Travel

Kairo, adalah potret Mesir yang selalu terkenang dalam kepala saya. Sekilas, keadaan kota ini mirip Jakarta: jalanan yang padat dengan kendaraan bermotor, sampah yang berserakan, angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat,… dan satu lagi, debu yang berterbangan!

Namun, inilah kota yang kaya akan sejarah peradaban dunia. Kota yang berada di antara Sungai Nil dengan bentangan alam tak ternilai harganya. Kota yang gegap gempita dengan sejuta lokasi hiburan malam. Kota yang setiap tahun diserbu ribuan peziarah!
Perjalanan di Kairo adalah perjalanan pertama saya mengunjungi tempat-tempat bersejarah di tanah suci. Saya berkunjung dalam rombongan, terdiri dari 28 orang perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 8 – 70 tahun. Sebagian peziarah berasal dari Jakarta, sebagian lainnya dari Tangerang, Kalimantan Barat, dan sebuah kota di Timor Leste. 
Setelah menempuh penerbangan selama 17 jam dari Kota Jakarta, saya masuk Kairo melalui bandar udara internasional yang padat dengan kedatangan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Begitu turun dari pesawat, ratusan orang berhadapan dengan proses pemeriksaan dokumen perjalanan dan imigrasi yang panjang dan berbelit-belit. Saya berdiri berdesak-desakan di antara orang-orang yang baru saja umroh ke Arab Saudi.
Sebagian perempuan mengenakan baju serba serba putih dengan jilbab panjang. Sebagian perempuan lain terselubung pakaian serba hitam dengan perhiasan emas dengan liontin berlian yang menyilaukan mata. Beberapa perempuan, terutama yang sudah lanjut usia, menyeret tas besar di lantai. Sebagian lainnya mengangkut tas atau kantong kresek besar di atas kepala. Para pria mengenakan jubah panjang berwarna putih. Tubuh mereka besar dan kekar dengan kulit berwarna kecoklatan.
Di loket pemeriksaan dokumen imigrasi, petugas membuka acak tas dan koper penumpang. Sebagian penumpang menghabiskan waktu 5 – 10 menit berdebat dengan petugas imigrasi, sebagian lainnya bisa menghabiskan waktu 30 menit. Raut lelah, gusar, dan tak sabar, terlihat di wajah penumpang. Seringkali mereka saling mendorong dan berteriak tak sabar.  

Setelah melewati loket imigrasi, para penumpang pesawat terbang masih harus menghabiskan waktu berjam-jam mengambil koper bagasi. Sore itu, puluhan orang berdiri di sembarang tempat dan koper datang tak tentu arah. Serba semrawut!

“Rombongan Indonesia… Rombongan Indonesia… Kemari! Kemari!” kata seorang pria yang memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Dia meminta rombongan menumpuk passpor di atas telapak tangannya. Pria itu lalu menyuruh rombongan keluar melewati pintu kecil yang terletak di sebelah kanan pengecekan imigrasi.

Kami keluar bandara melalui jalur “khusus”. Belakangan saya tahu, jalur itu hanya bisa dilalui apabila rombongan peziarah sudah bekerja sama dengan tur wisata lokal. Jalur khusus membuat kami tak perlu menghabiskan waktu berjam-jam berhadapan dengan petugas imigrasi. “Kalau di Indonesia, ini namanya pakai calo. Kita tidak perlu capek-capek antre,” kata kakak saya, Raditya Beken Wicaksana (27), sambil berjalan keluar.

Di depan bandara, puluhan koper sudah tertumpuk rapi. Setelah memastikan anggota rombongan lengkap dan tidak ada barang bawaan yang tertinggal, kami berjalan ke dalam bus. Saat itu matahari berwarna kuning keemasan mulai turun. Bus bergerak lambat di antara barisan kendaraan di jalan raya.


Seperti Kota Jakarta, hampir setiap hari jalan di Kota Kairo padat dengan kendaraan bermotor. Seperti warga Ibu Kota, orang Kairo juga lebih senang naik kendaraan pribadi dari pada angkutan umum. Bedanya, kalau di Indonesia orang-orang libur setiap Minggu, di Mesir, Minggu adalah hari pertama bekerja. Orang Mesir libur Jumat, waktu umat Islam beribadah.

Saat bus bergerak pelan, saya melihat bangunan-bangunan bertingkat yang terbuat dari batu bata coklat. Bangunan-bangunan itu merupakan rumah penduduk Mesir yang pembangunannya dibiarkan tidak selesai. Di atap bangunan, orang Mesir memelihara kambing dan domba. Mereka meletakkan kayu dan seng bekas di atap rumah. Bentuk rumah-rumah susun itu seperti gudang tua yang tak terurus.  

Atef Nafea (37), pemandu wisata, menjelaskan, orang-orang Mesir sengaja membiarkan pembangunan rumah mereka tidak selesai untuk menghindari pembayaran pajak. Meski dari luar rumah-rumah terlihat tak terawat, kondisi di dalam rumah bagus. “Kami memasang karpet dan pendingin udara,” kata Atef.

Ayah tiga anak itu menjelaskan, kebanyakan rumah tidak dicat. Warna rumah dibiarkan seperti warna batu bata asli karena hujan jarang sekali turun. Dalam setahun, hujan hanya turun tiga kali. Rumah-rumah berwarna cerah tentu lebih cepat kotor karena debu dan kotoran yang menempel.

Menjelang malam, saya melintasi jembatan di atas Sungai Nil. Aliran air dari Sungai Nil adalah jantung Kota Kairo. Sebagian besar penduduk Mesir tinggal di sepanjang Sungai Nil, terutama Iskandariyah, Kairo, dan di dekat Terusan Suez. Selama ribuan tahun, orang-orang Mesir mengandalkan aliran air dari Sungai Nil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Air dipakai untuk mengaliri persawahan dan perkebunan. Ditambah ekspor minyak bumi, ekspor gas alam, dan bisnis pariwisata, menjadikan Mesir sebagai salah satu negara kaya. Sayangnya, kekayaan itu tak bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Di Mesir, ada jurang lebar antara si kaya dan si miskin. Hal itu mudah terlihat dari banyaknya pengemis yang meminta-minta di antara rumah-rumah mewah.

Atef lalu bercerita, pada tahun 2011 ada demonstrasi besar-besaran yang terjadi di seluruh Mesir. Orang-orang menuntut agar Presiden Hosni Mubarak yang sudah berkuasa selama 30 tahun untuk melepaskan jabatannya. Kekuasaan yang terlalu lama, memang sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang. “Saya harus jujur mengatakan, negara ini kaya. Tetapi, kekayaan dikorupsi para penguasa,” kata Atef.

Bus bergerak lambat. Di dalam bus, saya terlelap.

(Denty Piawai Nastitie)



Read more

 

Air mata Catlin (8), bocah perempuan kelas III SD, meleleh saat masuk ke dalam Gereja Abu Sirga (St Sergius and Baccus Church) yang terletak di Kairo, Mesir. “Rasanya aku melihat Yesus,” ujarnya.
Catlin lalu memeluk ibunya, Ellen. Sepanjang ziarah siang itu, Catlin lebih banyak diam. Sesekali dia menundukkan kepala. Perasaannya campur aduk antara takut, sedih, dan terharu. Beberapa orang dewasa yang mengetahui peristiwa itu memandang Catlin dengan tatapan takjub, sebagian orang lainnya tidak percaya.
Saya jadi teringat dengan keraguan Thomas. Pada hari ketiga Yesus bangkit dari kubur, dia menampakkan diri kepada para muridnya. Secara kebetulan Thomas tidak ada dalam pertemuan sehingga murid-murid Yesus menceritakan kejadian menarik itu. Thomas berkata “Saya tidak mau dan tidak dapat percaya”.
Suatu hari, Yesus menampakkan diri sekali lagi di hadapan murid-muridnya. Kepada Thomas dia berkata, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” 

Ketidakpercayaan sejumlah peziarah dengan pengalaman spiritual yang dialami seorang bocah cilik di Gereja Abu Sirga, mungkin mirip dengan keraguan Thomas. Kepada Romo Kornelis Dino Hardin, imam yang mengiringi peziarahan, beberapa orang bertanya, “Bagaimana mungkin kehadiran Yesus disaksikan bocah kecil? Mengapa kami yang dewasa tidak bisa melihat Yesus?”

