Masih berduka karena kepergian Eyang Uti beberapa hari lalu, Eyang Kakung berkata, “Memiliki pasangan yang sejalan itu sulit, harus berteman setia sejak muda.” Mata Eyang Kakung masih basah. Suaranya masih bergetar. Dalam beberapa kesempatan Eyang Kakung masih menangis.
*
Kata-kata Eyang Kakung mengingatkan saya pada sebuah film Korea berjudul 3-Iron karya Kim Ki Duk. Walau mengambil tema populer: kisah cinta dua manusia, namun 3-Iron menentang estetika gambar dan cerita yang kebanyakan beredar di masyarakat. Kim Ki Duk menampilkan wajah Korea yang terasing, kesepian, berperilaku aneh -namun lucu- dalam karakter tokoh utama-nya Tae-Suk (diperankan oleh Jae-Hee).
Tae-Suk memiliki kebiasaan yang aneh. Kebiasaannya itu secara tak sengaja mempertemukannya dengan Sun-Hwa (diperankan oleh Lee, Seung-yeon). Berdua lalu mereka menjalankan kebiasaan aneh tersebut, yakni masuk ke rumah-rumah kosong untuk menumpang hidup (makan, tidur, menonton TV, mencuci baju, memperbaiki barang rusak, dsb). Pola hidup yang mereka lakukan terkesan kurang kerjaan, namun dari situlah kita bisa mempelajari karakter manusia dalam menghadapi berbagi kejadian hidup yang kadang gelap, kasar, dan ironis.
Kim Ki Duk membawa penonton menyaksikan adegan-adegan yang mengejutkan, sedih, getir, pahit, tanpa harus membuat penonton memalingkan wajah. Hebatnya, Kim Ki Duk juga memberikan kesan manis secara tak berlebihan sehingga sangat pas untuk dikecap.
Akhir kisah adalah hal yang sulit terduga, namun cerita 3-Iron adalah kesatuan yang memiliki kekuatan dalam tiap bagiannya. Pada akhir filmnya, Kim Ki Duk mengatakan “It’s hard to tell that the world we live in is either a reality or a dream,” tapi saya lebih suka menggarisbawahi bagaimana, seperti kata Eyang Kakung tadi, bahwa memiliki pasangan yang sejalan harus dimulai dengan berteman setia sejak muda.
Bagimana Tae-Suk dan Sun-Hwa menjalankan pola kehidupannya yang aneh secara bersama-sama telah menumbuhkan benih cinta di antara mereka. Walaupun sepanjang film berlangsung kedua tokoh utama ini hampir tak pernah berbicara, namun pesan dapat disampaikan dengan apik melalui gerak-gerik mereka yang penuh arti. Kesetiaan, saling menolong, saling menghibur, nampaknya menjadi pengikat mereka untuk menumbuhkan bibit cinta. Bibit cinta ini membuat mereka berhasil menghadapi berbagai kepahitan dan kegetiran hidup yang penuh air mata, darah, dan luka.
*
Kesetiaan Eyang Kakung dan Eyang Uti juga mengingatkan saya pada sebuah film terkenal karya anak Negri, Habibie-Ainun. Menceritakan tentang perjalanan hidup mantan presiden RI Habibie, dan istrinya, Ainun, membuat film ini begitu terkenal di tanah air. Setelah melalui berbagai perjuangan hidup, Ainun harus tutup usia. Meninggalkan Habibie yang begitu mencintainya.
Adegan Habibie mencium jenazah Ainun sama seperti adegan Eyang Kakung mencium jenazah Eyang Uti. Bedanya, tidak seperti Habibie, Eyang Kakung bukan mantan presiden RI, dan tidak seperti Ainun, Eyang Uti bukan dokter (melainkan bidan). Bedanya lagi, sudah bertahun-tahun Ainun melawan penyakit hingga tutup usia, sedangkan Eyang Uti meninggal hanya berselang beberapa hari sejak pembuluh darah di otaknya pecah.
Di depan jenazah Eyang Uti, Eyang Kakung berkata, “Dulu, pertama kali, aku melihat Eyang Uti-mu di depan sekolah. Kami telah melewatkan suka-duka bersama. Bagimana nasibku setelah Eyang Uti tak ada….” katanya dengan derai air mata yang tumpah membasahi pipi dan wajahnya. Eyang Kakung lalu menyentuh wajah Eyang Uti, dan mecium wajah itu.
Ya, sama seperti Eyang Kakung bertemu Eyang Uti, Habibie pun bertemu Ainun pertama kali di sekolah. Awalnya Habibie tidak terlalu peduli pada Ainun, namun seiring berjalannya waktu pertemanan mereka berlanjut. Waktu berselang, akhirnya mereka menikah dan memiliki anak. Puluhan tahun hidup bersama namun akhirnya maut harus memisahkan.
*
Bagi saya, yang membuat kisah 3-Iron dan Habibie-Ainun mirip dengan kisah Eyang Kakung dengan Eyang Uti, bukan pada bagaimana mereka bertemu, siapa mereka, atau apa yang mereka lakukan; namun lebih kepada bagaimana mereka menjalankan kehidupan mereka dengan saling setia, saling menolong, saling menghibur, komunikasi, dan juga jujur. Di jaman era modern seperti ini, dua hal terakhir justru menjadi hal yang paling sulit ditegakkan. Sehingga seperti kita tahu, akhirnya banyak cerita cinta yang berakhir sementara.
“Jaman sekarang mana bisa jatuh cinta dan berkomitmen pada satu orang, dan terus setia pada satu orang tersebut….” kata saudara saya suatu ketika. Hmmmm.
Saran salah seorang teman saya, lulusan psikologi UPH (Universitas Pelita Harapan), berikut ini mungkin bisa dijadikan masukan berharga. Katanya, “Blaming, atau menyalahkan lingkungan, diri sendiri, maupun orang lain menjadi rancun perusak hubungan. Sebuah hubungan bisa berjalan dengan baik bila kedua belah pihak bisa bisa mengutarakan pendapat melalui komunikasi yang baik. Tidak saling menuntut, tidak saling menyalahkan, melainkan menerima masukan dengan baik. Kita tidak bisa mengubah orang lain, hanya mampu mengelola diri sendiri. Semua dimulai dari diri sendiri, dan sekali lagi,… tidak ada blaming.” Masukan ini berlaku tidak hanya untuk hubungan asmara, namun untuk segala jenih hubungan.
So, ingin mengelola hubungan ala Habibie-Ainun, ala Tae-Suk dan Sun-Hwa, atau ala Eyang Kakung-Eyang Uti saya? Mungkin, masukan dari teman saya itu bisa dijadikan rujukan. (DPN, 2013).