journalism

Penghilangan paksa oleh negara bukan sekadar peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang telah menghapus jejak seseorang dari kehidupan, tetapi juga menghapus arah bagi keluarga yang ditinggalkan. Di balik setiap nama yang dihilangkan secara paksa, terdapat perempuan-perempuan yang terus mencari dan menunggu anggota keluarga yang hilang agar segera pulang. Mereka juga berjuang agar dapat melanjutkan kehidupan.

Nurhayati (59) masih membawa kenangan tentang ayahnya, Bachtiar, yang tak pernah pulang setelah peristiwa kerusuhan pecah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984. Dokumen Komnas HAM menyebutkan, tragedi Tanjung Priok 1984 sebagai salah satu luka terdalam dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam tragedi itu, sebanyak 79 orang menjadi korban, 55 korban luka dan 23 meninggal.

Saat terjadi, Nurhayati masih berusia 19 tahun. Malam itu, ia mendengar letusan senjata api di sekitar rumahnya. Banyak orang berlari untuk menyelamatkan diri. Rumah-rumah dibakar oleh orang tak dikenal. Keesokan harinya, Nurhayati berusaha mencari sang ayah yang sejak malam tidak terdengar kabarnya. Namun, pencariannya tak membuahkan hasil. Hingga kini, ia tak pernah lagi bertemu ayahnya.

Kehilangan sang ayah meninggalkan trauma, mengubah arah hidup, sekaligus membawa stigma berkepanjangan bagi Nurhayati dan keluarganya. Sang ibunda, yang kala itu kerap diteror dan diintai aparat tak dikenal, terpaksa menjual rumah dan melarikan diri ke Padang. ”Orang datang, tanya ’Bapak di mana’, entah siapa. Ibu jadi trauma,” kenang Nurhayati, dalam Diskusi dan Pernyataan Bersama Kongres ”Perempuan dalam Penghilangan Paksa di Indonesia” di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Pengungsian itu bukan akhir dari penderitaan. Di tanah kelahiran, keluarga Nurhayati justru menghadapi stigma dan penolakan dari keluarga dan kerabat. Dalam situasi keluarga yang kehilangan figur ayah, ibunda Nurhayati harus menjadi tulang punggung sekaligus pencari keadilan dengan mencari suaminya yang hilang. Demi bertahan hidup, sang ibu harus bekerja serabutan, seperti menjadi asisten rumah tangga.

Adapun bagi Nurhayati, penghilangan paksa ayahnya berarti juga hilangnya kesempatannya untuk menjalani hidup normal. Sesaat setelah peristiwa terjadi, beasiswa pendidikan Nurhayati dicabut dan ia sulit dapat pekerjaan. Cap sebagai ”Lulusan Tanjung Priok” terus melekat seperti kutukan. ”Sudah lima kali tes kerja, tapi begitu dilihat ijazah saya dari Tanjung Priok, langsung ditolak,” katanya.

Tak hanya mengalami stigma dan diskriminasi, penghilangan paksa anggota keluarga dalam tragedi kelam juga menciptakan trauma lintas generasi dan mengakar dalam dalam ingatan kolektif keluarga. Perasaan trauma dan takut berbicara dengan orang asing, hingga sikap menutup diri jamak ditemui di antara keluarga korban. ”Dulu ngomong aja takut, kalau ngomong salah takut kami kami diculik,” ujarnya.

Adapun bagi Nur Aini (50), kehidupannya berubah total sejak 1991. Saat itu, usianya belum genap 20 tahun ketika ayahnya dihilangkan secara paksa di tengah konflik antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Sejak hari itu, ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa mendadak menjadi segalanya, yakni mencari suami yang tak pernah kembali, menjadi tulang punggung keluarga bagi sembilan anak yang harus bertahan hidup, dan menerima stigma dan diskriminasi dari tetangga dan keluarga.

”Saya melihat ibu saya harus kuat di depan anak-anak, padahal batinnya tidak kuat. Dia menangis diam-diam, lalu besoknya bangun lagi untuk bekerja, mencari makan, mencari kabar ayah,” ujar Nur.