Menurut Romo Dino, kadang-kadang, orang dewasa terlalu sibuk. “Penglihatan kita tertutup beragam pikiran dan kesibukan sehari-hari…,” kata dia.
Meski tak secara langsung melihat, sebenarnya kita bisa merasakan kehadiran Yesus dalam setiap peristiwa hidup sehari-hari. Yesus hadir saat penyakit kita disembuhkan, keluarga dipersatukan kembali, masalah keuangan dipulihkan, dan banyak hal lain terjadi di luar dugaan kita.
Romo asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu lalu bercerita mengenai keraguannya akan kehadiran Yesus dalam perjamuan roh kudus. Selama dua tahun sejak ditabiskan menjadi imam, dia ragu apakah hosti dan anggur yang dipersembahkan dalam setiap misa bisa berubah menjadi tubuh dan darah Kristus? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? 

Dalam sebuah retret, seorang biarawati asal Kalkuta, India, yang memiliki kemampuan untuk memahami persoalan orang lain tiba-tiba berkata, “Engkau dipilih Bapa untuk menjadikan hosti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus. Bagaimana engkau meragukan perutusan yang dikaruniakan Bapa kepadamu?”

Mendengar teguran itu, Romo Dino menangis. Bagi dia, Tuhan hadir dan menjawab keraguannya melalui seorang biarawati asing. “Kita bisa bertemu Yesus secara tidak langsung melalui orang-orang yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pertemuan dengan Yesus akan menjadikan diri kita berbeda,” kata Romo Dino.
 __


Gereja Abu Sirga dibangun sekitar abad ke-4. Gereja itu didedikasikan untuk dua martir abad awal bernama St Sergius dan St Baccus. Secara tradisi, gereja itu dibangun di tempat kediaman keluarga kudus (Bunda Maria, Santo Yusuf, dan bayi Yesus) selama mereka mengungsi di Mesir karena pengerjaran Raja Herodes (Mat 2:13).

Sepanjang perjalanan, keluarga kudus melewati bukit-bukit bebatuan yang tandus, kering, gersang, berdebu, dan minim air. Di Kairo, keluarga kudus hidup berpindah-pindah. Di tempat yang kini menjadi Gereja Abu Sirga, keluarga kudus menginap tiga hari lamanya.
Begitu masuk gereja, saya melihat sebuah bangunan dengan interior gaya Koptik awal. Atap gereja itu menyerupai Bahtera Nuh. Di dalam gereja ada 12 tiang penyangga yang melambangkan 12 rasul.
Bagi banyak orang Mesir, Gereja Abu Sirga bukan saja tempat berdoa. Gereja itu dianggap sebagai museum yang menyimpan kekayaan nilai sejarah. Tak heran, di dalam gereja saya berjumpa dengan belasan orang Muslim. Mengenakan kerudung panjang, mereka memperhatikan interior dan pernak-pernik gereja.
Bagian terpenting dari Gereja Abu Sirga adalah goa di mana Keluarga Kudus pernah tinggal. Goa itu terletak di bagian bawah gereja. Untuk masuk ke dalam goa, peziarah harus melewati lorong dengan lukisan Yesus dan Bunda Maria di sebelah kanannya. Di gereja ini, setiap tanggal 1 Juni umat Ortodoks merayakan kedatangan Keluarga Kudus.

Begitu sampai di depan goa, saya melihat tanda silang yang terbuat dari kayu menutupi pintu goa. Atef Nafea (37), pemandu wisata, menjelaskan, petugas sedang merenovasi gereja untuk menyambut natal. Di depan goa, kami menundukkan kepala, berdoa. Tak terasa, air mata saya meleleh. Begitu dekat saya berada di tempat Keluarga Kudus pernah singgah…

Beberapa hari kemudian, terdorong rasa penasaran, saya bertanya pada si mungil Catlin. “Di mana kamu melihat Yesus?”
Catlin menjawab pertanyaan saya dengan suara lembut. “Di lorong itu… Lorong tempat kita berjalan menuju goa keluarga kudus.”

Catlin tidak menjelaskan bagaimana wajah Yesus saat menampakkan diri di hadapannya. Catlin hanya mengatakan, “Yesus melambaikan tangan, menyambutku masuk ke dalam gereja.” 

(Denty Piawai Nastitie)

Read more


“Sawah kini kering. Air tidak lagi mengalir. Sudah dua kali tanam padi, gagal panen,”  kata Rahana (60), Rabu (4/11). Dia memandang hamparan sawah berwarna kuning kecoklatan di depannya. Lahan yang dulunya subur itu berubah kering dan pecah-pecah sejak perusahaan kelapa sawit mengepung tempat tinggal warga di Desa Sungai Bungur, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi. Inilah kisah ketika konflik lahan antara warga dengan perusahaan sudah menyengsarakan banyak orang….

Bersama anak perempuannya, Erni (34), ibu empat anak itu memanen padi yang jumlahnya tak seberapa. Tangannya bergerak memetik padi dengan menggunakan ani-ani. Di bawah terik matahari, sesekali Rahana menyeka keringat yang mengalir di kening dan lehernya. Sejak pukul tujuh pagi, dua perempuan itu bekerja. Hasilnya, mereka mendapat sekitar tiga puluh genggam padi.

Jumlah padi yang dia dapatkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. “Terpaksa nanti beli beras miskin,” kata Rahana. Tahun-tahun sebelumnya, dia memanen 5-6 karung padi yang setara dengan 3-5 ton beras. Jumlah itu cukup untuk persediaan makan selama satu tahun.

Gagal panen di Desa Sungai Bungur terjadi tak hanya karena musim kemarau. Kekeringan diperparah sejak perusahaan-perusahaan kelapa sawit membangun kanal di sekitar area perkebunan dan persawahan warga. Kanal diperlukan untuk mengeringkan rawa gambut agar mudah dibakar. Kanalisasi membuat lahan perkebunan dan persawahan warga kering, keras, dan pecah-pecah.Selain membuat kanal, perusahaan-perusahaan kelapa sawit juga menyekat aliran Sungai Bungur. Air dari sungai tidak lagi menggenangi persawahan warga.


Kekeringan akibat kanalisasi juga melanda Desa Sogo, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Nasir (51), tahun ini tidak bisa menanam padi karena sawahnya kering. Di dekat sawahnya, ada kanal selebar 1,5-2 meter. “Perusahaan kelapa sawit yang harusnya datang menyejahterakan warga, justru menyengsarakan,” kata dia, 

Sebagai petani, Nasir menggantungkan hidup pada kesuburan tanah. Tanah seluas satu hektar itu merupakan peninggalan orang tua yang sudah ada sejak tahun 1965. Sejak tak bisa lagi bercocok-tanam, Nasir bekerja sebagai buruh karet. Pendapatannya Rp 15.000 – Rp 20.000 per hari. Untuk makan sehari-hari, dia mengandalkan pasokan beras miskin dari pemerintah untuk makan sehari-hari.

