyambut tamu datang, seharusnya ‘kan semua pengunjung diperlakukan sama dong. Kenapa ladyboy-nya pilih-pilih! Huhu… Lagi mikir seperti ini, Linly menghampiri saya, segera saja saya ajak foto selfie! Lumayaan laah… gak dapat sun pipi, dapat foto selfie 😀

Menyaksikan pertunjukan ladyboy ini sangat seru! Mereka pakai baju yang super heboh berwarna mencolok dan juga rumbai-rumbai di tangan dan kaki. Dengan pakaian seperti itu, kathoey menari, menyanyi, dengan tingkah yang sangat lucu. Kecuali kebiasaan ladyboy meminta uang ke pengunjung (buat foto atau alasan2 lain), secara keseluruhan saya menikmati pertunjukan.

Di atas panggung, ladyboy bernyanyi lipsync lagu-lagu pop seperti Love You Like A Love Song Baby-nya Selena Gomez. Seiring musik yang kian menghentak, ladyboy melepas sebagian pakaian atau atributnya sehingga tampil sexy di atas panggung. Tentu saja aksi ini bikin penonton heboh tertawa-tawa dan bertepuk tangan!

Ada juga ladyboy yang jago meliuk-liukkan tubuh di tiang. Dengan badan yang kurus, kulit putih, rambut panjang, sekilas memang penampilan mereka seperti seseorang yang secara biologis lahir sebagai perempuan (ladyboy aja laur biasa cantik yaaakkk… apa kabar lemak-lemak di badan gue nih! wkwkwk). 

Bagi saya, yang paling seru adalah ketika Linly mengajak lima hingga enam penonton cowok untuk naik ke atas panggung. Mereka kemudian didandani selayaknya perempuan, dengan rok mini dan sepatu tinggi. Juga memakai wig berwarna-warni. Tanpa jaim, cowok-cowok itu beraksi di atas panggung. Aksi mereka membuat bar banjir dengan gelak tawa.

Gaby, mengatakan, di Amerika Serikat banyak lokasi untuk menyaksikan Cabaret Show. Biasanya, entertainers-nya adalah para pria yang berdandan seperti perempuan. “Berbeda dengan di Thailand, di mana mereka adalah ladyboy sungguhan,” katanya.

Pertunjukan Cabaret Show yang ada di Chiang Mai, menurut Gaby, adalah salah satu yang terbaik di Thailand. Fakta ini menurut saya cukup menarik karena Chiang Mai dikenal dengan situs-situs relijiusnya. Pada waktu bersamaan, Chiang Mai menawarkan gemerlap kehidupan ladyboy, yang di negara-negara lain keberadaannya selalu menimbulkan pro-kontra.

Keesokan harinya, kepada teman asal Perancis, saya menceritakan pengalaman menyaksikan ladyboy di Chiang Mai. Dari ekspresinya, dia kelihatan tidak nyaman dengan kehadiran para ladyboy. Saya sadar, ladyboy selama ini sering dianggap sebelah mata. Banyak teman-teman (terutama cowok) di sekitar saya, merasa kurang suka dengan kehadiran mereka.

Teman saya asal Perancis itu bertanya: “Kenapa di Thailand banyak ladyboy?”

Sejenak saya berpikir, dan menimbang-nimbang jawaban. “Saya sih nggak tahu persis yaa gimana sejarahnya,… setahu saya di Thailand, ladyboy memang dianggap bukan sebagai penyimpangan. Di dalam budaya Thailand, kathoey dianggap sebagai karma dari kehidupan sebelumnya. Keberadaan mereka bukan sesuatu yang harus dihindari atau dicemooh, justru harus dirangkul….”

Selain itu, ajaran agama Buddha, yang dianut sebagian besar masyarakat Thailand, menekankan pentingnya membangun perdamaian dan toleransi terhadap berbagai hal yang sering dianggap tabu di negara lain…”

“Well yeah, di negara Asia lain seperti Indonesia, agama yang dianut masyarakat juga sebenarnya mengajarkan perdamaian dan toleransi… tetapi tau sendirilaah bagaimana ada kelompok-kelompok tertentu yang selalu menarik-narik segala sesuatu pada dua sudut yang saling bertolak belakang, dan sering juga menebar teror dengan berbagai tindakan anarkis… ditambah lagi penegak hukum yang sering kali bersikap tidak melindungi seluruh lapisan masyarakat… jadinya keberadaan ladyboy di negara-negara lain – seperti di Indonesia, di mana ladyboy, atau transgender, atau waria – bagaikan ada dan tiada…”

Kepada si teman Perancis, saya juga menyampaikan, setahu saya, identitas gender tidak cuma perempuan dan laki-laki, ada yang disebut gender nonconformity, di mana ekspresi gender yang disampaikan seseorang tersebut dinilai nggak pas dengan norma gender “maskulin” dan “feminim”. Keberadaan ladyboy itulah contohnya…

Teman saya mengangguk-angguk,… mungkin dia mengantuk dengar saya ngomong. 

Setelah ada jeda beberapa saat, dia bilang: “Saya tetap nggak mau nonton pertunjukan ladyboy”.

Buat saya, menyaksikan atau tidak menyaksikan pertunjukan ladyboy itu pilihan individu. Tetapi, sebuah sikap kalau sudah berunjung pada tindakan pelecehan dan kekerasan kepada orang lain, itu yang harus diperangi bersama. 

 

Jakarta, 5 Juni 2018

Denty Piawai Nastitie

Read more

Teman saya, Wahyu, sudah lebih dari 30 kali naik Gunung Pangrango. Kadang-kadang bersama teman, sering juga dia berjalan sendirian. “Kenapa sih lo suka banget naik Pangrango?” saya bertanya.

“Di Mandalawangi sepi… enak untuk berdiam diri. Merenung. Rasanya tenang. Coba deh, sekali-kali naik Pangrango sendirian,” katanya.

Nanti ya Kak, kalau gue lagi galau akut dan butuh merenung, gue naik Pangrango sendirian,” jawab saya.

Saat itu, kami sedang menyusuri jalan setapak menuju puncak Pangrango. Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang membuat Pangrango memiliki daya tarik sampai membuat banyak orang jatuh hati, tertutama pada Mandalawangi.

Bagi saya, ini bukan pertama kali naik Gunung Pangrango. Pada percobaan pendakian yang pertama, Oktober 2017, saya gagal mencapai puncak karena ada badai besar. Ketika itu, langkah saya dan kawan-kawan, terhenti di pusat perkemahan Kandang Badak. Kegagalan, tidak membuat saya patah arang. Saya justru termotivasi, untuk kembali…

Pada pendakian yang kedua ini, saya berangkat bersama kawan-kawan: Wahyu, Rico, Inang, Agnes, dan Rakhmat. Kami berjalan mulai pukul 06.00 melalui Jalur Cibodas dengan optimisme tinggi dan semangat berkobar-kobar. Saya selalu yakin, gunung boleh sama, tetapi kawan dan cerita perjalanan selalu berbeda.

Sepanjang perjalanan, saya merasa seperti kembali ke masa lalu…. melalui segala sesuatu yang pernah dilewati: jalur tanah setapak, Jembatan Jurassic Park, Telaga Biru, air terjun, pohon-pohon besar, tumbuhan liar dan bebatuan, semua terasa sama dengan sejak terakhir kali saya mendaki Gunung Pangrango. (Ohyaa, ada yang berbeda yaitu bunga-bunga liar yang mulai bermekaran!)

Perjalanan dari Basecamp Cibodas hingga Kadang Badak memakan waktu sekitar enam jam. Perjalanan melewati beberapa pos peristirahatan, yaitu Rawa Panyangcangan, Rawa Denok 1 dan 2, Batu Kukus 1, 2, dan 3, Kandang Batu, dan terakhir Kandang Badak. Di sini, jalur terbagi dua, ke kiri ke puncak Gunung Gede, sementara ke kanan ke puncak Gunung Pangrango.