Beban berlapis itu, pelan-pelan juga berpindah ke pundak Nur. Ia kehilangan masa mudanya karena harus menggantikan peran ibu di rumah, yakni mengurus adik-adik, memastikan mereka tetap makan dan sekolah, sambil menahan rasa takut setiap kali ada di dekat rumah.

Di masa konflik, perempuan Aceh hidup dalam dilema yang nyaris tanpa ruang aman. Di satu sisi, mereka bisa dicurigai sebagai simpatisan TNI jika menolak membantu kelompok bersenjata Aceh. Di sisi lain, mereka bisa dituduh ”orang GAM” oleh aparat jika terlihat terlalu akrab dengan pihak lawan.

”Kadang hanya karena memberi sebatang rokok (kepada anggota GAM), malamnya orang itu hilang. Masyarakat sipil terjepit, tak tahu mana yang bisa dipercaya,” ujarnya.

Stigma menjadi luka tambahan yang sulit sembuh. Di masa itu, keluarga korban kerap dicap sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) oleh para tetangga dan aparat. Banyak keluarga korban dikucilkan oleh para tetangga, bahkan keluarga sendiri. ”Adik saya yang masih SD diejek, ’kamu anak GPK’. Sampai sekarang trauma itu masih membekas,” ucap Nur.

Hingga kini, jumlah total kasus penghilangan paksa belum dapat dipastikan. Kontras mencatat terdapat 32.774 orang hilang dalam peristiwa 1965–1966, 1.935 orang hilang selama periode Daerah Operasi Militer di Aceh (1989–1998), dan 23 orang hilang dengan hanya 9 orang yang telah kembali pada peristiwa 1997–1998. 

Penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM juga menemukan terjadinya penghilangan orang secara paksa dalam peristiwa-peristiwa lain, yaitu Penembakan Misterius 1982–1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1989-1998, Timor Timur 1999, Wasior 2001-2002, dan Timang Gajah 2001. 

Di luar peristiwa pelanggaran berat HAM, penghilangan paksa terjadi di berbagai peristiwa, termasuk Sentani 1970, peristiwa 27 Juli 1996, dan tragedi Biak Berdarah 1998. Peristiwa penghilangan paksa terus terjadi, data terbaru Kontras menerima 44 laporan orang hilang terkait demonstrasi pada akhir Agustus 2025.

Dalam peristiwa penghilangan paksa, perempuan keluarga korban, seperti Nurhayati dan Nur Aini kerap memikul peran berlapis, yakni merawat luka pribadi dan memperjuangkan keadilan. Selama bertahun-tahun mereka berusaha mencari anggota keluarga yang hilang sambil terus bertahan hidup. Kini, sebagian besar saksi dan korban peristiwa itu telah tiada. Hanya segelintir tersisa, termasuk Nurhayati dan Nur Aini, yang terus menjaga ingatan agar sejarah tak dikubur dalam diam.

Selama dua hari, pada Rabu dan Kamis, 15 dan 16 Oktober 2025, Kontras bersama bersama IKOHI dan AJAR dan jaringan keluarga korban penghilangan paksa menggelar serangkaian kegiatan yang berpuncak pada Kongres Perempuan dalam Penghilangan Secara Paksa. Dalam kongres itu, perempuan korban dan keluarga korban penghilangan paksa di Indonesia menyuarakan sembilan tuntutan kepada negara.

Tuntutan itu, mulai dari ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (ICPPED) dan penyesuaian KUHAP agar sejalan dengan prinsip HAM dan CEDAW, hingga penegakan keadilan dan perlindungan bagi korban. 

Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jane Rosalina, Kongres Perempuan mempertemukan para perempuan dari berbagai daerah dan peristiwa pelanggaran HAM berat, mulai dari Aceh, Timor Timur, tragedi 1965, hingga 1998. ”Kongres ini bertujuan menyerukan pernyataan sikap bersama terkait tuntutan perempuan dalam perlindungan dari praktik penghilangan paksa,” ujar Jane.