Selain membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut, perusahaan juga membakar lahan untuk dijadikan perkebunan. Kobaran api merambat dan menghanguskan perkebunan. Sebagian perkebunan bahkan sengaja dibakar perusahaan itu agar warga mau melepas lahannya dengan harga murah. Kebakaran lahan menyiksa warga. Setiap hari, sejak bulan Agustus lalu, warga menghirup kabut asap pembakaran yang merusak kesehatan warga. Aktivitas pendidikan, perdagangan, pembangunan juga terganggu karena kabut asap.



Zein (57), warga setempat menuturkan, perusahaan kelapa sawit pernah menawarkan akan membeli lahannya Rp 3.500.000 per meter persegi. Namun, dia tidak setuju karena lahan itu merupakan warisan orang tua yang akan diturunkan lagi ke anak cucu. Selain itu, dia tidak sepakat dengan sistem beli-putus perusahaan. “Kalau perusahaan ingin memakai lahan ini, saya mau sistemnya adalah kerja sama atau bagi hasil,”  kata dia.

Suatu hari, dia melihat lahannya terbakar. Pohon-pohon dan rerumputan yang tadinya berwarna hijau, berubah menjadi hitam dan abu-abu. Ranting dan dahan pohon yang sudah terbakar tergeletak di atas lahan. Karena sudah terbakar, Zein tidak bisa lagi memakai lahan itu untuk berkebun. 
Desa Sogo terletak sekitar dua jam perjalanan dengan sepeda motor dari Kota Jambi. Jalan yang dilalui berkelok-kelok dan rusak di banyak bagian. Dari jalan utama, warga harus melintasi jembatan kayu menyebrangi Sungai Kumpeh. Di desa itu, dulunya terhampar perkebunan dan persawahan warga. Kondisi itu berubah ketia perusahaan kelapa sawit PT BBS datang. Diduga tanpa izin warga setempat, perusahaan itu menggarap lahan seluas 1.000 hektar yang ada di sana. 

Aswan (50), warga Desa Sogo, menuturkan, kedatangan PT BBS di Desa Sogo awalnya hanya numpang melintas. Perusahaan itu memiliki lahan perkebunan di Desa Sponjen dan Desa Tanjung yang letaknya tak jauh dari Desa Sogo. Pengurus perusahaan lalu membuat jalan di Desa Sogo untuk tempat perlintasa truk menuju perkebunan mereka. “Lama kelamaan perusahaan itu menggarap lahan warga,” kata Aswan.

Aswan menuturkan pernah meminta perusahaan itu menggarap perkebunan milik warga. Oleh perwakilan perusahaan, dia diajak bertemu di kebun kelapa sawit. Saat datang ke kebun, Aswan malah dikriminalisasi. “Saya dituduh merusak perkebunan. Saya lalu dilaporkan ke polisi,”  kata dia. 

Untuk memperjuangkan tanah, warga melapor ke Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan DPRD Provinsi Jambi. Namun, hingga kini tak ada tanggapan berarti.

Yani (38), berharap perusahaan mengembalikan lahan milik warga. “Kalaupun perusahaan ingin menggarap lahan itu, warga harus dilibatkan dan keuntungan dibagi bersama,” kata dia.

Saat penulis menghubungi Ir Darmah, pejabat dari PT BBS, dia menolak memberi tanggapan. “Nantilah, kita atur waktu bertemu,” kata dia. Darmah tidak memberi kepastian kapan waktu untuk bertemu.

Asistant Pemerintahan Kabupaten Muaro Jambi, Budi, mengatakan, tidak pernah menerima laporan masyarakat terkait konflik lahan di Desa Sogo. “Setelah masyarakat melapor ke DPRD Provinsi Jambi, saya baru tahu ada konflik itu,” kata dia.

Menurut Budi, selama ini masyarakat merasa tidak pernah menerima kompensasi pembebasan lahan. Pembebasan lahan kemungkinan besar diterima orang lain yang tidak tinggal di Desa Sogo. Untuk menyelesaikan konflik ini, Budi akan mempertemukan perusahaan dengan warga.

Dwi Nanto, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi mengatakan sejak tahun 2014 menangani 27 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. “Perusahaan umumnya melakukan penguasaan lahan secara paksa dengan melibatkan pihak ketiga, yakni pemerintah daerah ataupun oknum warga di luar masyarakat setempat,” kata dia.

Menurut Dwi, setelah mendapat izin usaha dari pemerintah, perusahaan perkebunan memiliki kewajiban untuk melakukan pembebasan lahan. Kalau lahan itu termasuk kawasan hutan, perusahaan harus mendapat izin dari Menteri Perhutanan. Untuk menyelesaikan Konflik lahan, pemerintah daerah perlu bersikap tegas mendorong perusahaan bersikap transparan dan membuka ruang dialog dengan warga agar. “Harus ada jalan keluar yang menyejahterakan warga,” kata Dwi. (Denty Piawai Nastitie)

Read more

Nao Yasutani atau Naoko atau Naoko-chan adalah pelajar berusia 16 tahun. Dia menghabiskan sebagian besar masa kecilnya yang bahagia di Sunnyvale, California.

Setelah ayah Naoko, Haruki Yasutani, di-PHK, remaja itu pindah ke Tokyo. Di Tokyo, Haruki kesulitan mencari pekerjaan. Ibu Naoko, Tomoko, menjadi tulang punggung keluarga.

Sebagai pria Jepang yang terbiasa punya pride, Haruki merasa gagal menjadi suami dan ayah yang baik. Dia depresi, sampai beberapa kali mencoba bunuh diri (seperti kebanyakan orang Jepang yang gagal memenuhi tuntutan masyarakat untuk mendapat nilai terbaik di sekolah, mendapat pekerjaan dan jabatan terbaik, mendapat gaji besar, dan sebagainya).

Perubahan kondisi keluarga memaksa Nao beradaptasi tinggal bersama ibu yang sibuk, dan ayah yang hobi bunuh diri. Tantangan hidup gadis itu tidak hanya masalah keluarga, tetapi juga culture-shocked. Meskipun berdarah Jepang, Nao merasa lebih menjadi orang Amerika. Selain itu, Nao juga mengalami bully parah dari teman-teman di sekolah. Dia bahkan nyaris diperkosa! Video kejahatan seksual yang dialami Nao tersebar di dunia maya, menjadi komoditas pelaku kejahatan siber!

Persoalan hidup yang pelik, membuat Nao terjerumus dalam prostitusi, dan akhirnya juga ingin mengakhiri hidup. Di tengah berbagai masalah, Nao terhubung dengan nenek buyutnya yang merupakan biksu berusia 104 tahun, Jiko Yasutani. Sikap Jiko yang santun, tulus, dan selalu mengutamakan “keselamatan” menjadi pelajaran berharga bagi hidup Nao.

Dia lalu menuliskan kisah hidupnya (dan tentu saja mengenai sosok Jiko) pada sebuah buku harian yang tersapu gelombang saat tsunami menghantam Jepang. Buku harian yang dimasukkan dalam kotak makan Hello Kitty itu ditemukan Ruth, yang tinggal di tepi pantai di British Colombia. Dalam buku itu, Nao memperkenalkan dirinya sebagai “a time being”…

Buku ini menarik karena menjelaskan banyak kebudayaan Jepang, termasuk budaya bunuh diri yang sudah mengakar – namun tak lagi relevan karena menciptakan banyak kekacauan-.

Tokoh Jiko membuat pembaca belajar banyak hal tentang sikap mengutamakan orang lain. Yang berkesan saat Jiko diejek seseorang di restaurant, dan Nao marah besar, sang nenek jutru membungkukkan badan, hormat di depan orang yang mengejek dia. (baca ini ikutan kesel hahahhaa) Sikap Jiko, membuat sang pengejek jadi segan, lalu membalas hormat perempuan tua itu dengan cara yang santun.