Sepanjang perjalanan, saya tidak menemukan kesulitan berarti kecuali rasa kantuk sering mengacaukan fokus dan konsentrasi. Beberapa kali, saya berjalan oleng karena mengantuk. Untung aja nggak sampai terperosok ke jurang! Rasa kantuk juga membuat kepala pusing dan nafsu makan bertambah (hahaha ini mah gak usah ngantuk juga bawaannya laper terus :p).

Di Kandang Badak, teman-teman dan saya beristirahat sambil menikmati makan siang. Setelah makan, Wahyu menyodorkan secangkir teh panas manis. Wahyu ini sering banget bikin teh panas manis. Kata dia, ngeteh di gunung itu wajib karena memberi energi, ketenangan, dan kehangatan. Iyee… iyee… dehh terserah looo…” kata saya dalam hati. 😛 *saya gak boleh ngeyel sama kuncen gunung yang sudah 30 kali naik Pangrango… *langsung ditoyor

Kelak saya baru tahu, melalui secangkir teh, ada pesan tersirat yang ingin disampaikan mengenai medan perjalanan yang akan kami hadapi selanjutnya. Sebuah perjalanan panjang yang menguras emosi, tenaga, jiwa, melatih kesabaran, menguji mental, dan tentu saja tak akan terlupakan. Di bawah rimbunnya pepohonan, secangkir teh panas manis menjelma menjadi sumber kekuatan dan obat penenang, sebelum kekalutan datang. *anjaayyy omongan gue hahaha

Pukul 13.30, Wahyu, Rico, dan saya, berjalan menembus tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menggapai Puncak Pangrango. Adapun Rakhmat, Agnes, dan Inang menjadi rombongan kedua yang berjalan di belakang.

Mat, tenaga gue udah mulai terkuras nih,” kata saya ke Rakhmat sebelum melangkahkan kaki.

Tenang, jalurnya tanah kok. Lebih empuk. Lo pasti bisa sampai puncak,” kata Rakhmat.

Mungkin Rakhmat lupa menyebutkan bahwa jalurnya berupa tanah… DAN TEMAN-TEMANNYA, yaitu akar-akar tanaman besar, batang pohon tumbang, bebatuan besar, gundukan tanah, jurang, lembah, lumpur, jalur air, dan semak belukar.

Menurut saya, perjalanan ke Gunung Pangrango ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum Kandang Badak dan setelah Kandang Badak. Kalau dari basecamp hingga Kandang Badak perjalanan ini menguras fisik, dari Kandang Badak ke puncak lebih menguras mental dan emosional. Perjalanan ke puncak melewati jalur yang menantang tanpa pos peristirahatan. Sepanjang jalan juga hampir tidak ada bonus (sebutan para pendaki untuk jalan datar). Di jalur inilah, ketabahanmu sebagai manusia diuji!

Pada 20 menit pertama, jalur perjalanan terasa menantang dan menyenangkan,… selanjutnya,… waktu bergerak 30 menit, 40 menit, kemudian 50 menit, 60 menit… dan perjalanan semakin terasa menyengsarakan!

Kata Wahyu, perjalanan masih panjang. Tantangan sebenarnya masih berada di depan. Alamak!!! Rico dan saya, yang baru pertama kali mendaki ke puncak Gunung Pangrango hanya bisa pasrah menjalani tantangan dalam perjalanan.

Infonya, perjalanan dari Kandang Badak ke Puncak Pangrango memakan waktu 3-4 jam. Dengan pace perjalanan yang bisa dibilang cukup cepat dan hampir tanpa istirahat, mulanya saya yakin bisa sampai puncak dalam waktu tiga jam. Tetapi, ketika tiga jam berlalu bergitu saja, dan puncak yang dinanti terasa masih sangat-sangat jauh, pada titik itulah, tekad ini mulai mengendur. Kenyataan yang berjalan tak sesuai ekspektasi pelan-pelan membunuh semangat dan daya juang.

Masih jauh gak?” tanya saya kepada Wahyu, yang berjalan di depan.

Sedikit lagi… Itu puncaknya sudah kelihatan,” jawab Wahyu. Lebih dari sepuluh kali dia bilang “Sedikit lagi… ”. Tetapi, bukannya semakin dekat, puncak Gunung Pangrango justru terasa semakin jauh… dan abstrak (seperti masa depan hahaha). 

Dalam perjalanan menuju puncak Gunung Pangrango, saya sadar… keberadaan akar dan batang pohon tumbang adalah rintangan, sekaligus sumber pertolongan. Beberapa kali saya kesulitan melewati jalur, bahkan hampir terperosok ke jurang, namun akar-akar pohon justru menyelamatkan nyawa saya! Ketika hampir terjerumus dalam bahaya, saya berpegangan pada akar-akar pohon atau mencoba bertahan dengan memegang batang pohon tumbang… Perjalanan ini mengingatkan saya bahwa tak selamanya rintangan dalam kehidupan itu buruk… dengan adanya rintangan justru membawa kita ke tempat yang lebih tinggi, dan lebih berarti.

Dalam perjalanan ini, saya juga melihat tanaman anggrek hutan yang memberi warna pada jalur pendakian. Bukankah dalam kesulitan sekalipun, selalu ada hal-hal sederhana yang memberi warna? 🙂

Pukul 17.30 warna langit mulai berubah menjadi kuning kemerahan, tanda senja mulai datang. Sesaat, Wahyu, Rico, dan saya menatap matahari yang tenggelam. Pupus sudah harapan melihat sunset di Lembah Mandalawangi. Langit yang mulai gelap menghadirkan tantangan selanjutnya, yaitu perjalanan malam menembus hutan belantara.

Perjalanan malam itu nggak enak, karena membuat manusia jadi tak punya kuasa untuk mengontrol sesuatu di luar dirinya. Jarak pandang mata kian terbatas. Energi semakin terkuras. Dingin semakin menusuk tulang. Harapan pelan-pelan tenggelam. Perjalanan tambah terasa panjang. Sempat muncul keinginan menyerah, tetapi berbalik arah sama sulitnya dengan melanjutkan perjalanan.

Ayo, Mandalawangi menunggu!!” kata Wahyu, saat melihat saya kepayahan.

Kata-kata itu  sedikit menghibur. Selama bertahun-tahun saya menantikan perjumpaan dengan Mandalawangi, yang berada di dekat puncak Gunung Pangrango. Mengetahui Mandalawangi sedang menunggu (kehadiran saya), membuat hati ini berseri-seri.

Penantian ini, semoga tidak bertepuk sebelah tangan.

Pukul 19.30, di antara kabut tipis yang menuruni lembah dan di antara remah-remah harapan yang bentuknya sudah tidak keruan, saya melihat tugu triangulasi Pangrango. “Welcome to Puncak Pangrango… Maaf ya, jalurnya berat,” kata Wahyu.

Rico dan saya tertawa. “Hahaha! Maaf juga sudah hampir menyerah…” kata saya.

Bertiga kami lalu berjalan di tanah setapak yang agak menurun, menembus semak belukar. Samar-samar, pandangan mata saya melihat ke arah kelopak bunga putih di tengah tanah lapang,… gumpalan bunga edelweis terlihat seperti awan putih di langit hitam… “Mandalawangi…” saya berbisik di antara embusan angin malam. Spontan, air mata menetes. Ada rasa haru dan syukur yang menjadi satu. Perjalanan selama 14 jam yang menantang dan menyengsarakan, terbayar dengan keheningan malam Mandalawangi.

Keesokan harinya, begitu keluar dari tenda, saya melihat Mandalawangi dengan lebih jelas. Sebuah daerah dataran tinggi kesayangan Soe Hok Gie yang dihiasi dengan bunga-bunga edelweis dan cantigi. Matahari pagi perlahan muncul, memberi cahaya kuning kemerahan pada tanaman yang tumbuh liar dan abadi.

