New zealand

Beberapa hari lalu, saya menjalani tes kepribadian. Hasilnya, ada perubahan kepribadian dengan hasil tes lima tahun lalu, yaitu dari extrovert menjadi introvert. Artinya, kalau dulu saya lebih menyukai lingkungan yang interaktif, senang bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara, kini saya lebih senang menyendiri. Kalau dulu saya suka kumpul-kumpul, saya – yang sekarang – merasa nyaman duduk sendirian dalam ruang yang ramai sambil minum kopi, membaca buku atau majalah.

Perubahan ini, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Saya mulai menyadari perubahan kepribadian ketika sedang traveling ke New Zealand, bersama sahabat saya, Narastika.

Seperti pengalaman-pengalaman traveling sebelumnya, Narastika dan saya lebih suka tinggal di hostel daripada di hotel karena tersedia lebih banyak kesempatan bertemu teman baru. Di hostel, setiap hari adalah kejutan, entah itu suasana kamarnya, atau pertemuan dengan orang-orang tidak terduga. Tidak jarang, pertemuan dengan teman baru di hostel berakhir dengan pengalaman seru menjelajah bersama di tempat-tempat yang menarik.

Dalam perjalaan ke New Zealand ini, beberapa bulan lalu, saya mulai menyadari bahwa saya mengalami perubahan kepribadian. Beberapa tahun lalu, ketika Narastika dan saya traveling ke Singapura, Jepang, Malaysia, dan Inggris, saya punya kepribadian antusias, mudah bergaul, dan ceplas-ceplos dalam berbicara. Saya sama sekali tidak takut tuh untuk menyapa orang baru, mengajak jalan-jalan orang baru (kebanyakan sih bule, hahahha).

Hudson, saya, Narastika, dan Thiago, 10 kilogram yang lalu

Contohnya di Malaysia, saya sempat jalan seharian penuh bersama orang yang baru saya kenal, yaitu Thiago, traveler bule asal Sao Paulo, Brazil. Ketika itu, Narastika dan saya sedang jalan-jalan di Georgetown, Malaysia. Tiba-tiba, Narastika sakit dan memutuskan kembali ke hostel. Saking cueknya, di hostel saya melihat ada cowok bule lagi pakai sepatu. Lalu, saya tanya: “Kamu mau ke mana?” Cowok itu bilang mau ke toko, cari sendal jepit.

Dia lalu tanya balik: “Kamu mau kemana?” Saya langsung memberi tahu dia, kalau saya mau membeli makan siang, tetapi teman saya sedang sakit. Lalu, dengan super cueknya, saya berkata: “Kamu mau gak makan siang dengan saya? Nanti saya temanin kamu beli sendal jepit!!” Wkakkakakak. Lalu, begitu saja Thiago dan saya jalan bersama seharian penuh.

Keesokan harinya, saat Narastika sudah sembuh dan kami mau jalan-jalan, Thiago malah minta ikut jalan bareng. Ketika itu, ada teman lain yang juga bergabung, dan teman itu benar-benar baru saya kenal, yaitu Hudson dari Singapura. Narastika heran kenapa saya bisa dengan mudah bergaul dengan orang baru, bahkan sampai bule-bule yang baru saya kenal itu kayak kecantol mau aja diajak jalan-jalan padahal baru kenal. Wakakkakakk.

Sikap saya yang mudah bergaul dengan orang lain, sebenarnya sangat bertolak belakang dengan sikap Narastika beberapa tahun lalu yang tidak semudah itu menyapa orang lain. Kata Narastika, dia takut berkenalan dengan orang asing, karena bisa jadi orang itu jahat atau punya hobi suka culik orang, wkwk. Pemikiran yang sama sekali tidak muncul di benak saya.

Anehnya, ketika perjalanan ke New Zealand, Mei lalu, Narastika dan saya seperti bertukar kepribadian. Narastika menjadi orang yang lebih mudah bergaul, lebih mudah menyapa orang lain, dan aktif ngajak orang lain ngobrol orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Misalnya, saat kami roadtrip bersama bule asal Perancis, Erika, dalam perjalanan Narastika bertanya ke Erika: “Kamu suka mendengarkan musik apa?”, “Kamu suka nonton drama series gak di Perancis?”

