Gender

Penghilangan paksa oleh negara bukan sekadar peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang telah menghapus jejak seseorang dari kehidupan, tetapi juga menghapus arah bagi keluarga yang ditinggalkan. Di balik setiap nama yang dihilangkan secara paksa, terdapat perempuan-perempuan yang terus mencari dan menunggu anggota keluarga yang hilang agar segera pulang. Mereka juga berjuang agar dapat melanjutkan kehidupan.

Nurhayati (59) masih membawa kenangan tentang ayahnya, Bachtiar, yang tak pernah pulang setelah peristiwa kerusuhan pecah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Dokumen Komnas HAM menyebutkan, tragedi Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu luka terdalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam tragedi itu, sebanyak 79 orang menjadi korban, 55 korban luka dan 23 meninggal.

Saat terjadi, Nurhayati masih berusia 19 tahun. Malam itu, ia mendengar letusan senjata api di sekitar rumahnya. Banyak orang berlari untuk menyelamatkan diri. Rumah-rumah dibakar oleh orang tak dikenal. Keesokan harinya, Nurhayati berusaha mencari sang ayah yang sejak malam tidak terdengar kabarnya. Namun, pencariannya tak membuahkan hasil. Hingga kini, ia tak pernah lagi bertemu ayahnya.

Kehilangan sang ayah meninggalkan trauma, mengubah arah hidup, sekaligus membawa stigma berkepanjangan bagi Nurhayati dan keluarganya. Sang ibunda, yang kala itu kerap diteror dan diintai aparat tak dikenal, terpaksa menjual rumah dan melarikan diri ke Padang. ”Orang datang, tanya ’Bapak di mana’, entah siapa. Ibu jadi trauma,” kenang Nurhayati, dalam Diskusi dan Pernyataan Bersama Kongres ”Perempuan dalam Penghilangan Paksa di Indonesia” di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Pengungsian itu bukan akhir dari penderitaan. Di tanah kelahiran, keluarga Nurhayati justru menghadapi stigma dan penolakan dari keluarga dan kerabat. Dalam situasi keluarga yang kehilangan figur ayah, ibunda Nurhayati harus menjadi tulang punggung sekaligus pencari keadilan dengan mencari suaminya yang hilang. Demi bertahan hidup, sang ibu harus bekerja serabutan, seperti menjadi asisten rumah tangga.

Adapun bagi Nurhayati, penghilangan paksa ayahnya berarti juga hilangnya kesempatannya untuk menjalani hidup normal. Sesaat setelah peristiwa terjadi, beasiswa pendidikan Nurhayati dicabut dan ia sulit dapat pekerjaan. Cap sebagai ”Lulusan Tanjung Priok” terus melekat seperti kutukan. ”Sudah lima kali tes kerja, tapi begitu dilihat ijazah saya dari Tanjung Priok, langsung ditolak,” katanya.

Tak hanya mengalami stigma dan diskriminasi, penghilangan paksa anggota keluarga dalam tragedi kelam juga menciptakan trauma lintas generasi dan mengakar dalam dalam ingatan kolektif keluarga. Perasaan trauma dan takut berbicara dengan orang asing, hingga sikap menutup diri jamak ditemui di antara keluarga korban. ”Dulu ngomong aja takut, kalau ngomong salah takut kami kami diculik,” ujarnya.

Adapun bagi Nur Aini (50), kehidupannya berubah total sejak 1991. Saat itu, usianya belum genap 20 tahun ketika ayahnya dihilangkan secara paksa di tengah konflik antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejak hari itu, ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa mendadak menjadi segalanya, yakni mencari suami yang tak pernah kembali, menjadi tulang punggung keluarga bagi sembilan anak yang harus bertahan hidup, dan menerima stigma dan diskriminasi dari tetangga dan keluarga.

”Saya melihat ibu saya harus kuat di depan anak-anak, padahal batinnya tidak kuat. Dia menangis diam-diam, lalu besoknya bangun lagi untuk bekerja, mencari makan, mencari kabar ayah,” ujar Nur.

Beban berlapis itu, pelan-pelan juga berpindah ke pundak Nur. Ia kehilangan masa mudanya karena harus menggantikan peran ibu di rumah, yakni mengurus adik-adik, memastikan mereka tetap makan dan sekolah, sambil menahan rasa takut setiap kali ada di dekat rumah.