Sambil membaringkan tubuh di atas rerumputan, saya memandang awan yang berarak di langit. Mendengarkan suara aliran air di sungai kecil. Merasakan angin pegunungan yang bertiup sejuk. Di Lembah Kasih Mandalawangi, saya menikmati waktu yang bergerak lambat,… mengurai semua rasa yang akhir-akhir ini mengganjal hati. Di Lembah Kasih Mandalawangi, manusia, rasa, dan semesta terasa menjadi satu. Saya menikmati kesepian dan kesunyian tanpa harus takut kehilangan.

Ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi, saya terkenang kata-kata Gie:

Mandalawangi-Pangrango”

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie

Gimana, asyik ‘kan ada di sini?” kata Wahyu, sambil bikin sarapan mewah ala anak gunung: homemade spaghetti sauce bolognaise plus chicken nuggets kebanggaan! 😛

Iyaa Kak, pengen balik lagi! Tapi next time, kalau gue ke sini lagi, gue bawa “ransel kosong” yaa… jalurnya berat banget… kalau bawaan minim kan jadi lebih enak jalannya,” kata saya.

Boleh! Tapi, malam tidur di luar tenda yaaa…. Ya gak, Co??” kata Wahyu.

“Iyaa… setuju gue bang, biarin aja dia tidur di luar tenda… pakai bivak sekalian,” sahut Rico.

Sial! Tega bener!!” %£$^$£*&%^^%* wkwkkk

 

 

Di Mandalawangi, satu cerita tersimpan untuk dikenang kemudian…..

Jakarta, sepekan seusai pendakian ke Gunung Pangrango.

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com/)

 

Pictures by: Denty Piawai Nastitie; Wahyu Adityo Prodjo (foto cover, foto denty lagi ngeteh); foto team by tripod, and a stranger we met in Mandalawangi.

PS: Ket. foto terakhir: Ini ceritanya… rombongan kloter 1 sudah sampai puncak, sudah bikin tenda, sudah tidur, sudah bangun, lalu tidur lagi, lalu bangun lagi, sudah sarapan, sudah foto-foto, baru rombongan kloter 2 (Rakhmat, Inang, Agnes) datang… wkwkwkkk dagdigdugduer sempat khawatir dengan kabar teman-teman kloter 2, akhirnya senanggg karena semua bisa kumpul di Mandalawangi 🙂

Read more

Ketika pertama kali ditugaskan ke Alor Setar, Malaysia, saya bertanya di dalam hati: bagaimana dapat menikmati kota ini? Saya berusaha browsing melalui situs lonely planet, yang saya temukan tempat-tempat wisata yang tak lebih baik dari: museum, masjid, menara, dan istana raja. Jumlah tempat wisata pun tak lebih dari sepuluh! Jadi, bagaimana saya dapat menikmati Alor Setar di waktu senggang?

Setelah transit di Kuala Lumpur, dan mengalami keterlambatan penerbangan selama dua jam (terpujilah maskapai AA!), saya mendarat di Alor Setar, nyaris tengah malam. Langit sudah gelap, jalanan sepi. Oleh taksi bandara, saya diantar ke hotel bintang empat yang berada hanya 200 meter dari titik 0 KM kota ini.

Jangan bayangkan hotel bintang empat itu berupa tempat mewah seperti Grand Mercure atau Le Meridien, ya! Tempat tinggal saya selama sembilan hari adalah sebuah hotel tua dengan lampu redup, lift berdenyit ketika dipakai, closet duduk dengan flush rusak, dan kunci kamar bukan berupa cardlock magnetik, melainkan kunci manual dengan gantungan kayu, persis kunci rumah.

Receptionist yang bekerja di hotel hanya satu orang, seorang perempuan Melayu yang mengenakan kerudung berwarna coklat muda. Dia meminta saya membayar tourism tax sebesar 10 MYR per malam. “Bagaimana kalau kamu memberikan deposit 100 MYR untuk tourism tax dan keperluan lain selama kamu tinggal di sini?” ujarnya.

“Aduh, saya belum menukar uang,” kata saya. Saya hanya membawa 150 MYR ke Malaysia. Sebagian besar sudah saya pakai untuk makan laksa di bandara dan membayar taksi. “Apakah saya bisa membayar dengan menggunakan mata uang dollar, atau rupiah? Saya baru berencana menukar uang besok siang,” kata saya.

[fusion_builder_container hundred_percent=”yes” overflow=”visible”][fusion_builder_row][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Char Koey Tiaw, makanan paling populer di Alor Setar

Dia berpikir sejenak, kemudia menggeleng. “Tidak bisa. Kursnya sedang kurang baik. Kamu punya uang ringgit berapa? Sisanya bisa kamu lunasi hari lain,” kata dia. Saya pun terpaksa menyerahkan satu-satunya lembaran 50 MYR yang tersisa di dompet kepada petugas receptionist tersebut. “Sial, besok gue makan siang pakai duit apa?!!” umpat saya.

Saya bertanya kepada receptionist, apakah ada restaurant yang buka di sekitar hotel karena saya merasa kelaparan. Dia bilang, tidak ada. Hanya ada super market 7/11, sekitar 50 meter dari hotel. Saya pun ke 7/11 membeli cup noodles seharga 3 MYR, yang saya bayar dengan recehan. Setelah itu, saya ke kamar dan tidur lelap.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan di Alor Setar, Malaysia.

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan tugas liputan, saya pergi ke Aman Central, pusat perbelanjaan terbesar di Alor Setar. Saya membeli persediaan logistik alias camilan, seperti pisang, roti, yoghurt, kripik, coklat, dan air mineral. Dari Aman Central, saya berencana kembali ke hotel dengan menggunakan Grab Car. Namun, setelah saya cek, lokasinya ternyata tidak lebih dari 3 kilometer. Sambil menenteng barang belanjaan, saya memutuskan untuk berjalan kaki ke hotel.

Sepanjang perjalanan, saya melewati deretan rumah, toko, dan restaurant, yang mencerminkan keberagaman komunitas masyarakat Alor Setar. Ada kedai kopi dengan tulisan-tulisan aksara China, ada rumah makan nasi kendar, nasi lemak, dan nasi ayam khas makanan Melayu, ada pula cafe-cafe sederhana yang menjual makanan khas Thailand, seperti Tom Yum, dan puding mangga. Melihat foto-foto makanan itu saya jadi ngiler!

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat Alor Setar.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Suasana pertokoan dengan komunitas masyarakat India.

Di depan Sentosa Plaza, saya melihat pedagang-pedagang kaki lima yang menjual makanan China. Mulai dari mi, nasi hainan, aneka gorengan, hingga nasi daging babi, dan babi panggang. Mereka menjual makanan di gerobak-gerobak sederhana di pinggir jalan. Waaah… kalau di Indonesia, bisa digrebek kali yaa jualan babi panggang di pinggir jalan begini, pikir saya. Walau makanan-makanan itu terlihat menggiurkan, sayangnya, saya gak makan babi, jadi tidak kurang tertarik mencoba.

Setelah melewati pedagang makanan, saya berjalan di pinggir Jalan Putra. Di ujung jalan itu, terdapat kuil Hindu (Sri Thandayuthapani Temple) yang berdiri megah dengan parkiran luas. Setelah melewati menara jam besar Alor Setar, saya melihat Masjid Zahir yang terlihat bergitu cantik dengan background warna matahari tenggelam.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir disebut juga sebagai Masjid Raja terletak di perkarangan Istana Pelamin.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pemandangan kota Alor Setar, Malaysia, dilihat dari dalam Masjid Zahir.