Narastika, saya, Ryan, dan Erika… tiga di antara empat orang ini introvert, tebak yang mana saja… 😀

Sikap mudah bergaul itu, sangat membantu kami menemukan teman perjalanan, dan menambah pengalaman perjalanan. Sementara saya jadi lebih suka mengamati orang lain, menghabiskan waktu sendiri, dan agak kesulitan memulai percakapan dengan orang baru. Ketika ngobrol dengan Narastika mengenai hal ini, saya menemukan beberapa hal yang mempengaruhi perubahan kepriabdian dan sikap seseorang. Hal paling mendasar adalah lingkungan, keseharian, dan pergaulan seseorang (meski bukan satu-satunya faktor perubahan).

Narastika mengatakan, kepribadiannya berkembang pesat ketika dua tahun lalu dia memutuskan pindah dari Indonesia ke Australia. “Teman-teman aku kebanyakan bule. Aku ‘kan orang baru, kalau aku tidak mengajak ngobrol mereka duluan, aku akan sulit punya teman. Mereka nggak akan mau ngajak aku nongkrong kalau aku enggak ngobrol dengan mereka duluan,” ujarnya.

Sejak Narastika mengambil keputusan besar tinggal di Australia, saya sangat salut dengan keberaniannya meninggalkan zona nyaman demi mewujudkan cita-cita tinggal di negara kangguru. Keputusan itu rupanya telah membentuk siapa Narastika sekarang. 🙂

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, rupanya juga mempengaruhi kepribadian saya sekarang. Lima tahun lalu, saat baru lulus kuliah, saya adalah tipe manusia yang sama sekali nggak punya rasa takut. Saya ingin mengecap sebanyak-banyaknya pengalaman hidup, berkenalan dengan sebanyak-banyaknya orang, dan mengunjungi sebanyak-banyaknya tempat. Jadi, apa pun saya lakukan agar saya bisa dapat pengalaman, termasuk berani untuk spik-spik dengan orang yang baru dikenal 😛

Setelah saya bekerja dan tinggal di Jakarta, kejamnya Ibu Kota membentuk kepribadian saya. Hampir setiap hari, saya bertemu orang baru, mostly sih untuk kepentingan pekerjaan. Saking seringnya ketemu orang, kadang-kadang di waktu libur saya nggak pengen ketemu siapa-siapa. Kalau ada teman yang ngajak nongkrong, saya selalu tanya: “Ada siapa aja yang ikutan?”

Biasanya, saya akan menolak ajakan nongkrong kalau ternyata yang datang kebanyakan adalah orang-orang baru. Pertemuan dengan orang baru itu membutuhkan energi untuk membuka diri dan kerelaan untuk memahami orang lain. Rasanya, kesibukan dan kepenatan dengan aktivitas sehari-hari sering membuat saya enggan berkenalan dengan orang baru. 🙁 🙁

Lingkungan, keseharian, dan pergaulan, di Jakarta, juga membentuk saya menjadi orang yang lebih pemikir, penuh pertimbangan, dan pendiam. Saya lebih suka mengamati, daripada terlibat dalam suatu aktivitas. Saya sadar, lingkungan, keseharian, dan pergaulan bukan satu-satunya faktor perubahan kepribadian seseorang. Perubahan dari extrovert ke introvert dapat disebabkan banyak hal lain, seperti tekanan hidup, pengalaman pahit, kesedihan mendalam, dan masih banyak lagi (hayoo tebak apa yang mempengaruhi perubahan kepribadian saya?? … kayaknya gabungan ini semua Ahahhaha).

Sebenarnya, saya merasa cukup menyesal dengan perubahan kepribadian ini. Kesempatan saya untuk mengenal orang lain menjadi tidak sebesar sebelumnya. Kesempatan saya untuk merasakan pengalaman-pengalaman luar biasa juga mungkin saja berkurang.