Melalui buku ini, pembaca juga diajak memahami betapa kejamnya kehidupan dunia maya. Kekejaman dunia maya, membuat Haruki merasa gagal menjadi ayah karena tak bisa melindungi anaknya. Padahal, sebagai programmer, sebagian besar hidup Haruki ada di dunia internet dan teknologi.

“… In her junior high school days, she (Naoko) was a victim of harsh bullying when her classmates teased her, including making videos of her shame that they posted onto the internet. When I saw these, I cried many tears. I was very angry! As her father, it is my duty to keep my daughter safe, but I failed to keep  her so. I was like a blind man, too selfish because I couldn’t see, and only my concern was for my self.” – Haruki, ayah Naoko.

Read more

“Jadi, kapan nikah?” tanya saya kepada Ridwan, di sebuah kedai makan cepat saji.

Ketika saya menanyakan hal itu, Ridwan sedang menegak koka-kola. Dia langsung terbatuk-batuk kecil. “Awal tahun depan, nihh… Kok lo tau?” jawab dia.

“Gue…..” jawab saya, sok bangga.

Ridwan adalah teman saya, sesama wartawan. Saya mengenalnya, sekitar setengah tahun lalu. Saat itu kami sama-sama meliput persidangan di pengadilan negeri. Sejak awal bertemu, kami langsung menjadi teman akrab. “Oya, lupa gue… lo kan wartawan gosip,” kata Ridwan, mencemooh.

“Hahahaa…. Sial!”

Ridwan lalu meletakkan gelas koka-kola di atas baki. Selama beberapa saat kami terdiam. Saya melanjutkan membolak-balik kertas rilis konfrensi pers, dan mengetik berita dengan menggunakan ponsel. Ridwan menatap saya. “Gue sudah lama pacaran. Sudah enam tahun. Enggak mungkin mundur,” jawab Ridwan, tanpa ditanya.

“Jadi, lo nikah karena sudah lama pacaran dan tidak mungkin mundur?”

Ridwan menyumpal telinganya dengan earphones. Dia menyetel musik melalui ponselnya, lalu membolak-balik kertas rilis dan mulai mengetik berita. Tak ada tanggapan, saya lalu mengambil kentang goreng rasa keju di baki Ridwan. Rasanya asin.

Alasan Ridwan menikah mengingatkan saya pada Santo, anak teman ayah saya.

Pekan lalu, Santo dan keluarganya datang dari Semarang ke Jakarta. Kata ayah, Santo dan keluarganya datang ke Jakarta untuk berkenalan dengan keluarga pacar Santo.

Santo berusia 26 tahun, lulusan arsitektur, baru satu bulan kerja di Semarang. “Wah, umurnya lebih muda dari gue, baru satu bulan kerja, berani banget nikah?” ujar kakak saya.

“Sudah diminta keluarga perempuannya,” jawab ayah.

Bagi saya, kisah Ridwan dan Santo punya kemiripan. Yakni, alasan pernikahan yang tidak biasa. Selama ini banyak orang mengira alasan pernikahan selalu: karena sudah sama-sama cocok, karena sudah saling mengerti, karena saling mencintai dan lain-lain…… Ternyata, di luar alasan mainstream itu ada banyak alasan lainnya……. Seperti alasan sudah lama pacaran (daripada enggak dinikahin ntar dikira enggak tanggung jawab), sudah dikejar-kejar keluarga perempuan, disuruh orang tua, dll.

“Untuk pasangan yang sudah lama pacaran, memang ada beban tersendiri untuk menikah. Kalau tidak segera menikah, dikira enggak serius. Sedangkan kalau menikah, mungkin juga belum sreg,” terngiang kata-kata Vandi, teman saya, tadi malam.

Kami berdua baru saja pulang dari acara pernikahan seorang kawan. Saya, yang saat itu sedang mengemudikan mobil, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, coba memahami.

Menurut Vandi, banyak alasan orang menunda pernikahan. Selain masalah finansial, bisa juga masalah cita-cita yang belum kesampaian. “Kadang banyak hal yang pengen kita lakukan yang enggak mungkin bisa dilakukan saat sudah menikah. Makanya sekarang gue puas-puasin ngelakuin semua hal yang gue mau, kalau udah nikah ya, stop….” kata dia.

Vandi sudah pacaran lima tahun. Tahun depan, dia dan pacarnya akan menikah. “Kak denty, kalau saya nikah datang ya!” kata dia.

“Siap! Kirimin aja undangan plus tiket pesawatnya….. Nikah di Jambi kan?”

“Hahahaa…. tekor, saya, kak!” kata dia, sebelum turun dari mobil.

*

Siang sudah bergerak semakin terik. Saya menyeruput jus jeruk. Saya dan Ridwan memutuskan berpisah. Ridwan harus kembali ke kantor untuk rapat, sedangkan saya punya waktu beberapa jam sebelum melakukan aktivitas rutin saya akhir-akhir ini: lari sore. Saya memutuskan untuk ke daerah Kebayoran Baru, menungu matahari turun.

Dalam perjalanan, saya memikirkan makna pernikahan. Kebetulan, kotbah misa Minggu kemarin tentang sakramen pernikahan. Kata Romo yang memimpin misa di Gereja Otista, “Dalam agama katolik, kita mengenal “sakramen pernikahan”. Tanda keselamatan Allah, melalui pernikahan….”  kata Romo. “Allah bersabda, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.”

Romo lalu menggaris bawahi kata “penolong” dan “sepadan”, yang bermakna saling menolong, saling mengasihi, saling membahagiakan. Tidak ada siapa memimpin siapa atau siapa dipimpin siapa karena sepadan, berarti setara…… Ahh…. betapa indah, makna pernikahan…… eits, tapi….. tunggu, seindah itukah pernikahan?

*

Di Kebayoran Baru, saya berjumpa beberapa kawan. Salah satunya Rian, ayah satu anak. Pria itu bercerita tentang para TTM-an nya yang kebanyakan sudah punya suami dan anak. TTM alias teman tapi mesra (Rian menolak pacar gelapnya itu disebut selingkuhan).

“Kami sama-sama tahu kok. Pacar gue tahu gue udah punya istri dan anak. Gue juga tahu mereka sudah punya suami dan anak,” kata Rian.

“Kalau sudah punya keluarga kenapa harus menjalin hubungan gelap?” tanya saya.

“Dentehhhh…… Abis elo nikah, bayang-bayang keindahan yang lo bayangkan sebelum nikah itu buyar. Apa yang dulu dianggap asik, jadi enggak asik. Apa yang dulu bikin semangat, jadi enggak bikin semangat lagi! Semuanya jadi hambar…. Lo butuh sesuatu yang bikin lo semangat lagi, seru lagi…..” kata Rian.

“Dan itu dengan mencari pacar gelap?”

“Betuuul sekali denteeh….”

“What if……. ternyata istri lo juga punya TTM-an?”

“Enggak mungkin denteeeh!! Enggak mungkinnnn!!! Gue tahu gimana istri gue, enggak mungkin dia punya TTM,” kata dia yakin.

“What if?” tanya saya, sekali lagi.

“What if ya?” dia memutar bola matanya. “Enggak apa-apa selama gue enggak tahu.” jawab dia.

“Jadi enggak apa-apa kalau istri lo punya selingkuhan asal elo enggak tahu, sama seperti enggak apa-apa elo punya selingkuhan asal istri elo enggak tahu?”

“Dentehhh….. gua tahu kebiasaan istri gue. Gue tahu kapan istri gue bohong. Dan gue bisa bikin istri gue enggak tahu kalau gue bohong,” kata Rian, sambil terkekeh.