Saya sungguh terpukau dengan kecantikan masjid yang dibangun pada 1912 itu. Saya sampai berdiri di depan masjid selama sekitar lima menit untuk memandang kubah menyerupai bawang. Keunikan lain adalah tiang-tiang yang berdiri bukanlah tiang tunggal, tetapi dua atau empat tiang yang menyatu untuk menopang atap bangunan.

Pesona yang dimiliki Masjid Zahir menginspirasi Pemerintah Malaysia mengabadikannya sebagai gambar perangko. Namun, saat saya cari perangko dan kartu pos untuk kenang-kenangan dan kirim ke kampung halaman, masyarakat setempat menjawab: “Lebih mudah dan cepat komunikasi dengan Whatsapp, Makcik… Zaman sekarang sudah tidak ada kartu pos lagi….” Baeklaaah -___-”

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya berpikir bagaimana Alor Setar hidup dalam keberagaman. Hal itu tercermin dari keberadaan Masjid Zahir yang berdiri berdampingan dengan kuil Hindu. Letak masjid tidak terlalu jauh dengan komunitas Tionghoa. Fachri, supir grab saya, suatu hari bercerita, saat Imlek, orang-orang China biasanya mengadakan open house. Banyak orang Melayu dan India datang ke rumah orang-orang China untuk makan dan pesta bersama.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya menemukan jawaban bagaimana selama sembilan hari dapat menikmati kota ini. Cara terbaik menikmati Alor Setar adalah dengan merayakan keberagaman komunitas dan menikmati keindahan peninggalan bangunan bersejarah.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masjid Zahir dibangun pada 1912.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Pengungjung menikmati keindahan Masjid Zahir.

Dalam kunjungan kedua saya ke Masjid Zahir, saya memberanikan diri masuk ke dalam masjid. Seorang perempuan asal Kuala Lumpur, yang sedang berkunjung ke rumah teman di Alor Setar, mempersilakan masuk untuk menikmati sudut-sudut masjid. “Enjoy your time, here…” katanya,

Di dalam masjid, saya bertemu dengan Zahir, seorang pria berusia sekitar 50 tahun. Zahir adalah mantan manajer di sebuah perusahaan produksi barang-barang kulit. Memasuki usia senja, Zahir memutuskan untuk mengabdikan hidup pada ibadah dan keluarga. Untuk mengisi waktu luang, dia bekerja sebagai supir Grab di Alor Setar. “Dengan menjadi supir, kapanpun saya punya waktu untuk istirahat dan pergi ke masjid untuk shalat,” kata Zahir. (Saya baru sadar, kenapa namanya sama dengan masjid yaa? Hmmm…)

Zahir bertanya dari mana asal saya, bagaimana saya bisa sampai di Alor Setar, dan untuk apa saya mengunjungi Masjid Zahir. Saya berterus terang, bahwa saya harus bekerja di Alor Setar selama sembilan hari, dan saya mengunjungi masjid karena saya terpukau dengan keindahan bangunan. Setelah ngobrol banyak hal, saya bertanya, bagaimana Alor Setar bisa hidup dalam keberagaman.

Zahir mengatakan, karena Alor Setar berada di dekat perbatasan Malaysia-Thailand, maka memang banyak orang Thailand masuk ke Alor Setar. Beberapa orang Thailand membuka rumah makan, sehingga makanan di Alor Setar memang banyak terpengaruh rasa makanan khas Thailand. Orang-orang Malaysia dan Thailand hidup rukun. Begitu juga dengan masyarakat India, China, dan Arab.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Portrait umat Islam di Masjid Zahir.

[/fusion_builder_column][fusion_builder_column type=”1_1″ background_position=”left top” background_color=”” border_size=”” border_color=”” border_style=”solid” spacing=”yes” background_image=”” background_repeat=”no-repeat” padding=”” margin_top=”0px” margin_bottom=”0px” class=”” id=”” animation_type=”” animation_speed=”0.3″ animation_direction=”left” hide_on_mobile=”no” center_content=”no” min_height=”none”]

Masyarakat menikmati hiasan khas Imlek di Aman Central.

“Selama ini, tak ada masalah dengan keberagaman. Masyarakat hidup rukun dalam kultur dan kepercayaan masing-masing. Tetapi, politik telah menghancurkan segalanya,” kata Zahir. “Setiap kali ada pemimpin dari suatu kelompok masyarakat menang pemilu, kelompok lain pasti menjelek-jelekkan asal-usul pemimpin itu. Kalau yang menang dari kelompok satunya, kelompok lain melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya,” lanjutnya lagi.

Wahhh… Kalau begini sama aja kayak negara gue dongg… -__-”

“Bagaimana dengan di Indonesia?” tanya Zahir. “Saya lihat, masyarakat Indonesia hidup rukun yaaa… Saya pernah ke Indonesia, dan melihat masyarakat di sana hidup rukun,” kata Zahir.

Saya bingung mau jawab apa,… selain mau bilang: “Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau, Pak… Kenyataannya, yaaagituuu deeehhh…..”

Belum sempat saya menjawab pertanyaan Zahir, adzan berkumandang. Zahir meminta izin untuk shalat maghrib. Saya mempersilakan dia menunaikkan ibadah. Sementara saya, kembali melanjutkan perjalanan.

Jakarta, 20 Februari 2018

Denty Piawai Nastitie (http://rambutkriwil.com)[/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]

Read more

Beberapa pekan lalu, saya menghadiri diskusi “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor.” Acara diadakan di Kantor Kementerian Agama RI, yang berada di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.

Saya datang dengan pakaian santai, yaitu blouse putih, dan celan jeans belel. Pakaian seperti ini tidak pernah saya kenakan ketika sedang bekerja. Meski tidak ada batasan cara berpakaian dalam profesi wartawan, saat bertugas tentu saja saya memakai pakaian “yang bukan celana belel”, karena narasumber yang saya temui beragam, bisa jadi masyarakat biasa atau orang penting! Nah, karena hari itu saya libur, saya cuek saja datang ke acara diskusi dengan jeans belel. Pikiran saya, toh ini diskusi soal keberagaman, boleh dong saya datang dengan style saya.

Begitu sampai di Kantor Kementerian Agama RI, seorang satpam segera menyegat saya di gerbang masuk. “Mau kemana ya, Mbak?!” tanya dia dengan nada membentak, sambil melihat gaya pakaian saya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelah puas mengintrogasi, saya diarahkan ke lobi.

Baru saja mau masuk pintu lobi, seorang petugas kemanan kembali menghentikan langkah saya. “Ehh! Mau kemana ini? Mau kemana?!” tanyanya (juga sambil memandang saya dari kepala ke kaki, bolak balik bagai setrikaan). Saya kembali menjelaskan bahwa saya akan menghadiri acara diskusi. “Nanti, nanti, belum mulai!” jawab satpam itu, ketus.

“Loh, ini kan sudah jam 12.00, Pak. Saya mendapat undangan jam 12.00,” jawab saya.

“Ya, nanti! Ini belum mulai! Ngerti gak sih? Tunggu di luar sana!” katanya, sambil mengusir saya. Saya melihat ke keliling. Ada belasan orang menunggu di lobi masuk, kenapa saya disuruh menunggu di luar?Apa gegara celana belel saya? Grr..

Satu jam kemudian, saya berusaha masuk ke dalam aula. Oleh seorang satpam saya malah diarahkan naik ke lantai 5. “Mendaftar dulu di sana!” katanya. Oke, saya mengalah, dan naik ke lantai 5. Di sana, seorang satpam kembali mengusir saya dan menyuruh saya turun ke bawah.

Mendapat perlakuan seperti itu, saya merasa kesal. Ribet amat sih nih orang-orang!! Dari ratusan peserta diskusi, kenapa saya yang diombang-ambing bagai gebetan yang suka PHP! Karena sebal enggak ketolongan, saya membentak balik satpam itu, “Yang bener yang mana nih pak, registrasi di lantai atas atau di bawah? Kasih info yang jelas dong!” Ngelihat satpam itu cuek mengusir saya tanpa ada permintaan maaf membuat saya tambah kesal.