Dent, aku tuh masih introvert. Aku suka cape jiwa kalo abis ngobrol ama orang,” kata Narastika.

Benar juga yaa… bukankah tidak ada individu yang benar-benar memiliki satu tipe kepribadian saja, yang ada hanya dominasi, dan/atau kecenderungan satu atau kombinasi tipe kepribadian. Mungkin lima tahun lalu saat saya menjalani tes kepribadian sisi extrovert saya lebih kental. Lalu, dalam tes kedua ini justru kepribadian saya didominasi oleh sisi sebaliknya. Lagian, kepribadian extrovert atau introvert juga bukan tentang salah atau benar, atau sifat mana yang lebih baik, karena kedua kepribadian itu saling mengisi, saling melengkapi. 

Sekarang, saya sadar bahwa kepribadian setiap manusia bisa berubah. Hasil studi ini membuat saya kembali merenungkan makna keberadaan saya dan bagaimana saya bersikap selanjutnya. Kalau dulu saya bisa mudah berbagaul dengan orang lain, kenapa sekarang sulit? Menjadi seorang pemikir, pendiam, dan penuh pertimbangan, juga tidak buruk, karena mungkin ini bermanfaat agar saya bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Hal terpenting, saya sadar, rupanya saya harus terus belajar, untuk tidak puas dengan diri sendiri, saya harus belajar terus untuk mengenal diri sendiri dan mengenal orang lain dengan lebih baik.  

Terima kasih New Zealand atas pelajaran yang berharga, terima kasih Narastika untuk pengalaman-pengalaman yang berkesan!! *mewek* 🙂

 

Salam, Denty Piawai Nastitie

(Foto 1, 5, dan 6, diambil di Milford Sound, cerita menyusul yaa… Stay tuned!)

Cerita sebelumnya: Welcome to Auckland!

[instagram-feed]

Read more

Malam pertama di Auckland, saya bermimpi sebuah kisah yang membuat resah: m e n i k a h !

Saya melihat diri saya mengenakan gaun panjang berwarna putih, berdiri di tengah altar gereja. Di hadapan saya ada pastur yang hendak memberkati pernikahan, di sebelah saya ada calon suami, dan di belakang saya ada orang tua dan calon mertua. Dalam mimpi itu, saya banyak tersenyum menyambut moment indah dalam hidup. 

Kemudian, saya melihat pastur mulai memberikan berkat pernikahan kepada calon suami dan saya. Di situ, saya mulai panik. Raut wajah mulai nggak tenang, khawatir. Pastur yang menyadari perubahan wajah saya, bertanya: “Loh, kamu kenapa? Kamu yakin ‘kan mau menikah? Kamu yakin ‘kan dengan calon suami kamu?”

Saya gelagapan. Celinguk kiri dan kanan. Orang tua dan calon suami mulai’ nggak tenang. Setelah menarik nafas panjang, saya memutuskan akan menyampaikan hal jujur kepada diri sendiri, calon suami, dan keluarga.

Di hadapan orang-orang dekat, saya curhat. Saya sampaikan bahwa saya mencintai calon suami saya.

“Dia orang yang sangat baik, penyayang, dan perhatian,” kata saya.

“Lalu, kenapa kamu kelihatan tidak yakin begitu?” pastur bertanya.

“Hmm… saya masih ragu, bagaimana kalau tiba-tiba dia beruhah,” kata saya. “Pernikahan akan mengikat saya seumur hidup. Apakah setelah saya menikah, saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya suka sama seperti sebelumnya? Apakah setelah saya menikah, saya masih mempunyai kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan diri? Saya yakin prioritas hidup saya akan berubah seiring waktu, tetapi apakah dengan prioritas hidup baru ini saya akan bahagia? Apakah suami saya tetap akan menjadi sosok yang baik, penyayang, dan perhatian, seperti ketika pacaran… Apakah pernikahan ini akan membuat saya bahagia?”

Pastur kebingungan. Kalau nggak yakin nikah, ngapain nikah nih orang! Mungkin ia berpikir demikan. Lalu, pastur menawarkan agar suami dan saya membuat janji pranikah sebagai jalan tengah.

