journey

Keindahan naik gunung terletak bukan semata-mata ketika seorang pendaki mencapai puncak dan melihat pemandangan, melainkan saat ia menoleh ke belakang dan melihat dirinya telah melewati lembah dan jurang kesulitan.” (Eiji Yoshikawa, yang tertuang dalam prolog buku Hari-hari di Bloomsbury)

Kata-kata tersebut dikutip sebagai ungkapan perasaan kebahagiaan dan kepuasan oleh sang penulis, Denty Piawai Nastitie, dalam buku Hari-hari di Bloomsbury (Penerbit Buku Kompas, 2023). Buku ini menceritakan dinamika kehidupan sebagai mahasiswa sekaligus jurnalis di Eropa, yakni Inggris.

Penulis menerima program beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris yang sudah ada sejak 1983. Melalui beasiswa ini, penulis dibiayai mulai dari kebutuhan sehari-hari, tempat tinggal, hingga transportasi. Denty telah menelan sembilan kali pahitnya kegagalan sebelum akhirnya mendapatkan beasiswa Chevening. Berkat beasiswa Chevening, petualangan menjelajahi kota London dapat dinikmati sambil mengoleksi pengalaman, pengetahuan dan memperluas jaringan.

Buku setebal 250 halaman ini bermula saat penulis berangkat dari Jakarta ke London. Perjalanan diiringi dengan pikiran yang positif dan menyenangkan karena baginya perjalanan kali ini merupakan kesempatan untuk eksplorasi berbagai tempat dan pengalaman baru.

Setelah resmi menerima beasiswa S-2 di SOAS University of London, Denty berangkat di tengah suasana pandemi masih berlangsung. Karena itu, perempuan kelahiran Yogyakarta ini harus singgah di hotel karantina. Pada masa pandemi, singgah di hotel karantina selama 10 hari merupakan kewajiban yang diterapkan di London.

Selama masa karantina, penulis mengisi kesehariannya dengan memotret orang-orang yang sedang berjemur dan berolahraga. Penulis pun dapat membuat foto cerita tentang kehidupan penduduk di London. ”Lenggak-lenggok London” dimuat harian Kompas pada 7 November 2021. Tulisan tersebut menjadi saksi petualangan penulis sebagai mahasiswa di London.

Setelah melewati masa karantina, akhirnya tiba waktunya sebagai mahasiswa di London. Penulis sempat merasa kaget dengan sistem belajar di sana. Perbedaan sistem belajar di sana adalah saat sebelum memulai kelas, mahasiswa diwajibkan untuk membaca materi kuliah. Lalu, jika di Indonesia pekan pertama diisi dengan perkenalan guru dan siswa, di London langsung masuk ke materi kuliah.

Hari demi hari dilewati penulis, hingga tiba masanya penulis mendapatkan tugas pertama dengan nilai 58. Di Inggris, mendapat nilai 58 masuk dalam golongan pass. Meski mentalnya terguncang, penulis perlahan membaca komentar dosen mengenai tugasnya. Komentar dosen tersebut, penulis kurang kritis dalam memahami teori dan tidak berani mengungkapkan pendapat.

Bagi penulis, momen tersebut membuatnya tersadar dengan perbedaan antara tulisan jurnalistik dan akademik. Dalam penulisan akademik, penulis harus fokus pada teori, bukti-bukti, dan argumentasi yang jelas. Seiring berjalannya waktu, meski sistem belajar agak padat, penulis mampu beradaptasi. Baginya, jika orang lain bisa, maka ia juga pasti bisa. Hal itu terbukti dengan nilai kuliah yang meningkat pada tugas akhir dengan nilai distinction atau nilai tertinggi dalam sistem penilaian Inggris.

Hidup sebagai mahasiswa di London tidak selamanya membahagiakan dan berlangsung dengan mulus. Denty hampir menjadi gelandangan karena kesulitan mencari tempat tinggal setelah masa tinggal kontrak di flat mahasiswa berakhir. Beragam aplikasi sewa properti, seperti Zoopla, Spareroom, dan Facebook Market, telah dicoba. Denty bahkan aktif bertanya kepada teman dan kenalan. Namun, dari ratusan pesan yang dikirimkannya kepada landlord, hanya dua pesan penolakan yang diterimanya, sisanya tiada balasan. Ia harus berpindah-pindah sari satu hostel ke hostel lain. Tak hanya itu, ia juga sempat menumpang di tempat tinggal teman seperjuangannya, Mirzca.

Saat menumpang di flat temannya, penulis merasa suasana seperti berada di rumah sendiri, bukan sedang merantau. Hal itu terasa ketika masuk ke dapur, ada kecap, saus tiram, bumbu nasi goreng, pempek, rendang, dan lainnya. Selain itu pula, Mirzca dan kawan lainnya sering masak dan makan bersama sehingga suasana kekeluargaan sangat bisa dirasakan.