“Elo enggak takut ketahuan dan keluarga lo hancur?”

“Enggak! Karena gue tahu gimana bikin ini enggak ketahuan….. kalaupun ketahuan dan hancur, gue tahu gimana memperbaikinya biar enggak begitu hancur….. bisalah diatur-atur, tinggal bagaimana ngaturnya aja biar enggak apes,” kata Rian sambil terbahak.

Ahhh…… Sedih, apakah Rian sudah lupa tujuan mulia dan sakral dari sebuah pernikahan yang harus saling melengkapi, membahagiakan, dan memuliakan pasangan. “Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia….” sekali lagi kalimat itu terngiang-ngiang dalam kepala saya.

Bagaimana bisa saling menolong dan membahagiakan apabila pernikahan diwarnai dusta dan kebohongan-kebohongan yang ditanam dan dipupuk?

Rian menunjukkan saya video putrinya yang mengenakan kaos berwarna merah jambu dan rok ballet putih susu. Bocah perempuan yang imut, manis, dan manja. “Gue takut anak gue digangguin cowok enggak bener…….. cowok yang enggak bener kayak bapaknya,” kata Rian, sendu.

Percakapan dengan Rian memunculkan satu konsep “Bola Pernikahan” di kepala saya. Ibarat sebuah permukaan bola yang bersih dan kinclong, pernikahan dapat terlihat bahagia dan baik-baik saja apabila dilihat dari suatu sudut tertentu. Namun, ketika bola diputar, entah ke atas, kebawah, ke samping kanan, dan samping kiri……… bola bisa terlihat kotor, penuh percak tanah, penuh sayat, dan kerikil yang menempel. Kita percaya pernikahan seseorang itu bahagia…… tanpa tahu apa yang tersembunyi di baliknya. Kebohongan apa yang ada di sana. Kesedihan dan luka seperti apa yang coba ditutupi seseorang. “Tepat sekaliiii dentehhh!! Begitulah pernikahan……. ” kata Rian.

Saya lalu pamit untuk lari sore.

*

Matahari bersinar terang, angin bertiup semilir. Sambil berlari kecil mengelilingi GBK, saya ingat percakapan dengan Angin. Nama aslinya Airlangga.

Suatu hari Angin berkata,”Gue terjebak. Enam tahun pacaran, akhirnya menikah. Tapi ternyata, pernikahan tidak berjalan sebagaimana yang gue harapkan……… mau cerai pun susah, karena anak gue masih kecil, baru berumur 1,5 tahun.” kata Angin.

Untuk melampiaskan kesedihannya, Angin jarang pulang ke rumah.”Apapun gue lakuin biar gue sibuk. Biar gue enggak harus lama-lama di rumah,” kata dia.

Entah di sudut mana, dalam hati, saya bersyukur belum menikah…… setidaknya untuk saat ini, saya tidak harus berhadapan dengan masalah pelik dalam bola pernikahan. Apakah segitu parah dan seramnya sebuah pernikahan?

Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh bahagia di baliknya. Itu mungkin terjadi pada pasangan Dd dan Nz.

Dd adalah pelukis, tinggal di Jogja. Nz adalah penulis, tinggal di Jakarta. Saya yang memperkenalkan mereka karena waktu itu keduanya curhat desperate nggak punya pacar padahal usia sudah sangat matang. Setelah dikenalkan, mereka rajin sms-an. Apapun perkembangan hubungan mereka, selalu disampaikan kepada saya.

Hingga suatu hari, saya mendapat telepon jarak jauh dari Nz. “Dd ngelamar gue!!” kata Nz.

“What?!!! Selamat yaaa!!!” kata saya sangat-sangat bahagia.

Pernikahan dilaksanakan di Bandung, kota kelahiran Nz. Pernikahan sederhana yang diadakan di rumah orang tua Nz. Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga terdekat. Dari foto yang saya lihat, Nz mengenakan rok panjang, kebaya encim wana putih dengan kerudung putih. Dd mengenakan kemeja putih dengan peci hitam. Kata Nz, “Dulu gue pernah mau nikah, tapi batal. Padahal undangan udah disebar. Gue enggak mau malu lagi….. gue trauma, makanya gue bikin pernikahan sederhana aja,” kata dia.

“Apapun sayang……… apapun yang membuat kamu bahagia,” kata saya beberapa minggu setelah pernikahan digelar.

Kami bertemu di sebuah kedai kopi di Jogja. Suasana kedai kopi temaram dengan cahaya lampu yang samar-samar. Saya lihat mata perempuan bernama Nz itu berkaca-kaca. Atau mata saya sendiri yang berair karena ikut merasakan kebahagiaan seorang teman?

Setelah perjumpaan itu, saya disibukkan dengan berbagai aktivitas mahasiswa….. seabrek tugas, persiapan KKN, ngerjain skripsi, bimbingan dosen, dan banyak hal lainnya…… saya hampir putus kontak dengan Nz.

Lalu, suatu hari saya mendapat pesan pendek dari Dd. “Den, Nz sakit……. jenguk ya. Dirawat di RS,” kata Dd.

Tergopoh-gopoh saya ke RS. Begitu memasuki kamar Nz, saya melihat perempuan kurus dengan rambut cepak duduk di atas kasur. Di bawah matanya ada cekung berwarna hitam. Bahunya melorot, tak ada semangat. Pandangan matanya kosong. Tangannya terkulai di atas kasur. Meski di kelilingnya ada suami, keluarga, dan teman-teman dekat, Nz terlihat memiliki dunianya sendiri. Dunia yang sulit dikenali. Sore itu, Nz terlihat begitu berbeda………

“Nz, ini gue…..” kata saya. Perempuan itu tak menanggapi. Tapi, saya melihat air mata mengalir di pipinya. Dia menangis. Saya juga menangis.

Dd mengajak saya ke luar kamar.

“Ada virus di otaknya. Sudah sebulan dia tidak kenal orang-orang. Tapi, di lubuk hatinya, dia pasti ingat kamu……” kata Dd. Kalimat yang membuat saya bertambah sedih dan patah.

Saya terisak, saya memikirkan betapa tidak bergunanya saya, betapa bodohnya saya karena tidak tahu bagaimana saya bisa menolong dia. Beberapa teman, memeluk saya, memberi ketabahan…..

Beberapa bulan kemudian, Nz sudah boleh pulang ke rumah. Dia tidak kembali seperti Nz yang dulu, tetapi dia menjadi Nz yang baru dan sungguh-sungguh berbeda.

Dd, begitu perhatian padanya. Terakhir kali saya bertemu mereka, Dd memasak untuk Nz. Dia membelai kepala Nz. Dia memijat kaki Nz. Mereka berdua menunjukkan foto rumah yang sedang mereka bangun. Rumah anti gempa di daerah Bantul. Terbuat dari beton yang dibangun menyerupai rumah teletubbies. “Nanti, rumahnya mau diisi banyak lukisan biar enggak monoton,” kata Dd yang dijawab senyum istrinya.

“Den, terimakasih ya udah ngenalin Nz ke aku…… aku bahagia dan sangat berterimakasih punya Nz di hidup aku,” kata Dd. Sebuah pernyataan yang sungguh di luar dugaan.

Ibarat bola pernikahan, apa yang terlihat susah, mustahil, enggak mungkin, dan penuh kesulitan pun, bisa penuh ketulusan, kebahagiaan, kesungguhan, di baliknya. Melalui pasangan Nz dan Dd saya belajar akan makna kasih sayang yang tidak berkesudahan……….