Di masa konflik, perempuan Aceh hidup dalam dilema yang nyaris tanpa ruang aman. Di satu sisi, mereka bisa dicurigai sebagai simpatisan TNI jika menolak membantu kelompok bersenjata Aceh. Di sisi lain, mereka bisa dituduh ”orang GAM” oleh aparat jika terlihat terlalu akrab dengan pihak lawan.

”Kadang hanya karena memberi sebatang rokok (kepada anggota GAM), malamnya orang itu hilang. Masyarakat sipil terjepit, tak tahu mana yang bisa dipercaya,” ujarnya.

Stigma menjadi luka tambahan yang sulit sembuh. Di masa itu, keluarga korban kerap dicap sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh para tetangga dan aparat. Banyak keluarga korban dikucilkan oleh para tetangga, bahkan keluarga sendiri. ”Adik saya yang masih SD diejek, ’kamu anak GPK’. Sampai sekarang trauma itu masih membekas,” ucap Nur.

Hingga kini, jumlah total kasus penghilangan paksa belum dapat dipastikan. Kontras mencatat terdapat 32.774 orang hilang dalam peristiwa 1965–1966, 1.935 orang hilang selama periode Daerah Operasi Militer di Aceh (1989–1998), dan 23 orang hilang dengan hanya 9 orang yang telah kembali pada peristiwa 1997–1998. 

Penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM juga menemukan terjadinya penghilangan orang secara paksa dalam peristiwa-peristiwa lain, yaitu Penembakan Misterius 1982–1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, Timor Timur 1999, Wasior 2001-2002, dan Timang Gajah 2001. 

Di luar peristiwa pelanggaran berat HAM, penghilangan paksa terjadi di berbagai peristiwa, termasuk Sentani 1970, peristiwa 27 Juli 1996, dan tragedi Biak Berdarah 1998. Peristiwa penghilangan paksa terus terjadi, data terbaru Kontras menerima 44 laporan orang hilang terkait demonstrasi pada akhir Agustus 2025.

Dalam peristiwa penghilangan paksa, perempuan keluarga korban, seperti Nurhayati dan Nur Aini kerap memikul peran berlapis, yakni merawat luka pribadi dan memperjuangkan keadilan. Selama bertahun-tahun mereka berusaha mencari anggota keluarga yang hilang sambil terus bertahan hidup. Kini, sebagian besar saksi dan korban peristiwa itu telah tiada. Hanya segelintir tersisa, termasuk Nurhayati dan Nur Aini, yang terus menjaga ingatan agar sejarah tak dikubur dalam diam.

Selama dua hari, pada Rabu dan Kamis, 15 dan 16 Oktober 2025, Kontras bersama bersama IKOHI dan AJAR dan jaringan keluarga korban penghilangan paksa menggelar serangkaian kegiatan yang berpuncak pada Kongres Perempuan dalam Penghilangan Secara Paksa. Dalam kongres itu, perempuan korban dan keluarga korban penghilangan paksa di Indonesia menyuarakan sembilan tuntutan kepada negara.

Tuntutan itu, mulai dari ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan penyesuaian KUHAP agar sejalan dengan prinsip HAM dan CEDAW, hingga penegakan keadilan dan perlindungan bagi korban. 

Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jane Rosalina, Kongres Perempuan mempertemukan para perempuan dari berbagai daerah dan peristiwa pelanggaran HAM berat, mulai dari Aceh, Timor Timur, tragedi 1965, hingga 1998. ”Kongres ini bertujuan menyerukan pernyataan sikap bersama terkait tuntutan perempuan dalam perlindungan dari praktik penghilangan paksa,” ujar Jane.

Ia menekankan bahwa hingga kini negara belum menuntaskan pelanggaran berat tersebut secara komprehensif, sementara para perempuan korban terus menanggung beban berlapis. Jane juga menyesalkan perspektif perempuan yang masih jarang muncul dalam penyelesaian kasus-kasus penghilangan paksa. Padahal, perempuan menjadi kelompok yang sangat terdampak.

Ia mencontohkan, banyak istri korban 1998 yang kehilangan hak-hak sipil seperti status perkawinan, waris, hingga akses ekonomi karena negara belum mengatur status hilang dalam konteks pelanggaran HAM berat.

Jane juga menyoroti berulangnya praktik penghilangan orang, termasuk kasus mahasiswa yang hilang baru-baru ini. Menurut dia, hal itu terjadi karena praktik impunitas masih mengakar. ”Negara tidak menuntut pelaku, tidak mereformasi sektor keamanan, dan tidak menjamin ketidakberulangan,” ujar Jane.