Begitu sudah masuk ke ruang diskusi, saya membaca spanduk bertuliskan: “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang.” Spanduk itu bikin saya bertanya-tanya, dapatkan kita mewujudkan perdamaian beragama ketika menghargai perbedaan berpakaian saja sulit.

Dari peristiwa ini saya memahami, gaya berpakaian saya yang ternyata tidak diterima di kantor agama. Saya sih sudah berusaha lihat-lihat ke papan pengumuman, adakah larangan memakai jeans belel di kantor megah ini? Kelihatannya, enggak ada tuh aturan seperti itu?

Saat memikirkan hal ini, seorang perempuan bercadar melintas di depan saya. Dalam hati kecil saya bertanya, ketika saya mengahrapkan orang lain menghargai gaya berpakaian saya, apakah saya dapat menghargai orang lain yang berpakaian dengan gaya berbeda dengan saya, seperti perempuan bercadar, laki-laki dengan celana katung, atau mereka yang kemana-mana berkalung rosario? Bisakah saya menilai orang lain tidak hanya dari apa yang tampak di luar, namun lebih menghargai mereka melalui karakter hidup sehari-hari?

_

Begitu selesai acara, saya menceritakan kejadian ini kepada teman saat kami kumpul-kumpul di daerah Sarinah. Seorang teman saya yang memakai kerudung mengatakan, dia pernah mengalami kejadian serupa saat kuliah di negara barat. Saat itu, ada dua orang yang memandang dan mengamatinya dari jauh karena dia memakai kerudung.

Teman saya sempat bertanya-tanya mengapa dua orang itu menghakiminya karena gaya berpakaian yang berbeda. Dua orang itu kemudian mendekati teman saya dan bertanya: “Apakah pakaian yang kamu kenakan terasa panas?” Teman saya menggeleng, dan membiarkan mereka memegang kerudungnya yang terbuat dari scraft berbahan tipis.

“Prasangka adalah cara alami manusia untuk membangun gerbang pertama perlindungan diri. Namun, untuk menciptakan perdamaian, yang penting adalah membuka gerbang itu atau membuka ruang untuk dialog. Dengan cara itu, prasangka buyar dan berubah menjadi pengertian. Sekarang ini, jangankan saling mengerti atau memahami, untuk membuka ruang dialog saja sulit,” ujarnya.

Saya jadi ingat, beberapa bulan lalu pernah mengisi acara workshop menulis di sebuah kampus Islam. Sebagai orang Katolik, ada perasaan mawas diri yang timbul. Di kepala saya muncul berbagai pertanyaan, seperti: “Bagaimana cara saya bersalaman dengan mereka? Bagaimana kalau mereka menolak untuk berjabatan tangan? Apa yang mereka pikirkan tentang saya? Apakah saya harus memakai baju lengan panjang dan menggunakan scraft sebagai penutup kepala? Bagaimana kalau kehadiran saya dianggap aneh? Bagaimana kalau mereka menolak kehadiran saya?”

Ketika saya sampai di kampus Islam tersebut, yang saya jumpai justru sebaliknya. Saya bertemu orang-orang yang menerima saya dengan tangan terbuka. Mereka menjabat tangan saya. Mereka bertanya tentang pekerjaan saya, dan beberapa hal menyenangkan lainnya. Ketika saya mengisi workshop menulis, tidak ada satu pun mahasiswa yang memandang saya aneh karena saya tampil tanpa kerudung. Mahasiswa justru antusias menyimak materi yang saya sampaikan.

Kenyataan itu membuat saya malu. Sebagai perempuan yang selama ini (saya mengira) telah menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpendapat, ternyata pikiran saya masih terlalu sempit. Saya mendapati kenyataan, bahwa orang-orang yang memakai baju tertutup belum tentu pikirannya tertutup. Sama seperti orang-orang yang memakai baju terbuka, belum tentu punya pikiran cerdas dan terbuka. Bukankah kalau kita ingin menciptakan dunia yang inklusif, pertama-tama yang harus kita buka adalah gerbang pikiran kita sendiri. Semakin bijak seseorang, semakin dia tidak ingin mengubah dunia, karena yang paling penting adalah mengubah diri sendiri.

Kembali ke diskusi: “Ketika Agama Membawa Damai, Bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor” adalah momen untuk melihat kenyataan bahwa perdamaian itu sesuatu yang tidak lahir begitu saja. Perdamaian adalah sesuatu yang harus diciptakan dan diupayakan terus menerus. Membuka ruang dialog, berdiskusi, saling mengerti, memahami, dan bertoleransi, adalah kunci menciptakan perdamaian! “Compassion and tolerance are not a sign of weakness, but a sign of strenght.” — Dalai Lama.

Selamat hari toleransi sedunia.

Wakatobi, 16 November 2017

 

Keterangan foto: Burung-burung camar terbang di atas Danau Galilea, Israel, Desember 2015. Saya sedang menyusun sesuatu tentang perjalanan ke Timur Tengah, stay tuned! dan doakan semua berjalan sesuai rencana, yaa… Salam.

Read more

Akhir pekan lalu, saya liputan pelatnas atlet menuju SEA Games 2017 di Soreang, Bandung. Di sana, saya ngobrol-ngobrol dengan pelatih angkat besi asal Afrika Selatan. Karena sudah akrab, wawancara diselingi ngobrol ngalor ngidul dan ketawa-ketiwi mengenai peristiwa sehari-hari.

“Denty, everytime I see your page, you always in the top of something,… such as the mount.  Tell me, are you in the process of finding yourself, proving your existence, and creating “the brand-new me”, or what?” kata dia, mengomentari tampilan foto-foto saya di media sosial, seperti Facebook dan Istagram. Saking seringnya dia melihat saya sedang ngetrip, pelatih itu mengira saya sudah tidak bekerja sebagai wartawan olahraga lagi 😀

“Sadly, the more I try to find my self, the more I lost it,” kata saya. Pelatih itu ketawa ngakak-ngakak.

Begitu selesai liputan, dalam perjalanan dari Bandung kembali ke Jakarta, saya kembali memikirkan pertanyaan dia. Sebenarnya, apa sih yang saya cari dalam perjalanan mendaki gunung, menyelam lautan, dan menjelajah ke sebanyak-banyaknya tempat di bumi ini? Apakah saya memang sedang mencari jati diri? Membuktikan eksistensi? Ataukah perjalanan ini sekedar kegiatan kurang kerjaan, buang-buang waktu dan biaya, untuk sekedar pamer foto pura-pura bahagia di sosial media?? Atau apaaa??? Apppaaaa?????

Dalam perjalanan menembus kepadatan arus lalu lintas di Tol Cipularang, saya teringat pernah adu argumen dengan ayah soal hobi naik gunung ini. Selama ini, orang tua saya tidak pernah suka anak perempuannya panas-panasan berkegiatan di luar ruang, juntrang-juntrung ke tempat-tempat aneh bersama teman-teman yang nggak kalah aneh (wkwkkwk). Orang tua saya lebih senang anak perempuannya jadi anak manis manja di rumah.

Suatu hari, saat saya siap-siap mendaki Gunung Gede, ayah saya bilang, “Ini terakhir kali, ya, kamu naik gunung!”

Mendengar ayah berkata demikian, hati saya terluka. Ego saya naik (dasar bocah sensitif! :D) Ketika itu saya berpikiran, saya sudah dewasa. Saya punya otoritas dan prioritas hidup. Saya merasa tidak pernah merepotkan orang tua dengan aktivitas saya. Mengapa mereka masih melarang saya melakukan kegiatan yang saya suka??