Dalam janji pranikah itu saya menuliskan beberapa hal, seperti:

— suami dan istri saling mendukung untuk bebas berekspresi dan berpendapat

— suami memberi keleluasaan kepada istri, begitu juga sebaliknya, untuk berkembang sesuai minat, karakter, dan kepribadian

— pernikahan harus mendukung kesetaraan jender dan pembagian peran yang didasarkan kesepakatan bersama

— suami dan istri harus menjaga kesetiaan dan komitmen pernikahan, serta tidak ada kekerasan dalam pernikahan

Calon suami menunduk, membaca janji pranikah itu. Dia lalu menatap mata saya. Dia menyatakan bahwa menolak menandatangi janji itu. Katanya, “Saya tidak akan melarang kamu berkembang. Saya tidak akan membatasi diri kamu untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, saya tidak mau menandatangi surat ini. Saya merasa kamu tidak mengenal dan mempercayai saya,” ujarnya.

Kata-kata calon suami saya, membuat saya sedih, kecewa,… dan patah hati. Ada ruang kosong di hati …

Saya merasa, calon suami dan saya memang ternyata belum saling mengenal. Saya merasa memang sebenarnya belum terlalu yakin… kepada diri sendiri, kepada calon suami, juga kepada pernikahan. Saya cukup sedih mengapa calon suami menolak menandatangani janji pranikah ini… sesuatu, yang mungkin bagi saya menjadi bukti keseriusannya.

 

Keringat dingin mulai membanjiri kening… saya gelisah.

 

Lalu,

terbangun.

 

Saya mulai menyadari bahwa sedang tidak berada di altar gereja. Bukannya mengenakan gaun nikah, saya sedang memakai piyama. Saya sedang berbaring di bunk-bed, dan di sebelah saya tidak ada calon suami. Saya terbangun, merasakan ruang tempat saya menginap, di sebuah hostel di Auckland, cukup senyap… lampu kamar padam, di balik jendela kamar saya melihat kendaraan melintas dengan lampu depan menyala.

Saya melirik ponsel, terlihat waktu menunjukkan pukul 03.30 waktu Auckland. Saya punya waktu beberapa jam untuk istirahat, sebelum pagi ini mulai melakukan penjelajahan pertama ke Hobbiton dan Glowworm Cave.

Saya menghela nafas panjang, menenangkan diri. Terbayang wajah seseorang yang sedang dekat dengan saya, apa yang sedang dia lakukan di Jakarta? Apa yang dia rasakan? Bagaimana kalau dia tahu, dia muncul dalam mimpi saya (mimpi yang tidak terlalu indah, sebenarnya…)?

Saya mulai merenungkan, perjalanan ke Selandia Baru, ini tidak sekedar menikmati alam atau melakukan aktivitas-aktivitas seru dan menantang. Perjalan ini juga tentang bagaimana merenungkan kembali beberapa aspek kehidupan, seperti pekerjaan, dan juga pernikahan. Rupanya, cukup banyak hal yang mengganjal pikiran.

Saat sedang memikirkan hal ini, notifikasi telepon genggam memberikan signal pesan di DM Instagram. Seorang kawan menuliskan, “Bagaimana Auckland? Semoga perjalanan lo menyenangkan!”

Ahh… benar juga… jauh-jauh ke Auckland, saya ini ingin jalan-jalan, tetapi kenapa saya malah merasa rumit dengan banyak beban di pikiran. Bukankah seharusnya saya menikmati perjalan ini semaksimal mungkin! Saya kemudian memejamkan mata… kembali merehatkan diri untuk menyambut perjalanan di tanah the Lord of the Rings.

 

Auckland, 7 Mei 2019

Denty Piawai Nastitie

Ps: Foto bersama sahabat saya Narastika saat jalan-jalan di Auckland. Saya yakin, mimpi ini muncul karena sesaat sebelum tidur saya membicarakan banyak hal dengan Narastika, termasuk membicarakan pernikahan! Hahahhaha! Sialan, Tik, sampai kebawa mimpi!! LOL

Read more