Matahari sore berwarna kuning keemasan.  Saya menegak air putih dan menyeka keringat di dahi.
Saya berhenti berlari untuk sementara waktu, …….

Ah Nz, tiba-tiba gue kangen lo…… <3 <3

Read more

Meski dicap sebagai penjajah, bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya turut serta menyatukan Indonesia. Demikian pandangan Dr Lilie Suratminto, ahli sastra dan kebudayaan Belanda dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Pada Sabtu (15/8) sore, dua hari menjelang HUT ke-70 RI, Lilie menelusuri makam-makam Belanda di Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang Nomor 1, Jakarta Pusat.
Pria yang kini menjabat Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma itu datang bersama tiga pencinta sejarah, yaitu Agni Malagina Ana (35), pengajar Sastra Tiongkok di UI; Syefri Luwis (30), peneliti sejarah BI; dan Arif Nur Alam, pegiat sosial. Bagi mereka, nisan bukan sekadar prasasti penanda kuburan. Nisan merupakan dokumen sejarah. Selain mengabadikan identitas diri, makam itu sekaligus menyimpan berbagai informasi historis tentang kondisi masyarakat saat si empunya hidup.
Pemakaman umum bernama Kerkhof Laan, yang sekarang menjadi Museum Taman Prasasti, berdiri pada 28 September 1795. Pada 1808, Kerkhof Laan mulai kebanjiran batu nisan pindahan antara lain dari Gereja Baru Belanda (Niuw Hollandsche Kerk) dan Gereja Sion. Tak jauh dari gerbang museum, terdapat batu nisan abad ke-16 dan ke-17 berukuran 1 x 2,2 meter.
Lilie berhenti di depan salah satu batu nisan. Jemarinya bergerak menelusuri ukiran simbol yang terpahat di sana. Pesan-pesan dalam batu nisan tertulis dalam bentuk verbal (inskripsi) dan nonverbal (ikonis).
Pada batu nisan nomor dua tertulis Tuan Pieter Janse van Hoorn. Lilie menjelaskan, Tuan Pieter merupakan ayah Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn, tokoh di balik proses renovasi gedung kantor Gubernur Jenderal VOC yang sekarang difungsikan sebagai Museum Fatahillah atau Museum Jakarta. Batu nisan yang sama juga dipakai Tuan Francois Tack, dikenal sebagai Kapten Tack, menantu Tuan Pieter. Kapten Tack tewas saat mengejar Untung Suropati, rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi bangsawan dan Tumenggung (Bupati) Pasuruan.
Tuan Pieter wafat pada 1682. Pada batu nisannya terdapat simbol bintang segi enam yang melambangkan unsur api dan air. ”Bintang segi enam berarti keseimbangan,” kata Lilie.
Relief pada batu nisan merupakan ekspresi latar belakang budaya komunitas pengguna pesan itu semasa hidup. Simbol juga menunjukkan status dan kedudukan seseorang.
Nisan yang ada di Taman Prasasti kebanyakan terbuat dari granit. Batu itu berasal dari Bukit Nadu, India Selatan.
Untuk menyatakan seseorang adalah pejabat yang berkuasa, pada nisan disebutkan kepangkatannya, seperti gouveneur-generaal, directeur generaal, eerste raad, gouverneur, dan schepenen. Untuk menyatakan seseorang bukan pejabat resmi, melainkan mempunyai profesi tertentu disebutkan, misalnya, koopman (saudagar), opperkoopman (saudagar senior), onderkoopman (saudagar junior), protokolist (protokol kenegaraan), dan drost (hakim wilayah).
Untuk jabatan dalam militer disebutkan commandeur, capitien militair, overste, dan vaandrig.
Pada batu nisan nomor 10 tertulis nama Eewout Verhagen. Semasa hidupnya dia adalah pengawas pembangunan gedung pemerintahan dan gereja yang dalam bahasa Belanda abad ke-17 disebut fabryck. Dia merancang dan memimpin pembangunan Portugeesche Buitenkerk (Gereja Sion) sebelum diangkat sebagai anggota kerkfabryck (dewan gereja) pada 1688-1694. Sebagai pengawas, dia harus mencermati setiap pembangunan agar berkualitas bagus.
Salah satu jenis pekerjaan yang cukup bergengsi pada zaman Belanda adalah heemraden, yakni pengawas tanggul dan perairan. Dia bertugas antara lain mengawasi Sungai Ciliwung agar tetap bersih. Orang Belanda yang ketahuan membuang limbah di sungai tidak pada waktu yang ditentukan akan dikenai denda. ”Sayangnya, zaman sekarang petugas perairan dianggap tidak penting. Warga Jakarta kurang memperhatikan lingkungan,” tutur Lilie.
Lilie lalu masuk ke dalam gerbang Museum Taman Prasasti. Dia berjalan di antara nisan, patung malaikat dan dewa-dewi, serta pepohonan yang tumbuh rimbun. Dari 4.600 batu nisan yang ada di Kerkhof Laan, yang tersisa kini berjumlah sekitar 1.500 buah.
Para tokoh sejarah yang makamnya masih ada di Taman Prasasti, antara lain istri Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne Raffles (meninggal pada 1814); pendiri sekolah kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Arsten/Sekolah Kedokteran Bumi Putra) Dr HF Roll (1867-1935); dan Soe Hok Gie, aktivis yang menentang kediktatoran Presiden Soekarno dan Soeharto.
Bagi Lilie, tokoh-tokoh yang dimakamkan di Museum Taman Prasasti memiliki peran membangun kota dan masyarakat Indonesia. Para pemimpin Belanda, misalnya, merencanakan pembangunan kota dengan menyusun rencana tata ruang wilayah. Contohnya pembangunan kawasan Menteng dan Kebayoran Lama tergolong cukup baik karena pemerintah waktu itu menata hunian, drainase, dan tempat pembuangan sampah.
Selain itu, sejumlah tokoh Belanda juga berperan menyatukan bangsa Indonesia, seperti Direktur STOVIA Dr HF Roll. Dia membela mahasiswa STOVIA, di antaranya R Soetomo, yang terancam dikeluarkan dari STOVIA karena mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Organisasi itu menjadi tonggak kebangkitan nasional. Dari organisasi Boedi Oetomo, warga pribumi sadar akan makna nasionalisme dan semangat perjuangan hingga akhirnya Indonesia merdeka.
Perjalanan sore itu berujung di depan dua peti mati di bagian tengah Museum Taman Prasasti. Salah satu peti mati pernah digunakan untuk membaringkan jasad Soekarno, presiden pertama RI. Peti yang satu lagi disiapkan untuk Mohammad Hatta, wakil presiden pertama RI. ”Bung Karno membenci penjajah, tetapi kenapa peti matinya ada di antara batu nisan Belanda?” tanya salah seorang pengunjung.
”Ini menunjukkan, setiap manusia (pada akhir hayatnya) harus berdamai dengan masa lalu. Penjajahan memang meninggalkan luka, tetapi melalui Konferensi Meja Bundar, bangsa Indonesia dan Belanda sepakat berdamai,” tutur Lilie.
Taman Prasasti merupakan salah satu taman pemakaman umum resmi tertua di dunia. Pemakaman ini awalnya dibangun di atas lahan 5,5 hektar. Karena perkembangan kota, luas museum ini menyusut menjadi 1,3 hektar. Bulan depan, Museum Taman Prasasti memasuki usia 220 tahun.
Secara terpisah, pengamat perkotaan Nirwono Joga menuturkan, saatnya menciptakan acara-acara menarik untuk menghidupkan museum ini.
(DENTY PIAWAI NASTITIE)
—-
Tulisan ini dimuat di harian KOMPAS Sabtu, 29 Agustus 2015, halaman 26
Read more

Transportasi Laut

Menjajal Rute Pelayaran Mudik
Oleh DENTY PIAWAI NASTITIE 
(Tulisan ini dimuat di koran KOMPAS, Selasa, 30 Jun 2015, hlmn 01, 15)
Wahyuti (54), ibu rumah tangga, menggelar tikar di lorong dek 5 Kapal Motor Kelud, Sabtu (20/6) malam. Berjejal di antara ratusan penumpang lain, Wahyuti dan cucunya yang berusia 5 tahun terlelap dengan alas tidur seadanya. Inilah salah satu wajah transportasi laut menjelang mudik Lebaran.