Ia menekankan bahwa hingga kini negara belum menuntaskan pelanggaran berat tersebut secara komprehensif, sementara para perempuan korban terus menanggung beban berlapis. Jane juga menyesalkan perspektif perempuan yang masih jarang muncul dalam penyelesaian kasus-kasus penghilangan paksa. Padahal, perempuan menjadi kelompok yang sangat terdampak.

Ia mencontohkan, banyak istri korban 1998 yang kehilangan hak-hak sipil seperti status perkawinan, waris, hingga akses ekonomi karena negara belum mengatur status hilang dalam konteks pelanggaran HAM berat.

Jane juga menyoroti berulangnya praktik penghilangan orang, termasuk kasus mahasiswa yang hilang baru-baru ini. Menurut dia, hal itu terjadi karena praktik impunitas masih mengakar. ”Negara tidak menuntut pelaku, tidak mereformasi sektor keamanan, dan tidak menjamin ketidakberulangan,” ujar Jane.

Selama tidak ada efek jera, negara akan terus terjebak dalam lingkaran kesalahan yang membuat penghilangan paksa terus berulang. Dan di balik setiap nama yang dihilangkan paksa, ada perempuan-perempuan yang bertahan, menjadi ibu, pencari nafkah, dan penjaga gerbang keadilan. (Kompas/Denty Piawai Nastitie)

Read more

Selama ini, perempuan dalam jaringan terorisme kerap dipandang hanya sebagai korban atau pelaku. Padahal, ada sisi lain yang jarang terlihat, perempuan juga bisa menjadi agen perubahan. Inilah kisah para istri mantan narapidana terorisme yang berjuang melawan stigma, membesarkan anak-anak di tengah trauma, sekaligus mencegah keluarga mereka kembali terjerat paham radikal.

Bagi Putri Ariasti (44), ingatan paling mencekam itu terjadi tepat pada 17 Agustus 2016, sembilan tahun silam. Hari kemerdekaan yang semestinya dirayakan dengan sukacita justru berubah menjadi titik kelam dalam hidupnya. Pagi itu, di tengah semarak karnaval dan kibaran bendera Merah Putih, sebuah barakuda berhenti di depan rumahnya.

Beberapa pria berbadan tegap lengkap bersenjata turun dengan langkah cepat dan langsung menggeledah rumah. Putra sulungnya, Sultan, yang kala itu berusia 12 tahun, berlari sambil menangis ketakutan. Pada hari yang sama, Detasemen Khusus 88 Anti Teror menangkap suaminya, Munir Kartono (42), atas dugaan keterlibatan kasus terorisme.

Sejak detik itu, Putri tidak hanya kehilangan suami yang digelandang aparat, tetapi juga seolah kehilangan separuh hidupnya. ”Saya gemetar. Di satu sisi ingin mengejar suami saya, di sisi lain anak-anak saya menangis ketakutan,” kenang Putri dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di rumahnya di Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/8/2025).

Pascapenangkapan, stigma langsung menghantam Putri. Ia, yang selama ini dikenal sebagai guru TK, tiba-tiba dipandang curiga. Gosip beredar ke mana-mana, dari tuduhan menyembunyikan uang hasil kejahatan, hingga cibiran bahwa keluarganya bagian dari jaringan teror. Selama seminggu, Putri tidak keluar rumah karena malu. Apalagi, ayahnya sempat marah besar dan tidak mau bicara dengan Putri.

Munir, suami Putri, kemudian divonis 5 tahun penjara. Ia terbukti mendukung pendanaan aksi bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta pada Juli 2016. Saat itu, Munir menjadi penggalang dana andal untuk mendukung aksi teror, kegiatan terlarang yang ia tutupi dari orang lain, termasuk istri dan keluarganya.

