Malam pertama di Auckland, saya bermimpi sebuah kisah yang membuat resah: m e n i k a h !
Saya melihat diri saya mengenakan gaun panjang berwarna putih, berdiri di tengah altar gereja. Di hadapan saya ada pastur yang hendak memberkati pernikahan, di sebelah saya ada calon suami, dan di belakang saya ada orang tua dan calon mertua. Dalam mimpi itu, saya banyak tersenyum menyambut moment indah dalam hidup.
Kemudian, saya melihat pastur mulai memberikan berkat pernikahan kepada calon suami dan saya. Di situ, saya mulai panik. Raut wajah mulai nggak tenang, khawatir. Pastur yang menyadari perubahan wajah saya, bertanya: “Loh, kamu kenapa? Kamu yakin ‘kan mau menikah? Kamu yakin ‘kan dengan calon suami kamu?”
Saya gelagapan. Celinguk kiri dan kanan. Orang tua dan calon suami mulai’ nggak tenang. Setelah menarik nafas panjang, saya memutuskan akan menyampaikan hal jujur kepada diri sendiri, calon suami, dan keluarga.
Di hadapan orang-orang dekat, saya curhat. Saya sampaikan bahwa saya mencintai calon suami saya.
“Dia orang yang sangat baik, penyayang, dan perhatian,” kata saya.
“Lalu, kenapa kamu kelihatan tidak yakin begitu?” pastur bertanya.
“Hmm… saya masih ragu, bagaimana kalau tiba-tiba dia beruhah,” kata saya. “Pernikahan akan mengikat saya seumur hidup. Apakah setelah saya menikah, saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya suka sama seperti sebelumnya? Apakah setelah saya menikah, saya masih mempunyai kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan mengekspresikan diri? Saya yakin prioritas hidup saya akan berubah seiring waktu, tetapi apakah dengan prioritas hidup baru ini saya akan bahagia? Apakah suami saya tetap akan menjadi sosok yang baik, penyayang, dan perhatian, seperti ketika pacaran… Apakah pernikahan ini akan membuat saya bahagia?”
Pastur kebingungan. Kalau nggak yakin nikah, ngapain nikah nih orang! Mungkin ia berpikir demikan. Lalu, pastur menawarkan agar suami dan saya membuat janji pranikah sebagai jalan tengah.
Dalam janji pranikah itu saya menuliskan beberapa hal, seperti:
— suami dan istri saling mendukung untuk bebas berekspresi dan berpendapat
— suami memberi keleluasaan kepada istri, begitu juga sebaliknya, untuk berkembang sesuai minat, karakter, dan kepribadian
— pernikahan harus mendukung kesetaraan jender dan pembagian peran yang didasarkan kesepakatan bersama
— suami dan istri harus menjaga kesetiaan dan komitmen pernikahan, serta tidak ada kekerasan dalam pernikahan
Calon suami menunduk, membaca janji pranikah itu. Dia lalu menatap mata saya. Dia menyatakan bahwa menolak menandatangi janji itu. Katanya, “Saya tidak akan melarang kamu berkembang. Saya tidak akan membatasi diri kamu untuk berekspresi dan berpendapat. Tetapi, saya tidak mau menandatangi surat ini. Saya merasa kamu tidak mengenal dan mempercayai saya,” ujarnya.
Kata-kata calon suami saya, membuat saya sedih, kecewa,… dan patah hati. Ada ruang kosong di hati …
Saya merasa, calon suami dan saya memang ternyata belum saling mengenal. Saya merasa memang sebenarnya belum terlalu yakin… kepada diri sendiri, kepada calon suami, juga kepada pernikahan. Saya cukup sedih mengapa calon suami menolak menandatangani janji pranikah ini… sesuatu, yang mungkin bagi saya menjadi bukti keseriusannya.
Keringat dingin mulai membanjiri kening… saya gelisah.
…
Lalu,
terbangun.
Saya mulai menyadari bahwa sedang tidak berada di altar gereja. Bukannya mengenakan gaun nikah, saya sedang memakai piyama. Saya sedang berbaring di bunk-bed, dan di sebelah saya tidak ada calon suami. Saya terbangun, merasakan ruang tempat saya menginap, di sebuah hostel di Auckland, cukup senyap… lampu kamar padam, di balik jendela kamar saya melihat kendaraan melintas dengan lampu depan menyala.
Saya melirik ponsel, terlihat waktu menunjukkan pukul 03.30 waktu Auckland. Saya punya waktu beberapa jam untuk istirahat, sebelum pagi ini mulai melakukan penjelajahan pertama ke Hobbiton dan Glowworm Cave.
Saya menghela nafas panjang, menenangkan diri. Terbayang wajah seseorang yang sedang dekat dengan saya, apa yang sedang dia lakukan di Jakarta? Apa yang dia rasakan? Bagaimana kalau dia tahu, dia muncul dalam mimpi saya (mimpi yang tidak terlalu indah, sebenarnya…)?
Saya mulai merenungkan, perjalanan ke Selandia Baru, ini tidak sekedar menikmati alam atau melakukan aktivitas-aktivitas seru dan menantang. Perjalan ini juga tentang bagaimana merenungkan kembali beberapa aspek kehidupan, seperti pekerjaan, dan juga pernikahan. Rupanya, cukup banyak hal yang mengganjal pikiran.
Saat sedang memikirkan hal ini, notifikasi telepon genggam memberikan signal pesan di DM Instagram. Seorang kawan menuliskan, “Bagaimana Auckland? Semoga perjalanan lo menyenangkan!”
Ahh… benar juga… jauh-jauh ke Auckland, saya ini ingin jalan-jalan, tetapi kenapa saya malah merasa rumit dengan banyak beban di pikiran. Bukankah seharusnya saya menikmati perjalan ini semaksimal mungkin! Saya kemudian memejamkan mata… kembali merehatkan diri untuk menyambut perjalanan di tanah the Lord of the Rings.
Auckland, 7 Mei 2019
Denty Piawai Nastitie
Ps: Foto bersama sahabat saya Narastika saat jalan-jalan di Auckland. Saya yakin, mimpi ini muncul karena sesaat sebelum tidur saya membicarakan banyak hal dengan Narastika, termasuk membicarakan pernikahan! Hahahhaha! Sialan, Tik, sampai kebawa mimpi!! LOL