Setelah sebulan mengembara tanpa tempat tinggal yang pasti, penulis akhirnya dapat menyewa flat di rumah keturunan Bangladesh. Baginya, tinggal di sana serasa tinggal di rumahnya sendiri. Pemilik rumah begitu terasa hangat karena selalu perhatian.

Salah satu pengalaman menarik yang diulas dalam buku ini adalah ketika penulis menjadi saksi sejarah saat Inggris berkabung. Ratu Elizabeth II meninggal pada 8 September 2022. Setelah informasi tersebut beredar, dimulailah Operasi London Bridge berupa serangkaian prosedur selama sepuluh hari. Operasi tersebut mencakup pengumuman berita kematiannya, masa berkabung, proses pemakaman, hingga rencana pemahkotaan ahli waris takhta selanjutnya.

Perempuan lulusan Universitas Sanata Dharma ini memiliki kesempatan menarik dan menantang. Ia didapuk sebagai reporter televisi untuk melaporkan secara langsung persemayaman dan pemakaman Ratu Elizabeth II.

Penulis sempat merasa terperangah menerima tantangan sebagai reporter televisi. Sebab, saat ditanyakan kesiapannya, waktu menunjukkan pukul 00.05 di Inggris. Denty masih mengenakan piyama dan wajah tanpa polesan make-up. Namun, tak ada waktu untuk memoles wajah, saat itu pula Denty langsung menuju lokasi yang ditunjuk untuk menjabarkan suasana di London kala itu.

Tak hanya itu, pengalaman menantang lainnya saat hari deklarasi putra sulung sang Ratu sebagai Raja Inggris menggantikan kedudukan Ratu Elizabeth II. Nasib kurang baik terjadi pada hari itu saat akan melakukan siaran langsung program Kompas TV. Kereta yang ia tumpangi ternyata mengalami gangguan pada mesin. Walhasi,l Denty harus menunggu kereta selanjutnya. Padahal, dalam waktu kurang dari 30 menit dia harus on air.

Ketika menuju St James Palace, ternyata penulis lupa membawa tripod. Hatinya semakin tidak tenang, selain dikejar waktu, situasi juga tidak kondusif untuk siaran langsung. Penulis memutar otak, hingga akhirnya Green Park dipilih sebagai lokasi untuk siaran langsung.

Lalu, bagaimana dengan tripod sebagai penyangga ponselnya? Tong sampah yang terbuat dari kayu setinggi 1 meter dengan permukaan atas datar dan kokoh dipilih menjadi penyangga laptop sebagai pengganti ponselnya. Siaran langsung berjalan dengan lancar, meski saat melakukan reportase bau sampah ”semerbak” tak dapat dilupakan.

Perempuan yang memiliki lesung pipi ini pernah mendapatkan penghargaan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend atas tulisannya yang inspiratif dengan judul ”Asian Para Games 2018, Perjuangan Atlet untuk Kesetaraan”.

Meraih penghargaan, mendapatkan beasiswa S-2, hingga merasakan tinggal dan menjadi jurnalis di Inggris merupakan bagian pengalaman hidup yang penuh gejolak. Buku ini ditutup dengan semangatnya bahwa kuliah memang berakhir, tapi hidup harus berjalan. Dengan kekuatan dan keberanian, Denty menyatakan siap untuk menempuh petualangan selanjutnya. Ganbatte kudasai! (LITBANG KOMPAS)

JudulHari-hari di Bloomsbury: Petualangan #studentjournalist di London, Inggris

Penulis: Denty Piawai Nastitie

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit: 2023

Jumlah halaman: xxii + 244 halaman

ISBN: 978-623-160-156-8

Read more

Malam pertama di Auckland, saya bermimpi sebuah kisah yang membuat resah: m e n i k a h !

Saya melihat diri saya mengenakan gaun panjang berwarna putih, berdiri di tengah altar gereja. Di hadapan saya ada pastur yang hendak memberkati pernikahan, di sebelah saya ada calon suami, dan di belakang saya ada orang tua dan calon mertua. Dalam mimpi itu, saya banyak tersenyum menyambut moment indah dalam hidup. 

Kemudian, saya melihat pastur mulai memberikan berkat pernikahan kepada calon suami dan saya. Di situ, saya mulai panik. Raut wajah mulai nggak tenang, khawatir. Pastur yang menyadari perubahan wajah saya, bertanya: “Loh, kamu kenapa? Kamu yakin ‘kan mau menikah? Kamu yakin ‘kan dengan calon suami kamu?”

Saya gelagapan. Celinguk kiri dan kanan. Orang tua dan calon suami mulai’ nggak tenang. Setelah menarik nafas panjang, saya memutuskan akan menyampaikan hal jujur kepada diri sendiri, calon suami, dan keluarga.

Di hadapan orang-orang dekat, saya curhat. Saya sampaikan bahwa saya mencintai calon suami saya.

“Dia orang yang sangat baik, penyayang, dan perhatian,” kata saya.

“Lalu, kenapa kamu kelihatan tidak yakin begitu?” pastur bertanya.