Sembilan tahun berlalu. Munir telah bebas sejak 2020 setelah menjalani 3 tahun 8 bulan masa hukuman. Tetapi, trauma masih menghantui Putri dan keluarga. Selain itu, Putri juga sering merasa malu dan tidak percaya diri untuk bergaul. Label sebagai istri eks narapidana teroris mengganggu pikirannya.

Namun, Putri tak larut dalam keterpurukan. Sejak suaminya menjalani hukuman penjara, Putri berjuang menata ulang hidup bersama empat anaknya. Dengan bantuan modal dari keluarga, ia membuka warung di dekat rumah yang menjadi titik balik hidupnya.

Selain menopang ekonomi keluarga, warung menjadi bukti resiliensi menghadapi tekanan psikologi, ekonomi, dan sosial. Perlahan, tetangganya kembali menyapa, bahkan membantu keluarga ini melanjutkan kehidupan.

Pengalaman pahit menjadikan Putri lebih waspada. Bagi Putri, perjuangan terbesar bukan sekadar menghadapi stigma, melainkan menjaga anak-anaknya agar tidak ikut terseret pada jejak kekerasan. Putri berusaha menekankan nilai-nilai sederhana, seperti tanggung jawab, saling menghormati, dan terbuka pada perbedaan. Ia juga mendampingi anak-anak saat stigma menimpa. Contohnya, ketika si sulung sempat minder dan enggan sekolah karena ayahnya dipenjara, Putri memotivasi. Hasilnya, sang anak justru meraih juara umum di sekolah.

Putri mengaku sempat menutup diri dari kegiatan keagamaan karena takut dicurigai. Namun, kini, ia memilih jalan tengah, yakni tetap beribadah dengan tenang, tanpa terjebak pada ajakan eksklusif.
Putri dan suaminya juga memutuskan agar anak-anak tidak dimasukkan ke sekolah eksklusif berlabel agama tertentu. Mereka memilih sekolah negeri agar anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang beragam.

Kalau dulu Putri dikenal sebagai guru, sekarang ia memilih jadi pendidik untuk keluarga sendiri. Dari rumah, ia menjaga agar anak-anak tidak mengulang kesalahan ayahnya dan masuk dalam lingkungan kekerasan. Bukan hanya kepada anak-anak, Putri juga tidak pernah bosan mengingatkan suami agar tidak lagi terjebak pada kesalahan yang sama.

Sementara itu, Munir memilih bersikap terbuka kepada anak-anaknya. ”Saya jelaskan bahwa saya pernah melakukan kesalahan, dan saya menanggung akibatnya. Saya tidak ingin anak-anak mengalami kejadian serupa,” kata Munir, yang kini telah meninggalkan ideologi radikal dan kembali aktif berkegiatan di tengah masyarakat.

Penyangga keluarga

Pengalaman traumatis juga dialami Nurwahidah (38), istri eks narapidana terorisme yang selama lebih dari satu dekade berjuang mempertahankan keluarga, mendidik anak-anaknya, sekaligus menjadi penyangga agar lingkaran radikalisme tidak terus berulang di dalam keluarga.

Nurwahidah bertemu suaminya ketika sama-sama kuliah di Jakarta. Sang suami, sejak masa SMA, sudah mengenal tokoh agama yang menyelipkan ajaran jihad dalam setiap pertemuan keagamaan. Jaringan pertemanan dan lingkungan makin menguatkan keyakinan suaminya untuk masuk dalam tindakan kekerasan.

Sebagai istri muda, Nurwahidah kerap menentang keinginan suaminya untuk ikut berkegiatan di lingkaran tersebut. Namun, suaminya tidak mendengarkan masukan dari Nurwahidah. Sang suami tetap aktif di jaringan radikal.

Puncaknya, pada Juni 2013, suaminya ditangkap Densus 88 Anti Teror di Poso, Sulawesi Tengah, wilayah yang kala itu dikenal rawan konflik. Selama suaminya menjalani hukuman penjara, Nurwahidah menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan ancaman langsung, tetapi tetap berusaha menjaga keluarga tetap utuh.