Kepada ayah, saya menjawab: “Maksudnya terakhir kali naik gunung gimana??!!” tanya saya, melawan.

Ujung mata saya basah dengan air mata. Saya menarik nafas panjang. Mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mendapat restu dari ayah. Hati kecil berbisik, tidak mungkin saya melangkah tanpa restu orang tua.

Setelah emosi mulai stabil, saya mencoba menjelaskan kepada ayah:

“Mendaki gunung adalah perjalan mengatasi rintangan dan persoalan. Meski sudah cukup sering naik gunung, setiap pendakian selalu memberikan kesan dan pengalaman berbeda. Naik gunung bisa menjernihkan pikiran, mengobati rasa kesal dan bosan. Saat mendaki gunung, saya belajar melangkah dan percaya pada diri sendiri. Belajar bertahan hidup. Dalam usaha bertahan hidup itu, ada suka-duka, dan saya memilih menyimpan kenangan indah. Di gunung, saya merasa menjadi diri sendiri. Mengambil keputusan dengan ketenangan pikiran dan perasaan. Menjalani hidup tanpa beban, selain menanggung beban di pundak.”

Ayah dan ibu kemudian melepas saya pergi. Tidak ada cara yang bisa dilakukan orang tua terhadap anaknya yang pembangkang ini selain melepaskan anak itu melakukan sesuatu yang dicintainya. “Jangan lupa berdoa agar perjalanan lancar,” kata ibu, sambil melambaikan tangan.

Kembali ke pertanyaan pelatih angkat besi yang saya temui di Soreang, apakah saya sedang mencari jati diri dengan mendaki gunung?

Bagi saya, mendaki gunung bukan usaha mencari jati diri. Mendaki gunung justru berarti berarti menjadi seutuh-utuhnya dan sebaik-baiknya diri sendiri. Karena setiap langkah begitu berarti. Setiap beban dipundak begitu bernilai. Setiap detil kehidupan, seperti embusan angin, sejuknya embun pagi, indahnya daun-daun yang berguguran, hangatnya matahari, begitu bermakna. Dan, setiap interaksi dengan teman-teman perjalanan memberi warna.

 

Selamat menjalani hari-hari.

Jakarta, 30 Juli 2017.

Denty Piawai Nastitie

Rambutkriwil.com

Read more

Menjadi travel blogger adalah impian banyak orang. Bayangkan, kita bisa keliling dunia dan menghasilkan banyak uang (pengennya sih begitu, meski tak selalu begituu… hehe). Meski bisa pamer tulisan dan foto-foto jalan-jalan di personal blog, ada kenikmatan tersendiri saat melihat karya dimuat di media cetak, seperti majalah, koran, atau tabloid. Rasa bangga dan senang berlipat ganda ketika kita mendapat honor tulisan!

Beberapa teman bertanya, apakah catatan perjalanan yang mereka buat bisa dimuat di media cetak? Menurut saya, kenapa tidak? Tetapi ingat, tidak semua tulisan bisa dimuat. Hanya tulisan yang memiliki unsur kedalaman, kebaruan, dan informatif, yang biasanya lolos seleksi ruang redaksi.

Apalagi, media cetak memiliki karakteristik yang berbeda dengan media daring. Namanya karakteristik, ya berarti sesuatu yang khusus. Yang khas. Seperti makanan khas DI Yogyakarta adalah gudeg, berbeda dengan makanan khas Palembang, yaitu mpek-mpek. Semakin kita memahami karakteristik platform media, semakin besar peluang tulisan itu dimuat.

Bagi saya, menulis di media cetak itu susah-susah gampang. Susah bagi para first timer alias newbie (percayalah semua penulis terkenal berangkat dari posisi ini), tetapi menjadi gampang kalau kita sudah tahu triknya dan sukses menerapkan trik itu. Berikut adalah tips and trick agar catatan perjalanan bisa dimuat di media cetak:

1. Tentukan media incaran

Dari sekian banyak media cetak yang masih bertahan, saya sarankan untuk membuat daftar media yang menjadi incaran. Bagaimana caranya?Hmm…. mungkin caranya seperti mengincar pasangan hidup. Pertama-tama, kamu harus suka atau minimal, tertarik dengan calon kamu itu!

Kedua, kamu harus mempelajari karakteristik dia. Ketiga, mulai deh PDKT! Urusan cinta diterima atau ditolak, mah urusan belakangan. Begitu juga dengan tulisan! Apakah nantinya karya itu akan dimuat atau tidak, ya itu tergantung dengan kecocokan tulisan dengan karakteristik media incaran.

Setelah menentukan media incaran, kelompokkan media itu berdasarkan karakteristiknya, apakah termasuk media cetak harian, mingguan, atau bulanan. Apakah media itu termasuk koran plitik, majalah leasure, atau tabloid gosip? Dari pengelompokan ini, bisa ditentukan media mana yang paling cocok dengan jenis tulisan.

Setelah menentukan media incaran, pahami tata cara pengiriman tulisan. Biasanya, syarat menulis tercantum pada halaman depan atau belakang. Agar tulisan kamu dimuat, kamu harus betul-betul mematuhi syarat pengiriman tulisan. Jangan sampai kamu sudah membuat tulisan keren, tetapi gagal dimuat hanya karena masalah sepele, seperti lupa mencantumkan biodata yang diminta media cetak tersebut, atau lupa melampirkan fotokopi KTP.

2. Pahami karakteristik media

Suatu hari, teman saya bertanya: “Kenapa ya tulisan gue gak pernah dimuat di Kompas?”. Saya tanya balik, “Emang lo kirim tulisan apa? Berapa halaman?” Ternyata,… teman saya mengirim cerpen yang panjangnya 10 halaman! Dalam hati saya menjawab, “Yaelaaah brooo…. sampai doraemon hidup lagi juga tulisan lo kagak bakal dimuat!”

Kenapa? Karena… A. Keterbatasan halaman. Kompas hanya memiliki 32 halaman cetak, yang terbagi antara lain untuk berita politik, hukum, ekonomi, olahraga, pendidikan, dan lingkungan hidup. Untuk memuat cerpen, tersedia hanya ada satu halaman setiap hari Minggu. Jadiii…. yoooo ndak mungkin tooo yooo…. cerpen sepanjang 10 halaman kemudian dimuat di Kompas! (Ntar orang-orang bingung, ini koran atau buku kumpulan cerpen :P)

B. Kompas sangat jarang memuat cerpen. Setiap minggu hanya ada satu cerita pendek di halaman Kompas Minggu. Sebulan berarti ada empat cerita pendek. Setahun berarti ada empat puluh delapan cerita pendek. Naaah…. kalau cerpen ingin dimuat di media cetak, karya tulis itu harus cukup mencuri perhatian dewan juri. Dalam kasus ini, tulisan teman saya harus cukup bersinar dan bisa menjadi bagian 48 cerpen yang dimuat Kompas.

Jadi, kalau ingin tulisan kamu dimuat di media cetak, pelajari dulu karakteristik media tersebut. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab: Apakah media itu cocok untuk tulisan perjalanan? Apakah media tersebut memiliki halaman khusus untuk penulis lepas? Apakah media itu menyediakan ruang untuk tulisan panjang, atau hanya suka tulisan-tulisan pendek? Apakah media itu terbit setiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan? Kalau media itu terbit setiap minggu, jenis tulisan seperti apa yang diharapkan… dan seterusnya.