Selama tidak ada efek jera, negara akan terus terjebak dalam lingkaran kesalahan yang membuat penghilangan paksa terus berulang. Dan di balik setiap nama yang dihilangkan paksa, ada perempuan-perempuan yang bertahan, menjadi ibu, pencari nafkah, dan penjaga gerbang keadilan. (Kompas/Denty Piawai Nastitie)

Read more

Selama ini, perempuan dalam jaringan terorisme kerap dipandang hanya sebagai korban atau pelaku. Padahal, ada sisi lain yang jarang terlihat, perempuan juga bisa menjadi agen perubahan. Inilah kisah para istri mantan narapidana terorisme yang berjuang melawan stigma, membesarkan anak-anak di tengah trauma, sekaligus mencegah keluarga mereka kembali terjerat paham radikal.

Bagi Putri Ariasti (44), ingatan paling mencekam itu terjadi tepat pada 17 Agustus 2016, sembilan tahun silam. Hari kemerdekaan yang semestinya dirayakan dengan sukacita justru berubah menjadi titik kelam dalam hidupnya. Pagi itu, di tengah semarak karnaval dan kibaran bendera Merah Putih, sebuah barakuda berhenti di depan rumahnya.

Beberapa pria berbadan tegap lengkap bersenjata turun dengan langkah cepat dan langsung menggeledah rumah. Putra sulungnya, Sultan, yang kala itu berusia 12 tahun, berlari sambil menangis ketakutan. Pada hari yang sama, Detasemen Khusus 88 Anti Teror menangkap suaminya, Munir Kartono (42), atas dugaan keterlibatan kasus terorisme.

Sejak detik itu, Putri tidak hanya kehilangan suami yang digelandang aparat, tetapi juga seolah kehilangan separuh hidupnya. ”Saya gemetar. Di satu sisi ingin mengejar suami saya, di sisi lain anak-anak saya menangis ketakutan,” kenang Putri dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya di Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/8/2025).

Pascapenangkapan, stigma langsung menghantam Putri. Ia, yang selama ini dikenal sebagai guru TK, tiba-tiba dipandang curiga. Gosip beredar ke mana-mana, dari tuduhan menyembunyikan uang hasil kejahatan, hingga cibiran bahwa keluarganya bagian dari jaringan teror. Selama seminggu, Putri tidak keluar rumah karena malu. Apalagi, ayahnya sempat marah besar dan tidak mau bicara dengan Putri.

Munir, suami Putri, kemudian divonis 5 tahun penjara. Ia terbukti mendukung pendanaan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta pada Juli 2016. Saat itu, Munir menjadi penggalang dana andal untuk mendukung aksi teror, kegiatan terlarang yang ia tutupi dari orang lain, termasuk istri dan keluarganya.

Sembilan tahun berlalu. Munir telah bebas sejak 2020 setelah menjalani 3 tahun 8 bulan masa hukuman. Tetapi, trauma masih menghantui Putri dan keluarga. Selain itu, Putri juga sering merasa malu dan tidak percaya diri untuk bergaul. Label sebagai istri eks narapidana teroris mengganggu pikirannya.

Namun, Putri tak larut dalam keterpurukan. Sejak suaminya menjalani hukuman penjara, Putri berjuang menata ulang hidup bersama empat anaknya. Dengan bantuan modal dari keluarga, ia membuka warung di dekat rumah yang menjadi titik balik hidupnya.

Selain menopang ekonomi keluarga, warung menjadi bukti resiliensi menghadapi tekanan psikologi, ekonomi, dan sosial. Perlahan, tetangganya kembali menyapa, bahkan membantu keluarga ini melanjutkan kehidupan.

Pengalaman pahit menjadikan Putri lebih waspada. Bagi Putri, perjuangan terbesar bukan sekadar menghadapi stigma, melainkan menjaga anak-anaknya agar tidak ikut terseret pada jejak kekerasan. Putri berusaha menekankan nilai-nilai sederhana, seperti tanggung jawab, saling menghormati, dan terbuka pada perbedaan. Ia juga mendampingi anak-anak saat stigma menimpa. Contohnya, ketika si sulung sempat minder dan enggan sekolah karena ayahnya dipenjara, Putri memotivasi. Hasilnya, sang anak justru meraih juara umum di sekolah.