Kini, suaminya telah bebas dan menyatakan setia ke NKRI. Nurwahidah bersama suami dan anak-anaknya tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di tengah hidup yang serba menantang, Nurwahidah menemukan makna baru dalam hidupnya, yakni membesarkan anak-anak dengan pemahaman agama yang damai dan moderat. Ia percaya, pengalaman getirnya bisa menjadi pelajaran bagi perempuan lain agar tidak terjebak dalam siklus yang sama.

Sementara itu, Nuraeni (38) menghadapi kenyataan pahit bahwa sang suami terlibat dalam jaringan kekerasan setelah sang suami ditembak mati oleh Densus 88 Anti Teror pada Oktober 2012. Selama ini, Nuraeni tidak mengetahui kegiatan sang suami.

Jaringan terorisme

Nuraeni hanya mengetahui suaminya sering pergi ke luar kota. Setelah penembakan itu, Nuraeni baru mengetahui bahwa suaminya terlibat dalam jaringan terorisme.

Penembakan itu bukan hanya merenggut nyawa suaminya, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya dan anak-anak. Apalagi, ia tidak diperkenankan melihat jenazah suami untuk terakhir kalinya.

Di tengah luka kehilangan sang suami, Nuraeni berusaha berdiri tegak. Ia bertahan dengan berjualan makanan ringan di pasar dan menjadi staf TK. Kini, Nuraeni sudah menikah lagi. Bersama suami dan anak-anaknya, ia tinggal di Kabupaten Bima, NTB.

Nuraeni menyadari bahwa masa depan anak-anaknya harus diselamatkan dari jejak masa lalu ayah mereka. Untuk memutus mata rantai kekerasan dari tingkat keluarga, Nuraeni memilih jalur pendidikan. Ia percaya bahwa dengan belajar, membaca, dan bergaul sehat, anak-anak bisa lepas dari bayang-bayang kekerasan.

”Saya perhatikan, mereka yang terlibat dalam kelompok keras itu tidak suka membaca. Mereka hanya lulusan SD, SMP, atau paling tinggi SMA. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya setinggi-tingginya agar mereka bisa punya banyak bacaan dan tidak terlibat dalam jaringan kekerasan,” kata Nuraeni, dalam wawancara daring, Kamis (14/8/2025).

Dari seorang istri yang dulu tidak tahu-menahu soal pemahaman radikal, kini ia menjadi sosok yang aktif menasihati, mengarahkan, dan memastikan generasi berikutnya tidak mengulang jejak serupa. Selain memastikan pendidikan untuk anak-anaknya, Nuraeni juga kerap mengajak anak-anak dari keluarga radikal di lingkungan rumahnya untuk ke sekolah.

”Dengan mengajak anak-anak sekolah, saya berharap mereka tidak terpengaruh ajaran radikal dari orangtua mereka,” katanya.

Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia Siti Darojatul Aliah menegaskan, perempuan dalam lingkaran terorisme menempati posisi yang kompleks, yakni sebagai korban, pelaku, sekaligus agen perubahan.

”Perempuan sebagai pelaku juga sebenarnya merupakan korban indoktrinasi dan perekrutan yang berbeda-beda antara kelompok Jamaah Islamiyah (JI) dan ISIS,” kata Siti, di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sebanyak 65 perempuan divonis terkait pidana terorisme dari tahun 2000 hingga 2023. Sebelumnya, pada periode 2016-2020, tercatat 32 perempuan diduga terlibat jaringan terorisme, meningkat dari 8 perempuan pada 2002-2015. Keterlibatan perempuan ini sering kali melalui modus operandi sederhana, seperti bom bunuh diri atau serangan pisau, bahkan dilakukan bersama anak-anak.

Siti menjelaskan, dalam jaringan JI, perempuan direkrut bukan untuk aksi kekerasan, melainkan diposisikan sebagai istri para anggota. Mereka kerap tidak mengetahui aktivitas suami, bahkan banyak yang baru menyadari setelah terjadi penangkapan oleh aparat. Sebaliknya, pada jaringan ISIS, perempuan justru menjadi bagian aktif, mendukung bahkan mendorong suami mereka dalam aksi.