3. Kirim foto dan pahami selera editor

Pertama kali tulisan saya dimuat di Kompas ketika saya berusia 17 tahun. Apakah, setelah itu tulisan-tulisan saya sering dimuat? Ya, lumayan. Apakah tulisan-tulisan saya sering ditolak redaksi (seperti cinta yang juga sering ditolak)? Ya, lumayan *Njirttt malah curhat! wkwkwkwkk

Percaya deh, sekali tulisan kita dimuat di media cetak, rasanya bakalan candu. Kalau kita cerdas membaca peluang, tulisan akan semakin sering dimuat. Dengan memahami selera editor, kesempatan tulisan dimuat akan semakin besar. Selera editor itu mewakili media cetak di mana dia bekerja. Selera editor juga mewakili selera pembaca media itu.Bagaimana cara memahaminya?

Cukup mudah, baca saja semua tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media tersebut. Pelajari cara menulisnya, dan coba mengikuti karakteristik tulisan itu. Karakteristik menulis untuk majalah remaja perempuan, akan berbeda dengan karakteristik untuk menulis majalah pria dewasa. Nggak ada cara lain untuk memahami karakteristik tulisan selain mempraktekkannya!

Memahami selera editor bisa juga dilakukan dengan bertanya kepada editor yang bersangkutan. Setiap kali saya mengirim tulisan, terlepas dari tulisan itu akan dimuat atau tidak, saya akan bertanya kepada editor, bagaimana pendapat dia tentang tulisan saya. Editor yang baik akan memberikan masukan terhadap karya penulis. Masukan itu adalah modal berharga untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

Bagi pemula yang ingin tulisannya dimuat, nggak ada cara lain memastikan tulisan dimuat selain mematuhi masukan editor. Kalau editor request judul diganti, ya ganti saja! Kalau editor request tulisannya dipangkas, ya pangkas saja! Halaman di media masa itu milik mereka, bukan kamu! Editor adalah bos, jadi coba senangkan mereka. 🙂 Setelah tulisan sering dimuat dan kamu sudah mengenal editor dengan lebih dekat, kamu bisa berdiskusi dengan mereka tentang topik-topik tulisan selanjutnya atau angle tulisan lain yang menarik.

Untuk catatan perjalanan, yang tidak kalah penting adalah foto-foto! Biasanya, majalah traveling akan menahan tulisan kalau mereka belum menemukan foto-foto yang keren. Kalau traveling, sekalian bikin foto yaaa karena kesempatan datang ke tempat yang sama belum tentu datang dua kali.

4. Jalin relasi dengan ruang redaksi

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali tulisan kamu dimuat, artinya editor dan media cetak tersebut percaya dengan kamu. Kalau kamu sudah dapat kepercayaan, peluang tulisan-tulisan kamu yang lain akan dimuat semakin besar. Jangan pernah sia-siakan hal ini!

Saya mempelajari tips ini ketika menjadi freelance kontributor majalah kaWanku dan National Geographic. Dari iseng-iseng menulis di kedua majalah itu, anggota redaksi akan menghubungi saya kalau mereka butuh tulisan lain. Ketika saya sibuk dengan urusan sekolah atau kuliah, redaksi secara khusus memberi saya tenggat waktu yang lebih panjang agar saya bisa mengirim tulisan.

Namanya kepercayaan, tentu saja harus dipupuk dan dibina sebaik mungkin. Kalau tulisan kamu sudah dimuat di media cetak, dan kamu sudah mengenal editor di media itu, coba sesekali kamu ajak dia nongkrong, atau kamu main ke kantor media itu membawa makanan. Atau sekedar say hello melalui Whatsapp atau Facebook untuk menanyakan kabar dan mengucapkan selamat ulang tahun, misalnya. Kalau lagi ketemuan, coba tanya deh ke mereka, untuk edisi selanjutnya mereka butuh tulisan tentang apa? Dan tawarkan tulisan kamu ke mereka. Siapa tahu tema liputannya cocok! Siapa tahu jodoh dengan editor tersebut!

5. Tulis, kirim, lalu move on!

Setelah membuat karya tulis yang keren, mengirimkan tulisan ke kantor redaksi media cetak, lupakan semua yang kamu lakukan! Menanti itu sangat menguras emosi…hehehe daripada setiap hari menunggu-nunggu kapan tulisan akan dimuat, lebih baik kamu move on! Jalani hidup seperti biasa… kembali lagi produktif menulis.

Saran saya, setelah mengirim tulisan… bisa menunggu sekitar dua hingga empat minggu, apakah ada feedback dari kantor redaksi tersebut. Penulis bisa mengirim surat elektronik atau menelepon ke ruang redaksi, menanyakan apakah redaksi sudah menerima tulisan dan apakah ada kemungkinan tulisan tersebut dimuat. Kalau sudah ditolak puk-puk, hidup masih panjang… mungkin bisa tanya kenapa tulisan kamu ditolak, apakah dapat diperbaiki. Kalau ternyata sudah mentok juga, tidak akan dimuat atau tidak ada kesempatan diperbaiki, saatnya move on dan cari gebetan lain.

Ada beberapa alasan kenapa tulisan tidak dimuat. Bisa jadi tulisan kamu memang jelek kurang layak. Tetapi, bisa juga karena tidak cocok dengan media incaran. Seperti tadi yang saya bilang, menulis untuk media cetak itu kan seperti cari jodoh. Kita harus memantaskan diri supaya cocok dengan calon media yang sudah kita incar.

Oya ada pengalaman menarik ketika saya mengirim tulisan untuk National Geographic. Ceritanya, saya sudah mengirim tulisan dan melupakan nasib tulisan itu karena tidak pernah ada kabar dari ruang redaksi. Setelah dua tahun berlalu, text editor NatGeo menghubungi saya, memberi kabar tulisan yang saya kirim DUA TAHUN lalu akan dimuat. Jangan pernah kehilangan harapan…. seperti kehidupan manusia, tulisan juga punya nasib dan takdirnya masing-masing. Sebagai penulis, kita hanya bisa berupaya agar karya yang kita buat mendapat tempat yang layak 🙂

Jakarta, 14 Juli 2017

Salam, Denty Piawai Nastitie

rambutkriwil.com

Keterangan: Foto nomor 2-6 diambil dalam perjalanan ke Muna, Sulawesi Tenggara.

Read more

Narastika dan saya sama-sama hobi bervakansi. Pada 2010, kami mendapatkan beasiswa pertukaran pemuda ke Luton, Inggris. Meski program itu melarang peserta traveling ke kota lain tanpa asistensi dari supervisor, kami nekat ngetrip ke London (sekitar 50 kilometer dari Luton).

Di London, kami menyusuri Sungai Thames, menikmati keindahan arsitektur Istana Buckingham yang megah dan mewah, menonton drama musikal Shakespeare di Globe Theather, meresapi kehidupan malam di sekitar London Eye, berfoto dengan mannequin, dan melakukan banyak hal lain.

Malam itu, dengan rasa haru dan gembira luar biasa, kami pulang ke Luton naik kereta cepat. Sepanjang perjalanan, Narastika dan saya menahan dingin karena tubuh kami hanya dibalut jaket tipis. Kami juga menahan lapar karena tidak sanggup membayar makanan paling murah di Chinese Food Restaurant di London. Meskipun kere, tetapi hore!

Pengalaman menyenangkan itu membuat kami bercita-cita untuk lebih banyak lagi melakukan perjalanan bersama. Kalau di Inggris kami ikut program Global Xchange dari British Council, next trip kami bercita-cita untuk tetap traveling meski tanpa sponsor.

Pada 2013, kami punya ambisi keliling Asia dalam satu tahun! Hahahhaa!! Cita-cita muluk, yang belum terwujud. Tetapi, sebagian mimpi itu mewujud dengan melakukan perjalanan ke Malaysia, Singapura, dan Jepang. Setelah mengunjungi banyak tempat-tempat bersama Narastika, saya sadar perjalanan adalah moment yang tepat untuk memurnikan makna persahabatan.