 

Pada Jumat siang, KM Kelud bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kapal buatan Jerman berkapasitas 1.906 penumpang ini disiapkan untuk melayani pelayaran mudik rute Tanjung Priok-Sekupang-Tanjung Balai Karimun-Belawan.

Sejak pukul 07.00, penumpang sudah mulai berjubel naik tangga. Mereka masuk ke kapal sambil memanggul barang bawaan, mulai dari tas, kardus, hingga karung. Tidak ketinggalan tikar dan kasur busa. Anak-anak menenteng boneka dan aneka mainan.

KM Kelud buatan 1998 itu terdiri atas 10 dek. Dek 1 adalah ruang mesin. Penumpang kelas ekonomi mendapat tempat di dek 2, 3, dan 4. Setiap dek kelas ekonomi diisi puluhan tempat tidur berlapis kasur busa. Penumpang membaur tanpa sekat.

Penumpang kelas 2 mendapat fasilitas berupa kamar dengan tiga tempat tidur tingkat (untuk enam orang). Setiap orang disediakan satu loker untuk menyimpan barang. Fasilitas lain berupa kamar mandi dan toilet umum yang berada di setiap lorong kamar.

Adapun penumpang kelas 1 mendapat fasilitas kamar dengan dua tempat tidur tingkat (untuk 4 orang), lemari pakaian, kamar mandi dalam, selimut, sandal jepit, televisi, dan alat mandi. Jika penumpang ekonomi mendapat makan yang disediakan dalam kotak styrofoam, makanan yang disajikan bagi penumpang kelas 1 dan 2 adalah prasmanan.

Dengan kecepatan 19 knot, KM Kelud bergerak melewati Kepulauan Bangka Belitung dan Pulau Lingga. Setelah menempuh perjalanan 27 jam, kapal merapat di Pelabuhan Batam. Kapal yang awalnya diisi 2.100 penumpang mendapat tambahan 1.200 penumpang. Mereka yang tidak kebagian tempat terpaksa bermalam di lorong, tangga, atau selasar kapal. Lima jam kemudian, kapal kembali berlayar.

Wahyuti naik kapal dari Pelabuhan Sekupang, Batam. Tujunnya adalah Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. ”Saya ingin menengok keluarga. Banyak keluarga tinggal di Medan,” kata perempuan yang setidaknya lima kali dalam setahun naik kapal ke Belawan itu.

Dermaga minim

Kapal lalu bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Balai Karimun di Pulau Karimun Besar. Di sejumlah daerah di Indonesia, masalah transportasi laut terjadi tidak hanya karena masalah keterbatasan kapal. Minimnya fasilitas dermaga juga menghambat pelayanan pelayaran. Keterbatasan fasilitas di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun membuat KM Kelud tidak bisa bersandar. Kapal itu berhenti 500 meter dari bibir dermaga.

Ratusan penumpang yang hendak turun di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun berdesakan di depan pintu dek 5. Mereka membawa barang-barang di dalam tas dan kardus besar. Penumpang menunggu kapal kecil datang untuk membawa mereka ke pinggir dermaga.

Sepuluh menit kemudian, dua kapal motor yang terbuat dari kayu datang. Setiap kapal mengangkut sekitar 100 penumpang. Melalui tangga besi, penumpang naik ke atas KM Kelud dengan penerangan seadanya. Keberadaan penumpang baru ini menambah sesak KM Kelud. Selanjutnya, ratusan penumpang di KM Kelud turun ke kapal kecil.

Kapten Slamet Wahyono, nakhoda KM Kelud, mengatakan, kapal tak bisa merapat di Pelabuhan Tanjung Balai Karimun karena dermaganya dibuat bukan untuk kapal besar bersandar. ”Hanya pas untuk kapal kecil dan kapal cepat,” katanya.

Meski fasilitas serba terbatas, sejumlah penumpang puas dengan peningkatan pelayanan KM Kelud. Eko (37), karyawan swasta, mengatakan, sikap awak kapal saat melayani penumpang jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun silam. ”Kalau dulu penumpang cuma dikasih nasi dengan potongan telur kecil, sekarang makanannya lebih enak,” kata Eko yang naik KM Kelud bersama istri dan tiga anaknya.

Sekarang, Eko dan penumpang ekonomi lainnya mendapatkan makanan berupa nasi, sayur, dan lauk. Penumpang juga mendapatkan tambahan asupan gizi dan vitamin berupa susu, biskuit, dan jus buah. Selain itu, keberadaan fasilitas penunjang berupa permainan anak, alat olahraga, ruang karaoke, serta warung dan kafe juga membuat penumpang bisa menikmati perjalanan. Dengan harga Rp 327.000 per tiket (untuk penumpang ekonomi), penumpang bisa pergi ke daerah tujuan dengan lebih nyaman.

Direktur Operasi PT Pelni Daniel E Bangonan mengatakan, penumpang kapal Pelni diperkirakan mencapai 779.194 orang atau naik 2 persen daripada tahun lalu sebanyak 763.916 orang. Untuk menghadapi arus mudik, Pelni sudah selesai merawat (naik dok) 21 kapal. Sementara perawatan empat kapal lainnya dijadwalkan seusai puncak keramaian mudik.
Kapten Slamet mengatakan, menghadapi arus mudik rute dan jadwal pelayaran KM Kelud diubah. Kalau biasanya kapal menempuh perjalanan Tanjung Priok – Sekupang – Tanjung Balai Karimun – Belawan – lalu kembali lagi ke Tanjung Priok, kini KM Kelud akan bergerak bolak-balik dari Pelabuhan Belawan menuju Batam sebanyak tiga kali sebelum kembali ke Tanjung Priok. 

“Perubahan rutenya mulai voyage ke-29 atau tepatnya sejak H-7 lebaran, tanggal 10 Juli 2015. Rute pelayaran diubah untuk mengatasi lonjakan penumpang dari Pelabuhan Sekupang, Batam, ke arah Pelabuhan Belawan,” kata Slamet. 

Slamet mengatakan, pada saat masa angkutan lebaran nanti KM Kelud diberi dispensasi angkut penumpang antara 15% – 20% dari kapasitas seat yang ada sebesar 2.000 penumpang. Meskipun ada penambahan penumpang, Slamet menjamin tidak akan membedakan perlakuan antara penumpang seat dengan penumpang non-seat. “Dengan perbaikan pelayanan yang dilakukan PT Pelni, kami berharap, penumpang bisa menikmati perjalanan,” kata dia.