“Hmm… saya masih ragu, bagaimana kalau tiba-tiba dia beruhah,” kata saya. “Pernikahan akan mengikat saya seumur hidup. Apakah setelah saya menikah, saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya suka sama seperti sebelumnya? Apakah setelah saya menikah, saya masih mempunyai kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan diri? Saya yakin prioritas hidup saya akan berubah seiring waktu, tetapi apakah dengan prioritas hidup baru ini saya akan bahagia? Apakah suami saya tetap akan menjadi sosok yang baik, penyayang, dan perhatian, seperti ketika pacaran… Apakah pernikahan ini akan membuat saya bahagia?”

Pastur kebingungan. Kalau nggak yakin nikah, ngapain nikah nih orang! Mungkin ia berpikir demikan. Lalu, pastur menawarkan agar suami dan saya membuat janji pranikah sebagai jalan tengah.

Dalam janji pranikah itu saya menuliskan beberapa hal, seperti:

— suami dan istri saling mendukung untuk bebas berekspresi dan berpendapat

— suami memberi keleluasaan kepada istri, begitu juga sebaliknya, untuk berkembang sesuai minat, karakter, dan kepribadian

— pernikahan harus mendukung kesetaraan jender dan pembagian peran yang didasarkan kesepakatan bersama

— suami dan istri harus menjaga kesetiaan dan komitmen pernikahan, serta tidak ada kekerasan dalam pernikahan

Calon suami menunduk, membaca janji pranikah itu. Dia lalu menatap mata saya. Dia menyatakan bahwa menolak menandatangi janji itu. Katanya, “Saya tidak akan melarang kamu berkembang. Saya tidak akan membatasi diri kamu untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, saya tidak mau menandatangi surat ini. Saya merasa kamu tidak mengenal dan mempercayai saya,” ujarnya.

Kata-kata calon suami saya, membuat saya sedih, kecewa,… dan patah hati. Ada ruang kosong di hati …

Saya merasa, calon suami dan saya memang ternyata belum saling mengenal. Saya merasa memang sebenarnya belum terlalu yakin… kepada diri sendiri, kepada calon suami, juga kepada pernikahan. Saya cukup sedih mengapa calon suami menolak menandatangani janji pranikah ini… sesuatu, yang mungkin bagi saya menjadi bukti keseriusannya.

 

Keringat dingin mulai membanjiri kening… saya gelisah.

 

Lalu,

terbangun.

 

Saya mulai menyadari bahwa sedang tidak berada di altar gereja. Bukannya mengenakan gaun nikah, saya sedang memakai piyama. Saya sedang berbaring di bunk-bed, dan di sebelah saya tidak ada calon suami. Saya terbangun, merasakan ruang tempat saya menginap, di sebuah hostel di Auckland, cukup senyap… lampu kamar padam, di balik jendela kamar saya melihat kendaraan melintas dengan lampu depan menyala.

Saya melirik ponsel, terlihat waktu menunjukkan pukul 03.30 waktu Auckland. Saya punya waktu beberapa jam untuk istirahat, sebelum pagi ini mulai melakukan penjelajahan pertama ke Hobbiton dan Glowworm Cave.

Saya menghela nafas panjang, menenangkan diri. Terbayang wajah seseorang yang sedang dekat dengan saya, apa yang sedang dia lakukan di Jakarta? Apa yang dia rasakan? Bagaimana kalau dia tahu, dia muncul dalam mimpi saya (mimpi yang tidak terlalu indah, sebenarnya…)?

Saya mulai merenungkan, perjalanan ke Selandia Baru, ini tidak sekedar menikmati alam atau melakukan aktivitas-aktivitas seru dan menantang. Perjalan ini juga tentang bagaimana merenungkan kembali beberapa aspek kehidupan, seperti pekerjaan, dan juga pernikahan. Rupanya, cukup banyak hal yang mengganjal pikiran.

Saat sedang memikirkan hal ini, notifikasi telepon genggam memberikan signal pesan di DM Instagram. Seorang kawan menuliskan, “Bagaimana Auckland? Semoga perjalanan lo menyenangkan!”

Ahh… benar juga… jauh-jauh ke Auckland, saya ini ingin jalan-jalan, tetapi kenapa saya malah merasa rumit dengan banyak beban di pikiran. Bukankah seharusnya saya menikmati perjalan ini semaksimal mungkin! Saya kemudian memejamkan mata… kembali merehatkan diri untuk menyambut perjalanan di tanah the Lord of the Rings.

 

Auckland, 7 Mei 2019

Denty Piawai Nastitie

Ps: Foto bersama sahabat saya Narastika saat jalan-jalan di Auckland. Saya yakin, mimpi ini muncul karena sesaat sebelum tidur saya membicarakan banyak hal dengan Narastika, termasuk membicarakan pernikahan! Hahahhaha! Sialan, Tik, sampai kebawa mimpi!! LOL

Read more