Di perjalanan, kami menghadapi tantangan utama, yaitu membangun toleransi dan komunikasi. Perjalanan sungguh menguras waktu, tenaga, dan emosi! Perjalanan bersama teman yang kurang cocok bisa bikin bete, mood rusak, berantem, rencana perjalanan buyar. Sebaliknya, perjalanan dengan teman yang pas membuat pengalaman semakin berkesan. Namun, saya yakin, seperti jodoh (kayak ngerti ajaa hehe), cocok atau tidaknya dengan teman seperjalanan bisa dibangun. 🙂

Sejak delapan bulan sebelum perjalanan, Narastika dan saya sudah mempersiapkan jalan-jalan hemat di Negeri Sakura. Kami mengatur itinerary, mencari hotel, memesan tiket pesawat dan tiket kereta dan bus lokal, dan memasang target lulus kuliah! (FYI, demi bisa traveling setelah lulus kuliah saya mengerjakan skripsi dalam waktu tiga bulan! :D)

Dari mengatur itinerary, sebenarnya sudah terlihat bagaimana perbedaan sikap Narastika dan saya dalam memandang perjalanan ini. Narastika sungguh well-organized, dia mengatur itinerary perjalanan tidak hanya hari-per-hari, tetapi jam-per-jam! Dia juga mengatur rencana penginapan dan transportasi dengan sangat detail. Hal ini sungguh-sungguh berbeda dengan saya, yang super berantakan!

Kalau bepergian, saya hanya punya gambaran besar dan kasar mengenai kota yang ingin saya kunjungi dan berapa lama saya akan tinggal di sana. Saya sama sekali tidak memikirkan, seharian (dari jam-per-jam) mau ngapain aja, yang ada di benak saya: “Lihat nanti saja deh mau mengunjungi apa! Tergantung mood!” Tetapi, Narastika kekeuh jadwal harus fixed sebelum berangkat karena akan mempengaruhi budget. Baiklaah, saya menyerah. Dan kami pun menyusun itinerary secara rigid.

Dalam diskusi, saya memberi beberapa destinasi yang ingin saya kunjungi. Narastika yang akan memasukkannya dalam tabel-tabel itinerary disesuaikan dengan budget dan kondisi geografis.

Sesampainya di Jepang, perbedaan sikap kami semakin terasa. Narastika bergerak disiplin mengikuti jadwal, sedangkan saya lebih acak, dan mau menikmati slow-journey dengan, misalnya, berlama-lama menghayati sejarah Kota Hiroshima, berdialog dengan masyarakat setempat seperti para tukang becak Jepang, mencicipi makan makanan lokal, dsb. Saya sempat bete karena merasa hidup seperti diatur-atur dengan itinerary. Narastika juga pasti bete karena gerak saya super lambat dan mood mudah berubah-ubah. 🙁

Dari perjalanan ini, saya sadar, tantangan dalam perjalanan bukanlah keterbatasan bahasa atau uang atau waktu dan sebagainya, tantangan dalam perjalanan adalah membangun toleransi dan komunikasi dengan orang lain agar perjalanan menyenangkan! Sekalipun ada yang mengklaim sebagai solo traveler, bukankah kita tidak akan pernah betul-betul sendirian dalam perjalanan?

Lalu apakah langkah Narastika benar karena menyiapkan perjalanan dengan lebih detail sedangkan saya salah karena tergolong orang yang acak dan tidak terjadwal?

Beberapa orang mungkin suka gaya traveling teragenda, beberapa orang lain suka style travelling yang spontan. Dalam perjalanan tidak ada yang lebih benar atau lebih salah karena semua keputusan yang diambil tergantung situasi dan kondisi.

Persiapan sebelum trip memang penting, tetapi spontanitas dan fleksibilitas juga sangat dibutuhkan.Ketika dua kepala memiliki isi otak yang berbeda, akhirnya masalah yang timbul adalah keinginan pribadi tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Misalnya, saya sangat ingin naik Gunung Fuji. Sementara Narastika sama sekali tidak tertarik naik gunung. Untungnya, perbedaan ini tidak berujung pada percekcokan, adu mulut, jambak-jambakan, bete-betean, dan akhirnya malah jadi ngegosipin keburukan teman di kemudian hari.

Untuk mencegah peperangan (oke, ini lebay :D) kami mencoba sampaikan keinginan pribadi sejelas-jelasnya dan coba mendengarkan travel partner untuk mencari jalan tengah. Akhirnya kami mengambil jalan tengah: saya akan naik Gunung Fuji, sementara Narastika akan city tour di sekitar Tokyo. Ini merupakan jalan tengah yang sempurna, karena dengan berpisah kami bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dan berbagi pengalaman saat bertemu lagi.

Saya sangaaattt senang naik Gunung Fuji, tetapi lebih senang lagi ketika bertemu Narastika lagi di hostel!! Dia menyambut saya dan mengucapkan selamat karena saya sukses mengibarkan bendera merah putih di Puncak Fujisan! AAAAHH, Tikaaa!!! Saya gak mungkin mewujudkan cita-cita ini tanpa kamuuu!! *langsung meweeekkk*

Agar perjalanan menyenangkan, kami juga coba untuk saling mengalah demi memenuhi keinginan teman. Narastika menemani saya ke Shimokitazawa, distrik yang menjual barang-barang antik! Sementara saya menemanik Tika ke kota satellite Yokohama (di sini kami nonton sirkus gratisan! Hahahhaa).

Di Shimokitazawa, kami makan siang di sebuah kafe yang kelihatannya keren. Saya memesan pasta dengan cara asal tunjuk menu karena buku menunya berbahasa Jepang dan pelayannya enggak ngerti Bahasa Inggris. Ternyata itu adalah pasta telur ikan…. yekss!! Dulu memang enggak doyan makan ikan, apalagi telur ikan T.T…. Saya sangat terkesan karena Narastika mau membagi makanannya supaya saya enggak kelaperan….

Di Meiji Shirine, saya kehabisan uang kecil. Narastika juga begitu baik menyumbangkan sebagian uang recehnya supaya saya bisa beli papan doa. Kalau doa itu terwujud, sungguh ini berkat kemurahan hati Narastika! (Makasihhh Tikaaa…. *mewek lagi untuk kesekian kali… hahahhaa)

Dengan berbagi kita tidak akan pernah merugi. Justru mendapatkan banyaaak pengalaman seru dan unik. Setiap kali saya bertemu Narastika, kami akan tertawa sampai perut sakit mengingat banyak hal bodoh yang kami lakukan. Di perjalanan, kami lebih mengenal diri sendiri, dan bisa saling menyesuaikan, atau bahkan terbawa kebiasaan teman.

Tika yang biasanya jarang mau bergaul dengan random people, akhirnya jadi lebih gampang ngobrol dengan orang asing karena terpengaruh kebiasaan saya yang suka sotoy dan SKSD dengan orang lain. Hahahahhaa. Saya yang biasanya bangun siang jadi lebih pagi karena enggak mau ada jadwal perjalanan yang terlewatkan. Sebaliknya, Narastika malah kesiangan terus!! “Ayo Tika, sudah jam 7!! Ayo kita jalan-jalan!!” jerit saya setiap hari di dormitory. Wkwkwk.

Berbicara soal persahabatan saya jadi ingat lagu hits berjudul “Kepompong”: Persahabatan bagai kepompong mengubah ulat menjadi kupu-kupu persahabatan bagai kepompong hal yang tak mudah berubah jadi indah. Persahabatan bagai kepompong maklumi teman hadapi perbedaan…”

Perjalanan tidak hanya menawarkan pengalaman mengunjungi tempat-tempat unik dan indah, atau kebanggaan bisa selfie dan pamer foto-foto di facebook, perjalanan juga menawarkan kebersamaan, keceriaan, dan membuat kita lebih memaklumi perbedaan dan mempererat makna persahabatan. 🙂

For Narastika.

Best love, Denty.

Jakarta, 29 November 2016.

Rambutkriwil.com

 

Read more