Dampak keterlibatan ini, lanjutnya, sangat besar bagi keluarga. Saat suami atau ayah ditangkap aparat, banyak perempuan dan anak-anak yang mengalami trauma dan kehilangan figur suami atau ayah sebagai tulang punggung keluarga, hingga tekanan sosial dari masyarakat.

Dalam banyak kasus, perempuan yang ditinggalkan harus menanggung peran berlipat ganda, yakni sebagai ibu, bapak, dan individu pencari nafkah. Selain itu, stigma dan diskriminasi juga menjadi beban berat.

Anak-anak kerap mengalami perundungan, sedangkan perempuan yang ditinggalkan harus berpindah-pindah tempat tinggal karena penolakan masyarakat. Kondisi ini berpotensi membuat mereka kembali rentan terhadap ideologi radikal.

Siti juga menyoroti lemahnya program deradikalisasi bagi perempuan. Ia menilai, selama ini pendekatan pemerintah dan lembaga terkait masih berpusat pada sosok laki-laki. Sementara perempuan kurang diperhatikan. Padahal, perempuan punya posisi sentral dalam mencegah dan menanggulangi kasus terorisme.

Untuk itu, Siti mendorong agar program deradikalisasi dan pencegahan radikalisme lebih sensitif terhadap isu jender serta melibatkan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan narasi yang lebih adil terhadap perempuan.

Menurut dia, edukasi di tingkat keluarga dan komunitas harus diperkuat, termasuk memberi peran lebih besar kepada perempuan sebagai agen kontra-narasi. ”Perempuan adalah garda terdepan dalam mencegah ideologi kekerasan. Kalau mereka berdaya, mereka bisa menjadi benteng terkuat bagi keluarga dan masyarakat untuk mencegah paham radikal berkembang,” ujar Siti.

Kisah Putri, Nurwahidah, dan Nuraeni memperlihatkan bahwa di tengah stigma dan luka masa lalu, mereka memilih untuk tetap berdiri, menjaga keluarga agar tak terjerat lingkar yang sama. Dari ruang-ruang domestik yang sederhana, para istri eks narapidana terorisme membuktikan bahwa melawan terorisme bisa dimulai dari lingkar paling kecil, yakni keluarga. (KOMPAS/Denty Piawai Nastitie)

Read more

Keindahan naik gunung terletak bukan semata-mata ketika seorang pendaki mencapai puncak dan melihat pemandangan, melainkan saat ia menoleh ke belakang dan melihat dirinya telah melewati lembah dan jurang kesulitan.” (Eiji Yoshikawa, yang tertuang dalam prolog buku Hari-hari di Bloomsbury)

Kata-kata tersebut dikutip sebagai ungkapan perasaan kebahagiaan dan kepuasan oleh sang penulis, Denty Piawai Nastitie, dalam buku Hari-hari di Bloomsbury (Penerbit Buku Kompas, 2023). Buku ini menceritakan dinamika kehidupan sebagai mahasiswa sekaligus jurnalis di Eropa, yakni Inggris.

Penulis menerima program beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris yang sudah ada sejak 1983. Melalui beasiswa ini, penulis dibiayai mulai dari kebutuhan sehari-hari, tempat tinggal, hingga transportasi. Denty telah menelan sembilan kali pahitnya kegagalan sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa Chevening. Berkat beasiswa Chevening, petualangan menjelajahi kota London dapat dinikmati sambil mengoleksi pengalaman, pengetahuan dan memperluas jaringan.

Buku setebal 250 halaman ini bermula saat penulis berangkat dari Jakarta ke London. Perjalanan diiringi dengan pikiran yang positif dan menyenangkan karena baginya perjalanan kali ini merupakan kesempatan untuk eksplorasi berbagai tempat dan pengalaman baru.