Putri mengaku sempat menutup diri dari kegiatan keagamaan karena takut dicurigai. Namun, kini, ia memilih jalan tengah, yakni tetap beribadah dengan tenang, tanpa terjebak pada ajakan eksklusif.
Putri dan suaminya juga memutuskan agar anak-anak tidak dimasukkan ke sekolah eksklusif berlabel agama tertentu. Mereka memilih sekolah negeri agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang beragam.

Kalau dulu Putri dikenal sebagai guru, sekarang ia memilih jadi pendidik untuk keluarga sendiri. Dari rumah, ia menjaga agar anak-anak tidak mengulang kesalahan ayahnya dan masuk dalam lingkungan kekerasan. Bukan hanya kepada anak-anak, Putri juga tidak pernah bosan mengingatkan suami agar tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama.

Sementara itu, Munir memilih bersikap terbuka kepada anak-anaknya. ”Saya jelaskan bahwa saya pernah melakukan kesalahan, dan saya menanggung akibatnya. Saya tidak ingin anak-anak mengalami kejadian serupa,” kata Munir, yang kini telah meninggalkan ideologi radikal dan kembali aktif berkegiatan di tengah masyarakat.

Penyangga keluarga

Pengalaman traumatis juga dialami Nurwahidah (38), istri eks narapidana terorisme yang selama lebih dari satu dekade berjuang mempertahankan keluarga, mendidik anak-anaknya, sekaligus menjadi penyangga agar lingkaran radikalisme tidak terus berulang di dalam keluarga.

Nurwahidah bertemu suaminya ketika sama-sama kuliah di Jakarta. Sang suami, sejak masa SMA, sudah mengenal tokoh agama yang menyelipkan ajaran jihad dalam setiap pertemuan keagamaan. Jaringan pertemanan dan lingkungan makin menguatkan keyakinan suaminya untuk masuk dalam tindakan kekerasan.

Sebagai istri muda, Nurwahidah kerap menentang keinginan suaminya untuk ikut berkegiatan di lingkaran tersebut. Namun, suaminya tidak mendengarkan masukan dari Nurwahidah. Sang suami tetap aktif di jaringan radikal.

Puncaknya, pada Juni 2013, suaminya ditangkap Densus 88 Anti Teror di Poso, Sulawesi Tengah, wilayah yang kala itu dikenal rawan konflik. Selama suaminya menjalani hukuman penjara, Nurwahidah menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan ancaman langsung, tetapi tetap berusaha menjaga keluarga tetap utuh.

Kini, suaminya telah bebas dan menyatakan setia ke NKRI. Nurwahidah bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di tengah hidup yang serba menantang, Nurwahidah menemukan makna baru dalam hidupnya, yakni membesarkan anak-anak dengan pemahaman agama yang damai dan moderat. Ia percaya, pengalaman getirnya bisa menjadi pelajaran bagi perempuan lain agar tidak terjebak dalam siklus yang sama.

Sementara itu, Nuraeni (38) menghadapi kenyataan pahit bahwa sang suami terlibat dalam jaringan kekerasan setelah sang suami ditembak mati oleh Densus 88 Anti Teror pada Oktober 2012. Selama ini, Nuraeni tidak mengetahui kegiatan sang suami.

Jaringan terorisme

Nuraeni hanya mengetahui suaminya sering pergi ke luar kota. Setelah penembakan itu, Nuraeni baru mengetahui bahwa suaminya terlibat dalam jaringan terorisme.

Penembakan itu bukan hanya merenggut nyawa suaminya, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya dan anak-anak. Apalagi, ia tidak diperkenankan melihat jenazah suami untuk terakhir kalinya.

Di tengah luka kehilangan sang suami, Nuraeni berusaha berdiri tegak. Ia bertahan dengan berjualan makanan ringan di pasar dan menjadi staf TK. Kini, Nuraeni sudah menikah lagi. Bersama suami dan anak-anaknya, ia tinggal di Kabupaten Bima, NTB.

Nuraeni menyadari bahwa masa depan anak-anaknya harus diselamatkan dari jejak masa lalu ayah mereka. Untuk memutus mata rantai kekerasan dari tingkat keluarga, Nuraeni memilih jalur pendidikan. Ia percaya bahwa dengan belajar, membaca, dan bergaul sehat, anak-anak bisa lepas dari bayang-bayang kekerasan.