Pelayaran Kompas adalah bagian dari menjajal kesiapan mudik….
Read more

Jam 6 sore berangkat ke Lembang, di jalan maceeeettt ceeett ceet…… sampai Lembang udah nyaris jam 12 malam. Aduuuhhh I am sooooo tired……… langsung makan, langsung tidur. Besoknya begitu lihat Landy semangat lagi. Ini beberapa snap shot. Prinsipnya kalau Landy gue bermasalah, gue turun dari mobil jepret-jepret terus jalan lagi…. haha sampai diteriakin drivernya karena gara-gara gue Landy kelompok gue

ketinggalan rombongan terus……

Tulisan lengkap Kompas >> http://travel.kompas.com/read/2015/01/11/132700327/Merasakan.Sensasi.Off-Road.di.Cikole

Read more

“Lo putus? Pacar lo itu, ganteng, baik, tapi bukan jodoh lo! Hahaha… ” kata dia sambil tertawa.
“Bangs*t kau!” umpatku.
Tawanya justru semakin kencang. “Sudahlah terima saja kenyataan kalau kalian tidak berjodoh! Hahaha..” kata dia di sela-sela tawanya.
Aku diam saja.
Melihat rupaku yang menunduk lesu, dia merangkulku. “Time will heal,” ujarnya.
Di ujung mataku, ada air mata yang mentes. Mungkin hanya satu tetes. Dia tidak mungkin melihat. Apalagi langit sudah gelap.
##
Percakapan di atas terjadi satu tahun lalu. Waktu itu kisah asmara ku baru saja berakhir. Saat teman-teman lain menghiburku, dia justru menjatuhkan mentalku. Tak peduli aku sedang berada dalam kondisi buruk. Dia menertawakan kesialan yang ku rasakan. Kadang dia malah mengolok-olok. Tidak pernah memberi ruang belas kasihan. Tidak pernah memasang muka simpati. Dia menertawakanku, bersama kesialanku. (Kamfreet!)
Meski gara-gara dia aku jadi sering mengumpat, aku tahu dia teman baik ku. Dia mengatakan apa yang harus dikatakan. Dia mengkritiku dengan pedas. Tetapi, dia tidak pernah berbohong. Dia teman yang tidak pernah menghiburku, tetapi bersama dia segala sesuatunya terasa mudah dilalui.
Pernah, suatu pagi kami berada di dua jalur berbeda seusai menempuh perjalanan panjang Jogja-Ganjuran. Ketika itu dia hendak naik bus ke arah kosnya di timur. Saya hendak naik taksi ke arah rumah di barat. Kami melambaikan tangan berpisah. Setelah itu aku berjalan mencari taksi.
Dalam perpisahan singkat itu, perasaan kesepian menyergapku. Itu adalah hari terakhir kami bertemu karena esoknya aku harus pindah ke kota lain. Aku tahu, dalam waktu yang cukup lama tidak akan bertemu dengannya lagi. Aku merasa berat berpisah. Bagaimana aku mengisi hari-hariku tanpa teman seperti dia nanti?
Saat merasa sendiri itu, tiba-tiba saja seseorang mengiringi langkahku. Saat aku menoleh, temanku itu sedang berjalan di sisiku. Dia tersenyum. “Aku antar kau cari taksi,” kata dia. Dan aku menangis. Di tengah kesialanku putus cinta, aku terharu memiliki teman baik yang setia. 
“Bagaimana dengan bus lo?” kataku.
“Gampanglah!” kata dia.
Pagi itu, mungkin dia tidak lihat mataku brebes mili karena matahari sedang bersinar silau.

##
Dua hari lalu, aku menelpon temanku itu. Sudah satu tahun kami tidak bertemu. Pembicaraan hanya sesekali melalui facebook dan whatsapp. Aku sibuk dengan pekerjaanku, begitu juga dia.
Tetapi, hari itu aku menelpon dia. Pembicaraan singkat.
Setelah bertanya mengenai beberapa hal, dia bertanya kepada siapa aku jatuh cinta? “Anjrt, kok lo bisa tanya gitu?” kataku.
“Foto terakhir lo keliatan pake make-up, gak usah ngibul sama gue. Semua keliatan,” kata dia.
Syit! Aku katakan aku tidak jatuh cinta pada siapa pun. Hanya beberapa waktu lalu aku berjumpa dengan pria manis.
Meski satu tahun sudah berlalu, ku akui pahitnya putus cinta kadang masih membekas terasa. Temanku itu seperti tahu perubahan suasana hatiku. Dari riang menjadi mendung saat berbicara mengenai kekasih hati.
“Apapun yang terjadi, jangan kembali ke masa lalu! Jauh-jauh kau sudah melangkah pergi, tinggalkan masa lalu!” jerit dia di ujung telpon sana.
Lagi-lagi dia menghantamku. “Brengs*k kau!” umpatku. Dan kami tertawa.
Malam ini aku merindukan temanku itu. Sedang apa dia? Masihkah dia peduli padaku?
Satu quote untuk temanku, terkadang hubungan yang kuat diawali dari pertemanan yang ditempa waktu dan perjalanan. Doaku semoga kau selalu sehat.
Salam dari aku.
Read more

Cerita 3. Dukungan Pelawak

Selama meliput pemilu presiden, menghadiri acara deklarasi dukungan pelawak terhadap pasangan calon presiden calon wakil presiden nomor urut 2, Joko Widodo – Jusuf Kalla, adalah hal yang paling menyenangkan. Tidak ada ketegangam. Hanya tawa dan canda. Hampir lupa kalau saya sedang tugas meliput :p :p

Acara diadakan di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Minggu (1/6). Toto Muryadi alias Tarzan, sebagai juru bicara Paguyuban Seniman Pelawak dan Artis Jakarta mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mengatakan, Jokowi-JK mewakili suara rakyat dan bisa memperhatikan seni tradisional dan lawak di Tanah Air.

Dalam acara itu, hadir antara lain Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, pelawak Srimulat Tri Retno Prayudati alias Nunung, Kabul Basuki alias Tessy, Sudarmadji alias Doyok, Kadir, dan Mamiek Prakoso, serta kader PKB sekaligus pemain sinetron Krisna Mukti dan model Arzeti Bilbina.
 
Suasana deklarasi dipenuhi guyonan. Saat Tessy dan Doyok cs di atas panggung, Tarzan tiba-tiba naik dan seolah-olah bicara dengan seseorang di telepon selulernya. ”Halo, Pak Mahfud? Pak Mahfud? Maaf, Pak. Saya tetap pilih Jokowi-JK, Pak. Tidak bisa pilih yang lain,” katanya. 
Saat ditanya dengan siapa dia bicara, Tarzan mengatakan, dia bicara dengan Mahfud, ketua rukun tetangga di rumahnya. (LOOOL)
Muhaimin juga menimpali, seolah-olah bicara dengan seseorang lewat teleponnya. ”Halo, Pak Susilo? Pak Susilo ya? Maaf, Pak, pilihan saya tetap ke Jokowi-JK,” ujarnya, seraya menjelaskan, Susilo yang dimaksud adalah tetangganya di Ciganjur.
LOOOOOL…… benar-benar guyonan ala srimulat!!
Oya, siang itu entah kenapa saya  melihat ada yang berbeda dari Mamiek Prakoso. Tidak tahu feeling atau apa, saya merasa kok sepertinya MamieK akan ‘pergi’ ya. Hmmm….
Feeling itu saya dapatkan karena berbeda dengan kawan-kawannya, Mamiek terlihat lebih bijaksana. Dia memberi banyak masukan untuk kemajuan Indonesia. Walaupun masukannya itu ditanggapi dengan candaan oleh teman-temannya, tetapi Mamiek terlihat berbeda dan agak pucat.
Dalam deklarasi itu, Mamiek menyatakan ingin perubahan untuk Indonesia. Selama ini seniman tradisional tidak pernah diperhatikan. Buktinya ludruk, ketoprak, lenong, tidak mendapat perhatian cukup.  “Kita punya harapan supaya Indonesia hebat dan seni tradisi diperhatikan,” jelasnya.
Beberapa hari lalu Mamiek betul-betul pergi. My deep condolence for our loss. Semoga harapan Mamiek bisa menjadi kenyataan. Amiin.
Salam ngelawak!
Read more