Setelah resmi menerima beasiswa S-2 di SOAS University of London, Denty berangkat di tengah suasana pandemi masih berlangsung. Karena itu, perempuan kelahiran Yogyakarta ini harus singgah di hotel karantina. Pada masa pandemi, singgah di hotel karantina selama 10 hari merupakan kewajiban yang diterapkan di London.

Selama masa karantina, penulis mengisi kesehariannya dengan memotret orang-orang yang sedang berjemur dan berolahraga. Penulis pun dapat membuat foto cerita tentang kehidupan penduduk di London. ”Lenggak-lenggok London” dimuat harian Kompas pada 7 November 2021. Tulisan tersebut menjadi saksi petualangan penulis sebagai mahasiswa di London.

Setelah melewati masa karantina, akhirnya tiba waktunya sebagai mahasiswa di London. Penulis sempat merasa kaget dengan sistem belajar di sana. Perbedaan sistem belajar di sana adalah saat sebelum memulai kelas, mahasiswa diwajibkan untuk membaca materi kuliah. Lalu, jika di Indonesia pekan pertama diisi dengan perkenalan guru dan siswa, di London langsung masuk ke materi kuliah.

Hari demi hari dilewati penulis, hingga tiba masanya penulis mendapatkan tugas pertama dengan nilai 58. Di Inggris, mendapat nilai 58 masuk dalam golongan pass. Meski mentalnya terguncang, penulis perlahan membaca komentar dosen mengenai tugasnya. Komentar dosen tersebut, penulis kurang kritis dalam memahami teori dan tidak berani mengungkapkan pendapat.

Bagi penulis, momen tersebut membuatnya tersadar dengan perbedaan antara tulisan jurnalistik dan akademik. Dalam penulisan akademik, penulis harus fokus pada teori, bukti-bukti, dan argumentasi yang jelas. Seiring berjalannya waktu, meski sistem belajar agak padat, penulis mampu beradaptasi. Baginya, jika orang lain bisa, maka ia juga pasti bisa. Hal itu terbukti dengan nilai kuliah yang meningkat pada tugas akhir dengan nilai distinction atau nilai tertinggi dalam sistem penilaian Inggris.

Hidup sebagai mahasiswa di London tidak selamanya membahagiakan dan berlangsung dengan mulus. Denty hampir menjadi gelandangan karena kesulitan mencari tempat tinggal setelah masa tinggal kontrak di flat mahasiswa berakhir. Beragam aplikasi sewa properti, seperti Zoopla, Spareroom, dan Facebook Market, telah dicoba. Denty bahkan aktif bertanya kepada teman dan kenalan. Namun, dari ratusan pesan yang dikirimkannya kepada landlord, hanya dua pesan penolakan yang diterimanya, sisanya tiada balasan. Ia harus berpindah-pindah sari satu hostel ke hostel lain. Tak hanya itu, ia juga sempat menumpang di tempat tinggal teman seperjuangannya, Mirzca.

Saat menumpang di flat temannya, penulis merasa suasana seperti berada di rumah sendiri, bukan sedang merantau. Hal itu terasa ketika masuk ke dapur, ada kecap, saus tiram, bumbu nasi goreng, pempek, rendang, dan lainnya. Selain itu pula, Mirzca dan kawan lainnya sering masak dan makan bersama sehingga suasana kekeluargaan sangat bisa dirasakan.

Setelah sebulan mengembara tanpa tempat tinggal yang pasti, penulis akhirnya dapat menyewa flat di rumah keturunan Bangladesh. Baginya, tinggal di sana serasa tinggal di rumahnya sendiri. Pemilik rumah begitu terasa hangat karena selalu perhatian.

Salah satu pengalaman menarik yang diulas dalam buku ini adalah ketika penulis menjadi saksi sejarah saat Inggris berkabung. Ratu Elizabeth II meninggal pada 8 September 2022. Setelah informasi tersebut beredar, dimulailah Operasi London Bridge berupa serangkaian prosedur selama sepuluh hari. Operasi tersebut mencakup pengumuman berita kematiannya, masa berkabung, proses pemakaman, hingga rencana pemahkotaan ahli waris takhta selanjutnya.