”Saya perhatikan, mereka yang terlibat dalam kelompok keras itu tidak suka membaca. Mereka hanya lulusan SD, SMP, atau paling tinggi SMA. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya setinggi-tingginya agar mereka bisa punya banyak bacaan dan tidak terlibat dalam jaringan kekerasan,” kata Nuraeni, dalam wawancara daring, Kamis (14/8/2025).

Dari seorang istri yang dulu tidak tahu-menahu soal pemahaman radikal, kini ia menjadi sosok yang aktif menasihati, mengarahkan, dan memastikan generasi berikutnya tidak mengulang jejak serupa. Selain memastikan pendidikan untuk anak-anaknya, Nuraeni juga kerap mengajak anak-anak dari keluarga radikal di lingkungan rumahnya untuk ke sekolah.

”Dengan mengajak anak-anak sekolah, saya berharap mereka tidak terpengaruh ajaran radikal dari orangtua mereka,” katanya.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia Siti Darojatul Aliah menegaskan, perempuan dalam lingkaran terorisme menempati posisi yang kompleks, yakni sebagai korban, pelaku, sekaligus agen perubahan.

”Perempuan sebagai pelaku juga sebenarnya merupakan korban indoktrinasi dan perekrutan yang berbeda-beda antara kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan ISIS,” kata Siti, di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 65 perempuan divonis terkait pidana terorisme dari tahun 2000 hingga 2023. Sebelumnya, pada periode 2016-2020, tercatat 32 perempuan diduga terlibat jaringan terorisme, meningkat dari 8 perempuan pada 2002-2015. Keterlibatan perempuan ini sering kali melalui modus operandi sederhana, seperti bom bunuh diri atau serangan pisau, bahkan dilakukan bersama anak-anak.

Siti menjelaskan, dalam jaringan JI, perempuan direkrut bukan untuk aksi kekerasan, melainkan diposisikan sebagai istri para anggota. Mereka kerap tidak mengetahui aktivitas suami, bahkan banyak yang baru menyadari setelah terjadi penangkapan oleh aparat. Sebaliknya, pada jaringan ISIS, perempuan justru menjadi bagian aktif, mendukung bahkan mendorong suami mereka dalam aksi.

Dampak keterlibatan ini, lanjutnya, sangat besar bagi keluarga. Saat suami atau ayah ditangkap aparat, banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma dan kehilangan figur suami atau ayah sebagai tulang punggung keluarga, hingga tekanan sosial dari masyarakat.

Dalam banyak kasus, perempuan yang ditinggalkan harus menanggung peran berlipat ganda, yakni sebagai ibu, bapak, dan individu pencari nafkah. Selain itu, stigma dan diskriminasi juga menjadi beban berat.

Anak-anak kerap mengalami perundungan, sedangkan perempuan yang ditinggalkan harus berpindah-pindah tempat tinggal karena penolakan masyarakat. Kondisi ini berpotensi membuat mereka kembali rentan terhadap ideologi radikal.

Siti juga menyoroti lemahnya program deradikalisasi bagi perempuan. Ia menilai, selama ini pendekatan pemerintah dan lembaga terkait masih berpusat pada sosok laki-laki. Sementara perempuan kurang diperhatikan. Padahal, perempuan punya posisi sentral dalam mencegah dan menanggulangi kasus terorisme.

Untuk itu, Siti mendorong agar program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme lebih sensitif terhadap isu jender serta melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan narasi yang lebih adil terhadap perempuan.

Menurut dia, edukasi di tingkat keluarga dan komunitas harus diperkuat, termasuk memberi peran lebih besar kepada perempuan sebagai agen kontra-narasi. ”Perempuan adalah garda terdepan dalam mencegah ideologi kekerasan. Kalau mereka berdaya, mereka bisa menjadi benteng terkuat bagi keluarga dan masyarakat untuk mencegah paham radikal berkembang,” ujar Siti.

Kisah Putri, Nurwahidah, dan Nuraeni memperlihatkan bahwa di tengah stigma dan luka masa lalu, mereka memilih untuk tetap berdiri, menjaga keluarga agar tak terjerat lingkar yang sama. Dari ruang-ruang domestik yang sederhana, para istri eks narapidana terorisme membuktikan bahwa melawan terorisme bisa dimulai dari lingkar paling kecil, yakni keluarga. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Read more