Perempuan lulusan Universitas Sanata Dharma ini memiliki kesempatan menarik dan menantang. Ia didapuk sebagai reporter televisi untuk melaporkan secara langsung persemayaman dan pemakaman Ratu Elizabeth II.

Penulis sempat merasa terperangah menerima tantangan sebagai reporter televisi. Sebab, saat ditanyakan kesiapannya, waktu menunjukkan pukul 00.05 di Inggris. Denty masih mengenakan piyama dan wajah tanpa polesan make-up. Namun, tak ada waktu untuk memoles wajah, saat itu pula Denty langsung menuju lokasi yang ditunjuk untuk menjabarkan suasana di London kala itu.

Tak hanya itu, pengalaman menantang lainnya saat hari deklarasi putra sulung sang Ratu sebagai Raja Inggris menggantikan kedudukan Ratu Elizabeth II. Nasib kurang baik terjadi pada hari itu saat akan melakukan siaran langsung program Kompas TV. Kereta yang ia tumpangi ternyata mengalami gangguan pada mesin. Walhasi,l Denty harus menunggu kereta selanjutnya. Padahal, dalam waktu kurang dari 30 menit dia harus on air.

Ketika menuju St James Palace, ternyata penulis lupa membawa tripod. Hatinya semakin tidak tenang, selain dikejar waktu, situasi juga tidak kondusif untuk siaran langsung. Penulis memutar otak, hingga akhirnya Green Park dipilih sebagai lokasi untuk siaran langsung.

Lalu, bagaimana dengan tripod sebagai penyangga ponselnya? Tong sampah yang terbuat dari kayu setinggi 1 meter dengan permukaan atas datar dan kokoh dipilih menjadi penyangga laptop sebagai pengganti ponselnya. Siaran langsung berjalan dengan lancar, meski saat melakukan reportase bau sampah ”semerbak” tak dapat dilupakan.

Perempuan yang memiliki lesung pipi ini pernah mendapatkan penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend atas tulisannya yang inspiratif dengan judul ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”.

Meraih penghargaan, mendapatkan beasiswa S-2, hingga merasakan tinggal dan menjadi jurnalis di Inggris merupakan bagian pengalaman hidup yang penuh gejolak. Buku ini ditutup dengan semangatnya bahwa kuliah memang berakhir, tapi hidup harus berjalan. Dengan kekuatan dan keberanian, Denty menyatakan siap untuk menempuh petualangan selanjutnya. Ganbatte kudasai! (LITBANG KOMPAS)

JudulHari-hari di Bloomsbury: Petualangan #studentjournalist di London, Inggris

Penulis: Denty Piawai Nastitie

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit: 2023

Jumlah halaman: xxii + 244 halaman

ISBN: 978-623-160-156-8

Read more

dari Brussels, Belgia

Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga, seperti Olimpiade, juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.

Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban, di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa (UE) menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara
Uni Eropa dan negara-negara di luar UE.

Ada tiga rencana kerja UE terkait olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE mem-
bentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.

Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.

Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun 2017-2020. Program yang dibuat, misalnya, pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.

Esteban mengakui, jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Namun, ini masih dalam proses,” katanya.

Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.

Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.

Asian Games

 

Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.

Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.

Berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Sebagai informasi, anggaran Kemenpora sebesar Rp 1,951 triliun, jauh dari total belanja negara mencapai Rp 2.439,7 triliun di dalam RAPBN 2019. Adapun anggaran yang dipakai untuk peningkatan prestasi olahraga hanya Rp 986,284 miliar.

Bukan hanya terkait besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, untuk memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.

Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus kepada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.

”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” ucapnya.

Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.

”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima semua lapisan masyarakat,” tuturnya. (DNA)

Tulisan dimuat di KOMPAS, 24 April, 2019

Read more